Riset yang dilakukan oleh DBS pada tahun 2020 menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi tertinggi dalam negara dengan pengguna e-commerce terbesar di Asia Tenggara. Di tahun 2019, sebanyak 90% dari pengguna internet di Indonesia pernah melakukan transaksi di e-commerce. Dalam survei yang sama, diketahui bahwa kegiatan belanja online meningkat sebesar 14% semenjak adanya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Minat belanja online masyarakat Indonesia yang tinggi mengiringi masifnya pertumbuhan marketplace di Indonesia. Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, serta puluhan marketplace lainnya hadir di Indonesia sebagai perantara penjual dan pembeli dalam bertransaksi. Hingga kini, marketplace terus mengembangkan fiturnya agar semakin mempermudah penggunanya.
Meskipun begitu, nyatanya tidak semua penjual menjadikan marketplace sebagai platform utama. Beberapa di antaranya belum berfokus pada marketplace, atau bahkan belum mencoba menggunakan marketplace, karena berbagai alasan.
Tiga Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Indonesia, yakni TanganDia, Kailoka, dan Popsiklus membagikan kisah menarik mengenai hal tersebut.
TanganDia: Fokus Pada Brand Awareness
UMKM pertama yang membagikan kisahnya adalah TanganDia. Nama TanganDia diambil dari proses pembuatan produk yang handmade dan nama founder TanganDia, yakni Diayani Sukardi.
TanganDia menjual hasil kreasi rajut, yang berfokus pada produk boneka. Dengan banyaknya orang yang merajut baju, Diayani mengaku melihat peluang usaha dengan inovasi boneka rajut. Berawal dari hobi dan belajar secara otodidak, kini TanganDia semakin berkembang dibantu dengan pemanfaatan internet.
Memulai penjualan di Instagram dan menitipkan produk buatannya ke berbagai tempat, saat ini TanganDia masih fokus pada penggunaan media sosial dan berjualan secara offline bekerja sama dengan Artani Bulk Store. Marketplace yang digunakan hanya Tokopedia bagi pembeli yang menginginkan gratis ongkir.
Dahulu, TanganDia pernah mencoba beberapa marketplace, namun kerena berbagai pertimbangan melanjutkan untuk fokus pada media sosial saja. Diayani mengaku mereknya masih butuh peningkatan brand awareness, agar semakin banyak masyarakat yang tahu dan mengenal TanganDia. Marketplace dirasa kurang cocok untuk meningkatkan brand awareness karena pengunjung marketplace umumnya mencari sesuatu untuk dibeli. Sementara, di media sosial, TanganDia hadir di sela-sela audiens yang lebih luas, beragam, dan memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam mengakses media sosialnya.
“Kami belum bisa mengatakan (penggunaan media sosial) maksimal atau tidak, karena semua ada plus minusnya. Tapi untuk saat ini, media sosial masih menjadi platform berjualan utama kami karena lebih simple, audiensnya lebih banyak, dan jangkauannya lebih luas,” ujar Diayani.
Tentunya, baik media sosial maupun marketplace memiliki tantangannya masing-masing. Menurut Diayani, penggunaan Instagram lebih efisien, calon pembeli yang berminat cukup mengirim direct message (DM) dan bisa langsung berdiskusi dengannya tanpa harus saling follow dan menyimpan kontak.
Walau di sisi lain transaksi via marketplace dikenal lebih aman, TanganDia mengupayakan untuk terus meningkatkan branding guna meningkatkan kepercayaan masyarakat. Diayani juga mengakui bahwa di media sosial lebih rentan hit and run. Istilah tersebut merujuk pada pembeli yang telah memesan produk, namun tiba-tiba menghilang saat pembayaran. Berbeda dengan marketplace, pembeli harus membayar di awal agar barang pesanan bisa dikirimkan.
Dalam waktu dekat, TanganDia berencana untuk memperluas pasar dengan menggunakan marketplace asal Amerika yaitu Etsy.
Kailoka: Interaksi via Whatsapp sebagai Upaya Pendulang Konversi
Kailoka, merek kerajinan kayu lokal yang asal namanya dari gabungan antara Bahasa Sunda dan Sansekerta, yaitu Kai dan Loka. Kai berarti kayu, sementara Loka artinya tempat.
Berdiri sejak tahun 2018, Kailoka mengawali bisnis dengan meluncurkan produk jam tangan ukir berbahan dasar kayu. Di tahun berikutnya, Kailoka melakukan inovasi dengan menghadirkan beragam model baru. Menyuguhkan produk yang disukai pasar, unik, dan dengan proses produksi yang mudah merupakan tujuan dari Kailoka.
Harizal, Founder Kailoka, mengatakan bahwa Kailoka banyak terbantu dengan digitalisasi. Internet memiliki andil mulai dari proses pencarian ide, produksi, hingga pemasaran. Tak terkecuali dalam berjualan, Kailoka selain menjual produk secara offline dengan mengikuti pameran, juga mengoptimalkan website yang terintegrasi dengan Instagram Shopping, Facebook Page Shop dan WhatsApp Business.
Yang menarik, Kailoka tidak menggunakan payment gateway namun memilih interaksi WhatsApp sebagai upaya pendulang konversi. Selain itu, Kailoka juga tersedia di marketplace yakni Shopee dan Blibli.com.
Memilih memaksimalkan media sosial dibanding marketplace tentu disertai alasan. Harizal mengaku bahwa produk Kailoka unik. perlu untuk menyesuaikan dengan karakteristik pribadi penggunanya. Media sosial merupakan tempat di mana pengguna mengekspresikan diri, sehingga lebih sesuai dengan value Kailoka. Selain konversi pembelian, media sosial dapat meningkatkan brand awareness dan product insight, di mana Kailoka bisa memberikan informasi mengenai merek dan masing-masing produknya agar masyarakat semakin akrab.
Pengguna media sosial yang terus bertumbuh merupakan salah satu kelebihan dari penggunaan media sosial dalam promosi. Secara aktif menggunakan media sosial, tentunya diiringi dengan konten yang menarik, berkualitas, dan konsisten, berpotensi meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap suatu merek. Terlebih, media sosial menjadi wadah tepat untuk menyajikan konten yang relevan dengan audiens, menyesuaikan dengan tren yang kerap berubah dengan cepat.
Sementara, penggunaan Shopee dan Blibli.com juga dipilih sebagai upaya melayani konsumen dan menyediakan opsi transaksi yang terpercaya. “Kami mendorong pelanggan atau pembeli produk Kailoka untuk memiliki kebebasan transaksi, dan banyak juga yang memilih untuk bertransaksi melalui marketplace. Berbagai keuntungan yang ditawarkan marketplace, seperti gratis ongkir, juga sangat menguntungkan bagi kami,” terang Harizal.
Berupaya untuk terus memanfaatkan teknologi, Kailoka percaya bahwa penguasaan terhadap teknologi menjadi kunci untuk menguasai pasar. Di masa depan, markeplace dan media sosial akan semakin terhubung, sehingga Kailoka akan melakukan optimasi untuk memaksimalkan keduanya.
Popsiklus: Produk Upcycling yang Slow Craft, Kurang Ideal di Marketplace Serba Cepat
Popsiklus merupakan bisnis yang bergerak di bidang seni rupa terapan yang ramah lingkungan, yakni upcycling yang merupakan teknik daur ulang bahan bekas pakai menjadi barang dengan fungsi baru. UMKM yang telah berdiri sejak 2009 ini menawarkan produk tas, dompet, notebook, dan produk lainnya dengan kisaran harga 395 ribu hingga 550 ribu rupiah.
Beberapa tahun sejak berdiri, Popsiklus mulai merambah ke penggunaan media sosial seperti Instagram dan WhatsApp, selain berjualan secara offline. Berbeda dengan dua UMKM sebelumnya, Popsiklus belum pernah mencoba berjualan di marketplace hingga saat ini.
“Popsiklus termasuk slow craft sehingga kurang ideal untuk dijual di marketplace yang serba cepat. Proses pembuatan produk sangat panjang, terlebih saat ini kapasitas produksi terbatas. Perlu waktu enam bulan untuk menjahit karton lurus dan satu tahun untuk bisa menjahit produk yang lolos quality control, sehingga untuk menambah pekerja juga tidak mudah,” ungkap Kurniati Rachel Sugihrehardja atau Nia selaku Founder Popsiklus.
Lebih lanjut, Nia mengungkapkan bahwa masyarakat belum siap menyerap produk berbahan dasar limbah. Produk hasil upcycling yang cenderung lebih tinggi dalam segi harga belum dijadikan opsi utama. Sementara, bila dijual di marketplace, produk Popsiklus akan bersaing dengan produk lainnya yang memiliki fungsi sama dengan harga lebih rendah.
Di sisi lain, Nia merasa bahwa penggunaan media sosial sudah cukup maksimal, karena sejalan dengan proses produksi dan penyerapan oleh konsumen. Media sosial juga memberikan pendekatan yang lebih personal. Selama ini, Nia sering mendapat banyak pertanyaan terkait produknya, karena bahan dasar limbah karton susu terbilang jarang digunakan, tidak seperti limbah plastik yang lebih umum. Walau menurutnya, Popsiklus paling ideal dijual secara offline karena calon pembeli biisa melihat dan memegang langsung.