Minggu lalu, Qualcomm mengumumkan chipsetSnapdragon 870 5G Mobile Platform sebagai penerus dari Snapdragon 865 Plus. Kini smartphone pertama dengan chipset tersebut telah hadir, dari Motorola yang baru saja mengumumkan Motorola Edge S.
SoC ini dibuat pada teknologi proses 7nm dan mengemas CPU octa-core Kryo 585 yang salah satu intinya melesat dengan kecepatan hingga 3,2GHz, bersama GPU Adreno 650. Motorola memadukannya dengan opsi RAM 6GB atau 8GB dan penyimpanan UFS 3.1 dengan kapasitas 128GB atau 256GB.
Untuk desain, bagian muka Motorola Edge S memiliki dual hole-punch di pojok kiri atas untuk kamera depan 16MP dan 8MP dengan lensa ultrawide yang menyuguhkan sudut pandang 100 derajat. Layarnya membentang 6,7 inci beresolusi 1080×2520 piksel dalam aspek rasio 21:9, menggunakan panel IPS dengan refresh rate 90Hz, memiliki tingkat kecerahan maksimum 560 nit, dan mendukung HDR10.
Cover belakangnya diselimuti warna blue atau silver yang tampil mewah dengan gradasi warna dan efek berkilau. Bodinya splash proof dengan sertifikasi IP52. Di sana terdapat empat unit kamera belakang dengan kamera utama 64MP f/1.7, bersama kamera 16MP dengan lensa ultrawide, 2MP sebagai depth sensor, dan satu lagi kamera TOF 3D.
Kemampuan perekam video Motorola Edge S agak nanggung, belum mendukung 8K melainkan hanya 6K pada 30fps. Sementara, di resolusi 4K dan 1080p mendukung frame rate 30/60 fps. Sedangkan, kamera depannya mentok sampai 1080p 30fps saja.
Kegiatan ber-smartphone pada Motorola Edge S disuplai baterai 5.000 mAh dengan dukungan fast charging 20W. Saat ini, Motorola Edge S tersedia untuk pre-order di pasar Tiongkok dengan harga CNY 1.999 (Rp4,3 jutaan) untuk model memori 6/128GB, CNY 2.399 (Rp5,2) jutaan model 8/128GB, dan CNY 2.799 (Rp6 jutaan) untuk model 8/512GB.
Berawal dari sebatas aplikasi media streamer untuk keperluan hiburan di rumah, Plex telah berkembang menjadi platform digital dengan banyak produk. Setelah meluncurkan layanan streaming film gratis di akhir 2019 lalu, yang terbaru mereka baru saja layanan streaming game bernama Plex Arcade.
Namun jangan bayangkan layanannya ini bakal seperti Google Stadia atau Microsoft xCloud. Yang ditawarkan justru sangatlah niche, yakni koleksi game retro, persisnya game yang dirilis untuk console Atari 2600 puluhan tahun silam.
Sejauh ini total ada sekitar 30 game yang lisensinya didapat langsung dari Atari, termasuk judul-judul legendaris seperti Adventure, Asteroids, maupun Centipede. Selain game Atari 2600, ada juga game Atari 7800 seperti Missile Command dan Ninja Golf. Daftar lengkapnya bisa Anda lihat sendiri di situs Plex, tapi kalau semua itu terdengar asing di telinga Anda, kemungkinan besar Anda memang masih terlalu muda atau bahkan belum lahir di masa kejayaan Atari dulu.
Ketimbang menggarap teknologi streaming-nya sendiri, Plex lebih memilih menggunakan platform yang sudah matang, yakni Parsec. Sayangnya Parsec sendiri memiliki satu kelemahan: sebelum bisa memainkan koleksi game-nya di TV atau perangkat mobile, Anda harus lebih dulu menyiapkan server Plex Arcade di perangkat yang menjalankan sistem operasi Windows atau macOS.
Tentu saja ini bukan solusi yang ideal bagi pengguna yang selama ini meng-install Plex Media Server-nya di perangkat NAS, tapi sekali lagi ini bukan salah Plex, melainkan limitasi Parsec itu sendiri. Kalau urusan server-nya sudah beres, Anda tinggal bermain menggunakan controller USB atau Bluetooth, atau dengan memanfaatkan on-screen control jika memakai smartphone atau tablet.
Kabar buruknya, Plex Arcade bukan layanan gratisan (meski ada free trial selama 7 hari). Plex mematok tarif berlangganan sebesar $5 per bulan, atau $3 per bulan jika Anda sudah berlangganan Plex Pass sebelumnya. Menariknya, Plex secara terang-terangan menyebutkan bahwa layanan ini bersifat eksperimental, dan mereka akan melihat respon konsumen ke depannya sebelum memutuskan apakah layanan ini bakal dilanjutkan atau tidak.
