Meskipun konsep dan bentuk layanan yang ditawarkan beragam, namun sudah banyak platform lokal hingga asing yang menawarkan cara baru melakukan kegiatan pemasaran memanfaatkan influencer. Salah satu platform yang menawarkan bermain di ranah tersebut adalah AnyMind Group.
Kepada DailySocial, Country Manager AnyMind Group Indonesia Lidyawati Aurelia mengungkapkan, perusahaan mengalami pertumbuhan yang positif, bukan hanya untuk pemasaran digital dan influencer namun juga direct-to-consumer (D2C) dan publisher.
“Kami juga mengembangkan dan meningkatkan solusi penawaran programmatic dan solusi kreatif strategis untuk klien, termasuk menambah peluang pendapatan, baik itu membuat merchandise sendiri atau memaksimalkan penggunaan media sosial,” kata Lidyawati.
Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki beberapa fokus untuk tiap produk. Untuk penawaran pemasaran influencer, AnyTag (sebelumnya CastingAsia), perusahaan ingin memberikan solusi yang lebih baik dan pelaporan secara real-time kepada pelanggan. Telah diluncurkan juga penawaran D2C untuk mendukung pembuat konten eksklusif, setelah sebelumnya diklaim mengalami kesuksesan di Jepang dan Thailand.
Di Indonesia sendiri saat ini sudah ada beberapa layanan yang mengakomodasi kebutuhan pemasaran melalui jaringan influencer, seperti Hiip, Partipost, Verikool, dan lain-lain.
Pandemi dan pertumbuhan bisnis
Selama pandemi perusahaan dihadapkan dengan tantangan yang besar dan tentunya memiliki dampak yang cukup besar. Setelah memberlakukan aturan bekerja di rumah sejak bulan Maret lalu untuk pegawai di Indonesia, saat ini mulai terlihat pemulihan dan semakin banyak brand yang mempercepat langkah mereka dalam transformasi digital.
“Berdasarkan kampanye yang dijalankan di platform AnyTag, terdapat peningkatan yang mencolok dalam jumlah kampanye pemasaran influencer oleh brand setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, terutama yang berpusat di sekitar pemasaran brand,” kata Lidyawati.
Pada saat yang sama, bisnis publisher yang dimiliki juga mengalami perkembangan sepanjang tahun, dengan lebih banyak publisher yang menggunakan platform AnyManager. AnyMind Group juga mengambil bagian dalam Google News Initiative untuk penerbit Indonesia.
“Pada akhirnya, apa yang pandemi lakukan bagi kami adalah memosisikan diri kami sebagai mitra terpercaya untuk influencer marketing, marketers, publishers, dan pemilik bisnis – dengan solusi kami di seluruh pengembangan brand, manufaktur cloud, e-commerce, pemasaran dan lainnya,” kata Lidyawati.
Akuisisi ENGAWA
Bertujuan untuk memanfaatkan keahlian ENGAWA dalam pengembangan dan distribusi barang dagangan, AnyMind Group mengumumkan penyelesaian akuisisi penuh atas perusahaan pemasaran berbasis di Jepang tersebut. Dengan sumber daya gabungan dari AnyMind Group dan ENGAWA, nantinya calon entrepreneur di Indonesia dapat memproduksi produk mereka di Jepang dan menjual serta mengirimkan produk ke Eropa secara online.
“Apa yang kami lihat untuk pasar di luar Jepang adalah memanfaatkan keahlian luas ENGAWA dalam merchandising dan distribusi internasional, dan jaringan pabrikan dan produsen Jepang di seluruh Jepang, untuk meningkatkan kemampuan D2C kami,” kata Lidyawati.
Tahun ini AnyMind Group memiliki beberapa target yang ingin dicapai, di antaranya adalah ingin membuat bisnis tanpa batas atau “Make every business borderless”. Tidak lagi hanya bisnis inbound dan outbond, ke depannya menjadi diharapkan bisa menjadi “Doing Business” dengan menciptakan infrastruktur untuk bisnis generasi mendatang. Misalnya, seorang ibu rumah tangga di Indonesia dapat membeli produk dari brand Thailand, buatan Taiwan, dan dengan mudah diantarkan langsung ke rumah.
“Digital adalah masa depan, dan pelanggan dapat menemukan brand baru dari seluruh dunia, melakukan pembelian secara online, dan mendapatkan produk di tangan mereka dalam waktu singkat,” kata Lidyawati.
Opsi untuk nonton film sekarang makin beragam, lewat TV di rumah bersama keluarga atau di mana pun bisa menikmati serial dan film lewat smartphone. Meski harus diakui, pengalaman menonton film di bioskop masihlah yang terbaik, namun entah kapan kita bisa kembali nonton di bioskop dengan aman dan nyaman seperti sebelum pandemi.
Bicara soal nonton film di smartphone, nama Netflix berhasil menjelma menjadi salah satu hiburan yang banyak digemari oleh masyarakat luas. Bagi penggemar Netflix dan menggunakan perangkat Android, mereka baru saja meluncurkan pembaruan untuk aplikasi Netlix versi Android yang menghadirkan pengalaman menonton lebih baik dengan suara ‘kualitas studio’.
Netflix mengumumkan bahwa mereka kini menggunakan codec audio xHE-AAC atau Extended High Efficiency AAC yang merupakan versi terbaru HE-AAC yang telah digunakan oleh perusahaan sejauh ini. Codec ini diperkenalkan kembali pada tahun 2012 oleh Fraunhofer IIS dan terutama dirancang untuk digunakan dalam streaming online dan layanan broadcasting.
Hal itu karena codec xHE-AAC memiliki rasio kompresi dan efisiensi yang tinggi dengan bitrate serendah 6kbps untuk mono dan 12kbps untuk stereo. Serta, merupakan codec dengan bitrate variabel yang dapat berubah berdasarkan kekuatan koneksi dan bandwidth.
Fitur lain dari xHE-ACC ialah memiliki kenyaringan dan kontrol rentang dinamis pada tingkat encoder. Sehingga menghasilkan beberapa profil pendengaran yang berbeda, seperti speaker smartphone, mendengarkan melalui headphone, atau melalui pengaturan home theater dan beralih secara otomatis ke pengaturan yang relevan.
Netflix mengklaim, codec ini dapat meningkatkan ketajaman dialog bahkan saat menonton konten dengan speakersmartphone di lingkungan yang bising. Sebab, volume telah dinormalisasi ke dialog dan rentang dinamis keseluruhan telah dikompresi agar tetap di atas tingkat kebisingan sekitar.
Dalam testing A/B, Netflix menemukan bahwa kebanyakan orang lebih menyukai kualitas audio dari codec baru. Mereka cenderung tidak beralih menggunakan earphone saat menonton di smartphone, karena kompensasi yang diterapkan melalui speaker smartphone cukup jelas.
Saat ini codec audio baru hanya tersedia di Android, yang merupakan platform favorit Netflix untuk bereksperimen dengan fitur-fitur baru. Namun Netflix mengatakan akan membawanya ke platform lain yang mendukung codec tersebut. Mengingat hampir semua platform, termasuk iOS, macOS, dan Windows juga sudah mendukung xHE-AAC, mungkin tidak perlu waktu lama untuk beralih sepenuhnya ke codec baru tersebut.
Pandemi Covid-19 telah membatasi ruang gerak masyarakat sedemikian rupa, termasuk mereka yang terlibat dengan fasilitas kesehatan. Masyarakat yang cenderung takut mengunjungi rumah sakit mengakibatkan tingkat permintaan perawat medis semakin tinggi. Perawatku mencoba hadir untuk menjembatani kebutuhan akan perawat serta berbagai aktivitas yang mendukung jalannya industri perawat–on-demand.
Menurut data BPS, jumlah perawat di Indonesia pada 2019 mencapai 345.508 orang. Persebaran terbanyak terdapat di Pulau Jawa, diikuti Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku.
Di antara jumlah lulusan sekolah perawat setiap tahun, hanya kurang dari 40% yang diterima dalam peran perawat penuh waktu. Sebagai usaha untuk mengatasi masalah dalam industri perawat-on-demand, Perawatku.id menyediakan ekosistem memungkinkan institusi perawatan kesehatan dapat bertemu dan berinteraksi dengan kumpulan profesional perawatan kesehatan yang berkualitas di bawah satu sistem.
Beberapa layanan yang ditawarkan untuk calon tenaga kesehatan di bidang pemberdayaan seperti pelatihan, masterclass, dan sertifikasi. Dalam platform ini tersedia juga informasi lowongan kerja dengan penempatan lokal dan global. Perusahaan juga menyediakan sumber daya pendukung seperti tes psikologi, integrasi e-wallet, dan pembiayaan.
Melalui layanan ini, Perawatku.id bertujuan untuk mengatasi kesenjangan yang ada di pasar dengan tidak hanya menyediakan koneksi ke pencipta lapangan kerja tetapi juga dukungan pengembangan kapasitas untuk calon talenta tanpa sertifikasi keperawatan yang sesuai. Dalam proses kurasinya, kandidat perawat dipastikan harus memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) sebagai bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi.
Fokus menjembatani kebutuhan perawat
Sempat mengawali bisnis dengan fokus pada homecare, startup yang didirikan oleh Ogy Winenriandhika sebagai CEO, Triwahyuni Ilaihi sebagai COO, Ifa Alfi selaku CTO ini memosisikan dirinya sebagai healthhunting company. Sedikit berbeda dengan layanan perawat-on-demandlainnyaseperti Homecare24 atau Halodoc yang juga sudah menyediakan jasa serupa, Perawatku fokus untuk menjembatani kebutuhan perawat akan pelatihan serta penempatan.
