Usai memperkenalkan smartphone paling flagship-nya untuk tahun 2021, Xiaomi lanjut menyingkap penawaran perdananya di segmen foldable smartphone, Mi Mix Fold. Ada banyak inovasi menarik yang dihadirkan, tapi sebelumnya mari kita bahas terlebih dulu bagian terpentingnya, yaitu layarnya.
Mi Mix Fold mengemas layar OLED fleksibel berukuran 8,01 inci dengan resolusi 2480 x 1860 pixel (aspect ratio 4:3) dan refresh rate 60 Hz. Xiaomi mengklaim layarnya ini adalah yang paling besar di segmen foldable sejauh ini. Secara teknis memang benar, meski mungkin klaim tersebut nyaris tidak ada artinya kalau melihat layar Huawei Mate X2 yang lebih kecil 0,01 inci.
Layar fleksibel ini mempunyai tingkat kecerahan maksimum 900 nit, dan sudah mendukung HDR10+ maupun Dolby Vision. Xiaomi juga tidak lupa menekankan kemampuannya menampilkan l miliar warna, lengkap dengan akurasi warna yang sangat tinggi berkat algoritma kalibrasi racikan Xiaomi sendiri.
Hal lain yang turut dibanggakan oleh Xiaomi adalah engsel berbentuk huruf U yang duduk di sepanjang bagian tengah layar fleksibel tersebut, yang diklaim 27% lebih ringan ketimbang engsel milik ponsel foldable lain. Meski demikian, kekokohannya dijamin oleh hasil pengujian hingga 1 juta kali tekuk.
Beralih ke layar di sisi luar, ada panel AMOLED 6,52 inci beresolusi 2520 x 840 pixel. Layar sebelah luarnya ini juga memiliki tingkat kecerahan 900 nit dan dukungan HDR10+ beserta Dolby Vision. Bedanya adalah refresh rate dan touch sampling rate-nya sudah lebih tinggi dari standar, masing-masing di angka 90 Hz dan 180 Hz. Pada ujung kanan atas layar eksternalnya ini, ada kamera selfie 20 megapixel.
Satu hal yang cukup unik terkait layarnya ini adalah algoritma berbasis AI yang Xiaomi terapkan, yang diklaim mampu meng-upscale resolusi foto dari 720p menjadi 1440p, atau resolusi video dari 480p menjadi 1440p. Seberapa efektif fitur ini dapat bekerja di smartphone tentu masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Seperti halnya Mi 11 Ultra, Mi Mix Fold turut mengemas speaker hasil kolaborasi Xiaomi bersama Harman Kardon. Namun berhubung dimensi Mi Mix Fold lebih besar, jumlah speaker-nya pun juga telah digandakan menjadi 4 buah, dan Xiaomi juga telah menyertakan algoritma untuk menyajikan efek 3D spatial audio.
Kamera dan spesifikasi
Namun sebagai bagian dari keluarga Mi Mix, tentu saja ponsel ini masih membawa sejumlah kejutan lain yang belum pernah ada sebelumnya. Seperti yang kita tahu, seri Mi Mix selalu dijadikan sebagai ajang demonstrasi teknologi-teknologi terbaru yang Xiaomi kembangkan, dan Mi Mix Fold pun tak luput dari tren tersebut.
Teknologi-teknologi anyar itu bisa kita jumpai langsung pada kameranya. Mi Mix Fold adalah ponsel pertama yang mengemas chip ISP (image signal processor) bikinan Xiaomi sendiri yang dinamai Surge C1. Lewat komponen ini, Xiaomi pada dasarnya ingin meningkatkan kinerja autofocus, auto exposure dan auto white balance secara signifikan tanpa mengonsumsi terlalu banyak energi.
Bukan cuma itu, Mi Mix Fold juga jadi yang pertama menggunakan teknologi Liquid Lens, yang bisa kita temui pada kamera telephoto 8 megapixel-nya. Sesuai namanya, struktur lensa ini melibatkan sejenis cairan yang dibungkus oleh film transparan. Berhubung isinya cairan, kurvatur lensanya pun bisa berubah-ubah, sehingga ia dapat merangkap peran dua jenis lensa sekaligus, yakni lensa telephoto dengan 3x optical zoom, dan lensa macro dengan jarak fokus 3 cm.
Pengguna juga tidak perlu khawatir cairan di dalam lensanya itu beku saat digunakan di cuaca dingin, sebab Xiaomi memastikan cairannya bisa tahan sampai suhu sedingin -40° C, atau sebaliknya sampai suhu sepanas 60° C. Dua kamera lainnya adalah kamera utama 108 megapixel dengan sensor Samsung ISOCELL HM2 dan lensa f/1.8, serta kamera ultra-wide 13 megapixel dengan field of view seluas 123°.
Lanjut ke spesifikasinya, Mi Mix Fold hadir membawa chipset Snapdragon 888, RAM LPDDR5 berkapasitas 12 GB atau 16 GB, serta storage internal UFS 3.1 sebesar 256 GB atau 512 GB. Xiaomi tidak lupa menyertakan sistem pendingin spesial yang memiliki area disipasi panas yang luas, yang tak hanya mencakup bagian chipset saja, melainkan juga antena 5G dan sistem fast charging-nya.
