Di tengah aktivitas pembatasan sosial akibat pandemi, konten digital menjadi alternatif hiburan yang banyak dipilih masyarakat. Survei yang dilakukan McKinsey pada Maret s/d April 2020 mengatakan bahwa 45% responden mengaku mengeluarkan lebih banyak uang untuk hiburan di rumah dan berdampak pada pertumbuhan konsumsi konten video sebesar 53% dari sebelumnya.
Kondisi ini jelas menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain industri di bidang tersebut. Untuk melihat sejauh mana penyedia layanan streaming memupuk pertumbuhan di tengah pandemi, DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson. Kedua aplikasi tersebut kini dikelola Tencent, perusahaan teknologi raksasa asal Tiongkok yang memfokuskan pada segmen hiburan.
Tencent sendiri juga sudah memiliki basis perusahaan di Indonesia melalui PT Tencent Indonesia untuk memaksimalkan penetrasi penggunaan produk dan potensi bisnis. Sejak tahun 2018 lalu, Tencent mantapkan diri menjalankan operasional di Indonesia secara mandiri.
WeTV dan iflix
Mengawali perbincangan, Lesley mencoba menjelaskan tentang nilai unik yang dibawa oleh WeTV dan iflix. “Sejak beberapa aset perusahaan diakuisisi, saat ini WeTV dan iflix sama-sama dioperasikan Tencent secara terpisah. Dari segi brand, iflix sudah tidak asing dengan pengguna di Indonesia, sedangkan WeTV masih baru. Di WeTV ini salah satu varian konten yang cukup kuat adalah film dan seri Mandarin, Thailand, dan juga Korea,” ujarnya.
Ia menyampaikan, WeTV kini juga fokus untuk memproduksi seri orisinal. Dalam eksekusinya, mereka turut menggandeng studio produksi lokal dan juga menggarap judul seri dari intelektual properti lokal yang sebelumnya sudah sukses dalam film, misalnya dari Indonesia ada Yowis Ben The Series dan Imperfect Series.
“Kami juga produksi konten sendiri untuk tetap menjaga kualitas tontonan [..] Saat ini bioskop juga belum kondusif, harapannya seri-seri dari IP dan judul yang dikenal tersebut bisa menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat,” imbuh Lesley.
Diversifikasi konten
Ketika ditanya soal jumlah pengguna saat ini, Lesley tidak menyebutkan angka secara eksplisit. Namun demikian ia menekankan, salah satu strategi yang ingin dihadirkan adalah diversifikasi konten. Tidak dimungkiri bahwa konten Korea Selatan saat ini menjadi yang paling favorit di Indonesia, padahal menurutnya banyak opsi hiburan lain yang juga bisa dijadikan pilihan, salah satunya film atau seri Tiongkok.
“Selama ini karena adanya ‘Korean wave’ kesannya pilihan tontonnya itu terbatas. Padahal masih ada banyak seri atau film dari berbagai negara di Asia. Misalnya dari Tiongkok, hiburan di sana selalu disuguhkan dengan kualitas yang bagus. Mereka sangat serius dalam pembuatan kostum dan proses produksi. Dan ternyata benar, ketika kami suguhkan di WeTV peminatnya sangat banyak,” ungkap Lesley.
Agar mudah diadaptasi, WeTV dan iflix juga mengupayakan setiap konten impor yang dihadirkan juga di-dubbing dengan pengisi suara berbahasa Indonesia. Menurut Lesley, banyak pengguna di sini yang lebih nyaman mendengar ketimbang membaca (subtitle) — kendati masih ada opsi untuk menggunakan subtitle di setiap konten.
“Di sisi lain, ini juga jadi industri yang ingin kita gandeng. Kami bekerja sama dengan dubber profesional dan berbakat untuk membuat kualitas konten terbaik,” jelasnya.
Model bisnis
Untuk menonton sajikan di WeTV, pengguna cukup mengunjungi situs atau membuka aplikasi. Tidak diwajibkan registrasi atau login untuk melihat film atau seri yang ada. Bahkan Lesley mengatakan, lebih dari setengah dari total tontonan yang mereka miliki bisa diakses secara gratis. Tak mengherankan dalam beberapa bulan di tahun 2020, aplikasi WeTV selalu bertanggar di urutan atas dalam peringkat Google Play kategori hiburan di Indonesia.
Meskipun demikian, model bisnis tetap harus dimiliki untuk memastikan perusahaan menuai profit. Saat ini, versi premium juga bisa dipilih pengguna untuk mendapatkan hak akses eksklusif, seperti menonton episode lebih awal, bebas iklan, dan mendapatkan konten premium eksklusif.
Kerja sama dengan mitra strategis juga dilakukan di Indonesia. Misalnya dengan penyedia jasa telekomunikasi. Saat ini mereka juga bekerja sama dengan Indihome untuk menyuguhkan kontennya ke pengguna USeeTV. Tak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan platform e-commerce lokal untuk berjualan voucher akses ke layanan premium. Lesley mengatakan, mereka masih terus mengeksplorasi kerja sama dengan banyak pihak, termasuk rumah produksi lokal.
“Yang menjadi unique selling point, Tencent telah menjadi raja konten di Tiongkok. Seperti diketahui, bahwa tidak mudah untuk menguasai pasar tersebut. Kompetensi tersebut yang akan dibawa di Indonesia. Yang jelas, pendekatan lokal harus diutamakan, termasuk dukungan tim lokal dan melokalkan konten,” kata Lesley.
Di tengah pandemi, beberapa modul baru turut diluncurkan. “Orang Indonesia biasanya senang nobar, karena bioskop tutup dan social distancing maka hal itu susah dilakukan. Dari situ kami merilis function sosial, memungkinkan orang bisa menonton ramai-ramai sambil memberikan komentar secara live dan berinteraksi dengan penonton lain. Pengguna dari Indonesia cukup antusias berpartisipasi di sini.”
Persaingan di Indonesia
Sebelumnya kami sudah membuat ulasan tentang ekosistem layanan video streaming di Indonesia, di dalamnya juga memetakan beberapa pemain yang sudah beroperasi: Lanskap Platform Video On-Demand di Indonesia. Posisi WeTV dan iflix bersaing langsung dengan beberapa pemain seperti Viu, GoPlay, Vidio, Netflix, dan lain-lain. Tahun ini juga bakal ada pendatang baru, salah satunya Lionsgate Play.
Menurut data terbaru Media Partners Asia, hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia, Viu memiliki 1,5 juta pelanggan, dan Vidio 1,1 juta pelanggan. Sementara Netflix memiliki 800 ribu. Disney+ Hotstar gencar memberikan paket akses premium gratis, di-bundling dengan paket internet dari Telkomsel (mitra peluncurannya di Indonesia).
Terkait persaingan ini, Lesley cukup percaya diri. Tencent dianggap telah membentuk ekosistem di Indonesia dan juga memiliki basis utama sebagai perusahaan teknologi. Seperti diketahui, perusahaan juga mengoperasikan layanan Joox (musik), permainan (PUBG, AOV), WeChat (pesan instan), dan sebagainya. “Tahun 2021 bakal ada sinergi antarplatform Tencent. Tapi pandemi memang membuat limitasi, karena saat ini kami masih butuh banyak sekali dukungan talenta lokal, namun di sisi lain masih harus mengutamakan kesehatan dan protokol yang menyertainya,” ujarnya.
