Pandemi yang terjadi secara global ternyata tidak menurunkan rencana AngelHack untuk melakukan semua kegiatannya. Platform yang telah berdiri selama 9 tahun ini mengklaim telah menjadi pemimpin untuk penyelenggara kegiatan hackathon, kompetisi, program akselerator, dan meetup. Beragam pengembang yang telah bergabung berasal dari 100 kota di seluruh dunia.
Kepada DailySocial, President & CEO AngelHack Corporation Iwan Suhardjo mengungkapkan, selama pandemi mereka menyelenggarakan sebagian besar kegiatan hackathon dan program inovasinya secara virtual. Dengan demikian memungkinkan lebih banyak pengembang untuk berkumpul dan mencari solusi dari setiap tantangan.
“Selain itu, kami memiliki beberapa perusahaan besar yang terlibat untuk pengembangan komunitas. Salah satu contohnya adalah kolaborasi kami dengan IBM, kami telah meluncurkan kompetisi virtual bagi siswa untuk mempelajari lebih lanjut tentang enterprise computing, yang benar-benar relevan dan dapat menjadi kesempatan bagi siswa untuk bekerja di perusahaan ternama,” kata Iwan.
Lebih lanjut Iwan menambahkan, AngelHack mendorong komunitas yang beragam yang saat ini berjumlah lebih dari 225 ribu lebih. Termasuk di dalamnya para pengembang, desainer, dan entrepreneur untuk menjadi peretas yang menyeluruh. Dengan memperkenalkan teknologi baru dan mentor yang terbaik, AngelHack berharap dapat melahirkan penciptaan teknologi tanpa batas, baik di dalam maupun di luar Silicon Valley.
Fokus AngelHack tahun 2021
Tahun ini AngelHack akan menggelar kegiatan AngelHack’s Global Hackathon Series 2021 secara virtual. Kegiatan ini akan memfokuskan kepada disrupsi yang positif, menantang status quo untuk bisa mengubah dunia menjadi lebih baik lagi. Program pra-akselerator 12 minggu AngelHack, HACKcelerator menghubungkan para peretas yang ambisius dengan pemimpin yang berpengalaman untuk membantu mereka mengembangkan talenta lebih luas lagi.
“Kami akan memulai kembali virtual Seri Global 2021 andalan kami di 9 region tertentu dengan tema positive disruption. Kegiatan ini akan memungkinkan semua orang termasuk korporasi dan pengembang menyesuaikan diri dengan the new normal pasca pandemi,” kata Iwan.
Disinggung seperti apa skill dari talenta digital di Indonesia saat ini, Iwan menyebutkan secara regional di Asia Tenggara dan APAC, Indonesia belum menjadi sumber insource atau outsource untuk software engineer.
Namun diprediksi fenomena ini akan berubah, dengan makin maraknya upaya berkelanjutan di dalam negeri untuk memajukan kota pintar dan inovasi inisiatif dalam beberapa tahun terakhir, dinilai telah membantu memacu minat para software engineer di Indonesia. AngelHack juga ingin memperkuat keberadaan mereka dengan Indonesia dan mengakselerasi kemitraan hingga kolaborasi dengan perusahaan lokal dan startup, agar bisa memberikan kontribusi berdasarkan praktik terbaik dari Silicon Valley.
“Fokus tahun ini sebenarnya adalah untuk mendefinisikan ulang dan melokalkan komitmen kami untuk perusahaan dan komunitas kami, sambil melanjutkan perspektif global. Selain itu kami juga ingin melibatkan duta besar kami serta anggota komunitas kami untuk generasi muda yaitu siswa, agar AngelHack dapat mendukung tumbuhnya lulusan universitas dan sekolah agar berhasil dalam bidangnya menuju perjalanan mereka selanjutnya sebagai entrepreneur,” kata Iwan.
Dalam satu pekan lalu, muncul beberapa kabar di dunia game. Capcom mengumumkan tanggal peluncuran dari Resident Evil Village, sementara Gabe Newell mengungkap bahwa Valve tengah mengembangkan beberapa game baru. Dari sisi bisnis, Tencent membeli saham dari Klei Entertainment dan Vicarious Visions kini menjadi bagian dari divisi Blizzard Entertainment.
Tencent Jadi Pemegang Saham Mayoritas dari Developer Don’t Starve
Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari Klei Entertainment, developer dari Don’t Starve, Oxygen Not Included, dan Griftlands. Hal ini diumumkan oleh Jamie Cheng, pendiri Klei, dalam sebuah forum. Cheng mengatakan, Klei akan tetap beroperasi mandiri, tanpa campur tangan Tencent. Mereka tidak hanya tetap mempekerjakan para staf mereka, tapi mereka juga akan fokus pada proyek-proyek yang sedang mereka kembangkan.
“Klei telah berdiri selama sekitar 15 tahun dan selama itu, kami telah membuat berbagai perubahan untuk menyesuaikan diri dengan industri game,” kata Cheng, seperti dikutip dari Games Industry. “Harapan saya tetap sama, yaitu memungkinkan para pekerja kami untuk bekerja dengan kreatif, belajar, dan menikmati kehidupan di luar pekerjaan mereka tanpa harus khawatir akan keuangan perusahaan. Hal ini tetap tidak berubah.”
Resident Evil Village Bakal Rilis Mei 2021
Minggu lalu, Capcom mengumumkan bahwa Resident Evil Village akan dirilis pada 7 Mei 2021. Gamehorror itu akan tersedia untuk PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, Xbox Series X, dan PC, lapor The Verge. Capcom mengatakan, Village sudah mendukung Smart Delivery untuk Xbox Series X|S dan Xbox One. Tak hanya itu, pemilik PS4 yang membeli game itu juga bisa melakukan upgrade ke versi digital untuk PS5. Selain mengumumkan tanggal peluncuran Village, Capcom juga merilis trailer baru dari game itu.
Vicarious Visions Digabung dengan Blizzard
Activision Blizzard memindahkan studio Vicarious Visions dari divisi Activision ke bagian Blizzard. Hal itu berarti, ke depan, 200 orang yang menjadi tim Vicarious Visions akan bekerja di bawah manajemen Blizzard Entertainment. Mereka tidak lagi menjadi tim developer utama dan akan fokus untuk membantu Blizzard menyelesaikan game yang menjadi proyek mereka.
“Setelah berkolaborasi dengan Vicarious Visions untuk beberapa waktu, Blizzard sadar bahwa kami dapat memberikan dukungan jangka panjang pada mereka,” kata juru bicara Vicarious Visions pada Games Industry. Sayangnya, mereka tidak menjelaskan proyek apa yang tengah mereka kerjakan bersama Blizzard.
Gabe Newell Ungkap Valve Punya Beberapa Game yang Bakal Dirilis
Dalam wawancara dengan 1 News, Bos Valve, Gabe Newell mengatakan, Valve sedang mengembangkan beberapa game baru. Setelah Half-Life: Alyx diluncurkan, Newell pergi ke Selandia baru untuk berlibur. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di sana setelah pandemi virus corona merebak.
“Kami punya beberapa game yang sedang kami kembangkan, yang akan kami umumkan di masa depan,” kata Newell, menurut laporan IGN. Sebelum ini, Valve telah mengembangkan banyak game. Namun, pada akhirnya, juga ada banyak game yang Valve tidak luncurkan, termasuk sejumlah versi dari Half-Life 3. Newell juga membahas tentang proses pengembangan Half-Life: Alyx dan keputusan Valve untuk fokus pada game single-player.