Plex sendiri sudah sejak lama rajin bereksperimen dengan fitur atau produk baru, dan mereka tidak segan memensiunkan proyek yang memang terbukti tidak solutif. Contohnya adalah layanan Plex Cloud, yang ditutup di tahun 2018 setelah beroperasi selama sekitar dua tahun.
Salah satu faktor untuk membantu kesuksesan bisnis UKM adalah dukungan dari layanan logistik, pembayaran, hingga manajemen pengelolaan bisnis mereka. Dalam waktu dua tahun terakhir, sudah banyak platform yang kemudian mencoba memudahkan para pelaku UKM mengelola bisnis mereka. Salah satu platform yang kemudian mencoba untuk menyasar sektor tersebut adalah majoo.
majoo didirikan oleh tiga founder, meliputi Adi W. Rahadi (CEO), Audia R. Harahap (COO), dan Bayu Indriarko (VP Engineering). Sebelumnya ketiga para pendiri tersebut merupakan pelaku bisnis ritel yang juga melayani pelanggan UKM, sehingga mereka cukup memahami berbagai kesulitan yang ditemui di lapangan.
Kepada DailySocial Adi mengungkapkan, majoo merupakan aplikasi wirausaha (mini ERP untuk pelaku UKM) dengan fitur lengkap, tidak hanya aplikasi kasir atau point of sales, tetapi juga meliputi pengelolaan inventori, pelanggan, akuntansi, karyawan, analisis bisnis, dan pesanan online.
“majoo percaya bahwa UKM memainkan peran penting dalam mendukung perekonomian Indonesia. majoo juga percaya bahwa setiap UKM harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses teknologi dan ekonomi digital yang dapat membantu UKM untuk tumbuh.”
Ditambahkan olehnya, UKM memiliki kesenjangan dalam pencatatan keuangan, membuat pengelolaannya tidak efisien, sehingga potensi durasi bertahan bisnis menjadi pendek, serta membatasi akses terhadap permodalan yang diperlukan pengembangan usaha untuk bisa naik kelas.
Kondisi ini menjadi tantangan UMKM untuk tumbuh melampaui potensi mereka yang sebenarnya. Untuk itu, majoo hadir dengan menyediakan sistem pendukung bisnis yang membantu mereka mengoptimalkan potensi bisnisnya.
“Misi majoo yaitu memajukan UKM dengan inovasi financial technology untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Mendukung UKM naik kelas dan dapat membuka akses pasar ke dunia digital,” kata Adi.
Model bisnis dan strategi monetisasi
Solusi bisnis dari majoo merupakan aplikasi dengan biaya berlanggan secara bulanan atau SaaS. majoo saat ini telah memiliki pengguna berbayar lebih dari 15 ribu wirausaha tersebar di lebih dari 600 kota di Indonesia dengan berbagai jenis usaha. Mulai dari F&B, ritel, jasa, dan jenis wirausaha lainnya.
“Yang membedakan majoo dengan platform lainnya adalah, sebagai aplikasi wirausaha (mini ERP untuk pelaku UKM) dengan fitur lengkap, majoo juga telah terintegrasi dengan marketplace terbesar di Indonesia seperti Tokopedia, Shopee, Blibli, serta Grabfood, untuk meningkatkan penjualan melalui berbagai macam channel online. Semua didapat dengan satu paket langganan dengan harga terjangkau tanpa adanya biaya tambahan (add-ons),” kata Adi.
Pandemi dan pertumbuhan bisnis
Saat masa awal pandemi, segmen retail merupakan bisnis yang paling terdampak dengan penurunan penjualan sampai dengan 70%. Namun dalam waktu tiga bulan, bisnis kembali mengalami tren kenaikan normal dan lebih memiliki ketahanan. Sehingga saat PSBB yang kedua tidak banyak berdampak dibandingkan PSBB pertama yaitu hanya mengalami penurunan sebesar 10%.
“Karena retail merupakan segmen utama majoo, sehingga kami langsung melakukan perubahan strategi growth menjadi efisiensi dan mengembangkan fitur yang menambah value wirausaha dimasa pandemi untuk meningkatkan penjualan dari channel online. Mulai dari order online, webmenu, WhatsApp struk dan pembayaran online, integrasi dengan Grabfood, Tokopedia, dan layanan e-commerce lainnya,” kata Adi.
Saat ini kinerja bisnis majoo mulai mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan sebelum masa pandemi. Perusahaan yakin bahwa krisis merupakan katalis tumbuhnya wirausaha baru yang akan mengakselerasi digitalisasi sehingga ke depannya akan mendorong pertumbuhan bisnis majoo.
