Aggregator, Indikasi Web 3.0 ?

aggregatorInternet yang memungkinkan penyajian konten real time memang nampak tidak berbatas, apalagi jika digabungkan dengan sisi off line, akan menjadi sebuah teknologi hybrid yang, semoga saja membantu kehidupan manusia. Konten real time sendiri terus menarik minat banyak orang, mulai dari social networking berbasis real time seperti Twitter, konten real time seperti situs berita on line, pendataan data satitstik secara real time seperti fasilitas yang ada di GoSquared, sampai ke aplikasi berbasis aggregator.

Yang terakhir ini sebenarnya bakat-bakat untuk menjadi trendnya sudah ada, dengan semakin populernya Digg, bermunculan juga situs lokal yang berkonsentrasi pada aggregator seperti InfoGue. Trend ini juga mungkin seirama dengan trend pemendek URL yang banyak juga versi lokal, serta trend microblogging yang sempat membuat startup lokal juga membuat aplikasi serupa.

Dan trend aggregator sepertinya memang baru memunculkan benih dan akan berkembang ke arah yang lebih baik. Seperti kemunculan dua aggregator lokal baru yaitu BubuNews dan SalingSilang. BubuNews sendiri merupakan aggregator berita yang mendeteksi beberapa jenis informasi dari teks berita. Seperti yang ditulis di situs resmi mereka saat ini BubuNews ‘mengumpulkan’ berbagai konten dari 32 situs, baik itu dalam dan luar negeri.

Sedangkan SalingSilang adalah aggregator dari berbagai layanan yang menjadi keluarga besar Dagdigdug. SalingSilang, seperti yang dijelaskan di situs mereka adalah sebuah situs yang memungkinkan user untuk menemukan informasi terpopuler dan mengurutkannya berdasar penilaian user sendiri. Konten yang bisa diurutkan dan di masukkan dalam situs SalingSilang adalah berasal dari keluarga besar Dagdigdug. Yang menarik dari aggregator ini adalah fasilitas untuk mengurutkan berita atau konten secara real time dengan spesifikasi berbeda seperti detik ini, kemarin, minggu ini dan bulan ini.

Kedua situs ini bisa jadi telah melihat peluang besar di balik aplikasi berbasis aggregator, kebetulan teman saya memberikan sebuah slide tentang bagaimana web 3.0 itu akan terbentuk yang disusun oleh Martijn Arts. Slide ini memang bisa ditafsirkan dengan berbeda bagi setiap orang, tapi saya mencoba menafsirkannya sebagai sebuah pandangan seorang peneliti yang melihat perkembangan internet saat ini dan mengkonversikannya ke internet pada masa yang akan datang.

Dari slide itu saya berpendapat, bahwa ada kemungkinan besar aggregator akan menjadi salah satu unsur yang akan mewarnai web 3.0, dimana konten social media sudah begitu ramai, berita bermunculan dengan banyak, user kini menjadi produser dan social networking pun telah memberikan konten yang banyak sekali, maka semua ini membutuhkan sebuah situs yang bisa merangkum, mengkategorikan dan memilah-milah dan selanjutnya mengirimkannya kembali ke berbagai situs di internet.

Ketika konten begitu banyak dan jalur informasi begitu riuh, kemungkinan user kebingungan untuk menemukan konten yang sesuai dengan preferensi mereka, akan semakin besar. Disinilah peran situs berbasis aggregator muncul. Aggregator memang semestinya berguna untuk membantu user dalam  menemukan berbagai konten yang mereka sukai, user tidak perlu lagi mencari semua konten secara bersamaam, user kini hanya perlu memilih konten yang paling sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Salah satu artikel di TechCrunch juga mengindikasikan bahwa para giant kini juga mengarah pada aggregator. Yahoo, seperti yang ditulis TechCrunch memasukan aggregator sebagai salah satu rencana besar mereka. Dari artikel ini, bisa sedikit dibayangkan bahwa fitur-fitur yang menghubungkan social networking seperti Facebook Connect dan fitur yang mengumpulkan konten real time, nantinya akan dikumpulkan dalam aplikasi aggregator. Dan, sekarang para giant pun beramai-ramai membuat aplikasi ‘connect’.

Di tingkat lokal, situs lokal pun kini jumlahnya semakin banyak, startup lokal pun terus bermunculan, berbagai aplikasi yang memberikan feature-feature yang menarik pada user mereka terus berdatangan. Aggregator bisa jadi memang akan menjadi jawaban aplikasi internet di masa depan, apalagi untuk internet tanah air yang memang dalam taraf berkembang tapi sangat potensial.

Yang menarik tentu melihat perkembangan para pelaku aggregator, yang sudah ada, melihat apa yang akan mereka lakukan untuk mempertahankan posisi awal mereka, dan yang baru, melihat kelebihan apa yang mereka tawarkan dibandingkan dengan situs yang sebelumnya.

Dan, satu lagi yang patut ditunggu, tentu saja komentar para pembaca DailySocial. Bagaimana pendapat para pembaca DailySocial, apakah aggregator akan menjadi jawaban kunci untuk menghadapi web 3.0, atau anda punya pendapat lain? Share komentar anda pada kolom komentar.

*terima kasih @prajnamu untuk link slide-nya.

21 thoughts on “Aggregator, Indikasi Web 3.0 ?