Kombinasi sensor 20.000 DPI, optical switch, dan panel samping yang modular menjadikan Razer Naga Pro sebagai mouse idaman para gamer MMO. Sayangnya tidak semua bisa menyanggupi banderol harganya yang cukup mahal: $150, atau Rp2.399.000 di Indonesia. Padahal, seperti yang kita tahu, gamer MMO setidaknya ada dua macam: yang sultan, dan yang sebisa mungkin menghemat pengeluaran alias free player.
Kabar baiknya, Razer telah meluncurkan varian baru Naga untuk kaum non-gacha ini. Dinamai Razer Naga X, ia punya banyak kemiripan dengan Naga Pro dari segi spesifikasi. Utamanya berkat optical switch generasi kedua yang tertanam di tombol kiri dan kanannya, yang lebih responsif sekaligus tahan lama ketimbang mechanical switch.
Sensor yang tertanam memang belum secanggih milik Naga Pro, akan tetapi dengan sensitivitas maksimum 18.000 DPI dan kecepatan tracking 450 IPS, ia tetap agak overkill buat sebagian besar pemain. Tanpa harus terkejut, Naga X yang didedikasikan untuk kaum jelata ini tidak punya konektivitas wireless dan masih mengandalkan kabel. Namun untungnya Razer masih menyertakan kabel SpeedFlex-nya yang tebal sekaligus lentur.
Bobot Naga X juga tergolong ringan di angka 85 gram (tidak termasuk kabel), sekitar 40% lebih enteng daripada Naga Trinity yang dirilis di tahun 2017, atau 32 gram lebih ringan daripada Naga Pro. Namun perbedaan terbesarnya terletak pada panel sampingnya. Naga X memang masih mengemas 12 tombol macro di sisi kirinya, akan tetapi bagian tersebut tidak modular seperti yang terdapat pada Naga Trinity maupun Naga Pro.
Di Naga Trinity dan Naga Pro, panel sampingnya itu bisa dilepas dan diganti dengan dua panel lain yang memiliki layout tombol berbeda, sehingga dapat dicocokkan dengan jenis game yang dimainkan. Di Naga X tidak demikian. Mouse ini benar-benar dikhususkan untuk pemain MMO yang membutuhkan selusin tombol ekstra guna memberikan akses cepat ke seabrek skill yang karakternya miliki.
Seandainya selusin masih kurang, jumlahnya masih bisa dilipatgandakan berkat dukungan fitur Razer HyperShift. Untuk bisa menggunakan fitur ini, syaratnya tentu software Razer Synapse harus selalu aktif di laptop atau PC Anda. Dua hal terakhir yang membedakan Naga X dari Naga Pro adalah tombol pengganti DPI-nya cuma satu, dan scroll wheel-nya tidak bisa di-tilt ke kiri atau kanan.
Di Amerika Serikat, Razer Naga X saat ini sudah dijual dengan harga $80. Harganya ini sama persis seperti Razer Viper maupun Razer Basilisk V2, sehingga mungkin di Indonesia harganya akan berada di kisaran 1,3 sampai 1,4 juta rupiah (seandainya memang tersedia di sini), alias hampir separuh lebih murah daripada Naga Pro.
Dota 2 Indonesia mengalami perkembangan yang sangat dinamis di tahun 2018 berkat kehadiran Indonesia Esports Premier League sampai satu persatu mulai bubar dan akhirnya ditinggalkan. Salah duanya adalah EVOS Esports dan Rex Regum Qeon, tim raksasa dan senior di Indonesia yang di tahun 2019 sama-sama berhenti mengoperasikan divisi Dota 2 mereka.
Tidak banyak tim baru Indonesia yang bermunculan di 2020 dan bisa menyaingi prestasi BOOM Esports yang tampil konsisten dan berprestasi baik di Indonesia maupun di turnamen regional. Namun ada satu tim Dota 2 Indonesia yang layak diperhitungkan akhir-akhir ini yaitu Army Geniuses. Berbeda dengan tim esports Indonesia yang mayoritas beroperasi di Jakarta, Army Geniuses berasal dari Batam, Kepulauan Riau yang dihuni oleh 5 pemain Indonesia.
Meski berkali-kali lolos di berbagai turnamen internasional, nama mereka mulai terlihat ketika menjadi salah satu tim yang lolos ke Lower Division DOTA Pro Circuit SEA 2021.
Sebelumnya mereka harus takluk di babak tiebreaker usai menghadapi ZeroTwo (tim gabungan dari Muhammad “InYourdreaM” Rizky dan Randy “Dreamocel” Sapoetra). Untungnya, mereka berhasil lolos karena Assault harus dicoret dari daftar tim yang lolos usai terbukti melakukan account sharing saat bertanding.
Farand “KoaLa” Kowara, pelatih dari Army Geniuses berbagi cerita mengenai cerita mengenai awal terbentuknya tim, proses berjalannya tim, hingga pendapatnya akan keberhasilan tim lolos ke lower division DPC SEA 2021.
Awal Mula Army Geniuses
Army Geniuses (AG) terbentuk sejak akhir Januari 2020 dengan diisi hampir seluruh pemain dari PG Orca, tim akademi dari Pondok Gaming yakni Haikal “StarGazer” Hadzik, Tri “MamangDaya” Daya Pamungkas, Syaid “woMy” M Reski, dan Yukatheo “you_K” Glenn. Satu-satunya pemain dari luar PG Orca adalah Hidayat “lawlesshy” Narwawan yang sebelumnya bermain untuk Louvre dan PG Barracx.
Sebelumnya, PG Orca sendiri meraih hasil yang cukup memuaskan di kancah lokal dengan berhasil menembus 8 besar di ESL Indonesia Championship Season 1 dan mencapai 6 besar di musim selanjutnya. Tidak hanya itu, mereka juga sukses meraih prestasi di turnamen internasional seperti juara 2 di UniPin SEACA 2019 dan juara 3 di Sin Esports DOTA 2 League Season 1.
Debut turnamen Dota 2 yang diikuti AG berada di luar Indonesia yakni ParaBellum Dota 2 Tournament 2020 yang diadakan di Bangkok, Thailand. Pencapaian membanggakan berhasil didapatkan dengan meraih juara ketiga usai takluk melawan Neon Esports dengan skor 1-2.
KoaLa sendiri bergabung menjadi pelatih sejak terbentuk. “Walau mereka masih terbilang muda, mereka sudah membuktikan prestasi mereka saat berada di PG Orca dan gua melihat mereka bisa berkembang gitu.” Ungkap KoaLa. Roster AG sendiri memang masih belia dengan pemain termuda adalah woMy yang masih berusia 18 tahun. Sedangkan yang tertua adalah you_K yang berusia 21 tahun.
Proses dan Pencapaian AG di 2020
Seusai turnamen ParaBellum, AG menjadi salah satu tim yang bertarung di ESL SEA Championship 2020. MamangDaya dan kawan-kawan saat itu berhasil lolos melalui jalur kualifikasi terbuka. Sayangnya, mereka harus tersingkir dini di turnamen dengan meraih peringkat terakhir. Setelah turnamen tersebut, nama mereka tidak lagi terlihat sampai akhirnya berhasil menjadi wakil Indonesia di Razer SEA Invitational 2020.
Tampil dominan dan berhasil meraih peringkat pertama di babak grup, sayangnya, mereka harus puas berada di peringkat ketiga setelah takluk dari Neon Esports dan 496 Gaming di babak Playoff.
AG juga turut mengikuti berbagai kualifikasi online namun gagal melaju ke babak utama sampai akhirnya berhasil lolos di DOTA Summit 13 Online: SEA usai menaklukan only play today di kualifikasi terbuka. Sayangnya di babak grup, AG gagal melaju ke babak selanjutnya setelah terbenam di posisi terakhir dengan meraih 3 kali hasil imbang dari 9 pertandingan yang dijalani.