Pada tahap awal, Perawatku.id berhasil mendapat dukungan dari oleh UMG IdeaLab besutan inovator teknologi Kiwi Aliwarga. Saat ini perusahaan juga tengah dalam masa penjajakan untuk menutup pendanaan Pra-Seri A, namun belum bisa menyebutkan investor yang terlibat.
Dalam hal monetisasi, Perawatku.id menjalankan model bagi hasil dengan tenaga kesehatan yang berhasil dipekerjakan. Selain itu, model bisnis ini juga menghasilkan uang dari layanan pendukung untuk talenta dan lembaga perawatan kesehatan.
“Selama pandemi, dengan kebutuhan perawat yang tinggi, kita bisa cukup bersaing. Pertumbuhan mitra berbanding lurus dengan kebutuhan pasar. Untuk program pelatihan pun sudah bisa dilakukan secara masif dan punya beberapa partner dalam pendampingannya.” ujar CEO Perawatku Ogy Winenriandhika.
Selama setahun beroperasi, Perawatku.id telah bekerja sama dengan kurang lebih 30 sekolah perawat di Indonesia. Selain itu, ada lebih dari 300 pelanggan berbayar dan diharapkan akan terus bertambah. Layanan Perawatku.id saat ini baru tersedia untuk wilayah Jakarta, Bogor dan Bandung.
Perkembangan teknologi yang tidak terpisahkan dari perkembangan aktivitas manusia, sebagai penggunanya, membawa perkembangan smartphone menjadi salah satu yang selalu dibahas. Karena ponsel yang kini berkembang menjadi sebuah produk multiguna yang hampir selalu ada dalam genggaman, dan bisa menemani berbagai kegiatan, mulai dari produktivitas sampai dengan hiburan.
Sebagai salah satu merek ternama, Samsung pun tidak lepas dari berbagai perkembangan teknologi yang hadir di dunia, salah satunya adalah perjalanan perkembangan teknologi smartphone Samsung. Memiliki berbagai lini untuk berbagai kebutuhan konsumen, Samsung kini telah menjadi leader untuk brand smartphone. Kita mengenal berbagai produk fenomenal dari Samsung seperti seri Galaxy Note yang merevolusi bagaimana pengguna menggunakan perangkat bergerak untuk produktivitas atau seri flagship Samsung lainnya seperti seri S, yang menjadi pilihan utama untuk mereka yang aktif dan ingin merasakan perangkat dengan spesifikasi tinggi tetapi tetap fashionable.
Penikmat teknologi bisa mengikuti perjalanan leadership Samsung dan perkembangan inovasi yang dibawanya salah satunya lewat gelaran acara Unpacked yang ikonik. Bermula dari tahun 2009, acara ini telah menjadi sebuah ajang showcase dari kemajuan teknologi terkini untuk perangkat bergerak. Membuktikan bahwa Samsung membawa brand-nya menjadi pemimpin dikategori ini.
Berbagai cara ikonik juga diperkenalkan Samsung untuk memberikan pengalaman pada penikmat gadget dalam acara Unpacked, tahun 2016 dengan perangkat Gear VR untuk semua pengunjung, tahun 2019 yang menandakan kerja sama dengan Microsoft di Galaxy Note10 untuk memberikan ekosistem yang seamless dan tahun lalu, dengan peluncuran Galaxy Note20 yang memberikan akses global bagi lebih banyak audiens.
Tahun 2020 dan kini tahun 2021 memang menjadi tahun yang cukup berat bagi seluruh dunia, begitu juga bagi pelaku teknologi. Banyak tantangan yang dihadapi, namun Samsung tetap fokus pada leadership di teknologi serta mendorong inovasi ke tahap selanjutnya. Fokus pada para pengguna juga tetap dijalankan dengan menghadirkan berbagai produk yang sesuai dengan kebutuhan, salah satunya adalah perangkat terbaru Samsung yaitu Galaxy S21 Series 5G yang dibuat sesuai kebutuhan konsumen, kamera terbaik, desain ikonik dan dukungan fitur untuk membantu pengguna dalam kegiatan sehari-hari.
Era komputasi mobile yang bergerak cepat juga menjadi salah satu hal yang menarik untuk dinikmati oleh pengguna. Hadirnya teknologi generasi berikutnya yaitu 5G adalah salah satu dari banyak perkembangan teknologi yang menarik untuk diikuti. Samsung pun melihat hal ini, dengan menjadi pioner lebih dari satu dekade untuk teknologi selular, kehadiran 5G disambut dengan tangan terbuka. Tahun 2019 Samsung menjadi pemimpin dengan merilis smartphone dan tablet 5G komersial pertama di dunia, Galaxy S10 5G dan Galaxy Tab S6 5G. Sejak saat itu, Samsung menjadikan 5G sebagai bagian tidak terpisahkan dari Galaxy Ecosystem.
Perilisan Galaxy Note10 Plus 5G juga menjadi cukup spesial, karena DailySocial menjadi salah satu media yang ikut serta melihat bagaimana perangkat ini mendukung jaringan 5G di Korea. Menjadi saksi bahwa perangkat yang tepat, yang selaras dengan perkembangan teknologi akan memberikan benefit yang luar biasa para konsumen.
Kini, teknologi 5G semakin di depan mata. Termasuk juga bagi pengguna di Indonesia, yang tidak lama lagi akan bisa merasakan jaringan cepat yang akan mendorong perkembangan inovasi ke tahap berikutnya. Sebagai sebuah brand pemimpin di kategori smartphone, Samsung telah menghadirkan perangkat Galaxy S21 Series 5G yang menjadi bagian Galaxy Epic Ecosystem. Ia tidak hadir sendiri tetapi bersamaan dengan Galaxy Buds Pro dan Galaxy Smarttag.
Sebuah ekosistem dari perangkat pintar yang saling terkoneksi untuk memberikan pengalaman epik bagi pengguna. Pengalaman mobile konsumen akan semakin meningkat dengan saling terkoneksinya berbagai perangkat yang dipakai dalam keseharian. Smartphone, earphone dan perangkat offline lain yang diberi nyawa online dengan SmartTag.
Samsung Galaxy S21 Series 5G juga menjadi salah satu bukti komitmen Samsung untuk membangun ekosistem terkoneksi yang mendukung kegiatan sehari-hari. Kehadiran perangkat dengan berbagai fitur yang dibawanya juga tidak lepas dari peran riset yang dilakukan Samsung dan mendengarkan masukan dari pengguna. Galaxy S21 Series 5G hadir dengan berbagai warna yang epik, kamera mumpuni di kelasnya serta spesifikasi komputasi paling handal untuk perangkat smartphone.
Kehadiran ekosistem perangkat mobile dalam peluncuran Samsung Galaxy S21 Series 5G bukan hanya menjadi penanda bagi perkembangan teknologi dunia tetapi juga menjadi bukti peran Samsung untuk mendorong terus inovasi teknologi bagi para konsumennya. Menjadikan Samsung sebagai leader di teknologi berbasis konsumen.
Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung Samsung.
Realme saat ini sudah masuk ke dalam lima besar perangkat Android yang paling laku di Indonesia. Anak perusahaan dari BBK yang berasal dari Tiongkok ini juga menjual perangkatnya dengan harga yang cukup terjangkau. Namun kali ini, mereka sepertinya mulai bermain dalam kelas yang lebih tinggi lagi. Hal tersebut terlihat dari perangkat yang mereka luncurkan, realme 7 Pro.
Realme 7 Pro diluncurkan pada tahun yang sama dengan realme 7. Perbedaan antara keduanya, selain dari sisi harga, adalah penggunaan SoC-nya. Jika realme 7 menggunakan Mediatek Helio, maka realme 7 Pro menggunakan SoC Qualcomm Snapdragon 720G. Seperti yang diketahui, Snapdragon 720G sendiri masih merupakan seri 700 dengan dukungan LTE yang paling kencang saat ini.
Jika pada realme 7 yang dikedepankan adalah layarnya yang mendukung refresh rate 90 Hz, beda dengan versi Pro-nya. Realme 7 Pro mendukung pengisian daya 65 watt dengan nama SuperDart. Hal ini dapat dicapai karena realme 7 Pro menggunakan dua buah baterai dengan kapasitas 2250 mAh sehingga dapat terisi secara bersamaan.
Untuk spesifikasi dari realme 7 Pro adalah sebagai berikut
Untuk hasil dari CPU-Z dan Sensorbox adalah sebagai berikut
Realme mengatakan bahwa perangkat yang satu ini memiliki pangsa pasar para pelajar. Hal ini dikarenakan selain memiliki kinerja yang mumpuni, baterai yang dimiliki juga tahan lama dan cepat terisi. Kombinasi ini memungkinkan mereka untuk mengikuti proses belajar di kelas online dengan cukup lama dan ketika dibutuhkan. Tentu saja, mereka yang sudah memiliki pekerjaan juga bisa mengambil keuntungan dari feature yang dimiliki realme 7 Pro.
Unboxing
Perlengkapan inilah yang ada pada paket penjualan dari realme 7 Pro
Desain
Realme 7 Pro memiliki desain yang sangat mirip dengan realme 7. Bagian belakangnya sama-sama menggunakan desain bernama AG Split yang terinspirasi dari kaca. Untuk versi Pro-nya ini, realme mendesainnya dengan motif matte. Akan tetapi, tetap saja bagian belakangnya ini ramah terhadap sidik jari.
Pada bagian depan, desainnya masih sama dengan realme 7 dan 6. Sebuah punch hole ada pada bagian kiri yang merupakan kamera depan dari smartphone ini. Jadi jika Anda menjejerkan bagian depan dari realme 7, 7 Pro, dan 6, saya cukup yakin akan sulit membedakan satu dengan yang lainnya.
