Biznet Gio, anak usaha dari Biznet yang bergerak di bidang penyediaan layanan komputasi awan merilis NEO WEB, sebuah platform infrastruktur situs web untuk menjangkau pelaku usaha UMKM dan individu yang ingin bertransformasi digital. Potensi yang masih luas, terlebih momentum yang pas di tengah pandemi, memutuskan Biznet Gio untuk terjun ke segmen ini.
Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (31/3), CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto menerangkan, NEO WEB adalah infrastruktur terintegrasi bagi UMKM dengan berbagai layanan yang lengkap dalam sebuah ekosistem. Selain performa dan kecepatan, diperlukan rasa aman pada diri pelanggan saat meletakkan datanya pada Biznet Gio.
“Kita lihat jumlah UMKM di Indonesia ada banyak sekali, kalau ingin melakukan transformasi digital sendiri biayanya akan besar sekali. Maka dari itu kami ingin bantu mereka percepat transformasi digital, apalagi sekarang masih pandemi jadi sudah seharusnya go digital,” kata Dondy.
NEO WEB sudah diluncurkan sejak Februari 2021, memiliki ragam fitur seperti NEO Web Hosting, NEO Dedicated Hosting, NEO Domain, NEO DNS, hingga NEO Web Space yang merupakan layanan pembuatan situs secara mandiri dengan model Graphical User Interface dan Drag & Drop. Harga yang dibanderol mulai dari Rp10 ribu per tahun untuk layanan NEO Domain dan Rp20 ribu per bulan untuk NEO Web Hosting.
Walau harga terjangkau, pada layanan NEO Web Hosting, pelanggan sudah mendapatkan nama domain, kapasitas yang besar untuk meletakkan situs web, hingga sertifikat Secure Socket Layer (SSL). Untuk kebutuhan yang lebih besar, pelanggan dapat upgrade ke layanan NEO Dedicated Hosting atau Cloud Server yang dimiliki Biznet Gio dengan merek NEO.
“Target kita ingin menjangkau UMKM yang butuh infrastruktur digital yang berkualitas dengan harga terjangkau karena banyak dari mereka yang ingin transformasi digital tapi bingung caranya bagaimana dan pakai layanan apa,” tambah VP Sales and Marketing Biznet Gio Cornelius Hertadi.
Diharapkan NEO WEB pada tahun ini dapat menjangkau pelanggan baru antara 80 ribu sampai 100 ribu pelaku UMKM, dari posisi saat ini 20 ribu UMKM.
Resmikan pusat data ketiga
Dalam waktu bersamaan, perusahaan juga mengumumkan kehadiran pusat data ketiga yang berlokasi di Banten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang memerlukan fitur ketersediaan (availability) yang tinggi serta penyimpanan data pada lebih dari satu pusat data. Pusat data pertama dan kedua berada di Jakarta (MidPlaza) dan Jawa Barat (Technovillage, Cimanggis).
“Pengembangan pada pusat data ketiga yang terletak di Banten merupakan bentuk komitmen untuk menjadi pemain komputasi awan lokal yang dapat bersaing dengan pemain-pemain luar yang mulai berdatangan di Indonesia, dengan terus menghadirkan layanan dan fitur yang sesuai dengan standar industri,” tutur Dondy.
Keunggulan lain yang diusung Biznet Gio adalah konektivitas antar pusat data melalui jaringan tertutup (private network) sebesar 10 Gbps tanpa melewati jaringan internet, yang diberikan tanpa biaya tambahan ataupun instalasi tambahan kepada pelanggan.
Dari sisi lokasi, karena terletak di provinsi yang berbeda, pelanggan dapat membuat lingkungan produksi (production environment) pada satu pusat data dan lingkungan cadangan (backup environment) atau Disaster Recovery Site pada pusat data lain dari layanan Biznet Gio.
Sementara dari sisi keamanan, perusahaan baru mengantongi sertifikasi SOC Type II pada awal bulan ini yang menyatakan bahwa Biznet Gio telah menerapkan aspek trust service service categories untuk privasi dan keamanan pelanggan pada layanan komputasi yang ditawarkan. Sertifikasi ini melengkapi yang sebelumnya yakni ISO 27001 dan PCI-DSS.
Dondy menuturkan akan ada pusat data berikutnya yang sedang disiapkan perusahaan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. “Kami juga sedang mempersiapkan sertifikasi keamanan data tambahan lainnya.”
Saat ini perusahaan dan Biznet Group yang lain, tengah mempersiapkan Edge Computing untuk pemerataan akses konten digital di beberapa kota di Indonesia, yang diharapkan rampung pada akhir 2021.
“Dengan meningkatnya kebutuhan akses konten digital yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia, kami ingin mendekatkan konten-konten tersebut kepada para pengguna dengan layanan Edge Computing yang sedang kami kembangkan saat ini. Harapannya pengguna internet di daerah akan merasakan pengalaman akses yang sama dengan pengguna yang ada di Jakarta,” tutup Dondy.
EMTrade is a digital portal with mission to help new investors learn about stocks. Founded by influencer and stock practitioner Ellen May, the platform is currently transforming from an edu-fintech based application to a robo-advisory platform.
As a Founder & CEO, Ellen said to DailySocial, in the latest EMTrade application update, some automation features have been implemented. For example, to speed up the work process of Q&A services. In addition to the Q&A service, the EMTrade application has other features, including share purchase/sale recommendations, stock analysis, and educational channels.
“We are now recruiting for technology team, both for the back-end and front-end positions. In the future, EMTrade will transform into an end-to-end application to accompany [retail] stock investors in Indonesia,” Ellen said.