  1. Yup, saya setuju dengan artikel ini. Dan ingin menambahkan sedikit dari perspektif saya

    Premise dari web 2.0 adalah user generated content. Dan perkembangannya ke sini masih secara mayoritas mengkoneksikan antara user yang satu dengan (beberapa) user yang lain. Contoh account facebook kita terkoneksi dengan account teman-teman kita. Dan banyak sekali stream update yang masuk ke account kita. Apakah semuanya relevan dengan kita? Apakah semuanya ingin kita dengar? Belum tentu.

    Sampai sekarang, untuk memfilter dan mensortir signal dari noise karena begitu banyaknya konten (baik di web maupun social media) kita masih bergantung kepada search engine (baik yang eksternal cth. google maupun yang internal). Cth. twitter search untuk twitter. Tapi problem akan banyaknya noise masih belum terselesaikan.

    Aggregasi semata juga tidak akan terlalu menolong mengurangi noise. Harus ada pilahan-pilahan yang membantu mengkategorikan konten-konten yang ada. Jadi mungkin yang akan terjadi adalah adanya aggregator level lokal (segmentasi defined by users) di samping aggregator level global seperti Google. Yahoo, dll dan dimana aggregator level global memiliki akses ke aggregator level lokal.

    Saya rasa contoh yang paling dekat adalah pearltrees. Setiap pearl adalah aggregator level lokal yang isinya ditentukan oleh users, tapi setiap pearl juga bisa terkoneksi di level yang global / lebih luas cakupannya.

    Dan dari mata saya, dasar dari web 3.0 ada 2:
    1. fight for attention dimana atensi adalah mata uang dari dunia web.
    2. better sorting system atas sebuah dunia dengan long tail konten

  2. LOL. Mungkin maksud dari artikel ini adalah dengan banyaknya source konten yang dibuat selama masa 2.0, sudah saatnya muncul teknologi untuk mengelola informasi tersebut. Kebutuhan yang personal tentu akan membentuk tiap agregator menjadi sangat fleksibel dan mudah di-customize, dan melalui teknologi semantik inilah yang dibilang sebagai indikasi web 3.0 🙂

    Mungkin artikel dari Navinot ini bisa membantu http://www.navinot.com/2010/01/06/bubunews-meny

  3. IMHO, itu masih web 2.0 (or its variation).

    Yang di bayangan saya adalah konten yang udah ada bisa diaggregasikan dan hopefully, secara algoritmik dan bukan manual yang kemudian bisa dipakai lagi di dalam konteks yang lebih global oleh aggregator berskala besar (seperti search engine)

  4. IMHO,
    itu dia mas pandu, bayangan saya juga seperti itu, atau semuanya serba otomatis, bukan secara manual lagi, dan tambahannya adalah, aggregator itu menyebarkan lagi ke social media, jadi semacam sebuah siklus tersistem, dari social media masuk ke aggregator, nanti dari aggregator keluar lagi ke berbagai social media…

  5. kalau memfilter secara otomatis.. kayanya susah juga deh.. soalnya batasan noise bagi tiap pengguna akan berbeda… tetap ajah nantinya ada pengaturan untuk menetukan batasan noise itu seperti apa , kecuali ada tekhnologi yang mengerti seperti apa keinginan pengguna (mungkin dari hasil melihat avatar pengguna) *lol*

  6. hmmm agregator web ?

    Perbincangan web 3.0 rasanya udah berlangsung cukup lama dan telah ada banyak konsep yang dimunculkan.

    Salah satu konsep yang menarik yang dulu pernah mencuat adalah adanya penggunaan AI ( Artifial Inteligence ) dalam membantu kita untuk mensorting informasi.

    Namun sepertinya hal tersebut masih reluctant untuk diterapkan, apalagi kalo melihat sampe sekarang semantic web saja masih sulit untuk serentak digunakan.

    Bila agregator web adalah masa depan yang sudah tiba ( near future ), rasanya kurang begitu pantas, karena agregator web sebenarnya konsep yang udah ada cukup lama. Paling karena sekarang trendnya lagi kesana dan banyak orang yang melihat keberhasilan dari model bisnis <a href=” http://www.demandmedia.com/ “>demand media maka banyak pihak yang mencoba menerapkannya.

    Tahun lalu paling santer terdengar mengenai real time web, tahun ini entahlah apa lagi … yang pasti “the web” akan terus berkembang dan dengan begitu banyaknya orang – orang berbakat yang menyumbangkan ide luar biasa mereka who knows what going to happen

  7. IMO, filtering itu mau nggak mau “manual”. kecuali ada teknologi “neuro” yang bisa membaca kecenderungan pilihan seseorang.

    Tapi kayaknya Google pun belum punya/bisa teknologi itu, hehehe…

  8. kenapa dengan 3.0

    karena keharusan perkembangan setelah 2.0?
    klo 2.0 berhasil mengembangkan konten web secara kroyokan dan membantu pencarian bentuk dan perkembangan interaksi sosial dalam moral budaya, web 3.0 mungkin jadi gambaran makro nya, dimana semuanya menjadi lebih terukur dan dapat dibaca. dimana dinamika sejumlah web2.0 menjadi gambaran sebuah kesatuan fenomena secara makro

    entahlah..

Leave a Reply

Your email address will not be published.