Kehadiran Airbnb dan Uber yang membawa konsep sharing economy mampu menginspirasi banyak orang di dunia untuk mereduplikasinya ke industri yang lain. Begitu pula di Indonesia, startup yang kini sudah menyandang status unicorn mayoritas menjalankan konsep ini sebagai basis bisnisnya.
Seperti apa peluang dan tantangannya bagi startup baru yang tertarik dengan ke konsep ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, #SelasaStartup edisi kali ini mengundang Co-Founder dan CEO Titipku Henri Suhardja. Titipku adalah startup asal Yogyakarta yang menyediakan jasa personal shopper yang bisa membelanjakan kebutuhan konsumen di area mereka.
Model bisnis Titipku
Henri menjelaskan, konsep bisnis Titipku cukup sederhana. Konsumen dihubungkan dengan personal shopper untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dari toko sekitar konsumen. Konsep ini berbeda dengan situs marketplace yang di dalamnya juga menyediakan penjual yang menjajakan produk tersier.
“Bahkan kami lebih spesifik. Di Indonesia ada puluhan juta UKM konvensional yang belum gabung ke online karena mereka sulit untuk proses registrasi, menggunakan aplikasinya, dan sebagainya.”
Karena Titipku hanya bermain di produk kebutuhan sehari-hari, kelebihan inilah yang menjadi pembeda antara perusahaan dengan unicorn seperti Grab atau Gojek. Kendati permodalan Titipku tidak sebesar kedua perusahaan tersebut, tapi perusahaan mampu terus ekspansi dari 2017 hingga sekarang.
Ekspansi Titipku terbilang lebih sistematis dan tidak asal tembak. Perusahaan menargetkan dalam satu minggu dapat masuk ke satu kecamatan. Sebelum memilih lokasi tersebut, perusahaan membandingkan tingkat penawaran dan permintaan masing-masing kabupaten di dalam satu kota.
“Kami menjalankan ekspansi dengan cara beda dengan unicorn karena kami harus lebih bijak. Di satu kabupaten, kami riset titik mana yang paling potensial yang kami masuki.”
Model bisnis ini sebenarnya tidak langsung muncul begitu saja. Lewat proses pembelajaran, akhirnya menemukan product market fit tepat pada awal tahun kemarin sebelum pandemi. Awalnya Titipku masih memakai validasi dengan konsep nasional, seperti marketplace pada umumnya.
Tapi ketika awal tahun kemarin, menerapkan konsep hyperlocal untuk menjangkau usaha mikro yang menjual produk sehari-hari karena ingin menyasar warga sekitar. Ia mengaku sangat beruntung dengan keputusan tersebut karena Titipku menjadi startup yang meraup berkah dari pandemi. Pasalnya, dengan konsep ini secara psikologis, konsumen tentu lebih suka belanja di toko di sekitarnya karena sudah mengenalnya. “Bila ini [model bisnis] belum diganti, pasti kita akan kesulitan [berkembang].”
Diklaim pendapatan perusahaan mampu menutupi variable cost-nya, dikembangkan kembali untuk mendukung perkembangan perusahaan. Sepanjang tahun lalu, Titipku mampu menambah 31 ribu pedagang yang masuk ke Titipku. Hal ini tercapai berkat kinerja dari sekitar 7 ribu ‘penjelajah’ (istilah untuk pengguna aplikasi yang mengunggah informasi UKM yang ditemui).
Titipku juga telah membentuk 47 pasar digital yang berisi 1219 pedagang di dalamnya. Ke-47 pasar digital tersebut adalah pasar tradisional yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Selain itu, perusahaan mencatat pertumbuhan omzet lebih dari 700% yang didukung peningkatan transaksi per bulan rata-rata mencapai 80%.
Ambil pendekatan sesuai budaya
Titipku sejauh ini baru beroperasi di dua lokasi, Yogyakarta, dan sebagian Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara). Menariknya, cerita di balik ekspansi ke Jakarta terjadi karena ketidaksengajaan. Henri menceritakan, ia berada di Jakarta Barat ketika pemerintah memutuskan PSBB pada pertama kali di Maret 2020.
“Rekan saya, Ong Tek Tjan kebetulan tinggal di Kelapa Gading. Jadi kami berdiskusi lagi untuk masuk ke pasar. Saya sendiri yang menjelajah Pasar Tomang Barat, padahal awalnya tidak tahu daerah sama sekali. Akhirnya, Juni 2020 mulai growing dan satu per satu rekrut tim lapangan, akhirnya buka kantor cabang di sini.”
Penetrasi internet di Yogyakarta dengan Jakarta cukup berbeda. Pedagang di Jakarta sudah familiar dengan aplikasi di smartphone dan cara transfer, sehingga tidak perlu edukasi yang masif. Sementara, di Yogyakarta tidak demikian, namun keingintahuan masyarakatnya sangat tinggi terhadap sesuatu yang baru.
Dari sini, perusahaan belajar untuk menyesuaikan strategi pemasarannya. Di Jakarta, perusahaan memilih untuk pemasaran dengan kanal digital untuk menciptakan transaksi baru. Sementara, di Yogyakarta masih ada proses turun ke lapangan untuk menemui langsung konsumen.
Apalagi, saat perusahaan berusaha mendapatkan 100 pengguna awalnya, tidak langsung membuat aplikasi. Melainkan mendatangi langsung pedagang dan konsumen untuk mencari tahu titik masalahnya, ketimbang ujug-ujug langsung membuat aplikasi.
“Kita lakukan semuanya bertahap, mulai pakai brosur, hanya pakai media sosial, kontak WhatsApp, dan telepon. Setelah dapat 100 konsumen, kita jadi tahu profile konsumen seperti apa agar strategi berikutnya dapat tepat sasaran.”
Tersandungnya rencana IPO WeWork di tahun 2019, seakan membuka mata para perusahaan modal ventura bahwa metrik growth (pertumbuhan) yang selama ini menjadi fokus startup dan perusahaan modal ventura, tidak lagi jadi satu-satunya andalan. Kegiatan “membakar uang” demi inovasi dan pengguna baru, jika tidak dibarengi strategi bisnis yang kuat, bisa berujung kegagalan.
Di awal tahun 2021, ketika pandemi masih menjadi persoalan utama, banyak startup yang melakukan pivot model bisnis dan mendapatkan penerimaan demi bisa mempertahankan operasional.
Kami berbincang dengan sejumlah investor untuk memahami bagaimana tesis investasi mereka tahun ini.
Pandemi menjadi momen pembuktian
Menurut Managing Partner BAce Capital Benny Chen, pandemi menjadi kesempatan membuka mata lebih lebar lagi untuk mendorong perusahaan menjadi lebih baik. Kondisi ini menjadi momen penting untuk lebih waspada dan lebih fokus ke model bisnis.
Hal senada diungkapkan Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee. Menurutnya, perusahaan yang sukses melakukan penggalangan dana saat pandemi memiliki posisi yang lebih baik untuk fokus ke pertumbuhan. “Kuncinya” adalah memiliki 18-24 bulan runway.