Bicara soal fast charging, baterai berkapasitas 5.020 mAh di ponsel ini mendukung pengisian dengan output maksimum 67 W. Kecepatan pengisiannya ini sama persis seperti yang ditawarkan Mi 11 Ultra (0 – 100% dalam 37 menit), tapi bedanya Mi Mix Fold sama sekali tidak mendukung wireless charging.
Dalam posisi terlipat, Mi Mix Fold memiliki bodi dengan ketebalan 17,2 mm. Bobotnya berada di kisaran 317 gram, dan panel belakangnya sudah diproteksi oleh kaca Gorilla Glass 5, lengkap dengan tekstur yang menyerupai keramik. Alternatifnya, Xiaomi juga akan menawarkan Mi Mix Fold Ceramic Special Edition dengan material belakang yang berbeda, serta aksen warna emas di bagian engsel dan tombol volume.
Sejauh ini belum diketahui apakah Xiaomi Mi Mix Fold juga akan dipasarkan secara global. Untuk sekarang, Xiaomi baru menjualnya di Tiongkok dengan harga mulai 10.000 yuan (± Rp22,2 jutaan). Varian termahalnya yang mengemas RAM 16 GB dan penyimpanan 512 GB dihargai 13.000 yuan (± Rp28,9 jutaan).
Yup, Anda tidak salah baca dan saya tidak salah tulis. Razer memang sekarang punya sedotan reusable. Produk yang satu ini juga masih masuk dalam rangkaian program kepedulian lingkungan dari Razer.
Sayangnya, sedotan berbahan stainless steel yang dibanderol dengan harga US$20 (Rp290 ribu) ini tidak dilengkapi dengan fitur Chroma RGB — jadi sedotan ini tak bisa disebut sedotan gaming (menurut standar gaming peripheral yang menjadi RGB sebagai salah satu fitur wajib). Meski begitu, bukan produk Razer namanya jika ia tidak memiliki penampilan yang menarik perhatian. Di ujung sedotan ini, Razer menyematkan silicone tip berwarna hijau yang genjreng.
Jika kebanyakan sedotan reusable lainnya berukuran 230mm, sedotan Razer lebih pendek dengan panjang 100mm. Dalam paket penjualannya, selain mendapatkan silicone case yang terlihat stylish, Anda juga akan mendapatkan sikat pembersihnya.
Sebelumnya, Razer juga mengeluarkan bantal kepala Razer Sneki Snek yang dijual dengan harga US$29.99 (Rp435 ribu). Setiap bantal Sneki Snek yang terjual, ada 10 pohon yang akan diselamatkan. Dengan program yang sama, Razer juga punya boneka Sneki juga yang bisa dibawa pulang dengan harga US$29.99 (Rp435 ribu) untuk menemani Anda di kamar.
Sebelumnya, Razer juga mengumumkan smart mask N95 di CES 2021, yang diberi nama Project Hazel. Meski awalnya hanya sekadar konsep, prototipe masker itu juga nantinya akan diproduksi dan dipasarkan — menurut laporan dari Yahoo News.
EMTrade merupakan portal digital yang memiliki misi untuk membantu investor pemula mempelajari tentang saham. Didirikan oleh influencer sekaligus praktisi saham Ellen May, saat ini platform tersebut tengah bertransformasi dari aplikasi berbasis edu-fintech menuju platform robo-advisory.
Kepada DailySocial, Ellen selaku Founder & CEO mengatakan, di pembaruan aplikasi EMTrade terkini beberapa fitur automasi sudah mulai ditanamkan. Misalnya untuk mempercepat proses kerja layanan Q&A. Selain layanan tanya-jawab, sejauh ini aplikasi EMTrade telah memiliki beberapa fitur lain, meliputi rekomendasi pembelian/penjualan saham, analisis saham, dan kanal edukasi.
“Sekarang kami sedang melakukan perekrutan untuk mengisi posisi penting tim teknologi, baik untuk back-end maupun front-end. Karena ke depannya EMTrade akan bertransformasi menjadi aplikasi end-to-end untuk menemani investor saham [ritel] di Indonesia,” ujar Ellen.
Bahkan ia mengatakan, tahun ini sudah ada roadmap yang cukup spesifik untuk pengembangan. Di kuartal kedua nanti, fitur konten premium akan diluncurkan, juga layanan virtual trading di akhir Juni agar dapat membantu pengguna melakukan demo trading. Penerapan teknologi kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin juga akan mulai diaplikasikan untuk stock screening — memberikan analisis berdasarkan behaviour pengguna.
“Kemudian di kuartal keempat kami akan meluncurkan fitur online trading memungkinkan pengguna bertransaksi saham di aplikasi. Untuk mitranya belum bisa kami sebut karena masih dalam perampungan peresmian kerja sama sembari menunggu perolehan izin dari OJK,” imbuh Ellen.
Mengutip dari data yang disampaikan Bursa Efek Indonesia, di tahun 2020 ada penambahan 1,3 juta SID (Single Investor Identification) baru pasar modal dan 590 ribu SID baru saham, kenaikannya 61% dan 134% dari tahun sebelumnya — tertinggi sepanjang sejarah pasar modal di Indonesia. Per akhir 2021, secara total ada 3,88 SID pasar modal dan 1,65 juta SID saham. SID baru mayoritas digenggam oleh pengguna di rentang usia 18 s/d 40 tahun.