Resolusi yang dimiliki oleh realme 7 Pro juga ada pada 2400×1080 dan menggunakan teknologi SuperAMOLED. Sayangnya, layar yang satu ini hanya mendukung refresh rate 60 Hz saja di mana versi non pro-nya bisa digunakan hingga 90 Hz. Layar ini juga masih dilindungi dengan Gorilla Glass 3. Di bawah layarnya sudah tersedia sebuah pembaca sidik jari.
Pada sisi sebelah kiri akan ditemukan tombol volume naik dan turun serta slot nano SIM dengan microSD. Pada sisi kanannya terdapat sebuah tombol power. Untuk bagian bawahnya, ditemukan port audio 3,5 mm, microphone, slot USB-C, dan speaker. Dan di bagian belakang akan ditemukan empat kamera dan sebuah LED flash yang tergabung pada satu kotak di bagian kiri atas.
Sensor sidik jari yang berada di bawah layar dari realme 7 Pro juga dapat mendeteksi dengan cepat. Entah apakah saya belom menggunakannya cukup lama atau bagaimana, tetapi dari 20 kali percobaan tidak satu pun kegagalan yang ditemukan. Hal ini tentu saja membuat penggunaan smartphone realme 7 Pro menjadi lebih nyaman.
NFC juga sudah hadir pada realme 7 Pro dan dengan mudah mendeteksi kartu uang elektronik yang saya miliki. Mengisi ulang uang elektronik melalui beberapa aplikasi juga cukup mudah dilakukan dengan perangkat ini. Jadi, kita tidak lagi harus secara khusus datang ke ATM hanya untuk mengisi ulang kartu uang elektronik.
Mendengarkan musik pada perangkat ini memang akan memiliki pengalaman yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan pada realme 7 Pro sudah memiliki Dolby Atmos. Suara yang ada menjadi lebih detail terdengar serta mempertajam bagian bass dan mid juga. Anda juga bisa membuat profile suara tersendiri pada equalizer-nya.
Realme 7 Pro masih menggunakan antar muka realme UI versi pertama dengan basis sistem operasi Android 10. Pengalamannya sendiri sama seperti perangkat realme lainnya di mana sangat responsif dan mudah digunakan. Realme UI juga menghadirkan app drawer yang terdiri dari kumpulan aplikasi yang terinstal didalam perangkat ini.
Jaringan LTE dan WiFi
Dengan menggunakan Snapdragon 720G, juga berarti bahwa perangkat ini mendukung jaringan 4G LTE. Pada realme 7 pro, band yang didukung sama seperti realme 6 yaitu pada band 1(2100), 3(1800), 5(850), 8(900), 38(2600), 40(2300), dan 41(2500) yang digunakan oleh semua operator seluler di Indonesia. Modem yang ada pada Snapdragon 720G adalah X15 memiliki kelas LTE Cat 15 yang mendukung 3 Carrier Aggregation dengan kecepatan download sampai dengan 800 Mbps.
Untuk urusan WiFi, realme 7 Pro sudah mendukung 802.11ac. Teknologi tersebut saat ini sudah dikenal dengan nama WiFi 5. Dengan standar ini, mengartikan pula bahwa realme 7 Pro sudah bisa menggunakan WiFi pada band 5 GHz yang lebih kencang.
Kamera: Sony IMX 682 yang berkelas
Realme selama ini selalu saja menggunakan sensor buatan Samsung, yaitu ISOCELL. Namun, realme seri 7 kembali membawa sensor Sony yang sudah lama tidak digunakan, yaitu semenjak realme X. Untuk realme 7 Pro menggunakan IMX 682 yang bisa mengambil gambar hingga 64 MP.
Hasil foto yang dihasilkan oleh kamera utamanya memang tidak mengecewakan. Detail yang didapat cukup baik serta memiliki tingkat noise yang cukup rendah. Namun pada beberapa obyek, warna yang ditangkap tidak terlalu akurat. Seperti pada contoh gambar apel dan tomat yang saya ambil di bawah ini.
Hasil foto yang diambil melalui kamera wide juga mirip dengan kamera utamanya. Gambarnya cukup bagus, namun dapat terlihat noise pada bagian gelap. Warnanya juga kurang akurat pada beberapa obyek sehingga tidak sama dengan aslinya.
Kamera Makro yang dimiliki oleh realme 7 Pro hanya 2 MP. Tentunya hal ini akan menghasilkan kualitas yang sama dengan realme 7. Hasilnya memang cukup baik pada kondisi tertentu, namun saya masih lebih menyukai hasil kamera utama dengan cropping yang lebih tajam.
Kamera selfie-nya memang memiliki resolusi yang tinggi, yaitu 32 MP. Namun, hasilnya tidak terlalu tajam. Hal tersebut bisa dilihat pada bagian rambut dan bulu yang tertangkap akan menjadi buram.
Pengujian
Jika berbicara tentang Snapdragon 720G, tentu saja tidak akan terlepas dengan Snapdragon 730G dan 732G. Nyatanya, walaupun berseri di bawah 730G dan 732G, kinerja 720G masih bisa mengungguli keduanya. Hal inilah yang memuat realme 7 Pro menjadi kencang.
Snapdragon 720G sendiri menggunakan dua core kencang Kryo 465 Gold dengan kecepatan 2.3 GHz. Enam inti prosesor lainnya bernama Kryo 465 Silver yang merupakan turunan dari Cortex A55 dengan kecepatan 1,8 GHz dan menggunakan daya yang lebih rendah dari dua inti pertama. Grafisnya menggunakan Adreno 618 yang sama digunakan pada Snapdragon 730G.
Untuk bekerja
Sehari-hari, menggunakan Trello dan Slack serta Gmail memang tidak terlepas dari kehidupan pekerjaan saya. Pada saat berkomunikasi dengan rekan dan saudara setiap hari, Whatsapp dan Facebook sudah menjadi aplikasi yang tidak luput dari penggunaan. Browsing pun juga menggunakan Google Chrome yang saat ini masih dikenal dengan haus akan daya dari sebuah smartphone.
Semua saya coba dengan menggunakan realme 7 Pro. Dengan Snapdragon 720G serta RAM 8 GB, saya tidak menemukan adanya lag. Mencoba menggunakan CMS dari Dailysocial sendiri juga bisa berjalan cukup lancar. Sebagai catatan, artikel ini sebagian saya tulis dengan menggunakan Chrome pada realme 7 Pro.
Mengambil video untuk tugas anak saya juga sangat nyaman dengan realme 7 Pro. Apalagi saat transcoding video, kinerjanya cukup baik dan sangat lancar untuk memperkecil kapasitas video yang akan dikirim ke para pengajar. Saya juga mencoba mengedit video untuk tugas dan terasa cukup responsif.
Syntethic Bench
Pada pengujian kali ini, saya akan menghadirkan Snapdragon 730G serta Helio G95T pada realme 7. Hal ini untuk mengetahui seberapa baik kinerja dari Snapdragon 720G yang digunakan pada realme 7 Pro. Berikut adalah hasilnya
Dengan hasil seperti ini, realme 7 Pro cocok digunakan untuk berbagai kegiatan. Tidak hanya pelajar saja yang bisa diuntungkan, namun para pegiat bisnis dan UMKM juga bisa memakainya dalam pekerjaan sehari-hari. Semua aplikasi bisa dijalankan dengan cukup mulus pada SoC Snapdragon 720G.
Uji baterai 4500 mAh
Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa pengujian baterai memakan waktu yang cukup panjang. Apalagi dengan realme 7 Pro yang memiliki kapasitas sebesar 4500 mAh. Dengan menggunakan video MP4 dengan resolusi 1080p yang diputar secara terus menerus, realme 7 Pro bisa bertahan hingga 17 jam 55 menit. Namun saat digunakan untuk bermain, tentu saja tidak akan bertahan sampai waktu tersebut. Pengisian baterainya sendiri akan memakan waktu kurang lebih dua jam.
Dengan menggunakan pengisian baterai 65 watt, realme 7 Pro tentu saja menjadi primadona. SuperDart menjanjikan 34 menit untuk mengisi baterai dari 0 hingga 100%. Namun pengujian saya hanya terpaut 3 menit saja karena waktu yang didapat adalah 37 menit dari 0 hingga 100%. Cepat bukan?
Verdict
Realme sekali lagi mengeluarkan sebuah smartphone yang memiliki fitur lengkap untuk kelas mainstream. Dengan realme 7 Pro yang memiliki berbagai fitur kelas atas membuatnya menjadi perangkat yang lengkap yang bisa digunakan oleh berbagai kalangan. Hal tersebut lah yang membuatnya menjadi menarik.
Kinerja yang disokong oleh Snapdragon 720G memang membuahkan hasil yang kencang. Dengan hasil yang ada, bermain game, melakukan editing, hingga menggunakannya untuk bekerja menjadi lebih nyaman dan gegas. Baterai yang digunakan juga membuatnya menjadi lebih baik karena bertahan lama dan dapat diisi dengan cepat.
Perangkat ini juga memiliki kamera yang menghasilkan gambar yang bagus. Oleh karenanya, pengambilan gambar untuk keperluan hiburan dan juga pekerjaan bisa didapat dengan baik. Namun, ada baiknya untuk menghindari pengambilan gambar dengan kamera makro karena hasilnya tidak tajam.