“Menurut saya tidak ada perubahan mendasar dalam hal sikap umum terhadap growth dan profitabilitas.”
Portofolio Genesia Ventures, klaim Elsha, menutup tahun dengan angka yang jauh lebih baik daripada di awal tahun 2020.
Sementara menurut Kelvin Yim dari Alpha Momentum Indonesia, pertumbuhan dan profitabilitas startup di tahun 2021 mendatang sangat bergantung pada ide bisnis startup dan strategi di tengah pandemi.
“Jika produk dan layanan tersebut memiliki relevansi selama pandemi ini, maka ini adalah peluang yang baik untuk merebut pangsa pasar dan mendorong beberapa keuntungan. Jika tidak, maka strategi harus diterapkan untuk melihat bagaimana startup dapat mendorong penjualan dan pertumbuhan selama pandemi,” kata Kelvin.
Tidak dapat dipungkiri pandemi telah menurunkan bahkan menunda kegiatan perusahaan modal ventura untuk memberikan investasi kepada startup.
Menurut Managing Director ANGIN David Soukhasing, kondisi ini memaksa para pendiri yang tidak dapat mencapai target penggalangan dana mereka untuk menciptakan aliran pendapatan baru atau mengontrol pengeluaran mereka dengan lebih baik.
“Menurut saya tahun 2021 masih belum jelas seperti apa prospeknya. Pengelolaan pertumbuhan akan terus menjadi fokus dari pendiri startup. Pada akhirnya, keputusan akan ada di tangan investor dan keinginan dari para pendiri sendiri. [..] Jika logika berubah dan Anda melihat perusahaan dinilai dengan EBITDA atau laba bersih, maka investor akan mendorong kepada pertumbuhan dan profitabilitas yang terkendali,” kata David.
Menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas
Menurut Benny, meskipun kebanyakan fokus startup di tahapan pendanaan awal adalah kepada pertumbuhan, tidak menutup kemungkinan profitibilitas juga bisa diraih dengan strategi yang tepat. Benny menambahkan, tidak ada standarisasi untuk hal tersebut, jika startup tersebut memiliki model bisnis yang relevan, baiknya dicoba saja kedua proses tersebut, tentunya setelah pendiri memahami benar bagaimana cara tepat mendapatkan profit dan mencapai pertumbuhan yang ideal.
Sementara menurut Kelvin, menjadi lebih baik untuk startup yang masih dalam tahapan pendanaan awal untuk selalu memikirkan kepada pertumbuhan. Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai indikasi. Indikator umum kemungkinan akan berada di sekitar jumlah pelanggan dan jika startup berada pada tahap awal, idealnya harus memiliki rencana strategis untuk melihat bagaimana pertumbuhan pelanggan dilakukan.
“Profitabilitas cenderung berada dalam fase di mana startup dapat mengidentifikasi annual break-even point terhadap pengeluaran operasional. Beberapa startup mungkin memiliki masalah dalam mengidentifikasi di mana pendapatan dapat diperoleh, tetapi selalu lebih baik untuk masuk ke bisnis dengan mempertimbangkan profitabilitas. Pada tahap awal untuk rencana 3 atau 5 tahun, startup harus memasukkan break-even dan profitabilitas, sehingga startup dapat menyusun strategi bagaimana mencapai tujuan tersebut sejak awal,” kata Kelvin.
Sebagai perusahaan modal ventura yang fokus kepada startup tahap awal, Genesia Ventures melihat kebanyakan startup tahap awal akan menghabiskan sebagian besar waktu dan sumber daya mereka untuk mencari product market fit dan begitu mereka menemukannya, pertumbuhan menjadi fokus yang penting, karena menunjukkan kepada calon investor bahwa solusi yang diberikan startup adalah sesuatu yang diinginkan pasar.
“Secara keseluruhan, menurut saya pertumbuhan lebih dihargai pada tahap awal, meskipun pada saat yang sama penting untuk menunjukkan kepada investor bahwa setidaknya ada jalan menuju profitabilitas dengan mencapai unit ekonomi yang sehat. Ketika perusahaan tumbuh, fokusnya kemudian akan mulai bergeser ke arah profitabilitas. Para pendiri perlu menemukan keseimbangan antara pertumbuhan dan profitabilitas,” kata Elsha.
Menurut Kelvin, jika startup berada pada tahapan awal tapi menuntut ticket size yang besar di awal, maka mungkin pertumbuhan vs profitabilitas harus sudah disiapkan untuk menarik investasi.
Tanpa pertumbuhan, sebuah startup tidak mungkin dapat mencapai tahap keuntungan, mengingat mereka akan menghabiskan dana operasional dengan sangat cepat. Bergantung pada tahap di mana startup berada, indikator pertumbuhan biasanya penting pada tahap awal. Ketika startup telah beroperasi selama beberapa waktu, profitabilitas adalah tonggak pencapaian selanjutnya.
“Jika saya harus memilih, saya percaya bahwa pola pikir perspektif pertumbuhan memaksa para pendiri untuk bergantung pada pendanaan. Itu berarti tidak hanya pelanggan dan pasar yang memutuskan kepercayaan perusahaan, tetapi juga investor yang membuat keputusan tentang siapa yang akan dipertaruhkan,” kata David.
Sementara menurut Elsha, investor juga akan melihat metrik lain, seperti pendapatan berulang dan keterlibatan pengguna. Pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberikan solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna untuk membayar, sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan.
“Tetapi sekali lagi, memiliki unit ekonomi yang baik dan menunjukkan jalur menuju profitabilitas adalah penting, terutama seiring kemajuan perusahaan menuju penggalangan dana untuk tahap pertumbuhan,” kata Elsha.
Telkomsel dan Gojek kembali mengumumkan kolaborasi bisnis berikutnya, kali ini berkaitan dengan perluasan layanan iklan digital Telkomsel MyAds yang bisa diakses melalui aplikasi GoBiz. Kemitraan ini membuka kesempatan para mitra usaha Gojek untuk perluas bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru.
“Kami harap, kolaborasi antara MyAds dan GoBiz ini dapat membuka lebih banyak peluang dan kesempatan bagi UMKM di Tanah Air, sekaligus membantu perekonomian negara untuk kembali tumbuh secara berkelanjutan,” terang Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro dalam keterangan resmi, Senin (25/1).
Co-CEO Gojek Andre Soelistyo turut menambahkan, GoBiz adalah salah satu solusi komprehensif Gojek untuk memfasilitas pelaku UMKM go-digital di masa pandemi. “Kami percaya kolaborasi dengan Telkomsel melalui integrasi MyAds Telkomsel dan GoBiz akan membantu ratusan ribu pelaku UMKM di dalam ekosistem Gojek untuk memperluas pangsa pasar dan meningkatkan potensi pengembangan bisnis mereka.”
Melalui integrasi ini, para mitra usaha Gojek dapat mengakses layanan Telkomsel MyAds dari aplikasi GoBiz untuk membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan usaha mereka. Sehingga, mereka dapat memperluas pangsa pasar dan mengembangkan bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru yang mengandalkan solusi iklan yang terarah dari Telkomsel MyAds.