Menurut Ellen, hal ini terjadi karena berbagai faktor, termasuk disebabkan oleh pertimbangan masyarakat saat pandemi — suku bunga cenderung rendah di masa tersebut, membuat orang mencari alternatif lain untuk memutarkan uangnya. Pola pikir untuk berinvestasi juga semakin terbuka, orang lebih mudah membandingkan berbagai instrumen aplikasi karena mediumnya sudah sangat terjangkau.
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang menggarap platform untuk memudahkan proses investasi saham. Dua yang paling signifikan adalah Stockbit dan Ajaib. Terbaru, Ajaib mengumumkan perolehan pendanaan dari investor membukukan nilai 1,3 triliun Rupiah. Keduanya juga memiliki sub-layanan untuk memfasilitasi pengguna berinvestasi ke reksa dana.
“Jika dibandingkan emas, return di saham lebih menarik. Emas naik baru sekitar 1-2 tahun terakhir, sebelumnya stagnan. Sementara di reksa dana orang bilang risiko lebih kecil karena ada kokinya (orang yang mengelola). Tapi kalau lihat beberapa kasus terakhir banyak reksa dana bermasalah, bagi saya itu justru menjadikan risikonya tidak kecil. Risiko investasi paling kecil ada di kendali kita. Tapi harus disertai mau belajar,” terang Ellen.
Namun tidak dimungkiri bahwa minat ke investasi emas masih cukup tinggi. Platform digital yang memfasilitasi pun juga cukup banyak, mulai dari Pluang, Treasury, Indogold, e-mas, dll – beberapa dari mereka juga telah terintegrasi dengan aplikasi e-commerce dan dompet digital populer di Indonesia. Alternatif lain juga terus bermunculan memanfaatkan medium teknologi, seperti berinvestasi di aset kripto, equity crowdfunding, atau p2p lending.
When the public thinks of esports, they used to understand it merely as a bunch of nerds playing their games intensely. It is only in recent years that the public perception has changed towards a more open mindset regarding what esports really is. However, what is more often discussed and attended to is how successful an esports athlete could be — with all the luxury of fame, wealth, and prestige.
Yet, not everybody understands the hardship and struggle that comes before all of those ideals. In fact, not everybody made it to the big stage. Some retired before ever lifting trophies, or had to leave because the game’s scene couldn’t survive the wave of modern esports titles. If anything, the decisions that an esports athlete makes during their career could crucially affect their longevity as a professional player.
Since stories like these are often untold, forgotten, or neglected, we must realize how esports is just like any other career: not everything will work out as we desire, and that making bold decisions is equally necessary.
Thinking of such a scenario made me recall a professional player whom I have had time to chat with back in 2017. At that time, Indonesia’s esports scene was still under heavy development, and that only a small portion of the general public understood what it’s all about. His name is Peter Tjahjadi, more commonly known by his in-game nickname, AirLiur.
Seeing AirLiur take a sharp turn in his esports career, in my opinion, is as reflective as the present Indonesian esports scene today. Most, if not all, the focus is placed on the top-selling games, while less popular titles are gradually fading away. This led to the phenomenon of professionals having to switch to a different esports title, even if it meant a hard reset on their career.
Multiple professional players, especially those coming from PC-games like Dota 2 and League of Legends did just that. A handful of them made a transition to mobile games like Mobile Legends: Bang Bang, Arena of Valor, and recently League of Legends: Wild Rift.
Peter is indeed one of them. He made the switch from League of Legends to Mobile Legends and is currently part of Geek Fam Indonesia’s Mobile Legends Development League (MDL) roster. What makes Peter’s story intriguing is not only his quick adaptation to Mobile Legends’ competitive scene, but also the price he had to pay to make the switch.
Bige, Bigetron, and the LGS
Peter started his competitive journey back in around 2014/15, which was during the earliest days of League of Legends Indonesia. The original game kickstarted in 2009, but it took quite a while to reach the Indonesian competitive scene. Like many others, Peter began by joining small-scale tournaments with a couple of friends.
Amongst his earliest tournaments is the Teemo Cup – a monthly event in search of the best rookie League of Legends teams. In conjunction with the game’s new hype, the event organizers partnered with several internet cafes. In a roadshow-like fashion, League of Legends continued to popularize through these forms of events, attracting the earliest Indonesian communities.
Teemo Cup, back in the day, meant quite a lot for rookies or casual players alike. The event featured in-game currency as prizes, as well as a chance to participate in Glorious Arena. Glorious Arena provided a pathway for teams to participate in League of Legends Indonesia’s main league, the League of Legends Garuda Series, or LGS for short.
Afterward, AirLiur was recruited by his fellow future teammate, Teemolamon, forming a team called Bige. It was after a loss in the Glorious Arena when the two met Edwin Chia, also known as Starlest. They merged their respective teams, forming the foundation of Bigetron Esports.
Today’s Bigetron is known to not only be popular as ever, but they are also famed for having the strongest teams in all of esports. For instance, their PUBG Mobile team won PUBG Mobile World League 2020 – Season 0: East, and their newest division, League of Legends: Wild Rift roster, had just won SEA Icon Series 2021: Summer – Indonesia.