“Distribusi vaksin yang diperluas mulai tahun 2021 akan membuat retail kembali normal. Dengan performance bisnis majoo yang kuat pada tahun 2020 lalu, kita menargetkan untuk meraih profitability pada akhir tahun 2021, serta kembali merencanakan penggalangan dana pada Q2 tahun ini yang sempat tertunda tahun lalu saat awal pandemi,” kata Adi.
Sony telah mengumumkan Xperia Pro, smartphone flagship ini lain daripada yang lain karena dapat berfungsi ganda sebagai monitor eksternal portabel. Xperia Pro dilengkapi dengan konektor micro HDMI dan ketika dihubungkan misalnya ke kamera mirrorless Sony Alpha – smartphone ini bisa dijadikan sebagai monitor 4K HDR.
Monitor eksternal sendiri bisa dibilang merupakan perangkat wajib bagi videografer profesional, filmmaker, maupun content creator, terutama ketika produksi video serius untuk memberikan fleksibilitas dan memastikan komposisi, eksposur, dan fokusnya tepat. LCD monitor bawaan kamera mirrorless masih kurang untuk memenuhi kebutuhan para profesional, karena ukurannya kecil rata-rata 3 inci dan resolusinya tidak terlalu tinggi.
Untuk spesifikasi layarnya, Xperia Pro mengemas CinemaWide display 6,5 inci menggunakan panel OLED HDR beresolusi 4K (3840×1644 piksel) dalam aspek rasio 21:9. Serta, memiliki rasio kontras 1.000.000:1, color gamut DCI-P3 100%, dan tingkat kecerahan hingga 1000 nit. Saat menjadi monitor eksternal, layarnya juga mendukung fungsi pinch-to-zoom untuk memastikan fokus secara akurat.
Bukan hanya dapat sekedar menjadi monitor eksternal, Xperia Pro juga berfungsi sebagai solusi perangkat live streaming yang andal dengan dukungan koneksi 5G (mmWave). Pengguna bisa melakukan live streaming di YouTube hingga 720p menggunakan kamera yang terhubung dengan Xperia Pro lewat HDMI atau lewat platform live streaming seperti streamlabs dan StreamYard untuk multiple stream ke berbagai layanan termasuk YouTube, Facebook Live, Twitch, LinkedIn, dan lainnya.
Kemudian saat dihubungkan lewat port USB-C dengan kamera mirrorless Sony yang didukung. Xperia Pro juga dapat digunakan sebagai solusi transfer file untuk untuk mengirimkan foto dan video melalui jaringan 5G ke server FTP atau lokasi berbasis web lainnya.
Untuk spesifikasi lain, pada dasarnya Xperia Pro merupakan versi yang lebih tangguh dari Xperia 1 II dengan sasis yang lebih kokoh, memiliki empat antena 5G (mmWave), dan dilengkapi konektor micro HDMI. Sisanya bisa dibilang identik, dapur pacunya mengandalkan chipset Snapdragon 865 dengan RAM 12GB dan penyimpanan 512GB.
Kemampuan kameranya juga istimewa, dengan tiga kamera belakang yang sama-sama beresolusi 12MP, dengan perbedaan pada luas sudut pandang lensa Zeiss-nya (standar, telephoto, ultrawide). Sony juga menyematkan teknologi Real-Time Eye AF miliknya di sini dan dapat menjepret tanpa henti dalam kecepatan 20 fps.
Lewat kombinasi fungsionalitas tambahan tersebut, Sony menjual Xperia Pro dengan harga yang tinggi yakni US$2.499 atau sekitar Rp35 juta di pasar Amerika. Sayangnya, masyarakat Indonesia sangat kecil kesempatannya untuk mendapatkan Xperia Pro secara resmi. Semoga saja, Xperia Pro menginspirasi brand lain untuk merilis smartphone dengan port HDMI.
Sepanjang tahun 2020, layanan e-commerce mengalami pertumbuhan yang signifikan. Aturan bekerja dan belajar di rumah, banyak mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas belanja secara online. Terkait tren bisnis e-commerce, dalam media briefing yang digelar oleh Monk’s Hill Ventures (MHV) hari ini (27/01) diungkapkan beberapa hal. Salah satunya, hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa di tahun 2021 layanan e-commerce akan mengalami transformasi lebih besar lagi, mereka menyebutkan “E-commerce 2.0”.