Telkomsel menyiapkan promo berkala khusus para mitra usaha dalam menggunakan layanan Telkomsel MyAds, sebagai nilai tambahnya.
Telkomsel MyAds adalah bagian dari Telkomsel DigiAds, solusi periklanan digital dari Telkomsel. Solusi bisnis ini memfasilitas pelaku usaha dalam membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan berbasis SMS, MMS, dan pesan pop-up secara mandiri. Solusi ini telah dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis dari seluruh skala bisnis dan industri, mulai dari kuliner, otomotif, warung elektronik, dan edukasi.
Sementara, GoBiz adalah super app yang diciptakan khusus mitra usaha Gojek untuk melengkapi solusi bisnis mereka, terkait operasional sehari-hari hingga pengembangan usaha ke tahapan selanjutnya. Dalam aplikasi tersebut, mitra dapat mengatur promosi secara mandiri untuk menarik lebih banyak pelanggan, menyediakan pilihan metode pembayaran non tunai, rekap seluruh transaksi dan manajemen usaha dengan POS.
GoBiz diklaim telah dimanfaatkan oleh ratusan ribu mitra usaha yang datang dari sektor kuliner dan ritel, dan menghubungkan mitra ke jutaan pengguna Gojek di Indonesia.
Kemitraan Telkomsel dan Gojek sebelumnya
Pasca investasi yang dilakukan Telkomsel kepada Gojek pada tahun lalu sebesar $150 juta, kolaborasi kedua perusahaan semakin gencar dilakukan. Sebelumnya, kedua perusahaan bekerja sama untuk GoShop.
Ada lebih dari 20 ribu mitra seller/outlet Telkomsel telah mendapatkan akses untuk berjualan langsung di GoShop dari aplikasi Gojek. Dengan demikian, para mitra reseller dapat menjangkau kebutuhan dari lebih banyak pelanggan secara digital. Selain itu, Telkomsel turut mendukung produktivitas mitra pengemudi Gojek melalui Paket Swadaya dengan harga mulai dari Rp25 ribu.
“Ke depan, kami menatap optimis untuk menghadirkan lebih banyak upaya kolaboratif dari Telkomsel dan Gojek yang mampu menjadi solusi bagi para pelaku UMKM untuk mengakselerasikan bisnisnya, sekaligus memperkuat komitmen Telkomsel dalam mengembangkan ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia lebih jauh lagi,” tutup Setyanto.
Telkomsel, di saat yang bersamaan, bersama dengan Grab menjadi salah satu pemegang saham di LinkAja. Hubungan ini menjadi lebih menarik karena baik Grab dan Gojek merupakan kompetitor. LinkAja pun kini turut hadir sebagai alternatif metode pembayaran baik di Gojek maupun Grab.
Samsung Galaxy S21 Ultra 5G resmi diperkenalkan bersama kedua saudaranya pada tanggal 14 Januari 2021 lalu. Model ter-flagship dari keluarga perangkat flagship ini langsung menarik perhatian berkat banyaknya upgrade yang dihadirkan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Berkat lompatan teknologi yang diusung, Galaxy S21 Ultra 5G mampu memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk stay-ahead hingga beberapa tahun ke depan.
Sebagian besar dari kita pasti setuju dengan anggapan bahwa smartphone merupakan tiket menuju dunia yang semakin terkoneksi. Smartphone kini bukan sekadar perangkat komunikasi, melainkan juga sebuah komputer, media player, kamera, dan bahkan gaming console. Smartphone memungkinkan kita untuk melakukan segala hal dalam genggaman tangan. Maka dari itu, memiliki perangkat terbaik dalam genggaman berarti kita bisa melakukan jauh lebih banyak hal secara lebih efisien.
“Samsung Galaxy S21 Ultra 5G kami hadirkan khusus untuk mereka yang mencari kesempurnaan dalam hal apapun yang mereka lakukan. Samsung memberikan yang terbaik dari kami untuk Galaxy S21 Ultra 5G, mulai dari prosesor, layar, desain, hingga tingkat perlindungan. Semua ini kami lakukan untuk memberikan pengalaman terbaik dan personalized, untuk mereka yang senantiasa mencari kesempurnaan, dan berbuat lebih jauh demi mengekspresikan diri mereka,” ujar Verry Octavianus, Product Marketing Manager Samsung Mobile, Samsung Electronics Indonesia.
Smartphone epik untuk konsumen yang perfeksionis
Samsung Galaxy S21 Ultra 5G menghadirkan pengalaman flagship premium yang terbaik di kelasnya berkat peningkatan di hampir segala aspek. Peningkatan di aspek kamera misalnya, yang tak hanya memberikan kemudahan untuk menangkap momen-momen terpenting, tapi juga membawa pengalaman memotret lebih jauh lagi dengan hasil foto yang epik. Peningkatan pun juga dapat dirasakan dari sisi performa, baterai, hingga layar, dan semua ini tentu sangat cocok bagi konsumen yang perfeksionis dan yang mendambakan performa terbaik.
Galaxy S21 Ultra 5G datang membawa sistem kamera Pro-Grade tercanggih dari Samsung demi memberikan kesempatan bagi pengguna untuk mendapatkan foto berkualitas studio terlepas dari bagaimanapun kondisi pencahayaan. Melengkapi sistem kamera baru tersebut adalah sederet fitur anyar yang telah didukung oleh AI, lagi-lagi demi memberikan pengalaman dan hasil foto beserta video yang epik.
Galaxy S21 Ultra 5G dilengkapi dengan quad-camera (Ultra-Wide, Wide, dan Dual Tele-Lens) yang dilengkapi sensor pro 108 megapixel yang telah ditingkatkan, yang mampu menyajikan kualitas foto HDR 12-bit dengan warna yang 64 kali lebih kaya serta dynamic range yang lebih luas dibandingkan dengan seri sebelumnya. Ditambah dengan opsi file RAW 12-bit untuk penggunaan kamera wide, pengguna dapat melakukan penyuntingan foto tanpa harus khawatir akan kehilangan detail-detail penting.
Kamera 108 megapixel milik Galaxy S21 Ultra 5G juga dilengkapi dengan sensor Bright Night yang merupakan lompatan terbesar Samsung dalam hal fotografi low-light. Hal ini diwujudkan dengan melakukan peningkatan pada Night Mode, pengurangan noise, serta teknologi nona-binning 12 megapixel, yang memungkinkan pengguna untuk mengambil foto-foto epik di malam hari.
Selain upgrade pada kamera 108 megapixel, Galaxy S21 Ultra 5G turut menghadirkan peningkatan yang signifikan pada fitur Space Zoom. Hal ini dimungkinkan berkat kehadiran kamera dual-tele resolusi 10 megapixel pada Galaxy S21 Ultra 5G, satu dengan 3x optical zoom, dan satu lagi dengan 10x optical zoom. Di saat yang sama, keduanya juga dilengkapi dengan teknologi Dual Pixel AF sehingga hasil jepretan 100x zoom yang didapat bisa lebih jelas daripada di seri sebelumnya.
