Ada Apa dengan Korea Selatan di META LoL World Championship?

Hari Sabtu, 3 November 2018 lalu, gelaran kompetitif termegah untuk League of Legends (LoL) tahun ini alias World Championship 2018 telah menemukan juaranya.

Di partai penghujung, Invictus Gaming dari Tiongkok (LPL) membabat habis Fnatic (EU LCS) tanpa balas dengan skor 3-0 (Bo5). Buat Anda yang mengikuti perkembangan esports LoL, final tadi tentunya mengejutkan karena tidak ada tim Korea Selatan (LCK) yang berada di partai final.

Muasalnya, tim-tim Korea Selatan sebelumnya selalu mendominasi dunia persilatan LoL internasional sejak beberapa tahun silam (2013). Mari kita lihat ke belakang sejarah final World Championship dari sejak diadakan pertama kali tahun 2011.

Invictus Gaming, sang juara World Championship 2018. Sumber: LoL Esports
Invictus Gaming, sang juara World Championship 2018. Sumber: LoL Esports
  • World Championship 2011: Fnatic (Eropa) vs. against All authority (Eropa): 2-1.
  • World Championship 2012: Taipei Assassins (Taiwan) vs. Azubu Frost (Korea Selatan): 3-1.
  • World Championship 2013: SKT Telecom T1 (Korea Selatan) vs. Royal Club (Tiongkok): 3-0.
  • World Championship 2014: Samsung White (Korea Selatan vs. SH Royal (Tiongkok): 3-1.
  • World Championship 2015: SKT Telecom T1 (Korea Selatan) vs. KOO Tigers (Korea Selatan): 3-1.
  • World Championship 2016: SKT Telecom T1 (Korea Selatan) vs. Samsung Galaxy (Korea Selatan): 3-2.
  • World Championship 2017: Samsung Galaxy (Korea Selatan) vs. SKT Telecom T1 (Korea Selatan): 3-0.
  • World Championship 2018: Invictus Gaming (Tiongkok) vs. Fnatic (Eropa):  3-0.

Jadi, sejarah mencatat, dari 8 kali World Championship tim Korea Selatan menjadi juara dunia sebanyak 5 kali dan bertanding di partai final sebanyak 6 kali.

Karena itulah, bisa dibilang Korea Selatan memang mendominasi kancah internasional di LoL sampai mereka tenggelam di 2018. Di 2018 ini, tim Korea Selatan bahkan tidak ada yang berhasil tembus ke babak semifinal sekali pun.

Jika Anda tanya saya, berhubung saya fanatik sama yang namanya Faker, jawabannya ya karena tidak ada SKT Telecom T1 di World Championship 2018. Hahaha… Namun, berhubung kali ini saya ingin mendalami lebih jauh tentang META World Championship 2018, saya telah menghubungi 2 tokoh LoL Indonesia, Yota dan Wolfy.

Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports
Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports. Sumber: Yota

Mungkin tidak ada yang lebih pas dalam menyandang predikat pakar LoL di Indonesia selain Pratama “Yota” Indraputra. Ia pernah bergabung di Hasagi, media yang khusus membahas soal LoL, pernah juga jadi shoutcaster untuk LoL, dan pernah juga bertanggung jawab untuk esports LoL di Indonesia saat masih bekerja di Garena.

Satu lagi narasumber kita kali ini juga tidak kalah ‘sakti’ di dunia persilatan LoL Indonesia. Florian “Wolfy” George adalah mantan pemain LoL profesional sebelum ia memutuskan untuk membuat organisasi-nya sendiri, Armored Project.

Lalu apa pendapat mereka berdua tentang META di World Championship 2018?

Menurut Yota, “META Worlds sekarang lebih menghargai tim yang berani ambil resiko buat main agresif.

Bandingin sama tahun lalu, vision control lebih diutamakan dan ditambah lagi Trackers Knife buat jungle; otomatis Ward ada di mana-mana, semua pasang mata. Akhirnya permainan lebih konservatif, slow tempo dan calculated. Tim-tim LCK menguasai META karena di region mereka sendiri tempo permainannya lebih reserved.

Sekarang kita liat, di Mid ada LeBlanc, Top ada Akali, Urgot, Aatrox, dan Champion lain yang ngasih reward tinggi buat yang bisa dapet lead di early game dan itu yang bikin Worlds sekarang gak dikuasai tim LCK.

Afreeca Freecs, tim Korsel yang gugur di perempat final Worlds 2018. Sumber: LoL Esports
Afreeca Freecs, tim Korsel yang gugur di perempat final Worlds 2018. Sumber: LoL Esports

Ada 1 pattern lagi yang aneh, tim-tim besar terlalu mengandalkan Kaisa di Bottom Lane. Padahal early trading-nya sangat jelek dan scaling ke late game-nya harus bergantung sama komposisi tim yang memadai.

Sedangkan Wolfy punya pendapat yang tak jauh berbeda. Menurutnya, META tahun ini acak-acakan. “Bener-bener anything goes, siapa yang lebih inovatif dan kreatif bakal dapet banyak benefit.”

Menurutnya musim ini Riot, developer League of Legends, mengubah banyak hal. “Dari funneling, mage di Bot Lane, Champion yang bisa di-flex ke beberapa role.”

Funneling yang dimaksud Wolfy di sini adalah menggunakan Support di Mid Lane ataupun Mid Laner yang menggunakan Smite. Dengan strategi tersebut, sang Mid Laner pun dapat farming lebih cepat. Selain itu META di Worlds kali ini memang punya ritme yang lebih cepat ketimbang META jaman Ardent Censer (2017).

Jadi, sebenarnya memang bukan hanya di Worlds ini saja Korea Selatan tersandung di tingkat internasional. Wolfy menunjukkan bahwa Korea Selatan juga gagal di MSI (Mid Season Invitational) dan Asian Games. Tim Tiongkok yang menang di kedua turnamen tersebut.

Karena META yang lebih cepat inilah tim-tim Tiongkok berhasil mendominasi dunia persilatan LoL internasional di 2018 ini. Tim-tim Tiongkok memang lebih agresif dan berani ketimbang Korsel. Sedangkan tim Korsel lebih dominan ke warding, wave control, dan kendali tempo permainan.

“Sedangkan ward tahun ini menurun yang berarti ada informasi (vision) yang tak tersampaikan dan tim Korsel cenderung tidak mau bermanuver jika vision terbatas. Sedangkan tim Amerika dan Eropa lebih berani tanpa vision.” Lanjut Wolfy.

kt Rolster, tim Korsel yang juga gugur di Worlds 2018. Sumber: LoL Esports
kt Rolster, tim Korsel yang juga gugur di Worlds 2018. Sumber: LoL Esports

Memang, secara keseluruhan, META tahun ini lebih chaos. Hal ini menguntungkan tim-tim Tiongkok yang memang cenderung menyukai team fight karena mereka lebih cepat beradaptasi.

Bagaimana dengan skill individu? Apakah skill individu jadi tak terlalu relevan di META sekarang?

Wolfy berpendapat bahwa skill individu sebenarnya masih berpengaruh besar namun karena memang tim-tim Korea memang biasanya bermain dengan resiko minimal, sedangkan tanpa vision sama dengan resiko. Meski memang Wolfy mengakui tim-tim Korsel yang ada di Worlds kali ini punya objektif kontrol yang lemah.

Apakah tahun ini skill individu para pemain Korea menurun? Atau justru tim-tim lain yang meningkat?

Menurut Wolfy, skill individu antara region mulai seimbang juga. Sedangkan Yota mengatakan, “Sebenernya skill individu player LCK (Korsel) juga tinggi. Tapi sepertinya karena memang mereka terbiasa main sesuai arahan coach, individual play bakal dirasa terlalu high risk.”

Jika tim Tiongkok dijagokan di META kali ini, kenapa RNG (Royal Never Give Up) yang merupakan tim favorit dari Tiongkok justru gagal di perempat final?

“Rumornya, sebenernya ada internal team issue yang ngaruh ke gameplay. Tapi itu cuma rumor aja, gua juga gak ngerti kenapa mereka bisa kalah haha…” Jawab Yota sembari tertawa.

Menurut Wolfy, RNG memang lagi underperformed dan tidak stabil makanya mereka terpeleset.

RNG, tim favorit dari Tiongkok. Sumber: LoL Esports
RNG, tim favorit dari Tiongkok. Sumber: LoL Esports

Lalu, bagaimana dengan prediksi Yota dan Wolfy tentang masa depan tim-tim Korsel di kancah internasional? Apakah mereka akan mendominasi kembali?

Yota dan Wolfy sedikit berbeda pendapatnya tentang peluang tim-tim Korsel akan kembali bersinar di META yang selanjutnya.

“Gua rasa work ethic dan game knowledge mreka masih terbaik sedunia. Harusnya gak butuh waktu lama buat mereka (tim Korsel) bounce back.” Ujar Wolfy.

Wolfy lebih yakin tim Korsel akan kembali ke performa maksimalnya. Sedangkan Yota lebih terbuka dengan kemungkinan itu.

Deft, salah satu pemain bintang dari Korsel. Sumber: LoL Esports
Deft, salah satu pemain bintang dari Korsel. Sumber: LoL Esports

“Bisa jadi LCK dominan lagi. Harusnya, META nya juga berubah lagi tahun depan. Plus tim-tim Korea juga sudah mulai regenerasi.” Tutup Yota.

Itu tadi obrolan singkat saya dengan 2 pengamat LoL Indonesia ini. Apakah Korea Selatan akan benar-benar kembali berjaya di musim depan?