Back then, Bigetron’s League of Legends team, according to Peter, struggled in terms of team communication, although the roster composition had great individual skill sets of their own. The team had a fair share of participating in LGS Season 7 after making it through the Round Robin. Together with Teemolamon, Starlest, Venus, Tibold, and Qoui, Peter played as the team’s ADC during that season of LGS, leading to a 6th-place finish in the event.
Road to Asian Games 2018
Once the new season commenced, Peter found himself playing in a different team, known as Superamos. Superamos was the last-place finishers of the previous LGS season. In fact, they only made it to LGS 2017 Summer due to EVOS Esports deciding to not join the main event. Nonetheless, Peter’s addition into the team, together with his former teammate Venus, proved to be a crucial decision to Superamos’ upcoming performance.
In the Season Group Stage, Superamos climbed 3rd-place on the leaderboard tallying a 4-3 match result. Given their standings, Superamos received a Quarterfinals seed in the LGS 2018 Spring Playoffs. Unfortunately, their journey was quickly put to a halt after immediately losing 1-3 to Phoenix Esports. Peter and his squad had to be content with their 5th-place finish in the main event.
Post-LGS, Peter joined the ranks of Headhunters, which is amongst Indonesia’s best League of Legends team. Headhunters had just finished 2nd in LGS 2018 Spring, but decided to revamp their roster with Peter joining the lineup as ADC. It is also this very Headhunters roster that made it to the Asian Games 2018 as Indonesia’s national League of Legends representatives.
Their subsidiary ADC, cruzher, was just selected to become the national League of Legends coach. As a result, the team received a Direct Invite to the event, where they faced off against Asia’s best League of Legends teams — including the giants of South Korea and China.
Despite their lengthy preparation, the Indonesian national team failed to secure a single match victory for the country. Seeded together in the same group as Chinese Taipei, Saudi Arabia, and Pakistan, the Indonesian representatives went 0-6 throughout the event. Hence, the team didn’t only fail to advance into the Playoffs, but also went home as the last-place finishers in their very hometown where the Asian Games was held.
In hindsight, Peter thinks that his Asian Games experience was the “best thing that could have ever happened, it changed how people see me and esports.” The Indonesian government and the public’s view towards esports changed drastically ever since, with the scene receiving massive support and recognition.
Entering the Land of Dawn
Peter’s loss in the Asian Games surely has impacted him in the best ways possible. Despite the team’s 0-6 run, it left a lasting legacy in the realm of Indonesian esports. After about 4 years since I last chatted with him, I had a short interview with Peter once again to talk about his latest esports career. As usual, Peter is the humble professional player that I remember him to be.
Like mentioned earlier, Peter agrees with the idea that the Asian Games changed the local esports scene forever. “Now, those people who work in the esports field are no longer underestimated. Especially in Indonesia, where the scene was previously underestimated by the public,” Peter added.
However, the Indonesian League of Legends scene was slowly crawling into its stagnancy as the game stopped receiving direct support from the publisher and developer. Because of that, Peter was faced with a critical situation of either having to stick to the game he loves, or move to a different esports title altogether, and Peter picked the latter.
In 2020, Peter made the switch to Mobile Legends, the mobile esports title that is ever so popular in the youths of Indonesia. When asked what drove him to make such a decision, Peter answered, “It’s simple, I still want to be in the competitive world. I felt that at my age, which is still relatively young, I could still compete in games whether it was based on PC or mobile.”
Further, Peter never expected to see himself play Mobile Legends at such a competitive level, now that he is in the MDL. “At first I felt like I would be late if I only started to play Mobile Legends (in 2020), but because I had the opportunity to do so, I just gave it a go,” Peter explained.
Because of his prior experience playing League of Legends, a game with much greater complexity than Mobile Legends, Peter finds it easier to adapt to his new game, “I felt that I could adapt quickly and also implement some of the basic League of Legends in-game knowledge in Mobile Legends.”
According to Peter, “The basic MOBA elements are mostly the same. The most striking difference being the absence of a warding-system, so you have to be clever to ambush, while the rest remains similar.”
On the other hand, Peter finds a slight difference between playing League of Legends and Mobile Legends as a full-time professional. He felt that “Mobile Legends’ practice hours could be considered to be a bit more relaxed compared to League of Legends,” but in terms of the scene’s competitiveness, he thinks that “it’s more competitive here because there are so many competitors.”
“Improvement. I’m new to this game…”
As humble as Peter is in person, it’s fascinating to see how far he has taken his new competitive Mobile Legends journey. In only a couple of month’s time, he managed to join Aura Esports’ MDL Season 2 roster in July 2020. He’s regarded as one of the strongest players in the team, especially considering his former League of Legends competitive experience.
In Aura Esports, Peter presumed the role of the team captain and played as a Support this time around. With his team, Peter accumulated a 17-9 game-win-loss in the MDL Regular Season, securing their spot in the Playoffs. It was the premier match in the Playoffs, however, which put Peter’s MDL Season 2 run to an abrupt end.
Aura Esports was up against Siren Esports in the first match, where the two fought bravely to advance to the next match. It was Siren Esports, in the end, who had the upper hand and won 2-1 against Aura Esports. Siren Esports would continue to become the Playoffs champions later in the event.