Transformasi layanan e-commerce 2.0
Di Indonesia saat ini sudah banyak penjual, meskipun skalanya kecil namun telah memanfaatkan berbagai layanan online marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya untuk melakukan penjualan. Selain itu mereka juga mulai banyak mendapatkan traksi dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan channel lainnya. Cara tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Kebanyakan penjual selalu melakukan engagement dengan pembeli mereka melalui media sosial.
“Yang berbeda saat ini adalah kebanyakan penjual dan pembeli bukan hanya fokus kepada produk tapi siapa yang menjual. Jadi brand equity penjual dan produk yang mereka miliki menjadi bagian dari pengalaman saat ini,” kata Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim.
Dalam hal ini dicontohkan olehnya, ketika pembeli berniat untuk melakukan pembelian di platform seperti Lazada atau Shopee, mereka akan ditawarkan langsung 20 lebih penjual dari masing-masing platform tersebut. Ke depannya akan mulai terlihat pergeseran pengalaman brand di berbagai channel dari sisi penjual.
“Ninja Van (salah satu portofolio dari MHV) saat ini telah membantu lebih dari 100 ribu bisnis setiap bulannya. 30% kontribusi tersebut berasal dari para penjual UKM dari berbagai lokasi di Indonesia, mulai dari kota kecil hingga pelosok daerah,” kata Kuo-Yi Lim.
Untuk bisa mewujudkan hal tersebut tentunya dibutuhkan dukungan yang besar dari pihak terkait, mulai dari procurement, pembayaran, logistik dan lainnya. Penting untuk kemudian bisa membuat masing-masing penjual tampil lebih unggul, di antara makin sengitnya persaingan saat ini.
“MHV melihat hal tersebut bisa menjadi potensi, dengan mengadopsi cara tradisional memanfaatkan channel baru yang akan mendorong dinamika menarik di Indonesia dan negara lainnya.”
Pertumbuhan edutech dan healthtech
Hal menarik yang kemudian juga menjadi perhatian oleh MHV adalah, makin besarnya pertumbuhan layanan healthtech dan edtech secara global saat ini. Meskipun saat awal pandemi agak sulit bagi platform healthtech untuk bisa tetap relevan terkait dengan pandemi, namun memanfaatkan teknologi artifical inteligence ternyata mampu mempercepat pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan para dokter dan rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa pasien.
“Meskipun masih lamban adopsi teknologi rumah sakit dan sebagian besar dokter yang menjadi pengambil kebijakan tersebut, namun ketika mereka melihat teknologi bisa menyelamatkan hidup seseorang, diharapkan bisa mengubah mindset mereka. Dalam ruang lingkup digital saya melihat akan ada pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Kuo-Yi Lim.
Sementara dari sisi edtech, meskipun saat ini dengan pemerintah Amerika Serikat dan presiden barunya mulai memberlakukan kebijakan kembali ke sekolah untuk siswa, tentunya akan terlihat seperti apa perubahan ke depannya. Namun di sisi lain, dengan menggabungkan kegiatan belajar mengajar secara offline dan online, ternyata tetap bisa berjalan dan ke depannya akan menjadi the new normal untuk dunia pendidikan secara global.
“Ketika dulunya banyak pihak sekolah keberatan untuk mengadopsi teknologi untuk edukasi, dengan adanya pandemi menjadi pembuktian dan tentunya menjadi peringatan bagaimana jika nantinya terjadi lagi kondisi seperti ini. Ke depannya akan semakin banyak pengajar dan sekolah yang melihat, bahwa ada cara baru untuk mengajar dan belajar yaitu secara online. Meskipun akan ada penurunan dan penyesuaian, tapi tren ini ke depannya akan semakin berkembang,” kata Kuo-Yi Lim.
Tren investasi tahun 2021
Hal menarik yang kemudian diungkapkan oleh Partner Monk’s Hill Ventures Justin Nguyen adalah, sebelum pandemi berlangsung, pihaknya telah memberikan investasi kepada berbagai sektor. Mulai dari logistik, healthtech, dan lainnya. Sektor tersebut menurut Justin telah menjadi pilihan bagi MHV untuk kemudian dikembangkan dan tentunya diinvestasikan. Faktanya sektor tersebut selama pandemi ternyata memang mengalami akselerasi yang sangat baik.
“Sebagai principal dari investor yang kami lihat adalah, apakah hal yang mereka (pendiri startup) lakukan masuk akal. Saya melihat ketika menjalankan perusahaan masih sama saja sebelum atau saat pandemi.”
Meskipun ada penurunan investasi pada Q3 2020 lalu, namun jika dilihat dari makin besarnya minat investor asal Tiongkok hingga Amerika Serikat untuk bermain di kawasan Asia Tenggara, diprediksi oleh Justin tahun 2021 ini jumlah investasi dari berbagai investor akan makin banyak jumlahnya.