He said, there is a fairly specific roadmap for this year development. In the second quarter, a premium content feature will be launched, as well as a virtual trading service in late June to help users do demo trading. Artificial intelligence and machine learning technology will be implemented for stock screening – providing analysis based on user behavior.
“Moreover, we will launch an online trading feature that allows users to transact shares in the application in the fourth quarter. The partners are still undisclosed because it’s still in the finalizing process while waiting for license from OJK,” Ellen added.
Quoting from Indonesia Stock Exchange, there will be an additional 1.3 million SID (Single Investor Identification) for new capital markets and 590 thousand new SID shares in 2020, an increase of 61% and 134% from the previous year – the highest in the history of the capital market in Indonesia. As of the end of 2021, there were a total of 3.88 SID for the capital market and 1.65 million SID for shares. Ne SID users are usually within the ages of 18 and 40.
Ellen said, this happened due to various factors, including public considerations during a pandemic – interest rates tend to be low, making people look for other alternatives to develop money. The investment mindset is getting popular, people find it easier to compare various application instruments as the medium is everywhere.
In Indonesia, there are several startups working on platforms to facilitate the stock investment process. The two most significant ones are Stockbit and Ajaib. Most recently, Ajaib announced to secure 1.3 trillion Rupiah investment. Both have sub-services to facilitate users to invest in mutual funds.
“Compared to gold, returns in stocks are more attractive. Gold has only risen in the last 1-2 years, previously it was stagnant. Meanwhile, people say the risk is smaller in mutual funds because it has a person to manage the product. However, in the recent cases, there are many problematic mutual funds, it certainly increase the risks. The smallest investment risk is in our control. However, you must willing to learn,” Ellen explained.
However, the attractiveness in gold investment is quite high. There are many digital platforms to facilitate it, from Pluang, Treasury, Indogold, e-mas, etc. – some of them have been integrated with e-commerce applications and popular digital wallets in Indonesia. Other alternatives are emerging with technology media, such as investing in crypto assets, equity crowdfunding, or p2p lending.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Bisnis yang berkaitan dengan penyelenggaraan acara pernikahan terganggu signifikan akibat pandemi. Aturan PSBB hingga social distancing, menjadikan acara pernikahan dan resepsi perkawinan menurun jumlahnya sepanjang tahun 2020. Melihat permasalahan tersebut, Viding, platform one-stop virtual wedding kemudian resmi meluncur pada bulan Juli 2020 lalu.
Kepada DailySocial, Founder & CEO Viding Alkiadi Joyo Diharjo mengungkapkan, platformnya didirikan dengan menciptakan solusi atas permasalahan dalam pengelolaan akad dan resepsi pernikahan selama pandemi. Hingga kini perusahaan mengklaim omzet untuk tahun 2021 sudah tumbuh 3x lipat dan telah mencetak laba.
Layanan yang disajikan meliputi undangan digital, buku tamu digital, saluran untuk pemberian angpao secara digital, sampai fasilitas untuk sesi live streaming. Semua terintegrasi dalam satu platform terpadu. Pengguna juga akan mendapatkan dasbor untuk memantau laporan dari penyelenggaraan acara.
“Kami melihat pernikahan dengan konsep yang sederhana, intim, dan diselenggarakan secara hybrid menjadi tren di kalangan muda di Indonesia. Model bisnis kami adalah B2C, monetisasi dilakukan melalui biaya layanan pada tiap fitur, biaya layanan per paket, dan biaya administrasi transaksi dari e-angpao,” kata Alkiadi.
Saat ini layanan Viding telah tersedia di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, dan Bali. Dalam waktu dekat perusahaan juga berencana untuk memperluas area layanan di Medan.
Fitur unggulan
Disinggung apa yang membedakan Viding dengan platform serupa lainnya, disebutkan platform lain kebanyakan hanya menyediakan layanan web invitation atau live streaming saja. Sedangkan Viding menyediakan fitur yang terintegrasi secara menyeluruh, yang memberikan pengalaman maksimal bagi mempelai dan tamu dalam mengikuti kondangan/pernikahan virtual.
“Mempelai dapat membuat halaman website-nya sendiri secara mudah (drag & drop), di dalamnya terdapat fitur E-Guestbook, E-Angpao, Live Streaming dan Dashboard Reporting,” kata Alkiadi.
Sejak meluncur, platform Viding diterima dengan baik oleh target pengguna. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan omzet lebih dari 20% per bulannya; dan banyaknya rekan-rekan vendor pernikahan yang berkolaborasi, karena posisi Viding sebagai komplementer.
Viding juga menawarkan pilihan yang relatif terjangkau, menyesuaikan paket yang diberikan dengan harga antara Rp3 juta hingga Rp10 juta.
Ada beberapa rencana yang akan dilancarkan Viding tahun ini, di antaranya adalah ekspansi di beberapa kota besar di Indonesia. Masih menjalankan bisnis secara bootstrapping, mereka tengah mempersiapkan kegiatan penggalangan dana dan bekerja sama dengan mitra strategis potensial untuk pendanaan.
“Target kami hingga akhir tahun ini dapat menyelenggarakan 1000 pernikahan, membuka layanan di beberapa kota (target 20 kota) dan terus menyempurnakan platform. Kami juga membuka pintu kolaborasi dengan instansi-instansi terkait untuk membuat konsumen semakin nyaman,” kata Alkiadi.
Epic Games baru saja mendapatkan investasi sebesar US$1 miliar. Dengan ini total nilai perusahaan itu mencapai US$28 miliar, menurut laporan Sky News. Epic terakhir kali mengumpulkan dana pada Juli 2020. Ketika itu, Sony menjadi salah satu investor mereka dengan menanamkan modal sebesar US$250 juta. Fortnite menjadi salah satu game terpopuler buatan Epic. Sejauh ini, jumlah pemain game battle royale tersebut telah mencapai 350 juta oarng. Selain itu, Epic juga dikenal berkat Unreal Engine mereka.