With his journey in the MDL cut short, Peter and his team were only able to attain a 5th-8th-place finish throughout the tournament. After finishing 3rd in the Group Stage/Regular Season, it must’ve been a bitter pill to swallow such an outcome. Peter and his squad proceeded the next coming competitive season by leaving the Aura Esports organization.
To welcome the new competitive MDL Season 3, Peter and his fellow Aura teammate, Rupture, found themselves playing for Geek Fam Indonesia’s MDL division, Geek Fam Junior. As of the time of writing, MDL Season 3 had just concluded Week 4, and Geek Fam Junior has currently placed the top-8 team.
The Journey Onwards
When I asked Peter about the biggest challenges that he finds as a professional Mobile Legends player, he sharply answered, “Improvement. I’m still new to this game and I still have a lot to learn to become an even better player.”
While most MDL players are outspoken when it comes to playing in the MPL, Mobile Legend’s main league, Peter chooses to not overthink it and focus on improving himself instead, “I haven’t thought too far about it yet. No one knows what the future holds. What’s important for me is that I keep improving as a player.”
As for what lies beyond Peter’s current state and onwards, it seems all-too blur and uncertain to be predicted. But what’s certain is that a player like Peter is dedicated to improving himself by placing a greater emphasis on whatever opportunities are presented to him at this very moment.
Popularitas TikTok yang mendunia secara langsung mengangkat tren video pendek menjadi fenomena global. Sekarang hampir semua platform sosial menawarkan wadah khusus untuk menampung video-video pendek, tidak terkecuali YouTube.
Nama Street Fighter mungkin sudah menjadi ikon dalam ranah gamefighting. Salah satu alasannya adalah karena game tersebut jadi pionir di genre fighting. Pertama kali diciptakan tahun 1987 untuk mesin arcade, seri Street Fighter bahkan masih bertahan hingga kini, sekitar 34 tahun dari game tersebut pertama dibuat. Mempertahankan ciri khas dan kesuksesan sebuah game dalam jangka waktu yang begitu panjang tentu bukan proses mudah.
Street Fighter V, iterasi ke-32 dari Street Fighter, sudah ada sejak 2016 lalu. Beberapa bulan lalu, Street Fighter V baru merilis Season 5 yang berisi beberapa karakter dan konten baru. Mengutip dari InvenGlobal, Takayuki Nakayama selaku Director of Street Fighter V pun berbagi seputar proses pembuatan karakter Street Fighter V.
Takayuki Nakayama telah terlibat di dalam pengembangan seri Street Fighter selama 9 tahun. Takayuki pun bercerita soal bagaimana tim pengembang Capcom menyajikan sebuah karakter (baik karakter lama atau karakter baru) ke dalam Street Fighter V. Ia berkata bahwa proses pembuatannya mempertimbangkan banyak faktor, mulai dari aspek teknis seperti struktur gerakan dan strategi bermain satu karakter, sampai kepada aspek kreatif seperti kepribadian ataupun asal muasal sang karakter.
“Kami melakukan riset dan review atas rekaman pertandingan dari suatu karakter untuk melihat ragam gerakannya. Bersamaan dengan hal tersebut, kami juga memikirkan bagaimana perjalanan karakter itu sejauh ini, bagaimana mereka (karakter-karakter yang dibuat) bisa punya cerita yang tersambung dengan masa lalu ataupun masa depan dari dunia Street Fighter. Kombinasi dua aspek tersebut lah yang menjadi proses tersajinya berbagai karakter di dalam Street Fighter V.”
Takayuki juga menambahkan bahwa dirinya dan tim juga mempertimbangkan hal apa yang mungkin dilakukan dengan grafis 3D yang diusung SF V saat ini. Hal tersebut mengingat Street Fighter terdahulu dibuat dengan grafis 2D yang menampilkan visual ala kartun.
Setelahnya, Takayuki pun bercerita secara lebih detil soal tantangan dan peluang dalam membuat karakter terbaru yang hadir di Season V yaitu Dan, Rose, Oro, serta Akira.
Dalam menciptakan karakter yang konyol seperti Dan, Takayuki bercerita bahwa salah satu proses yang paling banyak dikerjakan adalah membuat ekspresi wajah. “Kami banyak menempatkan usaha kami dalam membuat ekspresi wajah seorang Dan Hibiki, mempersiapkan animasi wajah sedihnya, dan juga mempersiapkan efek unik yang akan muncul ketika Dan melakukan sesuatu, contohnya seperti gerakan Legendary Taunt.”
Selain soal wajah dan gerakannya, Takayuki juga menceritakan sedikit soal penciptaan kostum milik Dan. Takayuki bercerita, dalam membuat kostum Dan, ia dan tim mencoba memikirkan cerita latar dari sang karakter seraya berusaha menonjolkan personalita seorang Dan Hibiki. Karenanya, ada kostum alternatif yang terlihat casual karena hubungan karakter Dan Hibiki dengan Blank serta Sakura. Selain itu, warna alternatifnya juga dibuat untuk mengingatkan pemain dengan sosok ayah seorang Dan Hibiki yaitu Gou hibiki yang diceritakan meninggal di beberapa seri Street Fighter sebelumnya.