Bukan cuma itu, Space Zoom kali ini juga dilengkapi dengan fitur baru Zoom Lock yang memanfaatkan teknologi AI untuk menjaga titik fokus pengguna agar tetap berada di tengah frame, sehingga mempermudah pengguna untuk mengurangi guncangan pada saat mengambil foto dari kejauhan. Semua peningkatan fitur dan spesifikasi tersebut memungkinkan pengguna untuk mengambil foto dari kejauhan dengan hasil yang epik.
Semua peningkatan yang diterapkan untuk pengambilan foto juga diterapkan untuk pengambilan video. Untuk pertama kalinya, pengguna Galaxy S21 Ultra 5G tak hanya mampu merekam video 8K 30 fps, tapi juga video 4K 60 fps melalui semua kamera yang tertanam, termasuk kamera depannya, dan ini tentu dapat memberikan kebebasan lebih kepada pengguna untuk mengabadikan momen-momen indah mereka. Juga tak kalah menarik adalah fitur baru Director’s View, yang membuat pengguna memiliki kontrol layaknya seorang sutradara ketika mengambil video.
Desain premium, performa gahar
Salah satu kelebihan Galaxy S21 Ultra 5G yang berhasil menarik perhatian banyak orang adalah desainnya. Sama seperti kedua saudaranya, Galaxy S21 Ultra 5G juga hadir dengan desain kamera contour cut yang menggabungkan kamera dengan frame bodi melalui desain yang seamless, lengkap dengan casing logam untuk membungkus kameranya. Ditambah lagi dengan perlindungan Gorilla Glass Victus di bagian belakangnya, hal ini tentu mampu memberikan kesan premium yang epik.
Dari sisi layar, Galaxy S21 Ultra 5G dibekali dengan Infinity-O Dynamic AMOLED 2X berukuran 6,8 inci. Apabila diperhatikan secara saksama, layar milik Galaxy S21 Ultra 5G mempunyai rounded edges yang tidak dimiliki oleh Galaxy S21 5G maupun Galaxy S21+ 5G. Tidak berhenti sampai di sana saja, layar Galaxy S21 Ultra 5G juga merupakan layar paling pintar dari Samsung saat ini, dengan adaptive refresh rate 120 Hz dalam resolusi Quad HD+ yang secara otomatis dapat menyesuaikan refresh rate layar sesuai dengan konten yang sedang dinikmati, sehingga dapat menyuguhkan pengalaman menikmati konten terbaik yang lebih lama lagi.
Lebih lanjut, Galaxy S21 Ultra 5G juga memiliki layar yang paling terang dari smartphone Galaxy manapun, dengan tingkat kecerahan maksimum 1.500 nit yang memungkinkan pengguna untuk tetap dapat menikmati konten dengan layar yang jernih dan terang, bahkan ketika berada di bawah terik matahari sekalipun. Semua itu tanpa melupakan fitur Eye Comfort Shield, yang mengatur blue light filter sesuai dengan waktu, kondisi cahaya, serta konten yang dinikmati, dengan tujuan memberikan kenyamanan pada mata pengguna supaya dapat menikmati konten lebih lama lagi.
Premis lebih lama ini penting karena Galaxy S21 Ultra 5G memang mengusung baterai berkapasitas masif, 5.000 mAh, tidak ketinggalan pula chipset 5nm Exynos 2100 yang memiliki kinerja 30% lebih cepat daripada Exynos generasi sebelumnya selagi mengkonsumsi daya 10% lebih sedikit. Semuanya demi memudahkan pengguna melakukan hal-hal epik dengan lebih baik, lebih lama lagi.
Pre-order Samsung Galaxy S21 Series 5G
Pada tanggal 14 – 27 Januari 2021, konsumen yang ingin melakukan pre-order dapat mengunjungi www.galaxylaunchpack.com dan Samsung Store terdekat, atau partner resmi e-commerce Samsung (Blibli, JD.id, Lazada, Shopee, Eraspace, Tokopedia, Dinomarket, Bukalapak, Akulaku, atau Bhinneka.com) untuk mendapatkan keuntungan sebagai berikut:
Setiap konsumen yang melakukan pre-order Galaxy S21+ 5G akan mendapatkan Galaxy Buds Live dan Samsung Care+ untuk semua pembelian selama 1 tahun dan kesempatan bank cashback hingga Rp1.000.000.
Setiap konsumen yang melakukan pre-order Galaxy S21 Ultra 5G akan mendapatkan Galaxy Buds Pro dan Samsung Care+ untuk semua pembelian selama 1 tahun dan kesempatan bank cashback hingga Rp1.000.000.
Konsumen juga mendapatkan kesempatan free upgrade ke memori yang lebih tinggi untuk pre-order Galaxy S21+ 5G ataupun Galaxy S21 Ultra 5G hingga tanggal 27 Januari 2021, selama persediaan masih ada.
Semua konsumen yang melakukan pre-order juga akan langsung mendapatkan Galaxy SmartTag. Dengan Galaxy SmartTag Bluetooth Locator, konsumen dapat melacak semua yang penting. Mereka dapat menempelkannya ke kunci, tas, hewan peliharaan, atau apapun yang ingin mereka awasi. Di masa pre-order ini, Samsung menawarkan value hingga hampir 8 juta pada pembelian Galaxy S21 Ultra 512 GB. Bayangkan mendapatkan seri S21 Ultra yang paling tinggi dengan RAM 16 GB dan memori 512 GB hanya dengan membayar seharga Galaxy S21 5G dengan memori yang paling kecil. Kunjungi www.samsung.com/id untuk mempelajari lebih lanjut.
Harga untuk Galaxy S21+ 5G mulai dari Rp15.999.000 dan mulai Rp18.999.000 untuk Galaxy S21 Ultra 5G. Konsumen bisa mendapatkan Galaxy S21+ 5G seharga Rp666.625 sebulan (selama 24 bulan), sementara Galaxy S21 Ultra 5G seharga Rp791.666 sebulan (selama 24 bulan) dengan nilai tukar tambah yang memenuhi syarat hingga Rp10.000.000. Tawaran untuk waktu yang terbatas. Syarat dan ketentuan berlaku. Kunjungi https://www.samsung.com/id/offer/trade-in/ untuk mempelajari lebih lanjut.
Honor telah mengumumkan smartphone pertamanya sejak berpisah dari Huawei, mari sapa Honor V40 5G. Sebagai informasi, Huawei secara resmi menjual Honor kepada konsorsium yang terdiri dari 30 agen dan dealer pada November tahun lalu, langkah tersebut dilakukan dalam upaya menjaga Honor agar tetap bertahan akibat pembatasan dagang Amerika Serikat terhadap Huawei.
Balik lagi ke Honor V40 5G, beberapa fitur unggulan smartphone dengan konektivitas 5G ini antara lain ditenagai chipset MediaTek Dimensity 1000+, sensor kamera utama 50MP baru, dan pengisian daya cepat. Dimensity 1000+ merupakan bagian dari lini chipset 5G MediaTek yang dirancang untuk smartphone 5G flagship.