Di bulan Desember, AG mengikuti 2 turnamen online yakni Moon Studio Carnival Cup dan Huya Winter Invitational namun di 2 turnamen tersebut, mereka tidak berhasil mendapatkan posisi 8 besar.
Lolosnya AG di Lower Divisions DPC
Meski berhasil lolos ke Lower Divisions dengan cara yang tidak biasa, KoaLa mengakui mereka tidak banyak melakukan latihan sebelum kualifikasi terbuka.
“Jujur aja kaget sih, kita bisa melangkah sampai sejauh ini karena kita kan habis liburan yang membuat kami tidak banyak latihan untuk mencoba META baru. Walaupun kami setidaknya bisa mendapat 1 game namun kami kurang bisa menutup game dengan rapih. Hal tersebut jadi PR yang harus kita selesaikan.
Kalau soal Assault kena diskualifikasi sebenarnya kita senang-senang aja sih masuk DPC lewat jalur tersebut namun dalam hati pasti ingin masuk DPC lewat jalur normal (kualifikasi). Namun bukan berarti kami tidak layak mendapatkan slot tersebut karena menurut gua kita lumayan perform baik di kualifikasi terbuka maupun di kualifikasi tertutup.” Ungkapnya.
AG sendiri berhasil lolos ke kualifikasi terbuka saat kualifikasi pertama dengan sukses mengalahkan Motivate Trust, tim yang sebelumnya meraih gelar juara di BTS Pro Series Season 3: SEA dan DOTA Summit 13: Online SEA.
Berbicara mengenai lawan yang patut diwaspadai, KoaLa memilih untuk mewaspadai semua lawan mereka di lower divisions. “Apalagi di META baru ini banyak yang pakai cheese/strat yang berbeda dari patch sebelumnya. Lengah dikit pasti kalah draft. Jadi otomatis semuanya harus diwaspadai. Namun jika disuruh memilih, Omega Esports lawan terkuat di Lower Divisions mengingat mereka memiliki strat yang variatif.” kata mantan pelatih Rex Regum Qeon ini.
Sampai artikel ini ditulis, debut Army Geniuses di DPC Season 1 Lower Divisions berjalan manis dengan meraih kemenangan 2-0 tanpa balas dari Galaxy Racer dan sukses membalas kekalahan mereka saat menjamu Zero Two, 2-1. Pencapaian ini membuat AG saat ini berada di posisi pertama di klasemen sementara lower divisions. MamangDaya dan kawan-kawan akan kembali bertarung pada tanggal 3 Februari menghadapi Cignal Ultra.
Dewasa ini, tidak sedikit pabrikan smartphone yang memasarkan produknya sebagai bagian dari sebuah ekosistem. Meski pastinya ada tujuan dari sisi marketing, pada akhirnya yang hendak dicapai adalah bagaimana konsumen bisa mendapatkan pengalaman yang lebih optimal ketimbang hanya sebatas menggunakan smartphone-nya saja.
Sebagai produsen yang portofolio produknya begitu luas, Samsung tentu tidak luput dari tren ini. Trio Samsung Galaxy S21 Series 5G yang diperkenalkan pekan lalu hadir bersama dua perangkat lain yang tak kalah menarik, yakni Samsung Galaxy SmartTag dan Samsung Galaxy Buds Pro.
Buat yang pernah memiliki Bluetooth tracker, Anda pasti tidak asing dengan konsep yang ditawarkan Galaxy SmartTag. Cukup kaitkan perangkat mungil ini ke kunci rumah, kunci mobil, tas ransel, dan lain sebagainya, maka objek-objek tersebut jadi bisa Anda lacak lokasinya menggunakan Galaxy S21 Series 5G.
Galaxy SmartTag memanfaatkan konektivitas Bluetooth Low Energy (BLE), dan jangkauannya sangatlah luas di angka 120 meter. Namun seandainya barang Anda berada di luar jangkauan koneksi, Anda masih bisa melacak lokasinya dengan bantuan pengguna perangkat Galaxy lain yang berada di area sekitar barang – dengan privasi yang tetap terjaga tentu saja.
Selain untuk mencegah barang-barang penting Anda hilang, Galaxy SmartTag juga bisa merangkap peran sebagai remote control buat perangkat IoT (Internet of Things) maupun smart home yang kompatibel dengan ekosistem SmartThings. Yang paling sederhana, tombol milik Galaxy SmartTag bisa ditekan untuk menyala-matikan lampu pintar yang terpasang dalam ruangan.
Beralih ke Galaxy Buds Pro, di sini pengguna Galaxy S21 Series 5G dapat memanfaatkannya sebagai mikrofon eksternal ketika sedang merekam video. Fitur ini sangatlah berguna ketika melangsungkan sesi vlogging, di mana suara Anda jadi bisa tertangkap dengan baik oleh mikrofon yang tertanam di Galaxy Buds Pro.
TWS ini juga mengunggulkan pengalaman penggunaan yang seamless berkat fitur Auto Switch. Contoh penggunaannya yang paling gampang adalah, ketika Anda sedang memakainya bersama Galaxy Tab S7 untuk menonton video lalu ada panggilan telepon yang masuk ke Galaxy S21 Series 5G, maka video akan dihentikan secara otomatis sehingga Anda dapat menerima panggilan teleponnya.
Saat panggilan teleponnya sudah selesai, Galaxy Buds Pro pun akan kembali terhubung ke tablet secara otomatis, dan videonya juga akan diputar kembali dengan sendirinya. Semuanya berjalan secara seamless tanpa mengharuskan pengguna menyambungkan Galaxy Buds Pro ke tablet atau smartphone secara manual (kecuali untuk setup awalnya).
Dipadukan semuanya, ekosistem Galaxy ini tentu bisa mendukung gaya hidup pengguna secara optimal. Untuk kegiatan produktivitas pun kombinasi Galaxy S21 Series 5G dan Galaxy Buds Pro pasti sangat ideal, apalagi mengingat Buds Pro punya fitur ANC yang sangat efektif dalam hal memblokir suara di sekitar sehingga pengguna dapat tetap menjaga konsentrasinya. Belum lagi kalau ternyata yang dipilih adalah Galaxy S21 Ultra 5G, yang merupakan model satu-satunya yang mendukung S Pen.
Kabar baiknya, menikmati keunggulan yang ditawarkan ekosistem Galaxy ini tidak sulit mengingat Samsung telah membundelnya menjadi satu dalam program pre-order Galaxy S21 Series 5G sampai tanggal 27 Januari 2021 nanti. Untuk semua pemesanan Galaxy S21 Series 5G, konsumen berhak mendapatkan bonus Galaxy SmartTag (di samping sejumlah bonus lain). Khusus untuk Galaxy S21 Ultra, ada tambahan bonus Galaxy Buds Pro.
Selebihnya, jika memerlukan lebih banyak unit Galaxy SmartTag, ia juga dapat dibeli secara terpisah seharga Rp399.000, sedangkan Galaxy Buds Pro dihargai Rp2.749.000 kalau mau dibeli secara terpisah.
Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Samsung.
Diskusi seputar bagaimana PUBG, juga versi mobile-nya, dipertandingkan dan ditayangkan sepertinya masih menjadi diskusi hangat yang patut untuk dibahas. Saya jadi terpikir untuk kembali membahas ini setelah Tencent memutuskan untuk menghapus map Vikendi dari daftar map yang dipertandingkan di turnamen PMCO 2021 nanti. Berangkat dari sana, saya pun ingin membuka diskusi apakah format pertandingan PUBG Mobile sekarang sudah ideal?