Lalu, bagaimana Epic Games bisa menjadi perusahaan game raksasa seperti sekarang? Tim Sweney, Co-founder Epic Games mengungkap, selama 30 tahun berdiri, Epic Games melalui empat fase.
Epic 1.0
Di era Epic 1.0 — yang berlangsung pada 1991-1997 — Epic Games bahkan belum menggunakan nama itu. Sweeney mendirikan Potomac Computer Systems (PTC) pada 1991. Ketika itu, dia masih bekerja dari rumah orangtuanya. Game pertama yang PTC rilis adalah ZZT, game action-adventure puzzle yang bisa dimainkan di MS-DOS. Sweeney membutuhkan waktu sembilan bulan untuk menyelesaikan game tersebut. Dia memperkirakan, game tersebut terjual hingga ribuan unit.
PTC berubah menjadi Epic MegaGames pada 1992. Alasan Sweeney mengubah nama perusahaannya adalah karena dia ingin serius mengembangkan bisnisnya. “Saya sadar perlu menggunakan nama yang serius. Dan tercetus ide untuk menggunakan nama “Epic MegaGames’ — agar terlihat seperti perusahaan besar,” kata Sweeney, seperti dikutip dari Gamasutra.
Dalam beberapa tahun ke depan, Epic MegaGames merilis beberapa game, seperti Jill the Jungle, Epic Pinball, dan Ken’s Labyrinth. Pada 1994, mereka meluncurkan Jazz Jackrabbit, yang didesain oleh Cliff Bleszinski dan Arjan Brussee. Jazz Jackrabbit adalah salah satu gameside-scrolling platformer pertama yang diluncurkan untuk Windows dan Mac.
Epic 2.0
Era Epic 2.0 dimulai pada 1998. Di era ini, Epic mulai tumbuh sebagai perusahaan. Jumlah karyawan mereka naik, dari 15 orang menjadi 25 orang. Mereka juga mulai menyadari, untuk bisa menggaji semua karyawan mereka, mereka perlu membuat game yang lebih besar. Mereka lalu bekerja sama dengan GT Interactive sebagai publisher.
Pada 1998, Epic MegaGames meluncurkan Unreal, game 3D first-person shooter yang mereka kembangkan bersama dengan Digital Extremes. GT Interactive menjadi publisher dari game tersebut. Di tahun yang sama, Epic juga mulai menjual lisensi dari Unreal Engine ke developer-developer game lain. Satu tahun kemudian, Epic MegaGames kembali berubah nama, menjadi Epic Games. Bersamaan dengan itu, Epic pindah markas ke North Carolina. Masih pada 1999, Epic meluncurkan game Unreal Tournament. Sama seperti game Unreal pertama, Unreal Tournament dikembangkan dengan bantuan Digital Extremes dan dirilis oleh GT Interactive. Hanya saja, Unreal Tournament lebih fokus pada fitur multiplayer.
“Era Epic 2.0 berakhir karena maraknya pembajakan game PC. Menjual game single-player ketika itu hampir mustahil,” kata Sweeney, menurut laporan Polygon. “Ketika itu, kami memperkirakan, untuk setiap orang yang membeli game kami, ada empat orang yang memilih untuk memainkan versi bajakan.”
Epic 3.0
Epic memasuki era Epic 3.0 pada 2006. Fokus mereka pun berubah: dari membuat game untuk PC menjadi game untuk konsol. Di tahun 2006, Epic juga meluncurkan game shooter, Gears of War, untuk Xbox 360 dan PC. Microsoft Game Studios menjadi publisher dari game tersebut. Gears of War begitu sukses sehingga Epic memutuskan untuk membuat dua sekuel dari game itu. Berkat kesuksesan Gears of War, komunitas gamer konsol mulai mengenal Unreal, baik sebagai game engine maupun franchise game.
Pada Desember 2010, Epic meluncurkan Infinity Blade. Game action RPG ini dikembangkan oleh Epic dengan bantuan Chair Entertainment. Game ini merupakan game iOS pertama yang menggunakan Unreal Engine. Infinity Blade dibuat dengan tujuan untuk memamerkan versi terbaru dari Unreal Engine di iOS. Dan game tersebut sangat populer. Hanya dalam waktu empat hari sejak diluncurkan, Infinity Blade berhasil mendapatkan US$1,6 juta. Pada akhir 2011, total pemasukan untuk game ini mencapai US$23 juta.
Satu tahun kemudian, pada 2011, Epic meluncurkan Bulletstorm, yang dibuat bersama dengan People Can Fly, studio game dari Polandia. Bulletstorm dirilis oleh Electronic Arts untuk PlayStation 3, Xbox 360, dan PC. Pada Agustus 2012, Epic membeli People Can Fly, yang kemudian turut mengerjakan Gears of War: Judgment. Masih pada 2011, Epic mengumumkan keberadaan Fortnite. Ketika itu, game tersebut hanyalah multiplayer survival game yang terinspirasi dari game jam internal di Epic.
Era Epic 3.0 berakhir karena biaya pembuatan game yang terus naik. Sebagai ilustrasi, biaya produksi game Gears of War pertama adalah US$12 juta. Sementara biaya produksi dari Gears of War 3 memakan biaya 4-5 kali lipat dari game pertama.
“Kami memperkirakan, jika kami tetap membuat Gears of War 4, biaya yang kami perlukan akan mencapai lebih dari US$100 juta. Jika game itu sukses, kami akan bisa balik modal. Namun, jika tidak, kami justru bisa bankrut,” cerita Sweeney. Hal inilah yang mendorong Epic untuk mengubah model bisnis mereka. Faktor lain yang membuat Epic tertarik untuk mengganti model bisnis mereka adalah masalah pada versi multiplayer di Gears of War: Judgment.