SoC tersebut dibuat pada teknologi proses 7nm, dengan CPU octa-core yang terdiri dari empat inti Cortex-A77 2.6GHz dan empat inti Cortex-A55 2.0GHz. Beserta GPU Mali-G77 MC9, sokongan RAM 8GB, dan opsi penyimpanan 128GB atau 512GB.
Pada bagian depan, Honor V40 5G mengemas layar OLED 6,72 inci beresolusi 2676×1236 piksel dengan sisi melengkung dan memiliki dual punch hole untuk kamera depan. Panel yang digunakan mendukung refresh rate 120Hz dan memiliki layar yang responsif dengan touch sampling rate 300Hz.
Bagian belakang, terdapat konfigurasi triple camera dengan sensor gambar berukuran 1/1.56 inci untuk kamera utamanya beresolusi 50MP RYYB dengan ukuran per piksel 1.0µm. Dengan metode pixel-binning 4-in-1, maka hasil optimalnya 12MP dengan piksel besar menjadi 2.0µm. Dua lainnya merupakan kamera dengan lensa ultrawide 8MP dan 2MP sebagai depth sensor.
Keunggulan Honor V40 5G juga terletak pada kecepatan pengisian dayanya. Dengan baterai 4.000 mAh, berkat fitur 66W wired chargingsmartphone ini dapat mengisi penuh dari nol hingga 100% dalam waktu 35 menit. Juga mendukung wirereless charging hingga 50W yang dapat mengisi daya secara nirkabel 50% dalam waktu 35 menit.
Sistem operasi yang digunakan Magic UI 4.0 yang masih berbasis Android 10, belum diketahui apakah versi globalnya nanti akan mendukung layanan GMS atau tidak. Untuk harganya, Honor V40 5G dengan konfigurasi 8/128 GB CNY3.599 atau sekitar Rp7,8 jutaan dan CNY3.999 atau Rp8,6 jutaan untuk konfigurasi 8/256 GB dan tersedia dalam tiga warna Night Black, Titanium Silver, serta Rose Gold.
Pandemi yang tak kunjung berakhir berarti kita masih harus berkutat dengan Zoom, Google Meet, maupun layanan video conference lain untuk bekerja maupun belajar setiap harinya. Itulah mengapa tool seperti Otter.ai jadi terasa semakin esensial setiap harinya.
Buat yang tidak tahu, Otter.ai merupakan tool berbasis kecerdasan buatan yang fungsinya adalah untuk membuatkan transkrip dari sebuah sesi video conference secara real-time. Anggap saja seperti menonton film dengan subtitle, hanya saja ini untuk video conference. Sejauh ini yang didukung memang baru bahasa Inggris, akan tetapi AI-nya cukup pintar untuk mengenali aksen dari negara-negara yang berbeda.
Otter.ai sudah lama menawarkan integrasi dengan Zoom. Jadi cukup dengan mengklik satu tombol saja, transkrip percakapan akan langsung muncul di layar dengan sendirinya. Kabar baiknya, Otter.ai sekarang juga sudah punya integrasi dengan Google Meet.
Bukannya Google Meet sendiri sudah punya fitur live caption? Benar, akan tetapi Otter.ai yakin mereka bisa memberikan nilai lebih karena transkrip yang dihasilkannya bersifat interaktif, alias dapat diedit dan dijadikan medium berkolaborasi ketika sesi rapat sudah selesai. Isi transkripnya juga dapat dicari berdasarkan kata kunci sehingga pengguna bisa langsung lompat ke bagian-bagian tertentu dengan mudah.
Juga unik adalah bagaimana pengguna dapat mencantumkan sejumlah kata kunci yang spesifik sehingga AI milik Otter.ai bisa bekerja dengan lebih optimal, menghasilkan transkrip yang lebih akurat dan tidak dibuat bingung oleh istilah-istilah khusus yang umumnya dipakai di bidang pekerjaan tertentu.
Untuk menggunakan Otter.ai di Google Meet, Anda perlu terlebih dulu mengunduh extension Chrome-nya (juga kompatibel buat Microsoft Edge). Setelah login menggunakan akun Otter.ai, pengguna bisa mengklik tombol record pada extension-nya setiap kali sesi Google Meet berlangsung, lalu klik tombol berlabel “CC” untuk menampilkan teksnya secara langsung.
Pada versi gratisannya, Otter.ai hanya bisa dipakai untuk membuat transkrip audio dengan durasi total 600 menit per bulan (maksimum 40 menit per sesi). Ke depannya, integrasi dengan Google Meet ini bakal dijadikan salah satu fitur untuk paket berlangganannya yang dipatok seharga $20 per bulan.
OPPO Reno5 akhirnya telah tersedia secara luas di Indonesia. Sejak meluncur perdana pada tanggal 12 Januari, sebelumnya konsumen harus mengikuti program pre-order yang diadakan sampai 21 Januari kemarin dan dibanderol Rp4.999.000.
Kini OPPO menyediakan program trade in atau tukar tambah dengan Reno5, yang mana memberi kesempatan yang sangat menggoda bagi pemilik smartphone seri Reno sebelumnya untuk upgrade ke Reno5. Bagi pengguna Reno4 misalnya, perangkat Reno4 lama Anda akan dihargai Rp3,3 juta* dan Anda akan memperoleh tambahan cashback hingga Rp1 juta.
Ya, OPPO memberi cashback hingga Rp1 juta khusus untuk pengguna smartphone Reno series. Sementara, pengguna seri F akan mendapatkan cashback hingga Rp500.000 dan merek lain akan mendapat cashback sebesar Rp200.000. Program trade in ini akan berlangsung sampai tanggal 31 Januari 2021 mendatang.
Peningkatan Spesifikasi Reno4 ke Reno5
Program tersebut tentu sangat menarik bagi pengguna Reno4, Anda bisa menukarkan perangkat lama dengan Reno5 tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya. Haruskah upgrade sekarang dan peningkatan spesifikasi apa yang didapat?
Pertama dari segi kualitas layar, naik kelas dari refresh rate standar 60Hz ke 90Hz dan ditambah dengan touch sampling rate 180Hz. Ini berarti, layar Reno5 lebih memanjakan penggunanya termasuk lebih responsif dan asyik untuk aktivitas gaming dan animasi atau transisi antar menu serta membuat gerakan konten terlihat lebih halus.
Dari sisi performa, karena ditenagai oleh chipset dan konfigurasi memori identik, yakni Snapdragon 720G dengan RAM 8GB dan penyimpanan 128GB. Kinerja yang ditawarkan tidak akan jauh berbeda, tetapi ingat bahwa Reno5 langsung menjalankan ColorOS 11.1 terbaru berbasis Android 11 yang membawa berbagai peningkatan dan sejumlah fitur baru.
Daya tahan baterainya juga lebih baik, tangki baterai Reno5 lebih besar, 4.310 mAh dan didukung 50W Flash Charge yang memiliki daya puncak 66,6% lebih tinggi dari Reno4. Dengan adaptor SuperVOOC di dalam kotak, dalam durasi 31 menit baterai Reno5 akan terisi 80% dan akan penuh 100% dalam waktu 48 menit. Reno4 memiliki baterai berkapasitas 4.015 mAh dengan 30W VOOC Flash Charge 4.0 yang dapat diisi 50% dalam 20 menit dan terisi penuh dalam 57 menit.