Berikutnya soal Rose. Karakter tersebut sudah sempat muncul di beberapa seri Street Fighter. Walau begitu, Takayuki menceritakan bahwa mereka tetap membuat ulang karakter tersebut agar sesuai dengan zaman. “Kami ingin karakter Rose menampilkan kesan bermartabat dan kalem. Karenanya kami sangat teliti dengan gerakan-gerakannya, berusaha membuat berbagai elemen gerakannya tetap mempertahankan kepribadian tersebut.” Ucap Takayuki kepada InvenGlobal.
Capcom sendiri menggunakan teknologi motion capture dalam menciptakan gerakan-gerakan karakter di Street Fighter V. Membahas hal tersebut, Takayuki mengatakan bahwa mereka banyak melakukan diskusi pada saat memperagakan sebuah gerakan karakter. Dalam prosesnya, bukan hanya tim kreatif Capcom yang memikirkan gerakannya, para profesional yang bekerja sebagai aktor mo-cap terkadang juga turut memberi saran soal bagaimana suatu gerakan dilakukan.
“Selain itu juga, kami kerap mengundang martial artist profesional ke dalam tempat syuting. Kehadiran sosok profesional tersebut sangatlah membantu kami, terutama untuk memberi pengetahuan tambahan bagi tim developer. Lalu selain itu, apabila Anda sadar, beberapa gerakan terlihat tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Karenanya, kami juga menggunakan kabel besi atau memecah satu gerakan ke dalam beberapa gerakan kecil saat melakukan motion capture.”
Even older moves need to be recreated in #SFV with the help of the talented motion capture actors!
Menutup perbincangan antara Takayuki Nakayama dengan InvenGlobal, sosok Director of Street Fighter V tersebut juga membicarakan soal pembuatan Oro dan Akira. Dalam hal Oro, Takayuki berkata bahwa menciptakan karakter tersebut sangatlah sulit. Salah satu alasannya adalah karena penggemar fanatik karakter tersebut dari game Street Fighter sebelumnya. Alasan lainnya adalah karakter Oro yang bertarung dengan satu tangan saja di ruang 2D menciptakan kesulitan teknis tersendiri pada saat tim developer ingin menuangkannya ke dalam ruang 3D.
Dalam hal Akira, Takayuki justru mengatakan bahwa menciptakan karakter tersebut tergolong lebih mudah walau karakter tersebut datang dari game lain. “Karena Rival Schools: United by Fate masih tersambung dengan dunia SF, maka membuat karakter tersebut jadi tidak terlalu sulit. Rasanya sangat menyenangkan sekali bisa menyertakan sebuah elemen yang akan diapresiasi oleh para penggemar seri Rival Schools.” Tuturnya.
Season Pass 5 dari SF V sendiri sebenarnya sudah tersedia sejak dari bulan Februari 2021 lalu. Terlepas dari itu, wawancara terhadap Takayuki Nakayama sendiri tentunya menjadi gambaran bagaimana menghadirkan sebuah karakter bukan proses mudah yang melibatkan aspek teknis dan aspek kreatif.
Permintaan logistik yang melonjak sepanjang pandemi mendorong Paxel berinovasi dengan merilis dua layanan terbaru dan perlebar kehadiran hingga Sumatra dalam waktu dekat. Kota Medan akan menjadi persinggahan pertama yang akan dimasuki perusahaan pada awal bulan depan.
Dalam keterangan resmi, Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita mengatakan, ekspansi ke Sumatera dalam rangka menjawab permintaan para pelanggan. Terlebih, di sana pertumbuhan ekonomi UMKM meningkat hingga 60% sejak akhir tahun lalu. Diperkirakan pada bulan depan yang bertepatan dengan bulan ramadan volume kirim akan mengalami peningkatan setidaknya 30% dibandingkan tahun lalu.
“Kebiasaan saling berkirim barang, khususnya hampers dan makanan sebagai pengganti silaturahmi tatap muka akan semakin lazim dan sering dilakukan di bulan puasa pandemi tahun ini. Tentunya kami ingin ada lebih banyak lagi UMKM di Indonesia yang bisa meraup pendapatan lebih banyak dengan pengiriman same day dan ongkir flat Paxel yang terjangkau,” ucap Zaldi, Selasa (30/3).
Terkait inovasi layanan baru, lanjutnya, perusahaan kini memperlebar hingga layanan cold chain last mile dan instant delivery. Sejak akhir tahun lalu, Paxel telah mulai uji coba pengiriman same day untuk es krim, berkat kerja sama dengan produsen es krim. Layanan cold chain tersebut kini siap menambah jangkauan pengiriman hingga ke Jakarta, Tangerang Selatan, dan Bekasi.
Layanan serupa sebelumnya juga dirilis oleh Crewdible, yang menghadirkan opsi pergudangan cold storage dengan fasilitas khusus seperti chest freezer, chiller, hingga cold storage room. Permintaan dari pelaku UKM, khususnya di bidang F&B mendorong para pemain logistik untuk memberikan alternatif warehousing yang sesuai, sehingga proses pengiriman bakal relatif lebih cepat.
Sementara itu, untuk layanan pengiriman instan akan segera dirilis dalam waktu dekat. Dengan kata lain, Paxel akan bersaing secara langsung dengan Grab dan Gojek. Zaldy menuturkan, servis ini diyakini tidak hanya akan melengkapi layanan Paxel lainnya, tetapi juga dapat menjadikan Paxel sebagai suatu ekosistem yang adaptif dan solutif bagi para pelaku UMKM di Indonesia.