Sony mengejutkan banyak orang di ajang CES 2020 dengan menyingkap sebuah prototipe mobil listrik bernama Vision-S. Wujudnya yang begitu keren – lebih keren daripada Tesla Model S kalau menurut saya pribadi – membuat sebagian dari kita bertanya-tanya: “Kapan Sony bisa memproduksinya secara massal?”
Sayangnya tidak. Di bulan Agustus 2020, Sony menegaskan bahwa mereka tidak berniat memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik, terlepas dari keputusan mereka untuk mengujinya di jalanan umum, sekaligus menyiapkan prototipe mobil yang kedua. Tujuan dari pengujian tersebut tidak lebih dari sebatas pengumpulan data, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang Sony buat.
Namun di event CES 2021 kemarin, Vision-S kembali muncul, kali ini bersama drone pertama Sony yang bernama Airpeak. Sony pun lagi-lagi harus meluruskan kabar yang simpang siur mengenai Vision-S. Kepada Car & Driver, juru bicara Sony memastikan bahwa untuk sekarang mereka sama sekali tidak punya rencana untuk memproduksi ataupun menjual Vision-S.
Vision-S tidak lebih dari sebatas test bed yang dapat Sony manfaatkan untuk bereksperimen. Lewat mobil ini, Sony pada dasarnya sedang mengeksplorasi bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap era kemudi otomatis nantinya. Salah satunya tentu dengan menyediakan beragam sensor kamera.
Pada kenyataannya, Vision-S datang membawa sebanyak 40 sensor di tubuhnya, dan 18 di antaranya merupakan kamera. Namun selain soal keselamatan dan reliabilitas sistem kemudi otomatis, Sony juga ingin punya kontribusi terhadap industri otomotif dari sisi hiburan.
Itulah mengapa mereka menyematkan teknologi 360 Reality Audio pada kabin Vision-S. Namun yang lebih menarik mungkin adalah tujuan jangka panjangnya, yakni mengintegrasikan PlayStation ke dalam kabin, lengkap bersama konektivitas 5G.
Eksekusi dari konsep “PlayStation untuk mobil” ini tentu bisa bermacam-macam. Apakah yang Sony maksud dengan PlayStation di sini adalah hardware console itu sendiri, atau cuma sebatas layanan cloud gaming yang bisa diakses dari sistem infotainment bawaan mobil? Sejauh ini semuanya baru sebatas spekulasi, dan Sony juga belum menyingkap rencana konkretnya.
Terlepas dari itu, ide akan sebuah game console yang terintegrasi ke mobil tentu kedengaran sangat menarik. Di saat mobil-mobil dengan sistem kemudi otomatis Level 4 atau Level 5 sudah siap untuk turun ke jalanan, itu artinya kita tidak perlu lagi siaga di depan lingkar kemudi, dan waktu selama perjalanan bisa kita habiskan dengan bermain Gran Turismo 12 (sekarang baru akan ada Gran Turismo 7).
Nyatanya, sekarang saja kita sudah bisa bermain video game di dashboard Tesla Model 3, dan saya kira tidak berlebihan seandainya ide ini akan terus dikembangkan ke depannya. Untuk sekarang, game–game tersebut memang hanya bisa dimainkan ketika mobilnya berhenti, tapi bagaimana seandainya nanti mobilnya sudah bisa menyetir sendiri tanpa memerlukan sedikitpun input dari kita?
Well, di titik itu mungkin persaingan antara PlayStation dan Xbox bakal berpindah dari ruang keluarga menuju kabin mobil.
Sony memiliki lima lini kamera mirrorless full frame. Sony Alpha 7 series sekarang mencakup A7 yang merupakan model dasar, A7R menawarkan resolusi tinggi, A7S dengan sensivitas dan videonya, serta A7C dengan desain compact seukuran kamera APS-C. Serta, lini teratas Sony ialah Alpha 9 yang menawarkan kecepatan.
Sony menambah satu lagi lini baru, mereka telah memperkenalkan Sony Alpha 1 (A1). Kalau saya perhatikan dari kemampuannya, boleh dibilang Sony A1 ini gabungan kekuatan terbaik antara seri A7R, A7S, dan A9. Menurut saya, ini keputusan yang tepat untuk melawan gempuran kompetitor macam Canon, Nikon, dan Panasonic yang tak bisa dianggap remeh.
Mari mulai dari resolusi, Sony A1 mengusung sensor gambar baru Exmor RS full frame stacked beresolusi 50MP. Tidak lebih besar dari Sony A7R IV dengan 61MP, tetapi lebih besar dari A7R III dengan 42MP. Sebagai perbandingan, Canon EOS R5 memiliki 45MP, Nikon Z7 II 46MP, dan Panasonic Lumix S1R 47MP.