Bagaimana dengan kemampuan fotografi? Reno5 kini dilengkapi kamera utama beresolusi 64MP f/1.7 dan secara default menghasilkan foto optimal 16MP dengan piksel besar 1.6µm. Sedangkan, Reno4 harus puas kamera utama 48MP f/1.7 dengan foto optimal beresolusi hanya 12MP 1.6µm. Tiga unit kamera lain yang menemani kamera utama Reno5 konfigurasinya sama seperti pada Reno4, termasuk kamera 8MP dengan lensa ultrawide, 2MP macro, dan 2MP depth sensor. Sedangkan, kamera depannya meningkat dari 32MP menjadi 44MP.
Aspek lain yang membuat Reno5 sangat menarik ialah OPPO telah menambahkan tiga fitur video inovatif. Meliputi AI Highlight Video untuk mengoptimalkan hasil perekaman di kondisi cahaya yang menyulitkan (gelap atau backlight) secara otomatis, AI Mixed Portrait untuk menghasilkan video dengan efek double exposure yang artistik, dan Dual-View Video untuk merekam video menggunakan kamera depan dan belakang secara bersamaan.
Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.
Membahas game MOBA tak bisa lepas dari nama besar Mobile Legends atau Arena of Valor. Tapi, selain dua nama besar ini, sejatinya ada sederet game MOBA mobile yang tak kalah kompetitif dan seru.
There is a saying that goes: if you can’t beat them, join them. This statement best describes what is currently happening with football clubs and the esports scene. Esports has become an enormous and legitimate industry, far different than what it was a long time ago. Capitalizing on this immense growth, football clubs have begun to enter the world of esports through various methods such as recruiting professional players, working with esports organizations, or even creating their own esports division. This phenomenon is also occurring in Indonesia today.
Which football clubs have explored esports?
According to The Esports Observer‘s report, the first-ever football club to dive into the world of esports is Turkey’s Besiktas Istanbul. They created the Besiktas e-Sports Club in January 2015. Unfortunately, the Besiktas esports division did not last very long and got disbanded just a year later. This tragedy, however, does not discourage other football clubs from trying to enter the world of esports.
Since then, many football clubs have attempted to enter the world of esports, each with their own unique approach. For example, VFL Wolfsburg – a football club that competes in the Bundesliga, Germany – chose to partner up with FIFA player Benedikt “Salz0r” Saltzer in 2015. Wolfsburg is not the only football club to have opted for this approach. In May 2016, West Ham United also teamed up with Sean “Dragonn” Allen. In the same year, Manchester City also partnered with professional FIFA player Kieran “Kez” Brown.
Most football clubs in Indonesia also adopted this approach. We can take PERSIJA or other clubs playing in the Indonesia Football e-League (IFeL), the virtual version of Liga 1, as an example. Moreover, most of the players recruited by these clubs have succeeded in making achievements in the PES esports scene, such as Rizal “Ivander” Danyarta, representing PERSIJA, Rizky Faidan, representing PSS Sleman, or LuckyMaarif representing PERSIK Kediri.
Another approach that football clubs usually take when they want to enter the esports world is to partner with an esports organization. If you are going to jump into a new industry that you haven’t explored, it’s easier to work with organizations or entities who are already experienced. Simply put, you won’t have to go through the trouble of building the whole infrastructure from the ground up. Therefore, this approach is much more strategic than the previous one (recruiting or partnering with a single esports player).
The first football club to use this strategy is Santos FC. In August 2015, the Brazilian club collaborated with Dexterity Team, which has rosters in League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, and Heroes of the Storm. The following year, Clube do Remo, also from Brazil, partnered up with Brave e-Sports. They have rosters in Hearthstone, Heroes of the Storm, and SMITE.
A couple of months ago, in November 2020, AC Milan announced their collaboration with the local esports team Qlash. Juventus also partnered with Astralis – one of the most acknowledged teams in all of CS: GO – to represent them in the eFootball PES league 2019/2020 season.
There are also football clubs that choose to form their own esports division, such as Arsenal. However, they do not manage their own esports division. Instead, Arsenal delegated the management of their esports division to the Esports Gaming League. Therefore, responsibilities such as talent searches, interviews, and signing player contracts are all accomplished by a separate entity.
Interestingly, the participation of these clubs in the esports industry is not limited to virtual football leagues. Several football clubs create teams which compete in other esports games besides FIFA and PES. An example of this is Schalke 04. The German team bought the European League of Legends team, Elements, in 2016. Until now (2020), the Schalke esports team is still competing in the League of Legends European Championship. At LEC Summer 2020, they managed to win fifth place and prize money of US$14,802.
Another example is Paris Saint-Germain. Currently, they have teams that compete in three esports games: Dota 2, League of Legends, and Brawl Stars. Previously, PSG had also tried to enter Mobile Legends by collaborating with RRQ. Unfortunately, this collaboration only lasted about a year and a half.
Why are football clubs interested in getting into esports?
Previously, Hybrid had discussed the importance of player regeneration in the world of esports. Similarly, in the world of football, the regeneration of players and fans is also equally important. The average age of a Premier League fan is 42 years old, according to marketing company CSM Sport & Entertainment. As a comparison, based on the research conducted by Paper Money Grading in 2018, the average age of an esports viewer is 26 years old. Therefore, for these football clubs, attracting the younger generation of viewers can be the primary motive to enter the esports world.
“The average age for a Premier League fan is 42 and rising, and no doubt is higher than 42 within developed fan markets like in the UK. This ageing fan base begs two questions to football clubs: How do the clubs ensure their longevity and remain relevant to the next generation of sports fans? And how do they ensure to keep the sponsors interested in their clubs?” Said Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell in the ESI Digital Summer, as quoted from Insider Sport. “Esports can provide the perfect channel for this. It’s a way that clubs can attract a younger audience to their core operations, i.e football, and it can help clubs to safeguard their future popularity and therefore their future profitability.”
The same notion was expressed by the Chairman of the European Club Association and Chairman of Juventus, Andrea Agnelli. Last year, he advised the football industry to be ready to compete with the gaming industry in capturing the interests of potential fans.
“Now, the habits of the fans are starting to change,” said Agnelli, from an article by Goal. We’re looking at ‘Generation Z’, the new digital natives who are turning into adulthood. We have to look at what is the behaviour of ‘Generation Z’. We should seriously start to think that the competitors are not clubs next door but League of Legends, e-sports, Fortnite. I think those are going to be the ones who are going to be our competitors going forward.
VIEWERS
Viewers and fans are not the only driving factor in entering the world of esports for football clubs. According to Gallagher-Powell, esports could be a major source of income for football clubs in the future. He realized that the franchise fees in large esports leagues are now in the price range of US$ 10-50 million, similar to the European soccer leagues around 20 years ago.
In 2018, slots in the League of Legends European Championship were valued at US$13 million. In the same year, Activision Blizzard set the price of the Overwatch League slot at US$20 million for the first 12 teams. They then offer an extra slot valued at around US$ 30-60 million.