Layanan pengiriman cepat memang terus mengalami peningkatan traksi. Mengacu laporan The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective yang dirilis MarkPlus Inc pada Oktober 2020, frekuensi jasa kurir meningkat pesat selama masa pandemi. Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor utama antara lain kegiatan belanja online, harga, dan waktu pengiriman.
Selain itu, layanan same day delivery diekspektasi bakal meningkat lebih pesat penggunaannya pasca-pandemi (67,2%) dibandingkan layanan pengiriman regular (78,7%) meski porsinya masih lebih besar. Adapun riset ini diikuti oleh sebanyak 122 responden dari wilayah Jabodetabek (59,8%) dan non-Jabodetabek (40,2%).
Sepanjang tahun lalu, Paxel telah membuka jangkauan baru di enam kota area Jawa, yaitu Cikarang, Cirebon, Jember, Kediri, Madiun, dan Sidoarjo. Adapun pada Q1 2021, diklaim kenaikan jumlah pengguna aktif UMKM pada jangkauan baru melonjak hingga 40%-50% per bulan, ada lebih dari 1,7 juta pengguna yang mengirimkan sekitar 4,1 juta paket same day delivery.
“Di awal tahun ini, volume kirim pun naik hingga 86%. Hal ini menjadi indikasi kebangkitan ekonomi UMKM, yang sekaligus mendorong kami untuk secepatnya memberikan peluang yang sama bagi pelaku UMKM di Sumatra.”
Melalui servis Same Day Delivery, PaxelMarket, dan PaxelBig untuk paket berat s/d 20 Kg, Paxel telah membantu mempercepat perputaran uang banyak pelaku UMKM di Jawa, Bali, dan Makassar.
Boston Dynamics, produsen robot yang kini merupakan bagian dari Hyundai, baru saja memperkenalkan robot anyar yang menarik sekaligus membosankan. Menarik karena robot ini ditujukan untuk bidang logistik, bidang yang tergolong baru untuk Boston Dynamics, membosankan karena fungsinya tidak lebih dari sebatas memindahkan boks dari satu titik ke yang lain.
Tidak seperti kebanyakan robot lain bikinan Boston Dynamics, robot bernama Stretch ini memiliki wujud yang cukup generik dan tidak menyerupai hewan maupun manusia. Bagian dasarnya yang mengotak dilengkapi sejumlah roda yang dapat bergerak ke segala arah (omni-directional), lalu di atasnya ada lengan robotik dengan 7 degrees-of-freedom dan suction pad di bagian ujung untuk mengangkat boks dengan bobot maksimum 23 kg.
Yang istimewa dari Stretch adalah kemudahannya untuk diintegrasikan ke gudang-gudang komersial tanpa memerlukan infrastruktur automasi secara khusus. Ini jelas berbeda jauh dari robot-robot yang biasa dijumpai di gudang, yang pada umumnya memerlukan instalasi sekaligus workflow spesifik yang telah diadaptasikan dengan masing-masing tempat.
Ini berarti Stretch bisa mengemban tugas yang berbeda dari hari ke hari, disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu. Semisal hari ini ada kiriman yang datang ke gudang, instruksikan saja Stretch untuk standby di belakang truk di area loading. Keesokan harinya, waktunya menugaskan Stretch untuk menata boks-boks dari kloter kiriman tersebut.
Menurut Boston Dynamics, Stretch dapat dioperasikan oleh siapapun dengan hanya menerima pelatihan selama beberapa jam. Dalam satu jam, Stretch diklaim mampu memindahkan sekitar 800 boks, setara dengan angka yang biasa dicatatkan oleh karyawan manusia. Demi mendukung skenario penggunaan yang lebih luas lagi, Stretch juga dapat beroperasi hanya dengan menggunakan tenaga baterai, kurang lebih selama 8 jam dalam sekali pengecasan.
Jika dibandingkan dengan prototipe robot bernama Handle yang sempat Boston Dynamics demonstrasikan di tahun 2019, Stretch tampak memiliki kemampuan bermanuver yang lebih baik berkat bagian dasar yang bisa diam di tempat selagi lengannya bergerak-gerak. Stretch jauh lebih ideal untuk ditempatkan di koridor-koridor yang sempit, serta dapat beradaptasi dengan pergantian layout gudang secara lebih baik.
Stretch sejauh ini belum memiliki harga jual, akan tetapi Boston Dynamics sudah menargetkan komersialisasinya di tahun 2022. Menurut Boston Dynamics, ada sekitar 80 persen gudang di dunia yang belum dilengkapi infrastruktur automasi, dan semua itu merupakan target pasar yang tepat buat Stretch.
Anime Dota 2: Dragon’s Blood yang di awal Maret 2021 lalu merilis trailer resminya sudah dirilis di Netflix dari tanggal 25 Maret 2021 kemarin. Meski Valve berharap dapat mengundang pemain baru dengan merilis anime Dota 2 (yang belum terbukti efektivitasnya), satu hal yang pasti anime Dota 2 membuat banyak pemain memilih memainkan Dragon Knight sekarang.