Sweeney menjelaskan, Epic lalu membahas rencana mereka dengan Microsoft. Namun, Microsoft tidak setuju dengan mereka. Pasalnya, apa yang ingin Epic lakukan tidak sesuai dengan rencana Microsoft. Ketika itu, Sweeney sadar bahwa publisher justru bisa menjadi penghalang bagi developer. Pada saat yang sama, Epic mulai sadar bahwa salah satu proyek mereka, Fortnite — yang awalnya dibuat sebagai game indie kecil-kecilan — bisa menjadi populer jika Epic menggunakan model bisnis free-to-play untuk game itu.
Epic 4.0
Pada akhir era Epic 3.0, Epic mulai menyadari bahwa game-game populer adalah live game yang kontennya terus mendapatkan update dan bukannya game AAA. Mereka pun sadar, mereka harus mengubah model bisnis mereka.
“Kami mulai berubah dari developer dengan fokus sempit pada konsol menjadi developer yang fokus pada game multiplatform dan menjadi publisher dari game kami sendiri,” ujar Sweeney. Hanya saja, untuk berubah, Epic akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Jadi, kami membuat keputusan yang gila. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Epic, kami mengajak investor dari luar, yaitu Tencent.”
Pada Juni 2012, Tencent mengeluarkan US$330 juta untuk membeli 48% saham Epic. Selain saham, Tencent juga mendapatkan hak untuk memilih dua orang dari tujuh anggota dewan direksi Epic. Namun, Tencent tidak akan mencampuri urusan pembuatan game. Keputusan Tencent ini sesuai dengan modus operandi perusahaan Tiongkok tersebut. Dengan pembelian saham Epic oleh Tencent, era Epic 4.0 pun dimulai. Di fase ini, Epic kembali fokus membuat game PC.
Setiap Epic berevolusi, Sweeney menyebutkan, mereka selalu mencari rekan yang bisa membantu mereka melakukan hal-hal yang mereka tidak bisa lakukan. Tak terkecuali Tencent. Menurut Sweeney, Tencent adalah rekan yang cocok untuk Epic. Alasannya, Tencent tidak hanya sukses untuk menjadi publisher nomor satu di Tiongkok, mereka juga sangat ahli dalam mengoperasikan live game.
“Tencent bukan developer game,” kata Sweeney. “Namun, mereka ahli dalam mengoperasikan game dalam skala besar dan menarik hati para konsumen. Dan kami sadar, mereka punya visi dan misi yang mirip dengan kami sehingga kami bisa belajar banyak dari mereka.”
Game-Game yang Merefleksikan Era Epic 4.0
Sweeney merasa, karakteristik dari setiap fase yang Epic lewati tercermin dalam game-game yang mereka buat di era tersebut. Dua game yang mencerminkan karakteristik fase Epic 4.0 adalah Paragon dan Fortnite. Kesamaan dari kedua game itu adalah dua-duanya diluncurkan dalam keadaan tidak sempurna. Tujuannya, agar para gamer bisa memainkan game-game tersebut secepat mungkin dan memberikan masukan serta saran pada Epic.
“Kami tahu bahwa komunitas gamer akan selalu lebih besar dari tim kami,” kata John Wasilczyk, yang pindah ke Epic setelah bekerja selama dua tahun di Infinity Ward, mengembangkan game-game Call of Duty. “Jadi, kami berusaha untuk mendekatkan diri dengan mereka secepat mungkin. Hal itu berarti, kami merilis fitur baru bahkan sebelum ia sempurna. Dan jika komunitas merasa fitur itu tidak perlu, kami tidak akan menyempurnakan fitur tersebut. Dengan begitu, kami bisa menghemat waktu.”
Pada awalnya, Epic hendak meluncurkan Fortnite di Xbox. Namun, mereka sadar, Fortnite bisa dibuat menjadi live game yang terus mendapatkan update dari waktu ke waktu. Darren Sugg, Lead Designers dari Fortnite menjelaskan bahwa Fortnite merupakan percobaan untuk Epic. Game itu bertumbuh seiring dengan pertumbuhan ambisi Epic. Dia merasa tidak ada yang salah dengan itu. Menurutnya, di era modern seperti sekarang, tidak ada kata tamat untuk game online. Ke depan, sebuah game online masih akan terus tumbuh, menjadi lebih sempurna dengan fitur yang lebih banyak.
“Saya rasa, kebanyakan game online tidak akan tamat, selama kita masih bisa merilis update dan para pemain masih tertarik untuk memainkan game itu,” ujar Sugg. “Kami akan terus mendukung Fortnite selama masih ada orang yang memainkan game tersebut.”
Unreal Engine
Epic tidak hanya dikenal sebagai developer game. Mereka juga dikenal berkat Unreal Engine. Engine itu pertama kali digunakan pada game Unreal, yang dirilis pada 1998. Walau pada awalnya Unreal digunakan untuk membuat game FPS, engine itu bisa digunakan untuk mengembangkan game dari berbagai genre, mulai dari platformer, MMORPG, sampai fighting.
Pada awalnya, Epic menjual lisensi penggunaan Unreal Engine. Namun, pada 2015, mereka membiarkan Unreal Engine diunduh secara gratis. Sebagai gantinya, mereka menggunakan model bisnis royalti. Dengan model bisnis ini, Epic akan mendapatkan 5% dari total penjualan game yang menggunakan Unreal Engine. Keputusan Epic untuk menggratiskan Unreal Engine berbuah manis. Setelah Unreal Engine bisa digunakan secara gratis, ada semakin banyak developer yang tertarik menggunakan engine tersebut.