Furthermore, football clubs can also use esports as a marketing tool, as suggested by Esports Insider’s Co-founder and Managing Director, Sam Cooke. In September 2019, Manchester City announced its partnership with the FaZe Clan. Through this collaboration, the two of them will make limited edition co-branded merchandise. Moreover, Manchester City will also have professional players representing them in Faze Clan’s FIFA matches, in the hopes of marketing their brand.
However, sports games like FIFA and PES are still less popular than MOBA and FPS games, such as Dota 2 or CS: GO. According to Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, the three most popular esports games right now are League of Legends, CS: GO, and Dota 2. In 2019, the total watched hours of the three games on Youtube and Twitch combined reached 845 million hours. As a comparison, FIFA 19’s total watched hours only reached 8 million hours, and FIFA 20 only reached 3 million hours.
“Fifa is a good game, many people play the game, but no hardcore esports fan will tell you, ‘I’ve been watching Fifa for years’,” said Carlos Rodriguez, the founder of G2 Esports, quoted from Financial Time.
The same idea was expressed by Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Indeed, being active in the FIFA and PES esports scene is not bad at all, as it may provide extra exposure to sponsors. However, the number of viewers of football esports games will never reach the heights of MOBA and FPS games.
Therefore, football clubs that wish to reach a much larger audience must explore the esports scene of more popular games, such as League of Legends and CS: GO. Several football clubs already took up this approach, such as Schalke 04, PSG, and FC Copenhagen. An example of a football team from Indonesia that has taken this approach is Bali United (IOG Esports); they have rosters in Free Fire and Mobile Legends.
“This route is naturally higher risk, but potential benefits are considerably greater,” said Gallagher-Powell. “The non-football or non-sports titles are the most-watched and most followed with fan numbers that dwarf that of FIFA or Rocket League. If a club wants to attract a large number of new fans, naturally, they’re better off using games with the largest followings.”
Substantial operating costs are also one of the obstacles that must be faced by football clubs if they want to create an esports team from a popular game. When a team wants to enter an esports league with a franchise system – as Schalke 04 does – they have to pay a considerable fee. Not only that, the salaries of esports players from League of Legends, Dota 2, or CS: GO are also significantly more expensive than FIFA or PES players. As an illustration, the salary of a high-end League of Legends player can fund an entire FIFA esports team, according to Gallagher.
How about Indonesia?
In Indonesia, football clubs and professional esports players are brought together in the Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL said, “the initial motive of creating the IFeL was our envy of neighbouring countries having their own virtual version of League 1. We want to create something similar to that. As a matter of fact, there are currently many Indonesian players in Thailand’s League 1. As proof, the top 5 teams in the League mostly consist of Indonesian players.”
Putra admitted that he was initially surprised by this phenomenon. He eventually realized that the football fanbase in Indonesia is not only massive but also very enthusiastic. He, and many others, even consider the football fans in Indonesia to be ‘fanatical’. From there, he then took the initiative to invite League 1 clubs to participate in IFeL. “The results and responses we received were beyond our expectations,” he said. “The number of viewers is quite massive, even far exceeding neighbouring leagues.”
Both football teams and professional players, of course, have their own separate fanbase. Putra revealed that IFeL’s viewers are a combination of the two fanbases. He also believes that the football and esports leagues can go hand in hand without any interferences, such as fighting over viewership or audiences. “The esports competition is usually conducted in the pre-event,” said Putra. “For example, if the soccer game commences at 7 pm, we’ll have an esports match at 5.”
According to Putra, cooperation between the football team and professional players can be considered as a mutualistic relationship. The esports industry, especially the virtual soccer scene, will benefit from the increasing amount of entities participating in the development of the industry.
“With the increasing number of football clubs entering the esports world, we hope that PSSI will finally recognize this industry,” he said. “In my opinion, this will become a massive leap for the virtual football industry as our country still extensively lags behind many neighbouring countries in terms of the development of the industry.”
The involvement of football clubs in the esports industry can benefit many players in the industry, said Rizki Darmawan, CEO and Founder of IVPL. That advantage is emotional bonding. The primary reason people watch football esports content is to get some knowledge of the game or support the content creator. They are actually less interested in the esports content of football itself.
The case is very different from football club fans, said Rizki. They usually have strong emotional ties to the club, so they will remain loyal and support their favourite team, regardless if that team wins or loses. Hopefully, this loyalty will translate towards the virtual football game if their respective favourite clubs decide to collaborate. For this reason, IVPL plans to collaborate with Liga 2 teams.
“We want to tap into League 2 to create emotional bonds. Football fans always stay loyal to their team even if they underperformed. We want to take advantage of this relationship between fans and their clubs to create something different,” said Rizki. He compared the emotional bond between a football club fan and a celebrity’s fan. “Fans of a particular celebrity always want to know what he or she is doing. That’s the exact formula we are going to use.”
The one aspect that distinguishes IFeL and IVPL is that IFeL focuses on 1v1 matches in PES, while IVPL focuses on 11v11 competitions in FIFA. Rizki revealed that his long-term goal is to create a virtual football national team.
There are plenty of benefits that football clubs can obtain if they enter the esports scene. Rizki revealed, “They will get new fans, new sources of income, and sell new merchandise.” He added that managing a virtual league is also much less demanding than a football league. For example, tournaments can be held online and watched from home. “You don’t have to go through the trouble of renting out a venue for the tournament, saving a tremendous amount of costs. You essentially only have to focus on managing the tournament itself,” he said.
Similar to Rizki’s views, Putra also said that getting into esports would allow the clubs to expand their market and reach out to the millennial or younger generation. “If they can make good use of this, esports can be a very profitable prospect for football clubs,” he said. “Unfortunately, not many football clubs in Indonesia understand the esports business model just yet.”
Putra further explained that the newly made football club esports teams will have no trouble participating in esports matches. “This can be a good source of income for the club,” he said. “It will also not be difficult for them to get sponsorship simply because their brands are already big and established.” He added that the club can also make a profit from selling or loaning their players.
Of course, there are still many clubs out there that are ignorant of the whole esports scene. However, Putra felt this problem could be resolved by opening the minds of football teams about the esports industry. “They are ignorant simply because they are not yet familiar with the esports business system. However, with the existence of IFeL, we can already see that several clubs have finally dive into the industry and open their own teams, such as PERSITA,” said Putra.
Conclusion
There are several reasons why football can be one of the most popular sports in the world. Firstly, the game itself is simple and easy to understand. Playing football also does not require any special equipment that is difficult to set up, such as a PC. All you need is the ball, ample space for the field, and of course, some friends to play together. However, these days, it is not really easy to obtain those things. On the flip side, everyone today pretty much has smartphones. Not only that, many games can be played for free. So don’t be surprised if some people prefer to play games over football.
However, football and esports leagues don’t have to fight for fans and viewership. Instead, the two of them can stand side by side and work together. We can see this partnership during the coronavirus pandemic where various football leagues were converted into virtual football matches, such as leagues in Singapore and Malaysia.
The collaboration between football clubs and esports players has also proven to be beneficial for both parties. So instead of trying to take over each other’s viewership like some zero-sum game, the esports and football industry should cooperate, support, strengthen each other, and use this opportunity to grow together.
This article is translated by Ananto Joyoadikusumo. Feat image: eFootball PES 2021 Season Update.