Berbagai Kritik Ketika Battle Royale PUBG Menjadi Esports
Membincangkan esports PUBG Mobile terasa kurang lengkap tanpa berbicara bagaimana PUBG (PC) sendiri berangkat jadi esports. ESL Gamescom PUBG Invitational di tahun 2017 mungkin bisa dibilang sebagai bibit awal perkembangan PUBG menjadi esports. Sejak saat itu, turnamen demi turnamen pun muncul hingga PUBG Global Invitational pun hadir sebagai puncak esports PUBG pertama. Pada proses perkembangannya menjadi esports, banyak yang mengkritis soal kemunculannya.
Saya ingat sempat membaca beberapa artikel yang mengkritisi soal metode penayangan PUBG yang cenderung sulit karena banyaknya aksi yang bisa terjadi di dalam satu waktu. Ada juga yang mengkritisi soal format pertandingan PUBG yang cenderung membuat pertandingan jadi mudah ditebak. Ada juga yang mengkritisi soal PUBG yang bisa jadi mimpi buruk bagi operator turnamen esports karena harus menyediakan 64+ komputer di dalam satu turnamen LAN. Terlepas dari semua kritik, turnamen PUBG Global Invitational jadi pembuktian oleh sang pengembang dan berhasil menarik hampir 760 ribu peak viewers dengan total konsumsi hampir mencapai 9,2 juta jam.
PUBG Mobile pun mulai muncul ke permukaan pada Maret 2018 lalu. Mengikut kesuksesan pendahulunya, Tencent selaku penerbit PUBG Mobile pun mulai membangun ekosistem esports sedikit demi sedikit. Pada masanya, jenjang turnamen PUBG Mobile terbilang agak… acak-acakan. Bahkan, turnamen PUBG Mobile tingkat dunia ternyata sudah 4 kali berganti nama dari tahun 2018 sampai 2021 ini. Ada PMSC yang dimenangkan RRQ Athena di tahun 2018, lalu ada PMCO Global Finals yang dimenangkan Bigetron RA pada tahun 2019, kemudian berganti jadi PMWL East dan West di tahun 2020 kemarin, dan terakhir adalah PMGC 2020 yang sedang berjalan saat ini.
Tahun 2018 terbilang jadi masa eksplorasi bagi esports PUBG ataupun PUBG Mobile. Keduanya mencoba menghadirkan dua format pertandingan yaitu TPP (Third-Person Perspective) dan FPP (First-Person Perspective). Setelah satu tahun berjalan, dua game tersebut berpisah jalan dan menggunakan cara bertanding yang berbeda. Esports untuk PUBG di PC hanya mempertandingkan mode FPP saja sementara esports PUBG Mobile hanya mempertandingkan mode TPP saja.
Secara gameplay, PUBG di PC yang cenderung lebih realistis memang terbilang cocok menggunakan mode FPP yang imersif. Apalagi pemain game shooter di PC juga cenderung terbiasa bermain dengan sudut pandang first-person. Sementara pada sisi PUBG Mobile yang cenderung lebih arcade juga cocok menggunakan mode TPP. Apalagi juga mengingat kecilnya layar smartphone yang bisa membuat pemain kesulitan apabila dipaksakan berkompetisi dengan mode FPP; walaupun mode tersebut sebenarnya tersedia di dalam game.
Dengan pembedaan tersebut, dua game tersebut seolah berkembang menjadi dua dunia yang berbeda walau sebenarnya berasal dari satu IP (Intellectual Properties) yang sama. Walau begitu, perdebatan antara mode TPP atau FPP untuk esports PUBG Mobile sepertinya tidak berhenti sampai situ saja. Ketika PUBG berkembang menjadi esports dengan format liga, Tiongkok juga punya liganya sendiri yang diberi nama sebagai Peacekeeper Elite League. Peacekeeper Elite sendiri adalah nama game PUBG Mobile versi Tiongkok yang sudah di-rebrand dan diubah pada beberapa aspek agar menyesuaikan kebijakan pemerintah Tiongkok seputar konten kekerasan di game.
Liga Peacekeeper Elite League (PEL) dipertandingkan dengan menggunakan mode FPP. Bahkan berdasarkan dari beberapa informasi, Peacekeeper Elite League dipertandingkan dengan menggunakan Hardcore Mode yang artinya tidak ada indikator visual terkait suara langkah kaki atau suara tembakan di map, tidak ada kendali otomatis untuk looting, reload, ataupun membuka pintu. Kalau tim Peacekeeper Elite League hanya bertanding di Tiongkok saja, hal tersebut mungkin jadi tidak masalah. Namun demikian, tim-tim Peacekeeper Elite League ternyata juga turut bertanding di dalam turnamen PUBG Mobile tingkat internasional seperti PMWL ataupun PMGC 2020 yang sedang berlangsung.
Jadi sebenarnya bagaimana seharusnya PUBG Mobile dipertandingkan? Mari coba kita diskusikan dari aspek mode permainan dan map yang dipertandingkan.
Mode Untuk Esports, TPP atau FPP?
Diskusi soal TPP atau FPP sepertinya akan menjadi diskusi yang tidak kunjung habis dibahas dalam membicarakan esports PUBG Mobile. Pada ekosistem esports PUBG di PC, kebanyakan pihak akhirnya sepakat bahwa mode FPP menjadi mode yang cocok untuk esports. Namun pada sisi lain, dua mode ini sepertinya masih menjadi perbincangan jika kita bicara esports PUBG Mobile. Apalagi juga mengingat liga lokal Tiongkok yang ternyata bertanding dengan metode yang berbeda.
Menurut opini dari pengamatan saya pribadi, saya sebenarnya kurang setuju dengan mode TPP sebagai pertandingan esports PUBG Mobile. Ada beberapa alasan kenapa TPP masih kurang tepat dijadikan mode esports sampai sekarang.
Alasan pertama, kamera TPP memberi keunggulan lebih besar kepada pemain yang bertahan sambil bersembunyi. Dalam esports, urusan balancing mungkin akan selalu membuat sang developer pusing tujuh keliling. Makanya proses nerfing/buffing karakter atau keadaan di dalam permainan selalu ada demi mencapai keseimbangan yang terbaik. Sementara itu mode TPP untuk esports PUBG Mobile saya pikir cenderung tidak balance karena keunggulan yang didapat pemain bertahan cenderung lebih banyak dibanding pemain menyerang.
Pemain bertahan di mode TPP memiliki beberapa keunggulan. Satu yang pasti adalah bisa melihat pergerakan lawan tanpa harus memunculkan bagian tubuh apapun. Kalau deskripsi saya membingungkan, Anda mungkin bisa melihat screenshot yang saya tangkap dari cuplikan pertandingan PMSC 2018 lalu. Seperti yang Anda lihat, TTNAmit bersembunyi tapi masih bisa melihat pergerakan lawannya yaitu Zodk.
“Tapi semua orang bermain dengan mode TPP di pertandingan esports PUBG Mobile, berarti pertandingannya adil kan?”
Sayangnya tidak demikian. Anda yang sudah sering push rank hingga Conqueror tentu paham betul betapa sakitnya di “TPP” oleh musuh. Betapa horornya apabila melewati compound strategis tapi terlihat sepi-sepi saja. Padahal Anda bermain dengan TPP dan musuh Anda juga pakai TPP. Tapi kenapa musuh yang bertahan/bersembunyi bisa melihat Anda, sementara Anda yang menyerang/bergerak tidak bisa melihat mereka?
“Fortnite juga pakai TPP untuk esports. Berarti kamera TPP sebenarnya cocok-cocok saja untuk esports kan?”