“Dulu, komunitas Unreal Engine sangat terbatas. Para developers AAA menggunakan engine kami untuk membuat game besar dan kami mengenal mereka semua. Ternyata, ada banyak developer indie berbakat — yang punya pengalaman dalam membuat game AAA atau baru pertama kali membuat game — yang juga tertarik dengan Unreal Engine. Dan mereka bisa membuat sesuatu yang hebat yang tidak pernah terpikirkan oleh kami,” ujar Sweeney.
Ke depan, Epic juga ingin mempromosikan Unreal Engine ke industri lain di luar gaming. Sweeney menyebutkan, Unreal Engine juga bisa digunakan di industri arsitektur, desain kendaraan, pembuatan film, dan lain sebagainya.
Apa jadinya ketika brand audiophile sekelas Bang & Olufsen memberanikan diri untuk terjun ke ranah gaming headset? Jawabannya adalah sebuah headset nirkabel bernama Beoplay Portal. Ya, ini merupakan gaming headset perdana B&O sejak perusahaan tersebut didirikan oleh Camillo Bang dan Svend Olufsen di tahun 1925.
Kalau saya tidak bilang, saya yakin Anda tidak akan menyangka bahwa perangkat ini merupakan sebuah headset yang ditujukan untuk kalangan gamer. Desainnya sama sekali tidak ada kesan gaming-nya, dan sepintas memang langsung kelihatan sama mewahnya seperti deretan headphone lain besutan B&O.
Mulai dari konstruksi berbahan aluminium sampai kulit domba asli yang membalut bantalan memory foam-nya, hampir semua bagian dari perangkat ini tampak sekaligus terkesan premium. Di saat yang sama, B&O juga tetap memperhatikan faktor kenyamanan; bagian headband-nya dilapisi kain yang terbuat dari serat bambu, dan bobot keseluruhan perangkat juga tidak lebih dari 282 gram — termasuk ringan untuk ukuran gaming headset.
Beoplay Portal dikembangkan sebagai bagian dari program “Designed for Xbox”. Itu berarti ia harus bisa disambungkan ke console Xbox secara seamless menggunakan protokol Xbox Wireless (2,4 GHz). Kalau punya adaptor Xbox Wireless, headset ini juga dapat dihubungkan secara nirkabel ke PC.
Alternatifnya, Beoplay Portal juga menawarkan konektivitas Bluetooth 5.1, lengkap dengan dukungan codec aptX Adaptive. Koneksi via kabel pun juga didukung, baik menggunakan kabel audio 3,5 mm maupun kabel USB-C. Kalau disambungkan ke PC via USB-C, otomatis baterainya juga akan terisi.
Di balik masing-masing earcup-nya, bernaung dynamic driver dengan diameter sebesar 40 mm. Headset ini juga mengunggulkan teknologi active noise cancellation (ANC) yang bersifat adaptif, tidak ketinggalan juga dukungan Dolby Atmos demi menyajikan efek suara surround secara virtual. Untuk mengoperasikan headset ini, pengguna bisa memanfaatkan perpaduan panel sentuh di sisi luar earcup beserta sejumlah tombol dan tuas.
Satu hal yang cukup unik dari Beoplay Portal adalah fitur bernama Own Voice, yang menurut B&O memungkinkan pengguna untuk mendengar suaranya sendiri dengan jelas ketika sedang berbicara. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah fakta bahwa headset ini mengandalkan mikrofon beam-forming yang terintegrasi ketimbang boom mic.
Dalam sekali pengecasan, baterai Beoplay Portal diperkirakan bisa bertahan selama 12 jam pemakaian kalau terhubung via Xbox Wireless dan ANC-nya menyala terus. Kalau cuma terhubung via Bluetooth, daya tahan baterainya bisa dilipatgandakan menjadi 24 jam, setara dengan yang ditawarkan kebanyakan headphone noise-cancelling — kecuali bikinan B&O yang berada di kelas tersendiri soal ini.
Di Amerika Serikat, Beoplay Portal rencananya akan dijual dengan harga $499 — ya, harga yang sama persis seperti banderol Xbox Series X itu sendiri. Gaming headset mungkin tidak seharusnya semahal ini. Namun dengan desain semewah ini, ditambah lagi konektivitas Bluetooth, mungkin Beoplay Portal lebih pantas dikelompokkan sebagai headphone noise-cancelling berkonektivitas wireless yang kebetulan juga sangat kapabel untuk keperluan gaming.
Pekan lalu, Home Credit mengumumkan kerja samanya dengan PT Asuransi Harta Aman Pratama meluncurkan lini insurtech bernama “MyLifeCOVER” di platform fintech tersebut. Pengguna kini bisa mendaftarkan diri, membayar, hingga proses klaim secara daring melalui aplikasi Home Credit.
Sebelumnya pada awal bulan ini, Grab juga baru mengumumkan masuknya PT PFI Mega Life Insurance ke jajaran mitranya. Kerja sama direalisasikan dengan peluncuran fitur “Sobat Proteksi” di superapp tersebut, memudahkan pengguna dalam mendapatkan produk asuransi perlindungan penyakit kritis.
Total di tahun 2020 kami mencatat ada delapan peresmian kerja sama serupa, antara platform digital dengan perusahaan asuransi – di luar platform yang dikembangkan oleh startup yang spesifik menggarap bisnis insurtech—meliputi:
Platform Digital
Perusahaan Asuransi
DANA
AXA Financial Indonesia, Mandiri AXA General Insurance
Traveloka
FWD Life Indonesia
Grab
Asuransi Simas Jiwa
Good Doctor
AXA Financial Indonesia
JD.id
Asuransi Jiwa Sequis Life
Modal Rakyat
Adira Insurance
OYO
Asuransi Simas Insurtech
Halodoc
Avrist Assurance
Mengutip laporan Corporate Digital Transformation Report 2020, inovasi digital untuk produk dan layanan asuransi terbagi ke dalam beberapa aspek. Model kerja sama yang dilakukan di atas hampir semua memfokuskan pada “digital customer engagement” alias sebagai kanal untuk menghubungkan antara produk dan layanan asuransi kepada penggunanya. Tentu pertanyaannya: seberapa efektif?