Realme 7 Pro dijual dengan harga Rp. 4.999.000. Harga ini memang terpaut cukup jauh dengan versi non Pro-nya yang menggunakan Mediatek. Oleh karena itu, konsumen dihadapkan oleh pilihan yang cukup sulit. Bagi yang menginginkan perangkat dengan layar Super AMOLED serta pengisian baterai yang cepat, realme 7 Pro memang cocok untuk dipilih.
Sparks
Pengisian baterai yang cepat, hanya 37 menit penuh
Daya tahan baterai yang bisa hingga 18 jam
Kinerja tinggi dengan Snapdragon 720G
Hasil kamera yang bagus
Layar Super AMOLED yang memberikan warna lebih baik
After weeks of preparation, quarantine session, and a great show of team fighting skills, the M2 World Championship has finally come to an end, crowning the latest, world’s best team in Mobile Legends Bang Bang. More importantly, M2 marks the end of an era for multiple recurring themes, ranging from the newly crowned champions to those who retired with a quite bitter aftertaste.
Like a roller coaster, this event is filled with the most amusing moments, epic skirmishes, unexpected victors, and upsetting results — at least to some. Nonetheless, M2 proved that the weirdest, most absurd strategies, could very well be a death-blow, or a dangerous backfire when used incorrectly.
Should the competitive Mobile Legends scene continue after M2, there sure will be many improvements to be made and lessons to be learned, for this event is unlike what most had in mind.
Chapter 1: A Shaky Beginning
Coming into the Playoffs stage of M2, most viewers thought this tournament was going to be a breeze for the favourites like RRQ Hoshi, Alter Ego, and Bren Esports. This wave of predictions was indeed reasonable, especially seeing how these three teams performed in the Group Stage.
Even before the tournament commenced, multiple teams viewed these three teams as the toughest opponents to face. For instance, the Japanese representative from team 10 Second Gaming Frost, Obuyan, admits that “out of all the regions he has played against, Indonesia is number one.”
Aside from Obuyan, members of other teams similarly shared the same perspective towards these top MPL teams. Given how experienced these teams are and how individually skilled their players are, it’s no surprise that they came in as favorites of the tournaments.
Day 1 of the Playoffs started with the Lower Bracket matches, where, unfortunately, Obuyan and the rest of his squad are the ones who got eliminated first from the Playoffs. 10s Gaming lost against the giants of Alter Ego in a 0-2 match outcome.
If anything, 10s Gaming’s elimination showed how crucial prior MPL (Mobile Legends Professional League) experience really is — a system which the Japanese scene presently lacks.
This point was further emphasized by the very player that crippled 10s Gaming and forced them to leave the tournament early. After their victory, Alter Ego’s Udil shared his thoughts regarding the evident skill gap between teams with the MPL system and those who don’t.
In his opinion, “the Indonesian Mobile Legends scene implements a franchising MPL system, receives tons of excitement and support from the Indonesian fans, and thus have a more competitive scene.” These factors help contribute to the constant advancement of the Indonesian teams, which undoubtedly are one of the best when it comes to Mobile Legends.
Furthermore, the Singaporean fans had to swallow a bitter pill as they witnessed the only remaining Singaporean representative lose to the Malaysian counterparts once again. EVOS SG had their second chance of taking down Todak, a rival team which they lost to in the Grand Finals of MPL MY/SG Season 6.
Unfortunately, history repeated itself, and EVOS SG lost 0-2 against the Malaysian squad. Being their last tournament together as a roster, it was certainly a heavy blow to the Lions, especially being the home team in M2. As much as their disbandment could’ve ended with a sweet tone, EVOS SG didn’t have the upper hand on that day.
Portraying the melancholy of the Malaysian/Singaporean fans after seeing EVOS SG depart from M2, Gideon “GideonQ” Khew shared his thoughts regarding the matter. Being part of the M2 caster lineup himself, Gideon said that he didn’t expect this at all.
However, Gideon added, “how can you tell with a competition like this? Their best-of-three against RRQ in the Group Stages was an extremely impressive showing. Some of the best I have seen from them and what’s worse is that this is their last run. So it’s truly heartbreaking to see them go like this, especially against another MY/SG representative.”
Nonetheless, this was somewhat expected considering how far ahead the other competitive scene has developed compared to the Singaporean scene. M2 analyst, Caisam “Wolf” Yvez Nopueto, pointed out that he “doesn’t mean it in a bad way, but Indonesia’s and Philippines’ metagame is a little ahead. Then you have surprises like that of Myanmar. These regions are playing more Mobile Legends, so it looks like.”
Chapter 2: Rise of the Ghouls
On the other hand, the Upper Bracket matches told quite a different tale. Like Wolf hinted, the roster of Burmese Ghouls gave a pleasant surprise for the viewers back home. Burmese Ghouls was heavily underlooked by viewers and other teams alike, as they had very little exposure in the international scene.
In the same fashion, the Burmese MPL scene is, in fact, the youngest out of all MPL scenes. Despite their competitive age, ACE and his teammates managed to deliver unexpected results since their first Playoffs match against Bren Esports.
This element of surprise in the Playoffs is further enhanced knowing that Burmese Ghouls did not face any favorites during the Group Stage. Many viewers dubbed Group A as “the easy group,” unlike Groups C and D which were dubbed as “hell groups.”
What happened next pretty much carved the pathway for Burmese Ghouls for the rest of M2. They took down Bren Esports 2-0 mercilessly, with a unique, one-of-a-kind META that would later scare the remaining teams.
When asked about their opinion regarding Bren Esports’ strengths as a team after successfully conquering the Filipino squad, Burmese Ghouls’ Dee explained that, “they’re good. They got good teamwork, good composition, and good individual skills; but it’s just we’re better than them.” Little did we know that this rivalry would continue down the line.
Witnessing this potential cinderella-run from the Burmese squad, Gideon said, “I think most people counted them out. However, a lot of talk in the pro scene revolved around them and many are even worried about Burmese Ghouls. Something was known about them that the public wasn’t entirely sure about.”
Further, caster Gideon added, “once their showing against Bren in the groups happened, the question became ‘how high is their ceiling?’ more than ‘are they capable?’ I have always considered them a dark horse, a team that had immense potential. Not to mention that I said in M1 that this team was something to watch out for, just give them a year.”
Burmese Ghouls’ Mindful Tactics
Among Burmese Ghouls’ strengths lie their insanely large hero pool and how elegantly they can orchestrate the weirdest of hero combinations. In the first game, for example, Burmese Ghouls drafted a clever combination of Lunox and Mathilda, utilized as a Support in the Midlane and a Sidelaner respectively.
It has been quite a while since Lunox is used as a Sidelaner since it was last nerfed in the recent patches. Despite the nerf, she is intended to counter Bren’s Baxia since Lunox has high Magic Damage Penetration skills to win duels against Baxia. Lunox could also clear minion waves relatively faster than Baxia, which helps to counter Baxia’s free-roaming capabilities. Lunox proves to be an excellent pick for Burmese Ghouls as they won the game.
Secondly, an even more peculiar decision was made by the Burmese squad. They chose not to opt for any pure Tankers at all and played a double-support lineup consisting of Diggie and Selena instead. Also, they picked Sidelane Jawhead which was intended to counter-pick Bren’s Wanwan. These three heroes were the key behind Burmese Ghouls’ victory over Bren in the Upper Bracket match.
Most notably, Diggie’s Ultimate Skill offers Crowd-control Immunity, Bonus Shield, as well as Movement Speed to help the team survive against Bren’s high Crowd-control Effects from heroes like Silvanna, Lapu-Lapu, and Pharsa. If you play Dota 2, it’s as if you had Abaddon’s Aphotic Shield in your team, except the skill affects an area rather than a single target. The Diggie pick would remain problematic for the rest of M2 and became one of Burmese Ghouls’ scariest draft.
Analyst Wolf surely became a fan after watching Burmese Ghouls’ match against Bren Esports. The sharp analyst “loves smart approaches to Esports” like that of ACE and his squad, and said that “Burmese Ghouls as a whole franchise is so far the best tacticians in M2!”
Chapter 3: Persistence of The Giants
While the new kid on the block is racking up popularity and winning unfavorable matches, the giants remain persistent nonetheless. RRQ Hoshi continued the Upper Bracket matches by facing up against Omega PH Esports. Being the entitled King of Kings that they are, RRQ Hoshi secured a 2-0 victory with ease.
They did so by invoking one of the oldest tricks in the book: a duet between Rafaela and Bruno. Alongside the pocket strategy, RRQ Hoshi drafted Midlane Silvanna, Offlane Khaleed, and Belerick on the Sidelane. It’s safe to say that RRQ really did showcase their large hero pool potential through this game.
Alberttt‘s Bruno is a Mid-to-Late-game monster because of the damage that he can deal from his first Skil, Volley Shot. His glass-cannon characteristic is further layered by Psychoo’s Rafaela which provides Alberttt with vital durability, as well as extra Movement Speed to chase down enemies. The lineup was so perfect to counter Omega’s draft as RRQ Hoshi finished the game in just 10 minutes.
Like RRQ Hoshi, both Alter Ego and Bren Esports remained persistent despite falling down to the Lower Bracket. Alter Ego commenced Playoffs Day 2 with a clean 2-0 finish against Omega PH, while Bren Esports had to struggle before attaining a 2-1 victory over Todak.
Although Bren Esports would eventually close the match in their favor, Todak held up a good fight and displayed their unique-drafting capability. In Game 1, for instance, Todak’s Moon utilized Gatotkaca as a Support to complement Ciku’s Wanwan. Interestingly, they won this round despite the odd selection.
Unfortunately, Todak could not simply rinse and repeat the same ending in the second game, where they drafted a 4-Tanker lineup. Todak opted for Baxia, Esmeralda, Gatotkaca, and Belerick, together with a Hyper-core Hayabusa. This odd draft quickly backfired as Todak struggled to produce adequate damage in the later stages of the game, depending fully on the Hayabusa.