Dari apa yang saya amati, ada satu perbedaan fundamental terbesar antara TPP versi Fortnite dengan TPP versi PUBG Mobile. Dalam Fortnite, setiap objek yang ada di medan pertarungan bisa dihancurkan. Senjata di game Fortnite juga sangat beragam. Mulai dari senjata yang umum seperti Rifle atau Machine-Gun sampai senjata-senjata peledak seperti bom ataupun basoka yang juga bisa menghancurkan tembok atau objek apapun.
Sementara pada PUBG Mobile, tidak ada satu pun objek di medan pertempuran yang bisa dihancurkan (kecuali pintu rumah). Jangankan tembok rumah, jerami yang ada di tengah lahan pertanian saja tidak hancur ataupun bergeser ketika ditembaki atau terkena ledakan granat.
Karena itu, bermain TPP di PUBG Mobile jadi sangat menguntungkan. Karena tembok/objek tidak bisa dihancurkan, maka risiko bagi pemain yang bertahan/bersembunyi jadi semakin kecil. Pemain yang bertahan tentu masih bisa dikalahkan dengan granat atau molotov. Namun terlepas dari itu, bertahan dengan kamera TPP di PUBG Mobile tetap cenderung lebih menguntungkan.
Dengan kondisi dan mekanik permainan yang ada, FPP sebenarnya terbilang jadi mode yang paling “fair” untuk esports PUBG Mobile. Dalam keadaan FPP, apa yang Anda lihat adalah posisi di mana Anda berdiri. Anda berlindung di balik tembok maka apa yang Anda lihat adalah tembok. Anda harus memunculkan tubuh Anda apabila ingin melihat ke mana musuh bergerak.
Karena hal tersebut, kondisi pemain menyerang dan pemain bertahan pun lebih adil. Pemain bertahan punya kemungkinan kalah yang lebih besar, karena ia hanya bisa mendengar suara langkah kaki saja tanpa bisa melihat posisi pasti pemain menyerang. Sementara pemain menyerang juga jadi lebih leluasa melakukan pergerakan tanpa harus takut terjebak kamera TPP sang lawan.
Saya juga menanyakan pendapat Head Coach Battle Royale Divisiondari AURA Esports yaitu Entruv. Pria bernama asli Alexander Putra tersebut pun setuju soal esports PUBG Mobile yang seharusnya menggunakan mode FPP. “Kalau ditanya esports PUBG Mobile seharusnya TPP atau FPP, gue setuju FPP. Karena mode FPP akan mengurangi elemen terpenting di Battle Royale yaitu luck. Lalu kalau ditanya apakah esports PUBG Mobile harus ikut Tiongkok yang pakai FPP Hardcore Mode, kalau menurut gue sih WAJIB!”
Terkait kelebihan TPP dan FPP, Entruv juga mengatakan. “Kalau TPP kelebihannya adalah penjualan skin akan naik dan para pemain casual sangat nyaman dengan mode ini. FPP memang sangat fair untuk kompetitif. Bahkan mungkin akan memunculkan meta baru yang harus dipelajari oleh setiap tim. Namun kekurangannya adalah tidak semua pemain mampu bermain FPP. Kekurangan mode FPP adalah bisa menyebabkan mual bagi beberapa pemain dan cenderung lebih sulit dipelajari oleh pemain casual.”
Pada akhirnya keadaan ideal yang diharapkan kadang memang tidak selalu berjalan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti yang saya sebut di awal juga, PUBG Mobile mode FPP cenderung tidak nyaman dimainkan di mobile. Selain karena ukuran layar yang lebih kecil, pergerakan cepat secara terus menerus juga bisa memunculkan rasa motion sickness saat bermain dengan mode FPP bagi beberapa pemain. Namun memang, mode FPP terbilang adalah mode yang lebih ideal dari segi kompetitif karena cenderung lebih fair.
Di sisi lain, mode TPP cenderung lebih laku karena pemain jadi bisa melihat bentuk dari karakter yang dimainkan. Karena bisa melihat bentuk karakter, keinginan membeli skin pun jadi cenderung meningkat.
PUBG Mobile berhasil mengumpulkan pendapatan sampai dengan US$3 miliar pada Juli 2020 lalu. Kosmetik yang membuat penampilan makin apik tentu menjadi salah satu sumber pendapatan tersebut. Walau mode TPP cenderung kurang adil untuk esports, namun mode tersebut mau tidak mau terpilih untuk dipertandingkan karena menjadi mode yang paling sering dimainkan dan mudah diterima oleh segala macam gamers.
Map PUBG Mobile Untuk Esports, Haruskah Sanhok Juga Dihapuskan?
Selain soal TPP vs FPP, hal berikutnya yang juga diperbincangkan dalam pertandingan PUBG Mobile adalah map yang digunakan. Terakhir kali Tencent mengeluarkan keputusan menghapus Vikendi dari daftar map yang dipertandingkan untuk esports. Alasannya tidak dijelaskan, namun saya akan coba mengupasnya pada bagian ini.
Sebelum menuju pembahasan, patut diketahui bahwa PUBG Mobile punya 4 map, Erangel, Miramar, Vikendi, dan Sanhok.
Erangel dan Miramar adalah dua map awal di PUBG. Keduanya punya ukuran yang sama, yaitu 8×8 km. Vikendi dan Sanhok merupakan map yang tergolong paling baru dibanding yang lain. Dua map tersebut terbilang jadi percobaan PUBG Corp. untuk memberi variasi ke dalam game. Vikendi dan Sanhok punya ukuran yang lebih kecil, masing-masing adalah 6×6 km dan 4×4 km.
Normalnya satu game PUBG diikuti oleh sekitar 80 hingga 100 pemain. Namun untuk esports, jumlah pemain di dalam satu map dikurangi menjadi 64 pemain saja atau 16 tim berisi 4 pemain.
Kenapa jumlah pemainnya harus dikurangi? Seperti apa yang dikatakan oleh Entruv, faktor luck adalah faktor yang sebisa mungkin harus dikurangi (kalaupun tidak bisa dihilangkan) di dalam sebuah pertandingan esports. Semakin banyak pemain di dalam suatu map, maka akan semakin besar faktor keberuntungan di dalam pertandingan.
Kenapa demikian? Satu tim bisa jadi terpaksa berebut satu daerah dengan beberapa tim tersebut yang akan semakin meningkatkan faktor keberuntungan di dalam pertandingan karena berebut loot.
Baku tembak juga jadi sulit diprediksi karena ada kemungkinan diserang oleh pihak ketiga/empat/lima akan semakin besar. Karena hal tersebut, 64 orang di dalam map 8×8 km sejauh ini terbilang sudah cukup ideal. Masing-masing tim punya waktu yang cukup untuk looting dan merancang strategi rotasi untuk mendapat Chicken Dinner. Baku tembak dari beberapa pihak masih sangat mungkin terjadi tapi masih bisa diprediksi.
Lalu apa jadinya kalau 64 orang tersebut bertanding pada map yang berukuran lebih kecil? Tentu saja kemungkinan-kemungkinan seperti 100 orang di dalam map 8×8 km akan terjadi lagi. Karena hal tersebut Vikendi terbilang kurang cocok digunakan untuk esports PUBG Mobile.
Terkait hal tersebut, Entruv mengatakan: “Gue sangat setuju Vikendi dihapuskan dari map kompetitif PUBG Mobile karena tempo permainan di map Vikendi terbilang sangat lambat dan membosankan. Ditambah lagi bantingancircle juga terbilang sangat random sehingga pertandingan jadi sangat terpengaruh oleh faktor keberuntungan.”