Baru-baru Grab Financial (unit dari Grab yang fokus menangani platform finansial dan asuransi) mengumumkan bahwa sepanjang dua tahun beroperasi di Asia Tenggara, unit insurtech mereka berhasil menjual 100 juta polis asuransi. Dalam rilisnya Tokopedia juga menyampaikan, per akhir 2020 produk asuransi mikro seperti “Proteksi Gadget” yang dijajakan kepada pengguna telah mengalami peningkatan transaksi hingga 70 kali lupat. Jelas dua contoh ini adalah pencapaian yang luar biasa.
Potensinya juga masih bisa terus digali; menurut riset Nielsen di tahun 2020, kesadaran masyarakat untuk memiliki produk asuransi jiwa di kota-kota besar di Indonesia selama pandemi meningkat menjadi 24%. Sebelumnya peningkatan selalu mentok di angka satu digit. Kendati secara umum saat ini di Indonesia kepemilikan asuransi secara umum masih terbilang rendah, dengan penetrasi asuransi (total premi/PDB) sebesar 3%.
Perspektif penyaji layanan
Dalam sesi peresmian kerja samanya dengan mitra perusahaan asuransi, Head of Payments & Value-Added Services Home Credit Indonesia Randy Pragustio Priantoro mengatakan, “Dibutuhkan inovasi melalui teknologi digital agar asuransi dapat menjangkau seluas-luasnya masyarakat Indonesia dan mampu memberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya perlindungan jiwa.”
Ia sendiri berpendapat bahwa aplikasi consumer seperti yang diusung memang jadi pendekatan tepat untuk menjangkau kalangan tersebut. Terlebih salah satu misi fintech juga mengayomi mereka yang belum terlayani sepenuhnya oleh layanan perbankan sembari membantu meningkatkan literasi keuangan.
Hal senada juga disampaikan Head of Insurance Grab Financial Group Tom Duncan saat mengumumkan kerja samanya dengan Mega Life Insurance, “Produk ini [Sobat Proteksi] merupakan perpanjangan dari pendekatan penetapan harga mikro dan fraksional kami sehingga lebih banyak orang Indonesia yang kurang terlayani dapat memperoleh manfaat dari produk asuransi yang dapat diakses dan disampaikan secara transparan.”
Di sisi perusahaan asuransi, Niharika Yadav selaku Presiden Direktur AXA Financial Indonesia juga berujar saat meresmikan kerja samanya dengan DANA, bahwa aksesibilitas produk menjadi prioritas dalam kerja sama yang dibangun dengan pengembang aplikasi digital. “Kami berupaya untuk selalu berinovasi dan menghadirkan solusi asuransi jiwa dan kesehatan yang berfokus pada nasabah serta memberikan kemudahan akses bagi semua orang untuk memiliki dan merasakan manfaat perlindungan asuransi.”
Edukasi lewat relevansi produk
Cara terbaik memberikan edukasi adalah dengan memberikan pengalaman praktik. Model ini tampaknya relevan saat mengaitkan maraknya produk asuransi mikro yang saat ini diintegrasikan dengan layanan dari startup digital. Produk asuransi mikro yang dimaksud di sini adalah perlindungan untuk sesuatu yang nilainya relatif lebih kecil, contohnya asuransi gadget, asuransi perjalanan jarak pendek dll. Harganya pun cukup terjangkau.
Ambil contoh asuransi untuk perlindungan smartphone dari layar retak, OVO mengenakan biaya bulanan berkisar Rp15.000,- hingga Rp65.000,- untuk (1) 100% jaminan penggantian layar yang baru; (2) garansi perbaikan jika layar kembali rusak selama 90 hari; (3) periode perlindungan yang fleksibel mulai dari 3 hingga 12 bulan; (4) layanan klaim pick-up dan delivery gratis dari tempat tinggal pengguna ke service centre dan sebaliknya; (5) spare part baru dan asli.
Gojek pun miliki produk serupa, bekerja sama dengan portofolionya PasarPolis. Menurut Chief Risk and Compliance Officer Gopay Budi Gandasoebrata, fokus GoSure (unit insurtech) adalah memudahkan akses masyarakat terhadap produk asuransi yang terjangkau. Selain itu, produk atau layanan juga harus dipastikan dengan kebutuhan sehari-hari. “[sebagai contoh] Dalam menghadirkan produk ini [asuransi gadget], kami memahami betul pentingnya melindungi gadget yang saat ini telah hampir menjadi kebutuhan primer di masyarakat yang semakin terdigitalisasi sejak pandemi Covid-19.”
Dengan pemahaman yang semakin matang terkait produk/layanan asuransi dan cara kerjanya –terlebih dengan merasakan langsung manfaat yang diberikan—bukan tidak mungkin bahwa penetrasi produk asuransi (termasuk asuransi jiwa) akan semakin meningkat di kemudian hari.
Mengutip dari laporan DSResearch, faktor-faktor keengganan orang Indonesia terhadap asuransi disebabkan oleh sejumlah alasan. Yakni, terkait prosedur untuk mendapatkannya (33,62%); harga yang dinilai terlalu mahal (24,15%); tidak memahami tentang produk dan manfaat (20,76%). Ada beberapa responden (13,56%) yang mengaitkan dengan larangan agama.