Moreover, Todak did not have a Ranged Attacker which is detrimental when sieging the high-ground. Bren, on the other end, has Claude and Selena on their side for a much greater high-ground advantage. With this visible weakness in the side of Todak, Bren tied the match 1-1 and would later secure the match in their favor.
Chapter 4: Dethroning of The King
What ensued after these Lower Bracket matches was a showdown between the Kings and the Ghouls. Judging from how Burmese Ghouls utterly crushed Bren Esports, it looked like RRQ Hoshi had a very minimal chance of taking down this up and coming squad.
The best-of-five series was nothing but intense and placed viewers on the edge of their seats. Both teams are known to have a similar style of drafting, but Burmese Ghouls have shown how they could take their hero versatility to the next level.
Plus, Burmese Ghouls’ style is like a mix of RRQ Hoshi’s and Alter Ego’s. Their drafting flexibility is parallel to RRQ Hoshi’s, but they incorporate it with Alter Ego’s style of aggressive, early-game centric, way of juggling. Burmese Ghouls took the best of both worlds and topped it off with Myanmar’s META.
The first two matches reinstated how deadly Burmese Ghouls’ Diggie can get. RRQ Hoshi failed to cater to this issue in the first game and decided to go the unpopular route of not respect-banning the hero in the second game. This would quickly backfire as Burmese Ghouls could easily recover from almost every Crowd-controlling Effect RRQ Hoshi attempted to utilize during team fights, thanks to Diggie.
It was only starting the third game where RRQ Hoshi finally decided to respect-ban Diggie. And surely, this paid off as the Kings managed to withhold the rage of the Ghouls and defended their throne in games three and four. The series pulled to a game five where the make-or-break moment took place.
RRQ Hoshi’s Lemon, being the Lemon that he’s known for, picked a hero that he thought might be useful despite rarely being used the META. The hero is Minsitthar, who Lemon picked to counter Burmese Ghouls’ Harith and his high mobility.
Yet again, Burmese Ghouls just outclassed RRQ Hoshi in terms of gameplay and winning team fights. Lemon’s Minsitthar proved to not be as impactful in the game, compared to Ruby DD’s unstoppable Harith. The sole use of Minsitthar was to counter Harith, and since that didn’t work as planned, the rest of Burmese Ghouls’ heroes toppled the Indonesian roster.
As a result, the game ended very quickly in an anti-climactic manner, dethroning the Kings of RRQ Hoshi to the Lower Bracket. If the Ghouls could take down Bren, and sweep RRQ Hoshi down the drain, who then could stop them?
Chapter 5: Bren Takes Two
When the TI7 Champion, Amer “Miracle-” Al-Barkawi, said that the Upper Bracket route is for the weak, Bren took that statement and lived up to it. Now that they are in the Lower Bracket, the Filipino squad has to overcome not one, but two, Indonesian teams in order to advance to the Grand Finals of M2.
Bren began their tough journey against their destined rival, Alter Ego. Earlier in the Group Stage, the Filipino shattered Alter Ego’s clean run with a 2-0 victory and felt very confident after their well deserved victory. As the two met once again in the Lower Bracket playoffs, the stake is much greater than ever.
Alter Ego took no time to express their confidence over Bren by conquering the first round of the match cleanly. Leomurphy’s Chou became the highlight of the match as the Kung-Fu boy turned Houdini dodged bullets left and right, avoiding death time after time. With ease, Alter Ego secured the game and entered the second match with great conviction.
However, as the saying goes “overconfidence precedes carelessness,” Alter Ego overstepped their welcome in game two. Despite having a slight advantage in the early stages of the game, Bren remained cool and ignored much of Alter Ego’s taunting tactics. As the game proceeds, Alter Ego lost their grip on the game and eventually lost the round.
With the third game coming into position, Bren has enough momentum from their recent victory while Alter Ego lost much of their earlier confidence. Unsurprisingly, the Filipino squad continued their streak over Alter Ego and eliminated their rivals from M2. Only three teams remain in the tournament: Bren Esports, RRQ Hoshi, and Burmese Ghouls.
The final day of M2 kicked off with a best-of-five series between Bren and RRQ Hoshi. Interestingly, RRQ Hoshi decided to bench two of their star players, Lemon and Alberttt, and summon the help of XINNN and Wizzking instead.
This eyebrow-raising decision received numerous critics but it’s safe to say that these kinds of moves are what RRQ Hoshi is known for. Although it was certainly questionable, RRQ Hoshi still gave their best in the series they’re about to play in.
Sure enough, both XINNN and Wizzking popped in the first game of the series. Playing as Claude and Khaleed respectively, RRQ Hoshi took down Bren in just under 12 minutes. What initially was a questionable decision from the side of RRQ Hoshi, could potentially be the secret recipe to counter Bren Esports.
Unfortunately, it seemed like this element of surprise was inadequate to take down Bren. In the three games that followed, Karltzy’s Claude and Lancelot was too much for RRQ Hoshi. The remaining games of the series looked grim for the side of RRQ, and their victory in the first round turned out to be their only win throughout this series. Like Alter Ego, RRQ Hoshi faced the same fate of getting slain by Bren Esports.
Chapter 6: The Final Duel
The M2 Grand Finals became the stage where the two newly formed rivals of Burmese Ghouls and Bren Esports fought their last battle. Having met in the first Upper Bracket match, Burmese Ghouls would only need to repeat their victory here in the Grand Finals. Bren, on the other hand, has to learn from their loss a few days ago and apply them in this very series.
Both teams came in equally as confident as each other and greatly respected the skills honed by their opposing team. The first two rounds were nothing but clean gameplay from the side of Bren Esports, especially seeing how comfortably free Karltzy’s Claude and Yi Sun-Shin was in those two games.
One thing to notice in these games and the rounds that trail after is that both sides drafted a relatively similar set of heroes. Choices like Claude, Yi Sun-Shin, Selena, Chou, Baxia, and many others are amongst the most frequently picked in this intense series.
Also, Bren Esports acknowledges how vital Burmese Ghouls’ Diggie Support can get once set loose, and they would continue to ban the hero in all seven games that ensued. It was perhaps a lesson learned by Bren Esports after watching Burmese Ghouls’ series against RRQ Hoshi.
Burmese Ghouls halted Bren’s momentum by letting ACE take over the next two games, in both of which ACE played as Yi Sun-Shin. This delicate choice was coupled with Burmese Ghouls’ ability to win Yi Sun-Shin’s lane, supporting the Hyper-core throughout the game, and letting him dominate the late game. With a great display of teamwork, Burmese Ghouls rebalanced the series into a 2-2 scale.
Now that the best-of-seven series has turned into a best-of-three, both teams had an equal chance of winning this year’s title. In Game 5, Karltzy was the one who had the opportunity to play as Yi Sun-Shin, while ACE played as Claude. It was KID’s Selena, however, who turned the tables around and paved the third victory for Burmese Ghouls.
Only a loss away from getting sent home, Bren Esports aggressively first-picked Brody, having the advantage of being on the blue-side. What became a game-winning factor was Karltzy’s itemization that led to the increase of Brody’s durability.
Instead of opting for damage-items all around, Karltzy decided to purchase items like Immortality, Athena’s Shield, and Antique Cuirass. If it wasn’t for this intricate selection, Bren would’ve been done for at this point, and thanks to this, the series dragged into a deciding, final game seven.
Both teams were only a win away and whoever wins this very round takes all. Both Bren and Burmese Ghouls chose heroes that they’re comfortable with. Karltzy gets his Claude, ACE gets his Brody, Flaptzy gets his Baxia, and Dee gets his Lapu-Lapu.
It was probably only Burmese Ghouls’ MayBe, who picked the non-META hero, Minsitthar. Like Lemon, MayBe picked this hero to counter Ribo’s Harith. The game went back-and-forth for both teams, but it was the fight near Lord where Karltzy’s Claude freely used his Ultimate Skill Blazing Duet which translated to a four-man wipe on the side of Burmese Ghouls.
Out of gas, Burmese Ghouls was forced to admit defeat, and Bren Esports are the newly crowned champions of the M2 World Championship. Spanning seven games in total, the Filipino squad takes home the first-place finish.
Closing Remarks
Watching M2 was a wild ride for any Mobile Legends fans out there. With twists in plots and valuable lessons to teach, the M2 experience is on-par with other world-level tournaments.
It was, nevertheless, interesting to analyze intricate decisions made by various teams, starting from their hero drafts, itemization choice, player-lineup selection, and many others. Moving forward, it’s clear that the Mobile Legends scene is as flexible as the game gets. Anyone could very well be the world’s next best team, depending on how they would like to Join the Fight.
Pada bulan September 2018, Fujifilm mengumumkan X-T3. Kamera mirrorless flagship mereka yang pertama menggunakan sensor baru BSI CMOS X-Trans beresolusi 26MP dan X-Processor generasi ke-4.
Sensor X-Trans CMOS 4 ini sudah mengusung struktur backside illuminated yang meningkatkan performanya di kondisi minim cahaya. Serta, menawarkan sistem autofocus hybrid canggih dengan 425 phase-detect point yang mencakup seluruh frame.
Kemudian pada tahun 2019 Fujifilm merilis X-T30 dan X-Pro3. Serta, X-T4 dan X100V di awal tahun 2020. Keempat kamera ini juga tetap mengandalkan sensor BSI CMOS X-Trans 26MP dan X-Processor 4. Meski begitu, masing-masing kamera ini punya daya tariknya sendiri. Mari bahas satu per satu.