Dragon Knight (atau Davion) adalah tokoh utama dari Dota 2: Dragon Blood dan karakter ini juga merupakan salah satu hero yang bisa Anda mainkan di game-nya. Melihat data dari DotaBuff, peningkatan pick rate tersebut terjadi sejak tanggal 24 Maret 2021. Pick rate Dragon Knight yang tadinya hanya 7.23% jadi 9.20%.
Uniknya meski pick rate-nya meningkat dan dimain oleh para pemain yang lebih terpengaruh karena anime-nya (bukan karena memang menguasai hero ini), win rate Dragon Knight belum turun sampai 51%.
Sayangnya, harapan Valve untuk bisa menarik pemain baru justru tidak terjadi. Menurut data dari SteamDB, jumlah pemain terbanyak (peak players) di Dota 2 tidak banyak bergerak dalam sebulan terakhir. Padahal, peningkatan pemain ini terjadi setelah Netflix merilis serial The Witcher.
Dragon Blood’s sendiri merupakan anime buatan Studio Mir dari Korea Selatan yang juga membuat animasi The Witcher: Nightmare of the Wolf, Voltron: Legendary Defender, LEGO Elves: Secret of Elvendale, Guardians of the Galaxy: Origins, dan yang lainnya.
Sedangkan untuk respon anime ini, Dragon’s Blood Season 1 mendapatkan skor yang sangat baik dari Audience Score di Rotten Tomatoes dengan nilai 93%. Meski begitu, kritikus/media sepertinya tidak memiliki pandangan yang sama karena serial ini hanya mendapatkan skor 67%.
Jika Anda belum menonton anime tersebut, Anda bisa menontonnya di tautan ini.
Besarnya permintaan produk smartphone bekas di Indonesia, memberikan inspirasi kepada Stéphane Becquart untuk meluncurkan platform e-commerce Jagofon. Nilai unik dari layanan ini, setiap barang tangan kedua yang mereka suguhkan telah melalui uji kualitas dan orisinalitasnya — verifikasi tersebut diharapkan dapat memberikan keyakinan lebih kepada calon pembeli.
Prosesnya meliputi dua aspek utama, yakni pemeriksaan IMEI untuk memastikan barang tersebut legal. Dan yang kedua pemeriksaan fungsionalitas dari perangkat, termasuk kamera, mikrofon, baterai, sensor, layar dll. Harga jual akan disesuaikan dengan hasil penilaian akhir.
Mereka memiliki 4 jenis penilaian terhadap produk yang dijual, dari yang paling rendah ke paling tinggi, meliputi Fair, Good, Very Good, dan Mint. Status tersebut akan melekat ke produk dan berpengaruh pada persentase depresiasi atau penurunan dari harga awal.
“Indonesia adalah pasar yang ideal untuk smartphone bekas, yang hingga saat ini masih menjadi pasar yang besar, terfragmentasi, dan disfungsional. Setidaknya 20% ponsel diimpor, dicuri, atau dipalsukan secara ilegal, menurut sebuah studi oleh Kementerian Perindustrian & Qualcomm. Oleh karena itu, ada peluang besar untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada konsumen Indonesia,” ujar Stéphane.
Melalui layanan iklan digital ala OLX atau Kaskus, sebenarnya proses jual-beli ponsel bekas sudah cukup ramai dipraktikkan di Indonesia. Namun sejauh ini faktor “kepercayaan” masih menjadi variabel utama dalam transaksi, alih-alih penilaian sistematis terhadap kondisi barang.
“Secara umum kebanyakan pasar tidak melakukan kontrol kualitas. Kami mencatat 40% smartphone di pasar pada umumnya tidak lulus pengujian dari kami, karena itu kurang baik kondisinya,” imbuh Stéphane.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Secara khusus kami menerapkan strategi monetisasi berdasarkan komisi dari setiap transaksi. Kami juga menambahkan jaminan untuk perangkat di platform kami.”
Rencana penggalangan dana
Saat ini Jagofon memiliki sekitar 35 ribu pengguna aktif dan telah menjual 3 merek smartphone premium terpopuler di Indonesia, yakni Apple, Samsung dan Oppo. Ke depannya mereka secara bertahap akan menambah tipe dan merek barang yang dapat dijual dalam platform.
Meskipun hanya menjual dalam situs milik mereka sendiri, Jagofon juga saat ini tengah melakukan uji coba untuk mengintegrasikan dengan layanan onliine marketplace ternama di Indonesia, sebagai opsi kepada pelanggan untuk mengakses semua produk yang mereka jual.
“Sejak diluncurkan bulan Oktober 2020 lalu hingga saat ini kami masih fokus kepada wilayah Jabodetabek. Rencana ke depannya kami juga ingin memperluas area layanan,” kata Stéphane.
Jagofon telah mengantongi pendanaan pre-seed senilai $254.000 dari angel investor. Selanjutnya perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tambahan hingga $500.000 dalam waktu dekat. Rencananya dana segar tersebut akan digunakan Jagofon untuk memperluas area layanan. Startup ini juga sebelumnya merupakan peserta program akselerasi GK-Plug and Play di batch ke-8.
“Kami ingin bekerja sama dengan Plug & Play Corporate Partners di bidang pembiayaan (untuk menawarkan solusi angsuran yang lebih baik kepada pelanggan kami), pemasaran (promosi lintas-pemasaran misalnya), dan sourcing (bagi mereka yang memiliki akses ke inventaris barang bekas ),” kata Stéphane.