Sejak era ultrabook dimulai di tahun 2012, produsen laptop tidak hentinya mengejar titik ekuilibrium yang benar-benar bisa mengedepankan performa dan portabilitas tanpa mengorbankan salah satunya. Perkembangan pesat teknologi prosesor tentu berkontribusi besar terhadap tren ini, akan tetapi di saat yang sama produsen laptop juga harus bisa memaksimalkan teknologi tersebut dengan caranya masing-masing.
Salah satu cara yang paling mudah terpikirkan tapi cukup sulit untuk dieksekusi adalah menandemkan prosesor dengan sistem pendingin yang optimal, sebab musuh utama laptop memang adalah panas. Pada suhu tinggi, perangkat tidak akan mampu bekerja secara maksimal karena prosesornya harus dibatasi kecepatannya demi mencegah overheating.
Singkat cerita, sistem pendingin sama krusialnya seperti pemilihan prosesor pada sebuah laptop. Kalau perlu contoh, kita bisa melihat laptop terbaru yang baru saja dirilis oleh ASUS di Indonesia, yakni VivoBook Flip 14 (TP470). Laptop ini mengemas fitur bernama ASUS Intelligent Performance Technology (AIPT) yang dapat berpengaruh secara langsung terhadap kinerja perangkat.
Dari perspektif sederhana, AIPT akan mengatur konsumsi energi prosesor antara 15 W sampai 28 W secara dinamis berdasarkan banyak faktor, salah satunya temperatur alias suhu. AIPT melibatkan 9 sensor pintar yang tertanam di motherboard, yang memungkinkan pendeteksian suhu pada bermacam komponen secara real-time.
Berdasarkan data suhu yang diterima, algoritmanya akan mengalkulasikan output daya yang dibutuhkan oleh prosesor sehingga pada akhirnya efisiensinya bisa lebih dioptimalkan lagi. Suhunya sendiri dapat ditekan lebih jauh berkat penggunaan kipas spesial berbahan LCP (liquid crystal polymer). Dibanding plastik biasa, LCP punya struktur yang lebih kokoh sehingga bilah-bilah kipasnya bisa dibuat lebih tipis lagi, persisnya di angka 0,2 mm.
Berhubung bilah kipasnya lebih tipis, jumlah bilahnya pun bisa diperbanyak sampai menjadi 87 bilah. Kehadiran bilah kipas yang lebih banyak ini pada akhirnya mampu menghadirkan aliran udara yang lebih baik pada putaran yang sama, yang berarti suaranya tidak harus berisik untuk bisa mendinginkan perangkat secara efektif.
Pada praktiknya, AIPT memungkinkan pengguna VivoBook Flip 14 (TP470) untuk memilih antara tiga mode pengaturan performa: Performance, Balanced, dan Whisper. Dalam mode Performance, ASUS mengklaim peningkatkan kinerja hingga 40% jika dibandingkan dengan prosesor 15 W generasi sebelumnya, atau 20% jika dibandingkan dengan mode standar.
Mode Whisper di sisi lain akan membatasi putaran kipas agar volumenya tidak melebihi 22 dB, cocok untuk keperluan ringan yang tidak memerlukan daya komputasi besar seperti browsing atau menonton video. Terakhir, mode Balanced adalah pilihan yang paling ideal untuk kepentingan sehari-hari, termasuk halnya multitasking.
Spesifikasi mumpuni bertemu desain yang ringkas sekaligus stylish
Untuk prosesornya sendiri, VivoBook Flip 14 (TP470) menggunakan Intel Core i7-1165G7 dengan 4-core dan 8-thread, serta clock speed maksimum 4,7 GHz. Prosesor tersebut disandingkan bersama RAM LPDDR4X 16 GB dan SSD NVMe berkapasitas 512 GB. Untuk pengolahan grafis, semuanya dipercayakan pada chip diskret Intel Iris Xe Max yang memiliki 96 Execution Unit (EU) dan VRAM DDR4X sebesar 4 GB.
Komputer masa kini memiliki tampilan berbeda karena mereka memang berbeda. Dengan solid-state drive (SSD) dan teknologi terkini, Anda mendapatkan kecepatan, keamanan, ketahanan, dan desain yang cantik. Kami telah melakukan jajak pendapat, dan hasilnya, orang-orang lebih senang saat bepergian dengan PC modern.
Baik itu untuk gaming maupun content creation, semuanya mampu dijalankan dengan baik oleh VivoBook Flip 14 (TP470). Jadi tidak heran apabila target pasar yang ASUS tuju lewat laptop ini adalah kalangan kreator muda.
Namun agar bisa menarik perhatian para muda-mudi, desain clamshell standar tentu tidak akan cukup. Itulah mengapa ASUS merancang VivoBook Flip 14 (TP470) sebagai laptop convertible dengan engsel 360 derajat. Engselnya ini juga akan sedikit mengangkat bagian keyboard ketika perangkat dibuka, menyuguhkan kenyamanan ekstra selagi mengetik sekaligus meningkatkan sirkulasi udara jeroannya.
Kesan stylish pun dicapai berkat penggunaan rangka serba aluminium berwarna hitam atau silver. Tebal laptop ini tidak lebih dari 18,7 mm, dan bobotnya cuma berada di kisaran 1,5 kg. Layarnya merupakan panel sentuh IPS 14 inci dengan resolusi 1080p, dan layar ini sudah mendukung input menggunakan stylus yang termasuk dalam paket penjualan. Bezel yang mengapit sisi kiri dan kanan layarnya cukup tipis di angka 6,72 mm.