Kalau Vikendi yang berukuran 6×6 km dihapuskan, lalu kenapa Sanhok tidak? Apakah Sanhok juga perlu dihapuskan demi mendapatkan pertandingan esports PUBG Mobile yang lebih fair? Entruv juga memberikan pendapatnya seputar hal tersebut. “Gue enggak setuju semisal Sanhok dihapus. Variasi 3 map tersebut sudah cocok supaya penonton tidak bosan. Hal tersebut juga mengingat map Sanhok yang ukurannya kecil dan tempo permainannya sangat cepat sehingga map tersebut jadi map yang paling menarik untuk ditonton sejauh ini.” Ucap Entruv.
Memang jika kita hanya melihat dari ukuran map saja, Vikendi jadi map yang ukurannya tanggung dan tidak berhasil menonjolkan karakteristik tertentu yang bisa dinikmati penonton. Sementara 3 map lainnya sudah punya ciri khas mereka masing masing.
Erangel terbilang jadi map default, sudah dikuasai oleh kebanyakan orang, dan punya ragam jenis baku tembak mulai dari sniping hinggak baku tembak jarak dekat di perkotaan. Miramar mungkin juga bertempo lambat, tapi pertarungan padang pasir berbukit dengan berbagai senjata laras panjang juga jadi hal yang menarik ditonton para penggemar esports. Sanhok mungkin agak menyebalkan bagi pemain, tapi ciri khas pertarungan tempo cepat penuh adrenalin adalah nilai yang paling menonjol dari map tersebut.
Lalu kalau bicara masalah circle, membahasnya mungkin akan agak rumit karena ada faktor RNG atau faktor random yang terlibat di sini. Karena saya cukup penasaran dengan apa yang dikatakan Entruv, saya pun akhirnya mencoba untuk melihat perbedaan bantingan circle antara Erangle, Miramar, dan Sanhok dengan Vikendi. Dari apa yang saya amati, ternyata apa yang dibilang Entruv soal bantingan circle yang random di Vikendi terbilang ada benarnya.
Saya mengambil sampel berupa perpindahan circle dari fase 1 ke fase 2. Erangel, Miramar, dan Sanhok memiliki pola yang sama. Pola tersebut adalah ukuran circle yang mengecil secara signifikan dan bantingan-nya yang cenderung sisi pojok.
Vikendi berbeda sendiri. Ukuran circle hanya sedikit mengecil saja ketika berpindah dari fase 1 ke fase 2. Bantingan circle Vikendi juga tidak terlempar ke pojok, melainkan menguncup ke bagian tengah. Pada saat berpindah dari fase 2 ke fase 3, polanya terbilang masih sama untuk Vikendi yaitu hanya sedikit mengecil dan tidak terlempar ke pojok.
Melalui pengamatan tersebut, mungkin memang benar bahwa pola circle di Vikendi cenderung beda dengan 3 map lainnya. Tapi kalau soal random, saya merasa pendapat Entruv mungkin ada benarnya mengingat jam terbang Entruv sebagai coach dan juga mantan pemain PUBG.
Akhir Kata…
Soal TPP atau FPP serta map mana yang cocok untuk dijadikan esports PUBG Mobile sebenarnya baru sebagian dari beberapa polemik lain yang juga tak kalah menarik untuk dibahas. Kita belum membahas apakah format pertandingan dengan poin sudah tepat untuk esports PUBG Mobile? Apakah poin yang diganjarkan sudah cukup seimbang untuk tim yang mengutamakan Chicken Dinner dengan tim yang bermain agresif mengutamakan Kill?
Konsistensi Tencent untuk terus mengevaluasi cara penyelenggaraan turnamen PUBG Mobile patut diapresiasi hingga sejauh ini. Satu hal yang juga patut diingat, PUBG adalah game Battle Royale pertama yang dipertandingkan sebagai esports.
Sepanjang sejarah perkembangan esports, pertandingan game biasanya hanya mempertandingkan dua pihak saja; entah dalam format 5vs atau 1vs1. PUBG dan PUBG Mobile menjadi game pertama yang mempertandingkan 16 tim di dalam satu map.
Seiring waktu dan evaluasi yang dilakukan, pertandingan PUBG Mobile sepertinya memang akan terus berubah dan berevolusi. Apakah perubahan akan menimbulkan ketidakpastian kepada perkembangan esports PUBG Mobile? Hal tersebut jadi mengingatkan saya kepada kata-kata seorang filsuf Yunani bernama Heraclitus yang mengatakan, “satu-satunya hal yang pasti adalah perubahan itu sendiri.”
Di era serba digital, ditambah lagi oleh kebiasaan baru di mana mayoritas orang bekerja dari rumah, membuat banyak aktivitas transaksi dilakukan secara online. Termasuk untuk urusan tanda tangan.
Video game sering disebut sebagai sumber dari berbagai masalah, mulai dari membuat para murid malas belajar, para pria mengacuhkan kekasihnya, sampai penembakan massal di sekolah di Amerika Serikat. Tak hanya itu, game juga diklaim bersifat adiktif, membuat para pemainnya ingin terus bermain.
Sejatinya, game adalah media hiburan. Dan seperti yang disebutkan oleh Josh Bycer, pemilik Game-Wisdom, game memang didesain untuk membuat para pemainnya ingin terus bermain. Pada saat yang sama, para developer juga biasanya menerapkan mekanisme yang memudahkan para pemain untuk berhenti kapan pun mereka mau, misalnya fitur quick save/quick load.
Sama seperti kegiatan lain, seperti membaca buku atau berkebun, bermain game juga bisa membuat Anda lupa waktu. Hal ini membuat sebagian orang — khususnya orangtua — khawatir bahwa game menyebabkan kecanduan. Pertanyaannya: kapan bermain game menjadi berbahaya?
Klaim WHO dan Keraguan Para Ahli
Pada Juni 2018, World Health Organization menyatakan Internet Gaming Disorder (IGD) sebagai penyakit mental yang bisa didiagnosa. Meskipun begitu, tidak semua ahli kejiwaan serta-merta setuju dengan putusan WHO. Faktanya, sebagian dari mereka enggan untuk memasukkan gaming disorder ke dalam International Classification of Diseases (ICD), panduan standar yang digunakan dalam dunia kesehatan untuk menentukan penyakit yang diidap oleh pasien.
“Saya tidak mau orang-orang yang sebenarnya tidak punya gangguan kejiwaan dianggap memiliki masalah mental karena hal ini,” kata Nancy Petry, psikolog di University of Conneticut, pada WIRED. Kekhawatiran Petry bukannya tak berdasar. Dalam sebuah studi berjudul Mental Disordres: A Glamorous Attraction on Social Media? dijelaskan bagaimana generasi muda, yang tumbuh besar dengan internet dan media sosial, terkadang meromantisasi gangguan kejiwaan, seperti depresi dan anoreksia. Seolah itu tak cukup buruk, juga ada komunitas di media sosial serta situs yang mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal-hal berbahaya, seperti melukai diri sendiri. Jadi, masuk akal jika Petry serta para ahli psikologi lainnya tak ingin dengan gampang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan.
Pada 2013, Petry sempat memimpin subkomite dari American Psychiatric Association (APA) yang bertanggung jawabb untuk mempertimbangkan apakah IGD pantas masuk dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), buku panduan yang digunakan oleh tenaga kesehatan di Amerika Serikat dan berbagai negara lain untuk menentukan gangguan kejiwaan yang dialami oleh pasien. Ketika itu, grup yang dipimpin oleh Petry memutuskan, kecanduan game belum bisa dianggap sebagai gangguan mental karena kurangnya bukti yang menunjukkan gaming disorder sebagai gangguan jiwa. Sebagai gantinya, mereka mengklasifikasikan IGC ke bagian “Gangguan yang Memerlukan Studi Lebih Lanjut.”