1. Fujifilm X-T3
Meski penerusnya sudah ada, tapi kemampuan Fujifilm X-T3 masih sangat mumpuni. Dalam hal video, ia sanggup merekam video 4K 60fps dengan output video 10-bit 4:2:0 langsung ke SD card (menggunakan codec H.265/HEVC) atau 10-bit 4:2:2 ke external recorder melalui HDMI.
Dari fisik, Fujifilm X-T3 memiliki body dan grip kamera yang cukup besar, dengan sistem kontrol fisik yang lengkap dan intuitif sehingga sangat nyaman digunakan untuk bekerja dan produksi konten yang serius. Layarnya bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri untuk memudahkan memotret secara vertikal.
Jelas bahwa Fujifilm merancang kamera ini untuk mereka para fotografer maupun videografer profesional. Soal harga, Fujifilm X-T3 body only dibanderol sekitar Rp20 juta dan bisa lebih murah bila belinya saat ada diskon.
2. Fujifilm X-T30
Kamera ini mengemas sensor, prosesor, dan sistem autofocus baru yang sama milik flagship X-T3 ke dalam body X-T30 yang jauh lebih ringkas dan harga lebih terjangkau (body only Rp14 juta). Artinya lebih mudah dibawa bepergian dan tidak terlalu mencolok saat memotret di tempat umum. Sangat cocok bagi para pecinta fotografi, content creator yang ingin meningkatkan kualitas kontennya, dan traveler.
Body yang kecil membuat kemampuan videonya terpangkas. Namun, Fujifilm X-T30 masih sanggup merekam video 4K UHD dan DCI pada 30 fps 200 Mbps dengan output video 4:2:0 8-bit menggunakan internal recording dan output video 4:2:2 10-bit menggunakan external recorder lewat HDMI.
3. Fujifilm X-Pro3
Fujifilm X-Pro3 ditujukan untuk para fotografer berpengalaman yang merindukan sensasi memotret menggunakan kamera film. Punya hybrid viewfinder tipe optical dan electronic, dengan dual screen. Di mana panel LCD utamanya menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya.
Mekanisme layarnya tampak seperti perubahan kecil, namun secara dramatis akan mengubah ‘kebiasaan’ cara memotret para penggunanya. Misalnya kebiasaan mengambil gambar lewat layar dan mengintip foto setelah memotret, pengguna pun didorong untuk memotret melalui jendela bidik. Harga Fujifilm X-Pro3 body only dibanderol Rp28 juta.
4. Fujifilm X-T4
Seperti Fujifilm X-T3, X-T4 juga dirancang untuk produksi konten serius dan ditujukan untuk para fotografer dan videografer profesional. Lantas apa saja peningkatannya?
Pertama adalah fitur in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop. Kemudian layarnya kini memiliki mekanisme fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus-nya tepat saat syuting.
Selain itu, Fujifilm X-T4 menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S. Sehingga sanggup menjepret hingga 500 sekali charge, bahkan 600 jepretan bila menggunakan mode ‘economy‘. Harga Fujifilm X-T4 dibanderol Rp26.999.000 untuk body only.
5. Fujifilm X100V
Fujifilm X100V adalah kamera compact premium penerus X100F yang dikenal sebagai kamera untuk street photography dan traveler.
Generasi ke-5 dari X100 series ini sudah menggunakan sensor dan prosesor baru. Namun tetap mempertahankan ciri khasnya seperti hybrid viewfinder optical dan electronic dan lensa fix 23mm f/2 yang tidak bisa diganti.
Meski begitu, Fujifilm telah membenahi rancangan optiknya supaya lebih cekatan mengunci fokus dari jarak dekat dan dapat menghasilkan gambar yang lebih tajam di bagian ujung frame. Serta, menyempurnakan viewfinder electronic-nya lewat panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.
Selain itu, layarnya kini sudah touchscreen dan bisa di-tilt dua arah. Serta, mampu merekam video 4K 30 fps dengan mode F-log. Tertarik? Fujifilm X100V dibanderol Rp21.999.000 di Indonesia.
6. Fujifilm X-S10
Fujifilm X-S10 merupakan lini baru kamera Fuji dengan desain berbeda tidak seperti Fuji X-series lain. Fisiknya bergaya DSLR dengan grip cukup besar seperti X-H1, tetapi dimensinya lebih compact. Harga Fujifilm X-S10 untuk body only di Indonesia dibanderol Rp15.999.000.
Sementara bila dilihat dari atas, X-S10 menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan.
Sangat jelas bahwa Fujifilm X-S10 ini lebih berkonstrasi pada video. Kamera ini dapat merekam video 4K hingga 30fps dengan bit rate 200Mbps, belum secanggih X-T3 mengingat posisinya berada di kelas menengah. Juga dapat merekam video 1080p dengan frame rate tinggi pada 120fps atau 240fps.
Layar 3 incinya memiliki mekanisme fully articulated, punya port mikrofon 3,5mm, port USB-C bisa digunakan untuk headphone guna memonitor audio, dan juga telah dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS). Sebagai kamera Fuji dengan Sensor X-Trans CMOS 4 terbaru, X-S10 juga mengemas mode film simulatio anyar termasuk Classic Negative dan Eterna Bleack Bypass.
7. Fujifilm X-E4
Fujifilm X-E4 merupakan kamera Fuji terbaru dengan sensor X-Trans CMOS 4 dan juga mengemas 18 mode film simulation termasuk ETERNA Bleach Bypass dan Classic Negative. Berbeda dengan X-S10 yang mengusung desain bergaya DSLR dan memiliki IBIS, X-E4 tidak punya IBIS tapi mengusung desain rangefinder yang ringkas dengan pengalaman gabungan X-Pro3 dan X100V dengan harga lebih terjangkau.
Penampilan X-E4 sekilas mirip X100V, tidak lagi kaku seperti X-E3 dan lebih modern. Upgrade penting lainnya ialah ia punya layar sentuh 3 inci 1,63 juta dot yang kini bisa ditarik dan ditekuk hingga 180 derajat ke depan untuk kemudahaan pengambilan foto maupun video dari berbagai macam sudut.
Jendela bidik eletronik-nya punya cup bulat dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot dengan magnification 0.62x. Di pelat atas, masih terdapat dial shutter speed, exposure compensation, tombol shutter beserta tuas on/off, dan ada tambahan tombol Q.
Untuk perekam videonya, X-E4 sanggup menangkap footage 4K DCI atau 4K UHD hingga 30fps 4: 2: 0 8-bit dan juga mendukung 4K 30P 4:2:2 10-bit melalui port HDMI-nya. Selain itu, pada resolusi 1080p kamera dapat merekam video frame rate tinggi hingga 240fps.
Keterangan: Artikel ini pertama kali tayang pada 20 April 2020 dan di-update dengan menambahkan Fujifilm X-S10 ke dalam daftar pada 25 Januari 2021 dan menambahkan Fujifilm X-E4 pada 28 Januari 2021.
Pada minggu lalu, ada berbagai berita menarik terkait industri esports. Moonton menetapkan Razer sebagai rekan untuk M2 World Championship, sementara Team Vitality dari Prancis bekerja sama dengan Garmin. Sebanyak 35 pemain CS:GO dilarang bermain karena melanggar kode ESIC dan babak final PMGC harus ditunda karena masalah teknis.
ESIC Tetapkan Larangan Bermain untuk 35 Pemain CS:GO
Esports Integrity Commission (ESIC) mengumumkan bahwa mereka telah menetapkan hukuman larangan bermain pada 35 pemain Counter-Strike: Global Offensive. Durasi larangan bermain yang ditetapkan oleh ESIC beragam. Tergantung pada kesalahan yang pemain buat, mereka bisa mendapatkan ban selama 1 -5 tahun. Alasan para pemain CS:GO ini terkena ban adalah karena mereka membuat taruhan pada tim lain atau tim mereka sendiri, yang merupakan pelanggaran dari Anti-Corruption Code, lapor VP Esports.
Team Vitality Kena Denda Karena Lakukan Stream-Sniping
Selain menetapkan hukuman pada 35 pemain CS:GO, ESIC juga memberikan denda sebesar US$10 ribu pada pemain-pemain CS:GO dari Team Vitality. Pasalnya, mereka melakukan stream-sniping di BLAST Premier Global Final. Sebuah tim dianggap melakukan stream-sniping ketika mereka menonton siaran pertandingan untuk mengetahui posisi atau strategi musuh mereka. Di babak final BLAST Premier Global, Vitality dapat mengalahkan Team Liquid dengan skor 2-1, menurut laporan Talk Esport.
ESIC issues $10,000 fine to team Vitality in response to stream-sniping breach of the ESIC Code.
While there was no malicious intention detected by ESIC in its examination of evidence, ESIC’s zero tolerance approach mandates accountability from the organisation for the breach. pic.twitter.com/Gs7Kwut0le
Babak final dari PUBG Mobile Global Championship sempat tertunda karena sebagian pemain mengalami masalah jaringan internet. Pada awalnya, pertandingan akhir dari PMGC hendak diadakan secara offline di Coca Cola Arena di Dubai. Namun, karena ada tiga pemain PUBG Mobile yang terbukti positif COVID-19, pihak penyelenggara akhirnya memutuskan untuk mengadakan PMGC Finals secara online, lapor Talk Esport. Perubahan mendadak ini menyebabkan pihak penyelenggara tidak siap untuk menghadapi sejumlah masalah yang muncul, termasuk jaringan internet yang buruk bagi sebagian pemain.