PC modern juga dilengkapi dengan pena digital yang memiliki banyak manfaat. Sentuhan khas tercipta saat Anda membuat sketsa atau coretan pada dokumen dengan pena digital. Penelitian juga menemukan adanya peningkatan kinerja hingga 38% pada pelajar ketika mereka menggunakan pena digital untuk mengerjakan soal-soal sains. Tidak semua ide berupa kalimat, kini saatnya untuk tuangkan inspirasi segera dalam sketsa atau coretan pena digital di PC modern.
Kalau kita perhatikan, keyboard-nya tampak cukup unik dengan layout yang melibatkan tombol-tombol nav cluster (Insert, Delete, Home, End, Page Up, Page Down) di sisi paling kanan. Saat perlu menginput banyak angka, ada touchpad yang dapat difungsikan menjadi numpad kapasitif yang sudah menjadi ciri khas ASUS selama ini. Di ujung touchpad tersebut juga tertanam sensor sidik jari yang kompatibel dengan fitur Windows Hello.
Laptop ini juga bisa dibilang juara perihal konektivitas. Selain port USB 2.0 Type-A dan port USB 3.2 Gen 2 Type-A, ada juga port HDMI 1.4, slot kartu microSD, serta port Thunderbolt 4 (USB-C) yang mendukung USB Power Delivery, yang berarti laptop ini juga dapat diisi ulang baterainya menggunakan adaptor USB-C (yang mendukung USB PD).
Bicara soal baterai, ASUS menanamkan modul berkapasitas 42 Wh yang diestimasikan bisa bertahan hingga sekitar 10 jam pemakaian. Fitur fast charging turut menjadi standar pada laptop ini, dengan proses pengisian dari 1% – 60% yang hanya memerlukan waktu kurang dari 50 menit. Melengkapi aspek konektivitasnya adalah modul Wi-Fi 6 (802.11ax) dan Bluetooth 5.0 (dual-band).
Secara keseluruhan, ASUS VivoBook Flip 14 (TP470) merupakan alternatif yang sangat menarik bagi para kreator muda yang tengah mencari laptop baru untuk menunjang kesehariannya. ASUS pun cukup berbaik hati menyertakan software Office Home & Student 2019 secara cuma-cuma.
Anda dapat menikmati semua manfaat dengan PC yang lengkap – PC sudah termasuk Office Home & Student 2019. Penggunaan aplikasi Office seumur hidup dapat memastikan Anda untuk selalu memiliki akses ke fitur yang Anda kenal dan sukai. Dilengkapi dengan 100% aplikasi Office asli, ia didukung oleh pembaruan keamanan yang rutin dalam melindungi program dan perangkat Anda. Adapun aplikasi Office versi lengkap (word, Excel, dan Powerpoint) memberikan semua fungsi yang Anda perlukan dan harapkan.
Kalau Anda tertarik, laptopini sekarang sudah bisa dibeli dengan harga Rp16.299.000. Buat yang memiliki budget lebih terbatas, tersedia varian lain yang mengemas prosesor Core i5-1135G7 dan RAM 8 GB yang dijual seharga Rp13.799.000. Semua varian sama-sama didukung oleh garansi global selama 2 tahun.
Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh ASUS.
Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.
Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.
Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.
Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.
Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.
Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.
Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.
Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.
Asia Tenggara paling resilient
Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.
Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.
Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.
Tren “exit“
Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.
Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.
Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.
Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).
Sebuah penelitian di Irlandia menunjukkan kabar gembira buat para gamer. Para pemain yang bermain game setidaknya 10 menit dalam sehari terbukti memiliki fungsi motorik yang lebih baik dari sebelumnya.
Dikutip dari artikel Science Foundation Ireland, Dr. Adam Toth memberikan penjelasannya. “Salah satu esports pertama dan yang paling berpengaruh selama 20 tahun terakhir adalah game first-person shooter (FPS), Counter-Strike: Global Offensive (CS:GO). Kami pun meminta para peserta studi untuk menembak dan membunuh target secepat dan seakurat mungkin selama sesi berlatih.”
Para peserta yang mengikuti studi ini mengenakan headset khusus yang mengirimkan stimulasi ke otak, 20 menit sebelum login untuk berlatih. Karena studi ini memang berupa penelitian, tentu ada juga control group. Beberapa pemain tidak mendapatkan stimulasi apapun lewat headset tadi. Tujuannya adalah untuk mencari tahu apakah headset khusus tadi dapat meningkatkan permainan mereka.
Dr. Mark Campbell, Director of Lero’s Esports Science Lab (ESRL) dan dosen senior Sports Psychology di University of Limerick (UL) menjelaskan mereka menemukan jika neurostimulation dapat meningkatkan performa motorik untuk para pemain amatir namun hal ini memang terbatas pada aksi yang berbasis sensor motorik.
Menurut hasil penelitiannya, para pemain amatir yang mendapatkan stimulasi sebelum berlatih dapat menunjukkan hasil yang lebih baik dalam waktu 5 hari, ketimbang para pemain amatir yang tidak mendapatkan stimulasi.
Dr. Campbell pun menambahkan bahwa penemuan mereka juga akan berguna di luar esports, seperti memelajari tugas motorik tertentu. “Pasien stroke, misalnya, dapat memanfaatkan tDCS (transcranial Direct Current Stimulation) di awal masa rehabilitasi mereka untuk memelajari ulang pergerakan motorik yang sebelumnya bisa dilakukan tanpa sadar.”
Oh iya, tahukah Anda bahwa berbagai hasil riset juga menunjukkan bahwa bermain game dapat memberikan dampak yang positif ke berbagai aspek hidup kita, seperti psikologis, kecepatan berpikir, ataupun kemampuan motorik kita? Kami pernah mengumpulkan berbagai hasil riset tersebut di artikel ini.
Buat Anda yang gemar bermain TikTok atau Snack Video, memotong video yang akan diupload menjadi penting dan cukup merepotkan jika menggunakan aplikasi yang keliru.