Berkat sepasang prosesor gambar Bionz XR baru, walaupun resolusinya tinggi – Sony A1 dapat memotret beruntun (continuous shooting) tanpa blackout atau jeda hingga 30fps. Ya, bahkan lebih cepat dari Sony A9 II yang mengunggulkan kecepatan burst shooting hingga 20fps.
Kamera ini memiliki buffer dengan kapasitas besar, memungkinkan bagi fotografer olahraga dan aksi memotret hingga 155 foto full-frame dengan format compressed RAW dan 165 foto full-frame pada format JPEG hingga 30fps dengan electronic shutter sambil mempertahankan full AF dan performa AE tracking.
Sistem autofocus pada Sony A1 mencakup 92% area gambar dengan 759 phase detection point. Fitur Real-time Eye AF untuk manusia dan hewan ditingkatkan, serta untuk pertama kalinya dapat bekerja untuk mendeteksi burung. Jumlah penghitungan AF dan AE yang dapat dilakukan ialah 120 per detik atau dua kali lebih banyak dari yang dapat dilakukan A9 II.
Pembacaan kecepatan tinggi dari sensor gambar baru memungkinkan pengurangan rolling shutter hingga 1,5 kali dibanding A9 II. Untuk pertama kalinya, dengan electronic shutter – flash dapat disinkronkan hingga 1/200 detik dan 1/400 detik dengan mechanical shutter.
Bagaimana dengan perekam videonya? Tak kalah canggih dengan Canon EOS R5, Sony A1 juga sanggup merekam video hingga 8K 30p menggunakan seluruh lebar sensor. Kamera menggunakan semua piksel horizontal, menangkap footage 8,6K dan kemudian memperkecil ukurannya menjadi 8K. Footage 8K dapat ditangkap hingga 10-bit 4:2:0 menggunakan format XAVC HS.
Sony A1 menggunakan desain sistem penghilang panas yang mirip dengan A7S III, yang memungkinkannya merekam 8K hingga 30 menit. Juga mewarisi kemampuan A7S III dan dapat merekam video 4K hingga 120p 10-bit 4:2:2.
Fitur lain pada Sony A1 ialah 5-axis optical in-body image stabilization 5.5EV dan digunakan untuk menawarkan mode resolusi tinggi 4 atau 16 bidikan yang menghasilkan foto hingga resolusi 199MP. Resolusi jendela bidik elektroniknya juga sangat mengesankan, 9,44 juta dot dengan OLED Quad-XGA dan menawarkan refresh rate 240fps.
Masih ada banyak lagi fitur-fitur yang ditawarkan oleh Sony A1, lantas berapa harganya? Sony mengatakan kamera ini akan tersedia pada bulan Maret dengan harga US$6.500 atau sekitar Rp91,5 juta.
Tencent dan Microsoft tetap aktif dan malah agresif dalam melakukan akuisisi atau menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game meski di kondisi pandemi. Keduanya sama-sama raksasa namun, jika Tencent raksasa dari timur, Microsoft adalah raksasa dari barat. Menariknya lagi, kedua perusahaan raksasa itu memiliki strategi yang jauh berbeda.
Investasi Tencent Sepanjang 2020
Tencent merupakan investor yang agresif. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Di tengah pandemi sekalipun, Tencent tidak berhenti berinvestasi. Pada 2020, Tencent ikut serta dalam 170 ronde pendanaan, menurut database milik startup Tiongkok, ITJuzi. Secara total, Tencent telah berinvestasi di 800 perusahaan. Lebih dari 70 perusahaan yang dimodali oleh Tencent telah menjadi perusahaan publik dan lebih dari 160 perusahaan memiliki valuasi melewati US$100 juta, menurut laporan TechCrunch.
Sebagai konglomerasi, Tencent memiliki bisnis di berbagai bidang, termasuk game. Di dunia game, Tencent berhasil menjadi publisher game terbesar di dunia dengan mengakuisisi atau membeli saham dari perusahaan-perusahaan game besar. Dua perusahaan yang masuk dalam portofolio investasi Tencent antara lain Riot Games, developer League of Legends dan Epic Games, developer Fortnite.
Sepanjang 2020, Tencent telah menanamkan investasi di 31 perusahaan game. Sebagian besar investasi ini melibatkan perusahaan Tiongkok. Berdasarkan data Niko Partners, 23 dari 31 perusahaan game yang mendapatkan kucuran dana dari Tencent merupakan perusahaan Tiongkok. Meskipun begitu, Tencent juga mendukung sejumlah perusahaan game dari Barat, seperti Roblox.
Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, jenis investasi yang Tencent lakukan sepanjang tahun 2020 beragam, mulai dari akuisisi, merger, sampai pembelian saham, baik saham minoritas maupun mayoritas. Selain itu, mereka juga ikut dalam beberapa ronde pendanaan yang diadakan oleh sejumlah perusahaan game. Jumlah transaksi di dunia game yang Tencent lakukan pada 2020 naik hingga 3 kali lipat jika dibandingkan dengan total investasi yang mereka buat pada 2019 dan naik 4 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah transaksi mereka pada 2017.
Besar uang yang Tencent keluarkan untuk setiap transaksi pada 2020 juga beragam. Misalnya, mereka mengeluarkan lebih dari US$70 ribu untuk mendapatkan 31,25% saham FanPass. Sementara untuk mendorong merger antara dua platform streaming game terbesar di Tiongkok, Huya dan DouYu, Tencent rela menanamkan investasi lagi sebesar US$810 juta di Huya. Transaksi terbesar Tencent pada 2020 adalah ketika mereka membeli Leyou Technology seharga US$1,5 miliar.
“Soal Merger & Acquisition (M&A), Tencent cenderung konservatif. Biasanya, mereka menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game yang sudah terbukti sukses atau berhasil merilis game populer,” kata Niko Partners dalam laporan mereka. “Sementara pada 2020, mereka lebih proaktif dalam menanamkan investasi di segmen gaming.”
Memang, dari portofolio investasi Tencent, terlihat bahwa mereka punya kecenderungan untuk membeli saham dari perusahaan-perusahaan game besar, seperti Riot Games. Namun, pada 2020, mereka mulai menunjukkan ketertarikan untuk memberikan modal pada perusahaan game yang lebih kecil. Mereka juga mulai menanamkan investasi ketika perusahaan masih muda. Walau dikenal dengan game-game mobile seperti PUBG Mobile dan Arena of Valor, Tencent juga mulai memberikan modal untuk perusahaan-perusahaan yang berpengalaman dalam membuat game untuk konsol dan PC.
Menurut Niko Partners, salah satu alasan mengapa Tencent mengubah strategi investasi mereka adalah karena semakin ketatnya persaingan di industri game Tiongkok. Pasalnya, para saingan Tencent — seperti ByteDance dan Alibaba — juga mulai semakin memerhatikan industri game. Pada awal 2020, ByteDance, pemilik TikTok, dikabarkan akan membuat divisi gaming yang akan fokus untuk membuat game bagi para gamer hardcore, lapor GamesIndustry.
Hal lain yang mendorong Tencent untuk mengubah strategi investasi mereka adalah kesuksesan MiHoYo dengan Genshin Impact dan Lilith Games dengan AFK Arena. Kedua game itu menawarkan sesuatu yang sama sekali berbeda dari game-game Tencent. Meskipun begitu, Niko menyebutkan, posisi Tencent sebagai perusahaan game nomor satu tidak akan tergantikan dalam waktu dekat. Hanya saja, mereka tidak boleh lengah jika mereka ingin agar game-game mereka tetap menjadi game favorit di kalangan gamer.
Microsoft Akuisisi Zenimax
Tencent bukan satu-satunya perusahaan yang aktif berinvestasi pada 2020. Microsoft juga masih melakukan akuisisi di tengah pandemi. Hanya saja, strategi Microsoft bertolak belakang dengan strategi Tencent. Jika Tencent lebih memilih untuk menyebar modal di puluhan perusahaan game, Microsoft justru fokus pada satu transaksi, yaitu akuisisi ZeniMax Media. Untuk itu, mereka bahkan rela mengeluarkan US$7,5 miliar.
ZeniMax dikenal sebagai perusahaan induk dari Bethesda. Namun, mereka juga membawahi sejumlah game studio lain, yaitu:
Alpha Dog – Wraithborne, Montrocity: Rampage
Arkane Studios – Dishonored, Prey, Deathloop
Bethesda Game Studio – The Elder Scrolls, Fallout, Starfield
id Software – Doom, Quake, Rage
MachineGames – Wolfenstein
Rondhouse Studios
Tango Gameworks – The Evil Within, Ghostwire: Tokyo
ZeniMax Online Studios – The Elder Scrolls Online, Fallout 76
“Dengan mengakuisisi Bethesda, kami menggandakan kapasitas kami untuk membuat konten gaming,” kata CEO Microsoft, Satya Nadella, seperti dikutip dari Bloomberg. Pertanyaannya, bagaimana akuisisi ZeniMax akan memengaruhi strategi tim Xbox?