Pada 2018, Petry kembali memimpin studi terkait kecanduan game. Saat itu, dia masih percaya, bukti untuk menjustifikasi klaim kecanduan game sebagai gangguan mental masih belum cukup. Para ahli psikologi setuju, efek bermain game, yang membuat para pemainnya ingin terus bermain, memang harus dipelajari lebih lanjut. Selain itu, mereka percaya, sebagian kecil gamer berpotensi untuk membangun kebiasaan bermain game yang bermasalah. Namun, mereka menganggap, jumlah riset terkait efek game pada para pemainnya masih belum memadai untuk menjadi bukti bahwa gaming disorder pantas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.
Selain jumlah studi terkait gaming disorder yang belum banyak, alasan lain para ahli psikologi enggan untuk mengategorikan IGD ke dalam gangguan kejiwaan adalah karena sebagian besar studi yang membahas kecanduan game tidak memiliki ukuran sampel yang besar. Tak hanya itu, biasanya, studi-studi itu tidak menyimpulkan apakah bermain game terus-menerus memang merupakan masalah psikologis atau merupakan pelampiasan dari masalah lain yang dihadapi oleh seseorang.
“Pada sebagian orang, bermain game merupakan coping mechanism untuk mengatasi masalah psikologis yang mereka alami,” kata Lennart Nacke, Director of the Human-Computer Interaction Games Group, University of Waterloo, seperti dikutip dari WIRED. Tanpa kriteria yang jelas untuk mendeskripsikan kecanduan game sebagai gangguan kejiwaan, WHO justru bisa membuat stigma baru pada para gamer. Jelas, menghabiskan waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu untuk bermain game adalah masalah. Namun, tidak sedikit orang yang menghabiskan belasan jam untuk bermain game setiap minggunya dan tetap bisa produktif.
WHO Nyatakan Gaming Disorder Sebagai Gangguan Kejiwaan
Meskipun sempat menuai protes dari para ahli psikologi, pada 2019, WHO akhirnya menetapkan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Tentu saja, hal itu tidak serta-merta membuat orang-orang yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game sebagai pengidap gaming disorder. Sama seperti orang yang merasa sedih tidak melulu depresi.
Faktanya, WHO menyebutkan bahwa lamanya waktu yang dihabiskan untuk bermain game bukanlah tolok ukur untuk menentukan apakah dia mengidap gaming disorder atau tidak. Menurut WHO, salah satu kriteria dari orang yang kecanduan game adalah mereka terus bermain game meski mereka sadar bahwa bermain game terus menerus mengacaukan aspek lain dari kehidupan mereka, mulai dari sekolah, pekerjaan, hubungan dengan teman dan keluarga, atau bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Seseorang bisa dianggap menjadi pecandu game jika gelaja ini bertahan selama setidaknya satu tahun.
Kepada Kompas, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading Jakarta Utara, dr Dharmawan AP, SPKJ menjelaskan, kecanduan game masuk dalam kategori behavior addiction. Kecanduan akan bermain game memiliki pengaruh yang sama dengan kecanduan obat atau substansi lainnya.
Memang, bagaimana kecanduan memengaruhi otak manusia? Seperti yang dijelaskan dalam How Stuff Works, reward system pada otak manusia punya peran penting dalam membuat manusia bisa bertahan hidup. Jadi, ketika kita melakukan sesuatu yang positif — seperti makan dan berolahraga — otak akan mengeluarkan dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Demi mendapatkan dopamin, kita akan mengulang kegiatan-kegiatan positif yang meningkatkan kemungkinan kita untuk bertahan hidup.
Setiap substansi punya pengaruh yang berbeda-beda pada sistem limbic. yang bertanggung jawab atas reward system. Namun, semua candu punya pengaruh yang sama, yaitu membuat sistem limbic mengeluarkan dopamin dalam jumlah banyak. Ketika seseorang mengonsumsi atau melakukan satu hal yang jadi candunya, dia bisa mendapatkan dopamin 2 hingga 10 kali lipat dari biasanya, yang membuatnya merasa “high“. Alhasil, demi mendapatkan dopamin itu, dia akan terus mengonsumsi candunya.
Masalahnya, ketika otak menghasilkan dopamin dalam jumlah yang tidak wajar, otak akan kesulitan untuk memulihkan keseimbangan kimianya setelah efek dari candu berakhir. Hal inilah yang membuat orang mengalami hangover atau withdrawal setelah mengonsumsi alkohol atau narkoba. Jika seseorang terus mengonsumsi candunya, maka otaknya akan berhenti memproduksi dopamin secara natural, yang memperburuk withdrawal. Jadi, untuk bisa mendapatkan dopamin, pecandu harus mengonsumsi candunya, yang semakin mengacaukan keseimbangan kimia pada otaknya. Pada akhirnya, hal ini justru menciptakan siklus tiada akhir.
Memang, hal ini serupa dengan apa yang dialami oleh orang yang kecanduan game, menurut Dharmawan. Dia menjelaskan, salah satu ciri orang yang kecanduan game adalah mereka tidak bisa mengendalikan diri dan terus bermain game meski mereka tahu bahwa hal itu tidak baik.
Sementara itu, American Addiction Centers (AAC) menyebutkan, gaming disorder punya beberapa gejala, baik fisik maupun emosional. Salah satu gejala fisik kecanduan game adalah seseorang sering merasa lelah dan lapar. Pasalnya, orang yang kecanduan game akan terus bermain game sampai melupakan kebutuhan dasar mereka, termasuk makan dan tidur. Orang-orang yang mengidap gaming disorder juga biasanya mengalami migrain atau mata lelah karena mereka fokus pada layar dalam waktu lama. Biasanya, mereka juga mengidap carpal tunnel syndrome karena memegang controller atau mouse selama berjam-jam.
Dari segi emosional, salah satu gejala kecanduan game adalah merasa mudah marah ketika tidak bisa bermain game. Seseorang yang mengidap gaming disorder juga biasanya hidup terisolasi, jauh dari teman dan keluarga. Tak jarang, mereka juga berbohong ketika ditanya tentang berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk bermain game.
Kenapa Masyarakat Takut akan Hal Baru?
WHO memang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Walaupun begitu, game juga sebenarnya punya dampak positif. Untungnya (atau sialnya, tergantung perspektif Anda), game bukanlah satu-satunya hal baru yang ditentang oleh masyarakat luas. Faktanya, berbagai inovasi teknologi pun pernah ditentang.
Menurut Harvard Business Review, salah satu alasan mengapa masyarakat menentang perubahan adalah karena terkadang, inovasi memang membawa dampak buruk pada kehidupan mereka. Contohnya, aplikasi transportasi online. Di satu sisi, keberadaan GoJek dan Grab memang menolong banyak orang. Namun, tak bisa dipungkiri, aplikasi transportasi online merupakan ancaman nyata untuk pengendara taksi atau ojek pangkalan. Pasalnya, pendapatan mereka jadi berkurang karena banyak orang yang memilih untuk menggunakan jasa GoJek dan Grab.
Hanya saja, alasan masyarakat untuk menolak perubahan tidak melulu rasional. Calestous Juma, profesor dari Kennedy School of Government, Harvard University menjelaskan, manusia biasanya memilih untuk mendukung atau melawan inovasi baru berdasarkan perasaan dan bukannya pemikiran rasional. Misalnya, sebelum kopi menjadi populer seperti sekarang, orang-orang pernah mengklaim bahwa meminum kopi bisa menyebabkan kemandulan.