VSPN Dapatkan Investasi US$60 Juta
Versus Programming Network (VSPN), perusahaan penyedia solusi esports asal Tiongkok, mengumumkan bahwa mereka mendapatkan investasi Seri B sebesar US$60 juta. Ronde pendanaan ini dipimpin oleh Prospect Avenue Capital (PAC) dan diikuti oleh Guotai Junan International dan Nan Fung Group. Sementara itu, Lighthouse Capital menjadi satu-satunya penasehat finansial dalam pendanaan kali ini.
Berdasarkan pengumuman dari VSPN, mereka akan menggunakan dana ini untuk mengembangkan “teknologi inovatif” demi membuat produk dan konten esports baru. Investasi itu juga akan digunakan untuk ekspansi bisnis ke luar Tiongkok. Menurut laporan The Esports Observer, Dino Ying, Co-founder dan CEO VSPN, mengatakan bahwa saat ini, VSPN ingin memperkaya tipe produk dan konten esports yang mereka bisa mereka tawarkan pada rekan bisnis serta fans esports di dunia.
Razer Jadi Rekan Moonton di M2 World Championship 2021
Moonton menyambut Razer sebagai rekan peripheral resmi untuk turnamen Mobile Legends: Bang Bang, M2 World Championship 2021. Salah satu bentuk kerja sama ini adalah Razer akan membuat versi khusus dari gaming headset BlackShark V2. Dalam versi khusus M2 itu, BlackShark V2 akan menampilkan ilustrasi dari salah satu karakter Mobile Legends, yaitu Miya. Gambar Miya pada BlackShark V2 menjadi tanggung jawab dari Shane Tortilla, seniman asal Indonesia, lapor Esports Insider.
Team Vitality Bekerja Sama dengan Garmin
Team Vitality, organisasi esports asal Prancis, mengumumkan kerja sama dengan Garmin. Melalui kerja sama ini, Garmin akan menyediakan Instinct Esports Edition untuk Team Vitality. Selain itu, Garmin juga akan berkolaborasi dengan Team Vitality untuk melakukan riset dan mengembangkan produk esports dari Garmin.
“Setiap perusahaan punya keahlian mereka masing-masing. Garmin adalah perusahaan yang punya tim riset dan pengembangan yang berbakat,” kata CEO Team Vitality, Nicolas Maurer, seperti dikutip dari Esports Insider. “Sementara itu, kami punya para pemain profesional berpengalaman.”
Tak terpungkiri bahwa pertandigan M2 MLBB World Championship berhasil menjadi perhatian utama dari skena esports lokal pada pekan lalu. Namun selain itu ada juga beberapa berita penting lain termasuk pengumuman tanggal main MPL ID Season 7. Berikut rekap berita esports pekan ketiga (Tanggal 18 – 24) Januari 2021.
Bren Esports Juara M2 MLBB World Championship
M2 MLBB World Championship 2021 telah selesai digelar tanggal 24 Januari 2021 kemarin. Babak Grand Final berlangsung antara tim asal Filipina yaitu Bren Esports dengan tim asal Myanmar yaitu Burmese Ghouls. Pertandingan berlangsung sengit, kedua tim saling beradu keras hingga mencapai skor imbang 3-3 dari seri best of 7. Bren Esports tampil gemilang di pertandingan terakhir hingga memenangkan pertandingan dan menjadi juara M2 MLBB World Championship 2021. Tim Indonesia tertunduk lesu dalam kompetisi MLBB tingkat dunia ini. Bren Esports menjadi tim yang melibas dua tim wakil Indonesia dengan skor 2-1 saat melawan Alter Ego dan RRQ Hoshi.
Moonton Ungkap Tanggal Main MPL Indonesia Season 7
Melalui stream M2 MLBB World Championship, Moonton mengumumkan bahwa MPL Indonesia Season 7 akan dimulai pada 26 Februari 2021 mendatang. Sayangnya tayangan tersebut tidak menyertakan informasi lebih lanjut seputar salah satu liga esports franchise pertama di Indonesia tersebut. Dalam hal jumlah tim, ada kabar mengatakan bahwa jumlahnya akan bertambah di season 7 nanti. Spekulasi menguat setelah Azwin Nugraha selaku Public Relation Manager Moonton bicara kepada Esports.id dan mengakui perbincangannya dengan beberapa tim untuk peluang penjualan slot di untuk Season 7 dan 8.
PMGC Tertunda, Bigetron RA dan Aerowolf Limax Melipur Lara Fans Indonesia
Pertandingan PUBG Mobile Global Championship mengalami nasib kurang beruntung dalam pelaksanaannya. Setelah ada pemain yang terjangkit virus COVID-19, turnamen jadi diselenggarakan secara online di dalam kamar hotel sehingga mengalami kendala teknis yang cukup berat. Karena hal tersebut, pertandingan hari kedua yang seharusnya diselenggarakan Jumat (23 Januari 2021, jadi tertunda selama dua hari berturut-rutut dan baru terselenggara hari Minggu (24 Januari 2021). Untungnya Aerowolf Limax dan Bigetron RA berhasil melipur lara penggemar esports PUBG Mobile Indonesia dengan Chinken Dinner yang mereka dapatkan. Kini Bigetron RA berada di peringkat 5 dan Aerowolf Limax berada di peringkat 14 pada klasemen sementara.
Pekan Perdana DPC SEA 2021: BOOM Esports Tertunduk, ArmyGeniuses Mengamuk
Pekan lalu merupakan pekan perdanan dari pertandingan Regional League Dota Pro Circuit 2021. Pada Upper Division, BOOM Esports sepertinya masih belum menemukan permainan terbaiknya pasca ditinggal sang Carry, Dreamocel. Melawan Neon Esports, akhirnya Mikoto dan kawan-kawan pun tertunduk 2-0. Pada sisi lain Army Geniuses justru mengamuk di Lower Division. Pekan ini Mamang Daya dan kawan-kawan berhadapan dengan ZeroTwo dan juga Galaxy Racer. Bermain dengan apik, Army Geniuses pun berhasil mendapatkan kemenangan dari dua pertandingan tersebut. Karena hal tersebut, BOOM Esports kini berada di peringkat 5 dan Army Geniuses berada di peringkat 1 pada klasemen sementara.
Zarq ZET Jadi Pelatih Free Fire RRQ
Pengumuman tersebut dilakukan melalui akun media sosial RRQ pada tanggal 15 Januari 2021 kemarin. Mengutip dari booyah.co.id, regulasi menyertakan pelatih di dalam roster tim di pertandingan Free Fire Master League Season 3 terbilang jadi salah satu alasan RRQ kembali menghadirkan pelatih untuk divisi Free Fire. ZarQ sendiri merupakan salah satu sosok ternama di dalam kancah Free Fire Indonesia. Sebelumnya ia juga sempat melatih RRQ Hades, bahkan berhasil membawa tim tersebut meraih peringkat 3 di FFCS: Asia Series.
Logitech Terima Keuntungan Hingga US$380 ribu dolar pada Kuartal 4 2020
Mengutip dari Esports Observer, Logitech telah mencatatkan pemasukan sebesar US$1,67 miliar pada kuartal ketiga dari tahun fiskal 2021 yang berakhir pada 31 Desember 2020 kemarin. Total pendapatan tersebut memberikan keuntungan kepada Logitech sebesar US$383 ribu. CEO Logitech mengatakan bahwa catatan keuangan tersebut menunjukkan kekuatan portfolio perusahaan dari sisi peripheral komputer baik untuk kebutuhan produktivitas ataupun gaming.
TiMi Studios Investasikan US$154 juta untuk Esports Honor of Kings
TiMi Studios mengumumkan hal tersebut pada hari Sabtu kemarin. Investasi tersebut akan dibagikan ke dalam beberapa bagian ekosistem esports Honor of Kings, termasuk Honor of Kings National League, Honor of Kings World Champions Cup, King Pro League, dan King Pro League G-League. Honor of Kings sendiri merupakan versi Tiongkok dari Arena of Valor. Game tersebut sangatlah populer di Tiongkok sana dan sudah mencatatkan US$230 juta pendapatan pada November 2020 lalu mengutip SensorTower.
MAD Lions Tanda Tangani Kontrak Jangka Panjang dengan Razer
🇬🇧 We are proud to join @TeamRazer!@Razer is now the official peripheral partner of all MAD Lions teams.
Masih dari Esports Observer, Razer dikabarkan telah menandatangani kontrak kerja sama dengan MAD Lions sepanjang 3 tahun. Dalam kerja sama ini pemain MAD Lions akan dilengkapi oleh berbagai peripheral milik Razer, mulai dari mouse, mousepad, kontroller untuk konsol, hingga laptop serta perlengkapan streaming. MAD Lions sendiri merupakan organisasi esports asal Spanyol yang berlaga di League of Legends European Championship (LEC) dan skena CS:GO.
Turnamen Battle of Gods Diumumkan
Dewa United Esports mengumumkan kehadiran turnamen bertajuk Battle of Gods pada 26 Januari 2021. Memiliki total hadiah sebesar Rp150 juta, Battle of Gods mempertandingkan 4 cabang game yaitu Mobile Legends, PUBG Mobile, Pro Evolution Soccer Mobile dan Console. Tak hanya itu, Battle of Gods juga mewadahi kompetisi untuk teman-teman difabel dalam bentuk PUBG Mobile Solo. Rangkaian turnamen diselenggarakan di 9 kota dan dimulai pada 4 Februari 2021 mendatang dengan babak grand final diadakan tanggal 18 Februari 2021.
Info Turnamen dan Event Minggu Ini
OMEN Boot Camp Valorant Quest telah membuka pendaftaran untuk Anda yang ingin mengikuti rangkaian acara terkait game Valorant. Ada coaching clinic, battlequest atau individual challange. Acara ini juga berhadiah total cukup menarik yaitu 50 juta rupiah.