Seperti yang disebutkan oleh The Verge, game eksklusif menjadi salah satu taktik Sony untuk mendorong penjualan PlayStation. Mereka mengakuisisi developer mumpuni untuk membuat game berbasis franchise, seperti Spider-Man dan Horizon Zero Dawn. Selain itu, mereka juga menjalin hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan game Jepang, seperti From Software dan Square Enix. Dengan begitu, mereka bisa menjamin bahwa game-game buatan developer itu — seperti Final Fantasy atau Demon’s Souls — akan diluncurkan untuk PlayStation terlebih dulu.
Namun, sejak meluncurkan Xbox Game Pass pada 2017, Microsoft tampaknya tak lagi terlalu tertarik untuk merilis game eksklusif di Xbox. Pasalnya, game-game yang masuk dalam katalog Xbox Game Pass bisa dimainkan melalui PC berbasis Windows atau bahkan Android melalui xCloud. Dengan mengakuisisi ZeniMax, Microsoft akan bisa memasukkan game-game buatan Bethesda dan studio-studio lain di bawah ZeniMax.
“Bethesda mengambil langkah berani ketika mereka merilis seri The Elder Scrolls untuk Xbox pertama. Tak hanya itu, mereka juga mendukung Xbox Game Pass sejak awal peluncurannya. Dengan begitu, game-game mereka bisa dimainkan oleh banyak orang di berbagai perangkat. Mereka juga sangat memerhatikan teknologi gaming baru, seperti cloud streaming,” kata Xbox Head, Phil Spencer. Lebih lanjut dia menyebutkan, mereka akan memasukkan game-game legendaris Bethesda ke Xbox Game Pass untuk konsol dan PC.
Di era sekarang, smartphone bukan lagi peralatan personal yang cuma dipakai untuk kebutuhan komunikasi dan berselancar, tapi juga sudah jadi alat bantu untuk mendukung produktivitas.
Setahun yang lalu, Intel menyingkap Iris Xe DG1, kartu grafis diskret perdananya setelah sekitar 20 tahun mereka meninggalkan segmen tersebut. Tahun ini, perangkat tersebut rupanya sudah siap dipasok ke sejumlah produsen, dimulai dari Asus dan Colorful.
Dua produsen komponen tersebut telah menyingkap kartu grafis DG1 versinya masing-masing. Versi Asus mengandalkan sistem pendingin pasif (tanpa kipas), sedangkan versi Colorful mengusung sepasang kipas yang bentuknya mirip seperti milik kartu grafis kelas entry-level besutan mereka. Meski berbeda, keduanya sama-sama tidak memiliki konektor daya PCIe.
Fakta bahwa DG1 tidak membutuhkan asupan daya dari power supply unit (PSU) merupakan indikasi bahwa ia hanyalah sebatas kartu grafis kelas budget. DG1 tidak dirancang untuk menggantikan penawaran Nvidia maupun AMD di kelas mainstream, tapi kalau memang ingin dipakai untuk gaming, setidaknya beberapa judul AAA bisa dijalankan di 30 – 60 fps pada resolusi 1080p.
Secara teknis, kartu grafis ini menggunakan arsitektur GPU yang sama persis dengan chip grafis yang terintegrasi di seri prosesor Tiger Lake. Spesifikasinya pun hampir identik dengan GPU Iris Xe Max yang terdapat di sejumlah laptop. Persisnya, DG1 memiliki 80 Execution Unit (EU) dengan video memory (VRAM) berkapasitas 4 GB. Untuk output-nya, baik penawaran Asus maupun Colorful sama-sama dilengkapi port HDMI, DisplayPort, dan DVI.
Belum diketahui produsen mana lagi yang akan menjadi mitra Intel ke depannya, tapi yang pasti Intel tidak akan menjual kartu grafis ini langsung ke konsumen. Sebagai gantinya, DG1 akan dibundel bersama sejumlah PC pre-built untuk keperluan kantoran.
Kedengarannya memang mengecewakan, akan tetapi kalangan gamer yang terbiasa merakit PC sendiri sejatinya tidak perlu menyayangkan keputusan Intel ini. Pasalnya, performa yang ditawarkan DG1 kemungkinan besar masih di bawah kartu grafis yang mereka gunakan sekarang.
Buat Intel sendiri, langkah ini setidaknya bisa menjadi awal yang baik bagi mereka untuk mengusik dominasi Nvidia dan AMD di kategori GPU. Intel sendiri juga tengah sibuk mengembangkan arsitektur GPU lain yang ditujukan secara spesifik untuk kebutuhan gaming. Semoga saja realisasinya bisa berjalan lancar.