Terdengar konyol memang. Tapi nyatanya, masih banyak orang-orang yang lebih percaya pada omongan di grup WhatsApp tanpa sumber yang jelas daripada penelitian ilmiah. Contoh: anti-vaxxer. Sudah ada banyak penelitian ilmiah bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme atau kelumpuhan. Namun, para anti-vaxxer tetap berkeras untuk tidak memvaksin keluarganya karena percaya vaksin akan menyebabkan autisme atau kelumpuhan.
Juma menyebutkan, tidak aneh jika masyarakat berpegang teguh pada argumen yang tidak rasional karena sejatinya, mereka hanya takut akan teknologi baru. “Orang-orang bereaksi berdasarkan intuisi mereka dan mereka mengumpulkan bukti berdasarkan apa yang mereka percaya,” kata Juma, seperti dikutip dari The Washington Post. “Mereka melihat satu hal baru dan bereaksi secara emosional karena keberadaan produk itu mengubah cara pandang mereka. Hal ini terjadi pada hampir semua fenomena baru.”
Lebih lanjut, Juma menjelaskan, terkadang, bukan teknologi baru yang menjadi momok bagi masyarakat, tapi perubahan yang muncul akibat perubahan tersebut. “Mereka khawatir, mereka akan kehilangan sesuatu,” kata Juma. Dalam kasus pengendara taksi dan transportasi online, kehilangan yang sopir taksi dan ojek pangkalan rasakan adalah penghasilan.
Selain pemasukan, hal lain yang orang-orang khawatir akan hilang karena teknologi adalah gaya hidup atau bahkan identitas mereka. Juma mengungkap, baik pemerintah dan perusahaan swasta bisa meminimalisir rasa takut ini dengan memahami sumber ketakutan orang-orang yang hidupnya terpengaruhi oleh keberadaan teknologi baru.
Merasa takut akan hal baru memang manusiawi. Meskipun begitu, hal itu bukan justifikasi untuk tidak mencoba hal baru, atau setidaknya, mencoba memahami inovasi baru yang muncul. Seperti yang disebutkan oleh Marie Curie, “Nothing in life is to be feared, it is only to be understood.” Semakin kita paham akan satu hal, semakin berkurang rasa takut kita akan hal itu.
Kesimpulan
Ketika saya masih menjadi mahasiswa IT, Google adalah teman baik saya. Setiap kali saya menemui masalah saat menulis kode, saya bisa menggunakan mesin pencari itu untuk menemukan solusi dari masalah saya. Hanya saja, tampaknya, hal ini tidak berlaku untuk masalah kesehatan. Ketika seseorang mencoba untuk mencari tahu penyakit yang dia alami dengan memasukkan sederet gejala ke Google, kemungkinan, hasil yang akan dia dapatkan adalah penyakit mematikan, seperti kanker.
Dari sini, saya menarik kesimpulan, mencoba melakukan diagnosa sendiri, tanpa memiliki keahlian di bidang kedokteran, bukanlah hal yang bijak. Hal yang sama juga berlaku untuk gangguan kejiwaan. Memang, WHO telah menyatakan bahwa gaming disorder termasuk gangguan mental. Namun, hal itu bukan berarti semua gamer mengidap gejala itu.
Satu hal yang pasti, kebanyakan orang memang ingin solusi mudah atas setiap persoalan. Kecanduan game? Larang game-nya. Padahal nyatanya, setiap kecanduan memiliki penyebab lain yang tak kalah substansif. Misalnya, seorang anak jadi kecanduan game karena orang tuanya tak mau/mampu menyediakan waktu atau perhatian lebih ke anak tersebut. Sebatas melarang bermain game, kemungkinan besar, tidak akan menyelesaikan persoalan jika mereka juga tidak mencoba memberikan waktu dan perhatian yang lebih besar ke anak-anaknya.
Di era konvensional, pencatatan penjualan biasa dilakukan secara manual. Bahkan di era komputerisasi, pencatatan masih menggunakan software perkantoran yang terbilang rumit dan tidak spesifik.
Smartphone flagship bertenaga chipsetQualcomm Snapdragon 888 5G Mobile Platform terus berdatangan, termasuk Xiaomi Mi 11, Samsung Galaxy S21 series, dan vivo iQOO 7. Satu lagi bergabung juga dari vivo yang baru saja memperkenalkan X60 Pro+ 5G.
Selain memiliki performa gahar, fitur unggulan yang membuat vivo X60 Pro+ sangat menonjol ialah konfigurasi kameranya. Terdapat empat unit kamera belakang, di mana dua diantaranya mengandalkan sensor gambar besutan Samsung dan Sony.
Kamera utamanya menggunakan sensor gambar Samsung ISOCELL GN1 berukuran 1/1.3 inci dan memiliki resolusi 50MP dengan ukuran per piksel besar 1.2μm dengan aperture f/1.57 dan OIS. Dengan teknologi Tetracell yang menggabungkan empat piksel menjadi satu piksel, kamera utama vivo X60 Pro+ menghasilkan foto 12,5MP dengan piksel besar 2.4μm.
Kemudian kamera sekunder dengan lensa ultrawide 14mm yang menyuguhkan bidang pandang 114 derajat pada vivo X60 Pro+ mengandalkan sensor gambar Sony IMX598 berukuran 1/2.0 inci dengan resolusi 48MP 0,8µm. Modul kamera ini dilengkapi sistem stabilisasi gimbal kepunyaan vivo yang dapat mengoreksi gerakan ±3° atau sekitar tiga kali lipat lebih baik dari OIS standar.
Selanjutnya terdapat kamera periscope 8MP dengan OIS dan lensa 125mm f/3.4 yang menawarkan 5x optical zoom dan 60x digital zoom. Satu lagi 32MP dengan lensa telephoto 50mm f/2.1 untuk bidikan portrait dengan kemampuan 2x optical zoom.
Selain memiliki konfigurasi kamera belakang yang sangat apik, terlihat logo Zeiss terpatri di samping modul kamera. Ya, vivo memang menjalin kerja sama dengan pabrikan lensa asal Jerman tersebut dan kamera belakang vivo X60 Pro+ memiliki lapisan anti-reflective Zeiss T yang membantu memandu transmisi cahaya melalui lensa kamera yang diyakini akan meningkatkan kualitas gambar secara signifikan.
Kamera depannya beresolusi 32MP f/2.5 dan dapat merekam video 4K serta 1080p pada 30fps. Sementara, kamera belakang utamanya sanggup merekam video sampai resolusi 8K 30fps, 4K hingga 60fps, dan 1080p hingga 60fps.
Smartphone 5G dengan OriginOS 1.0 berbasis Android 11 ini memiliki tanki baterai 4.200 mAh dengan dukungan fast charging 55W. Balik lagi ke chipset, Snapdragon 888 dibangun pada teknologi proses 5nm dengan AI Engine generasi ke-6.
vivo memadukannya dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 8GB dengan penyimpanan UFS 3.1 128GB dan dibanderol CNY 5.000 atau sekitar Rp10,8 jutaan. Sedangkan, vivo X60 Pro+ versi RAM 12GB dan penyimpanan 256GB dijual seharga CNY 6.000 atau Rp13 jutaan.
Nah yang juga tidak kalah menarik ialah layarnya, pakai panel OLED 6,56 inci 1080p+ dengan sisi melengkung dan memiliki refresh rate 120Hz ditambah touch sampling rate 240Hz. Layarnya mendukung HDR10+ dan punya tingkat kecerahan hingga 1.300 nit.