Turnamen PES. Tertarik mengasah keahlian bermain PES atau Pro Evolution Soccer? Anda bisa mencari turnamen terdekat sesuai domisili lewat situs Turnamenpes.com.
Innovation and problems are two related things. As in the world of fintech, especially in developing countries like Indonesia with low bank account ownership, is a firm land to innovate various financial products.
There are new terms emerged, such as open banking, open finance, or banking as a service (BaaS), all of which actually take advantage of the open APIs targeting various sectors. In clarifying this term, DailySocial asks industry players involved in this sector to interpret the views of the two terms. There are Brankas, Finantier, and AyoConnect.
In terms of Finantier, open banking becomes one of the building blocks, but not the only one in the world of open finance. Meanwhile, open finance has a bigger aspect than open banking. On the other hand, open banking is likely centered around bank accounts. Despite this fact, there are still many underbanked people in Indonesia.
“Some companies have tried to do open banking but this only serves 30% of Indonesians who have access to a bank account. What about the other 70%? Although open banking can function in other countries, here [Indonesia] is different,” Finantier‘s Co-Founder and CEO Diego Rojas said.
Meanwhile, AyoConnect says open API is similar to open banking because it allows interlink and interconnection between multiple options via one API. This condition has the potential to significantly accelerate the integration process between parties, therefore, to reach customers faster.
“The difference is that open banking is initiated by the bank for its third party, while our API is initiated by ourselves which allows interconnection between billing providers and channel partners,” AyoConnect’s Co-Founder and COO Chiragh Kirpalani said.
Also, Brankas sees the easiest way to differentiate is to place open banking as a model or philosophy that supports the movement of people and companies to get more access to payments and account information, with the owner’s consent. Meanwhile, open API is a necessary tool to activate this philosophy.
“Where the company can connect with it, to make things possible, for instance, top-up on the e-wallet [platform] using your bank credentials in real-time,” Brankas’ Co-Founder and CEO Todd Schweitzer said.
Finantier, AyoConnect, and Brankas are taking advantage of the API’s remarkable works in carrying out their respective missions. In fact, they want to simulate existing financial services with APIs, therefore, end consumers can experience the benefits.
Various innovations
AyoConnect positioned itself as an open bill network, connecting billing companies, consumer platforms, and aggregators through one open network accessible via centralized API, the AyoConnect API. As a result, billing companies – such as telecommunications companies, apartment managers, educational institutions, insurance, and others – can expand their payment points quickly and easily.
On the other hand, companies with direct contact with customers, such as e-commerce, banks, retail stores, to other fintech applications, can provide their customers with access to 3 thousand billing products from 25 categories for their customers.
Chiragh explains that all these solutions exist because the company sees itself as a provider. Bill payment has become a mandatory feature offered by consumer-related platforms to maintain retention. If you build this all yourself, the margin that comes from the transaction is actually very small, and even tends to be unprofitable.
“Our value proposition to partners is to run bill payments and digital goods as an end-to-end profitable category. Our technology provides the infrastructure that helps clients grow faster while focusing on the core business at the same time. ”
Meanwhile, Brankas saw the wide range of opportunities offered by open finance in Indonesia and Southeast Asia. Schweitzer and his partner, Kenneth Shaw, founded Brankas in 2016 with the vision of making modern financial services available to everyone.
“By helping banks prepare new technologies, helping online businesses connect easily to banks, we can create new product categories in the financial services industry.”
Brankas solutions include providing open finance for financial service providers (banks, lenders, e-wallets) who want to offer API-based products and online businesses or fintech companies who want to connect with banks.
Next, partner with banks to build and manage their open finance infrastructure, produce APIs for real-time payments, identity, account opening, and more; provides an aggregation API that allows online businesses to connect in real-time to multiple banks and embed financial services into their own products. There are several API aggregation products, account mutations, direct transfers, payment links, and disbursements.
Schweitzer calls all of these product initiatives based on the results of identifying problems faced by customers and creating products to solve problems with better financial infrastructure. He provides an example, one of the creative innovations is about opening an online account.
Online account opening by companies is actually in great demand during a pandemic due to the reduced activity of people visiting branch offices. The company partnered with a campus organization to streamline the process of creating accounts with Brankas’ bank partners and accelerate the process from weeks to less than 48 hours.
Meanwhile, Finantier focuses on developing open finance services for consumers and businesses to get financial services in improving their financial well-being. They do this by providing valuable financial information about consumers and businesses to financial institutions and fintech in the form of e-KYC, enriched financial data, and others.
Using the information, financial institutions and fintechs can identify customers, assess their financial capabilities, and the form it takes, to offer a variety of financial products, not limited to loans and insurance. Companies can also speed up time-to-market and cut costs in developing custom-designed digital solutions.
“Companies can have a good overview of their customers’ financial health, and offer tailored services for each user. For example, with the information we provide, fintech lending can provide more competitive loan interest to customers,” Diego explained.
The open finance ecosystem is important because the raw data collected by each institution is different. However, when the data processed, it will be very useful, but the investment in this area is quite large and takes time.
“The problem is that financial information is difficult to access. Even if someone has access, how do you make sense of the data? The first problem is that there is actually a lot of financial information available, but it takes a lot of effort to get it. This is a difficult problem that we are determined to solve.”
Solid B2B
The presence of API players, like the three companies above, fully targets companies as users, not retail consumers. Chiragh says the company charges partners a fair fee because they trust AyoConnect to handle bill payment features to keep partners seamless, overhead cost minimal, and save their money overall.
Some of these partners, including DANA, JD.id, Bukalapak, Pegadaian, Indomaret, Home Credit, telco, Indosat GIG, Bank Mandiri, and many more. “We, first of all, make sure that our partners’ businesses grow and our incentives align with each other.”
In terms of Brankas, all users are companies from financial institutions and third-party service providers. Brankas operates two business models by looking from the supply and demand side.
Schweitzer explained that on the supply side, the company is building an open banking infrastructure, partnering with financial institutions to open their financial products and services in the form of APIs. The API can connect with third parties from partners.
Since all financial institutions have different infrastructure and different implementations for each bank, this business is monetized per project. “We usually work with banks to understand their requirements, technical infrastructure, and requirements to deliver contracts that make sense to consumers.”
In terms of demand, Brankas provides services for startups, e-commerce companies, fintech, and others by providing aggregate APIs for payment-related and all data-related uses. For example, Brankas customers in the Philippines can make fund transfers using the open banking concept through end-user approval and make peer-to-peer funds transfers on third-party applications.
The API aggregate helps partners no longer have to connect to several banks through several open APIs using a bit of a standard. “Through Brankas, they can connect to a single API giving access to all financial services, which means less overhead in maintaining these connections. Therefore, in this model, we charge our customers based on successful transactions, for example paying for services per its function.”
Finantier is quite similar. They partner with fintech companies and financial institutions. Diego designs win-win solutions for consumers and businesses, therefore, they can get access to financial services. Partners only have to pay-per-use for each API call they make.
Moreover, partners will benefit from Finantier’s API that provides them valuable financial information, therefore, partners can improve their performance. “When our partners work better, so do we. We are currently working with 40+ partners and are rapidly scaling up our team to meet the increasing demand. ”
Finantier’s COO Edwin Kusuma added that the majority of corporate partners come from banking, p2p lending, multi-finance, and wealth management, and others. Creating an API is not an easy job, especially for financial companies with experts in their respective fields. As a result, in-house API development is expensive.
Even for fintech lending companies. Even though they are tech companies, they need help from companies like Finantier to solve the problem. “For lending companies, their main business is lending, therefore, to invest in technology and build a good technology team, it doesn’t make sense to them. Also, AFPI itself as an association encourages cooperation between p2p companies and other companies,” Edwin said.
The future of open banking and open finance
Schweitzer believes Indonesia is in the process of entering a new era of open banking as banks are now competing to launch products and partner with fintech companies. For Brankas, this momentum was very beneficial because the more lenders who came, the more financial insights that could be obtained to be channeled back.
“The pandemic has forced many banks to look for alternative business models, to switch to digital solutions that help MSMEs. Bank Indonesia recently announced new regulations and permits that will take effect in July 2021 which will help support businesses that wish to provide open banking solutions, whether related to bank account data or payment initiation.”
The implication will be more of real uses for open banking and will make the API more familiar, widely available, and widely accessible. In the end, people can manage bank accounts faster, pay smoothly, and share financial data to get access to credit, which was quite difficult.
In response to that, Brankas plans to launch new products in the coming months for fintech and other startups looking to partner with banking services via APIs to empower their users. Then, work with more banks to open their core systems through open APIs, therefore, more companies can connect directly with banks and facilitate the transfer of funds and data.
“Eventually, looking for ways to connect Indonesia to the regional fintech ecosystem through open banking. Part of this will require Brankas to slide into new markets, something we’ll see further in 2021.”
Diego’s view was not much different. He sees API usage increasing exponentially in Indonesia, along with the number of technology companies. This momentum is getting to its peak as more valuable information about consumers and businesses cannot be used before.
“With our API, we help create new business models that didn’t exist before. More companies will use our solutions and enter the financial ecosystem, providing new and innovative products. Ultimately, this is good because consumers and businesses are benefiting from improved access to finance and better ways to improve their financial well-being.”
Last, AyoConnect will continue to expand its open bill network ecosystem with larger and highly fragmented bill payment companies. “That’s where we will direct our focus for now. Therefore, we will remain dedicated to expanding our network and developing solutions for our partners,” Chiragh concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian