Beberapa hari yang lalu, muncul satu video di Facebook yang menunjukkan para pemain MPL berteriak-teriak memaki lawannya saat bertanding di babak Playoff MPL ID S8. Kebetulan saja yang kala itu direkam dan terdengar jelas suaranya adalah para pemain RRQ Hoshi yang sedang bertanding melawan ONIC Esports di Final Upper Bracket. Salah satu kata yang sempat diteriakkan bahkan kata “ngent*t”. Anda bisa melihat sendiri videonya di bawah nanti.
Karena memang saya tidak berada di lokasi, saya pun mencari tahu kebenaran dari video tersebut dengan bertanya kepada beberapa orang yang memang hadir di venue.
Salah satu yang saya hubungi adalah CEO RRQ, Andrian Pauline (AP). Saat saya hubungi, AP memang mengatakan hal tersebut terjadi. Ia mengatakan memang hampir semua tim peserta MPL saling taunting di Playoff MPL ID S8 kemarin.
“Beberapa pemain akhirnya mungkin terbawa suasana. I am sorry for that. Mohon maaf kalau sudah buat gaduh. Kalau ada kata kasar, itu saya minta maaf. Walaupun bukan berarti kita memperbolehkan kata-kata kasar. Pemainnya juga sudah mendapatkan teguran.” Ujar AP.
Saya juga bertanya kepada beberapa kawan dari media lain yang hadir di lokasi dan mereka juga membenarkan jika kebanyakan pemain yang bertanding di sana memang saling taunting dan berteriak ke lawan, tidak hanya pemain RRQ.
Maka dari itu, kali ini, saya ingin mengalihkan fokus tidak hanya ke para pemain atau tim tertentu. Saya lebih ingin membahasnya secara keseluruhan dalam konteks skena esports profesional.
Semua orang juga melakukan taunting?
Apakah cacian atau teriakan taunting ini juga terjadi di skena esports profesional lainnya?
Skena esports profesional yang paling banyak saya tonton dan ikuti adalah League of Legends (LoL). Saya belum pernah melihat kejadian serupa di LoL.
Sedangkan untuk Dota 2, saya pun menghubungi Yudi “Justincase” Anggi, salah satu shoutcaster Dota 2 yang masih aktif sampai hari ini, dan beberapa orang (termasuk pemain Dota 2 profesional) yang pernah terlibat di DPC (Dota 2 Pro Circuit). Semuanya mengatakan belum pernah melihat ada yang berteriak-teriak ke lawan di skena profesional Dota 2.
Salah satu taunting yang terjadi di Dota 2 adalah ketika TORONTOTOKYO mengetikkan “ez game” saat melawan OG di Lower Bracket di The International 10 lalu. Meski memang saya juga tidak suka dengan arogansi semacam itu, mungkin ada juga yang melihatnya tidak seagresif berteriak-teriak sampai kejang otot ke lawan.
Kejadian teriakan ke lawan yang saya temukan di skena profesional lain adalah di VALORANT, yang bahkan terjadi di VALORANT Champions Tour 2021: Stage 3 Master (kejuaraan tingkat dunianya). Anda bisa melihatnya di video di bawah ini.
Meski hal ini juga ternyata terjadi di skena profesional VALORANT atau mungkin yang lainnya, apakah hal tersebut jadi bisa dibenarkan?
Buat saya, argumen “orang lain juga melakukannya” adalah argumen yang sangat lemah. Kita juga masih melihat ada koruptor dan perilaku kriminal lainnya di banyak negara. Apakah hal tersebut jadi bisa dibenarkan?
Batas profesionalitas
Sebenarnya, dulu juga saya sering melihat dan mendengar teriakan-teriakan taunting ini di turnamen tingkat warnet. Meski saya juga tidak suka dengan perilaku seperti itu, tapi jika kita berbicara soal tingkat warnet, mungkin memang pihak penyelenggara juga tidak bisa terlalu banyak mengatur soal perilaku pesertanya.
Namun MPL adalah liga profesional. Tim yang ingin menjadi peserta MPL Indonesia saja harus dikelola profesional layaknya perusahaan dengan aturan main yang jelas. Setidaknya, itu yang saya dengar.
Bayangkan jika Anda bekerja di satu perusahaan dan atasan Anda memaki-maki dengan umpatan macam “ngent*t” tadi. Apakah yang Anda rasakan? Apakah hal tersebut yang dinamakan profesional?
Meski demikian, saya tahu beberapa orang memang mungkin punya didikan orang tua yang berbeda-beda yang akhirnya berimbas pada kebijakan perusahaan yang berbeda. Pasalnya, saya juga pernah punya atasan yang mulutnya seperti katalog kebun binatang dan pengendalian emosi yang setara dengan anak SD.
Mungkin memang saya saja yang terlalu lebay namun orang tua saya mendidik saya untuk bertutur kata dengan baik dan sopan ke semua orang, termasuk ke orang-orang yang tidak saya sukai atau tidak menyukai saya.
Aturan mainnya seperti apa?
Seperti yang sebelumnya saya tuliskan, harusnya yang namanya skena profesional memang punya aturan main yang jelas, tidak seperti turnamen tingkat warnet. Sebelum kita melihat ke aturan main di MPL Indonesia, saya sempat menggali ke aturan main di skena esports lainnya.
Berkaca dari kasus yang melibatkan pemain Cloud9 di LoL World Championship di tahun 2015, Riot Games punya aturan main yang jelas di skena esports LoL.
“A Team Member may not take any action or perform any gesture directed at an opposing Team Member, or incite any other individual(s) to do the same, which is insulting, mocking, disruptive, or antagonistic.”
Aturan main tersebut juga masih dipakai di World Championship 2021 (aturan nomor 9.1.3) yang bisa Anda lihat sendiri di tautan ini.
Aturan 9.1.2 juga jelas mengatur soal umpatan.
“A Team Member may not use language that is obscene, foul, vulgar, insulting, threatening, abusive, libelous, slanderous, defamatory or otherwise offensive or objectionable; or promote or incite hatred or discriminatory conduct, in or near the match area, at any time.”
Selain itu, saya juga menemukan aturan main ESL One Dota 2.
“All ESL One participants agree to behave in an appropriate and respectful manner towards other participants, spectators, the press, ESL TV, and ESL One administration. Being role models is the occupational hazard of being an ESL One player or organizer and we should behave accordingly.”
Dari salah seorang yang terlibat dengan DPC untuk kawasan SEA, saya juga mendapatkan DPC SEA Regional Rulebook. Di aturan main DPC SEA, saya menemukan aturan seperti berikut.
“Teams found to be engaging in cheating, unethical behavior, obtaining any form of unfair competitive advantage, or otherwise using unauthorized programs will forfeit all affected matches.”
Meski begitu, “unethical behavior” di atas tadi tidak dijabarkan lagi seperti apa batas-batasnya.
Sedangkan di VALORANT Champions Tour – Stage 3 Masters, saya menemukan aturan main ini di bagian Event Conduct.
Sayangnya atau untungnya, memang interpretasi dan penegakan aturan main tadi memang sepenuhnya hak penyelenggara. Misalnya, perilaku yang ditunjukkan oleh pemain Sentinel di VCT Master ternyata tidak menyalahi aturan main karena setidaknya saya tidak menemukan berita atau artikel terkait sanksi teriakan taunting yang tadi terekam kamera.
Lalu bagaimana aturan main MPL ID Season 8? Sayangnya, saya tidak bisa menemukan Rulebook ataupun aturan main lengkap yang dapat diakses publik — tidak seperti standar positif yang dilakukan Riot Games ataupun ESL.
Namun kawan saya dari Esports ID sempat mewawancarai perwakilan MPL Indonesia tentang peraturan soal taunting.
“Salah satu yang disanksi dari MPL Indonesia misalnya penggunaan kata-kata kotor dan gestur-gestur yang dilarang. MPL Indonesia berharap para pemain bisa profesional dan menunjukan sikap yang baik karena mereka adalah panutan bagi banyak orang.” Tulis Esports ID.
Pertanyaannya, apakah “ngent*t” itu bukan kata-kata kotor menurut MPL Indonesia? Saya sempat menghubungi Azwin Nugraha, PR & Communication Esports Manager Moonton Indonesia, tentang batasan taunting (dan yang terdengar di video di atas). Namun ia tidak mau berkomentar.
Penegakan aturan memang akhirnya tidak kalah penting dengan aturan tertulis atau apa yang diucapkan. Namun, sekali lagi, mungkin memang setiap orang memang punya standar etika yang berbeda-beda. Mungkin ada juga yang mengartikan “nget*t” sebagai panggilan sayang…
Soal psywar dan entertainment
Dua alasan lain yang mewajarkan taunting dan berteriak ke lawan adalah soal psywar dan entertainment.
Buat sebagian orang, mereka membenarkan taunting dengan alasan menganggu mental musuh. Ada juga yang beralasan hal tersebut membuat pertandingan akan semakin seru dan mengundang lebih banyak penonton.
Namun, satu hal penting yang harus disadari adalah soal kondisi objektif taunting, trashtalk, psywar, atau apapun itu namanya. Apakah hal tersebut dilakukan saat bertanding atau di luar pertandingan?
Saling ejek di Twitter atau saat diwawancarai sebenarnya juga sering terjadi di skena esports lain seperti Dota 2 atau LoL. Namun, bagi saya, hal tersebut masih bisa dimaklumi karena memang terjadi di luar pertandingan. Pasalnya, rivalitas semacam itu memang menarik lebih banyak penonton tapi harusnya tidak akan begitu berpengaruh terhadap konsentrasi pemain saat bertanding.
Yah, mungkin memang di zaman konten digital sekarang ini, segala hal jadi dimaklumi dan diwajarkan demi viralitas. Meski saya juga benci dengan perilaku tadi, harusnya esports tidak meniru cara yang sama karena, selain faktor entertainment, ada faktor sportivitas yang harusnya menjadi prioritas utama.
Menariknya, jika berbicara soal sportivitas, taunting di saat pertandingan mungkin memang mengundang polemik yang berbeda dan berlawanan. Mungkin ada yang akan mengatakan jika seorang juara harusnya punya mental yang teruji meski dimaki-maki. Namun saya bisa membalikkannya seperti ini, kalaupun seseorang atau satu tim punya kemampuan yang lebih tinggi dibanding lawannya, bukankah mereka hanya perlu mengandalkan strategi bermain (bukan strategi memaki) dan skill individu?
Jika kita kembali ke profesionalitas, kita juga bisa mengandaikannya ke pekerjaan lain. Shoutcaster misalnya, yang juga dekat dengan esports dan juga sama-sama profesional. Anggap saja ada shoutcaster A yang berteriak memaki-maki shoutcaster B saat ia sedang live dengan harapan shoutcaster A bisa dapat lebih banyak proyek di masa mendatang. Apakah hal tersebut bisa dianggap profesional dan bersaing sportif?
Satu hal yang pasti, salah satu pemain esports profesional terbaik sepanjang masa yang diakui banyak orang adalah Lee “Faker” Sang-hyeok. Ia tidak perlu berkata-kata (apa malah berteriak) ataupun menuliskan apapun di chat in-game namun saya tahu banyak lawannya yang terintimidasi saat bertarung melawannya. Kenapa? Karena semua lawannya juga tahu kalau kemampuannya berbicara lebih nyaring ketimbang urat sarafnya.
Saya sungguh percaya jika Anda memang punya kemampuan yang ada di atas rata-rata, apalagi memang terbaik di bidangnya, lawan atau kompetitor Anda itu harusnya tahu tanpa Anda perlu berkoar-koar atau malah mengintimidasi orang lain.
Namun demikian, kembali lagi, itu tadi pendapat saya saja. Saya tahu banyak orang mungkin juga merasa perlu menindas orang lain untuk menunjukkan nilai dirinya sendiri.
Faktor Pandemi?
Saya sebenarnya sungguh terkejut ketika melihat video tersebut. Pasalnya, saya selalu hadir ke babak Playoff MPL Indonesia saat digelar tatap muka (offline) di musim-musim sebelumnya (sebelum pandemi) dan saya tidak pernah menemukan perilaku yang sama di musim-musim sebelumnya.
Apakah mungkin karena sebelum pandemi event-nya terbuka juga untuk publik? Sehingga, para pemain jadi lebih sadar diri untuk menjaga ucapan dan perilaku mereka di hadapan publik? Apakah juga karena saat event offline yang terbuka buat publik sound system-nya jauh lebih keras sehingga percuma juga berteriak-teriak jika ingin mengintimidasi lawan? Atau mungkin jika di esports lainnya, teriakan pemain juga tidak akan terdengar ke lawan karena harus masuk ke boks soundproof?
Ada juga yang beranggapan bahwa harusnya video tersebut tidak tersebar ke publik. Atau ada pula yang mencoba mencari pembenaran karena para pro player itu sudah lama tidak bermain tatap muka jadi terlalu semangat dan mungkin sudah terbiasa dengan gaya bermain online di gaming house masing-masing.
Terlepas dari itu semua, bagi saya, berlaku sportif harusnya terjadi di ruang tertutup ataupun terbuka untuk publik. Pasalnya, menggunakan cheat juga dilarang terlepas dari direkam kamera atau tidak. Walaupun, kembali lagi, definisi sportivitas tadi akhirnya bisa jadi berbeda-beda antara masing-masing orang dan sepenuhnya hak penyelenggara.
Penutup
Akhirnya, argumen terakhir yang mencoba membenarkan soal teriakan-teriakan taunting tadi adalah hal tersebut terjadi hanya saat mereka bertanding. Sedangkan, katanya, mereka tetap berkawan saat setelah selesai bertanding meski sebelumnya saling berteriak mengintimidasi.
Untuk terakhir kali, saya kembalikan lagi apakah interaksi tersebut dapat dimaklumi atau tidak — terlepas dari segala argumentasi yang mendukung seperti yang terakhir — ke masing-masing orang. Namun, saya kira, saya sudah cukup jelas menunjukkan berada di posisi yang mana. Mungkin saya saja yang terlalu old school.
Ditambah lagi, faktanya, perilaku toxic dan sentimen negatif soal game dan esports itu masih jadi PR besar yang harus diselesaikan oleh para pelaku di industri ini. Tentunya, caci maki dan teriak-teriakan yang dilakukan oleh pro player tadi tidak akan membantu menyelesaikan PR besar itu.