Jika sebelumnya saya telah berbincang-bincang dengan salah satu pemilik organisasi esports Indonesia, BOOM ID (Gary Ongko), tentang pengalamannya membesarkan organisasi tersebut; saya ingin melanjutkan perbincangan seputar membangun tim esports dengan mengajak tiga stakeholders berbeda untuk memberikan pandangannya.
Kali ini, ada 3 narasumber dari 3 perspektif yang berbeda yang telah diundang untuk berbagi cerita.
Adalah Bambang Tirtawijaya sebagai Product Manager untuk Corsair dari Digital Pitstop (DTG), Aerastio Taufiq Akbar sebagai Creative Director dari Supreme League, dan Yansen Wijaya yang merupakan Brand Manager untuk EVOS Esports yang jadi narasumber kita kali ini.
Sebelum kita masuk ke topik pembicaraannya, mari kita berkenalan sejenak dengan masing-masing brand yang diwakili oleh ketiga narasumber kita di atas.
Corsair, siapakah yang tidak kenal brand yang satu ini? Corsair memang mengawali perjalanannya sebagai produsen memori (RAM) papan atas. Seiring waktu, mereka mengembangkan sayapnya ke berbagai produk lainnya; termasuk gaming peripheral. Terlalu banyak produk dan hal yang bisa dibahas dari Corsair yang mungkin bisa jadi novel 500 halaman sendiri jika ingin dikupas detail namun, satu hal yang pasti, build quality adalah keunggulan utama dari brand yang satu ini. Di Indonesia, Corsair juga menjadi sponsor salah satu tim esports besar, yaitu Bigetron Esports. Di luar negeri, di tingkat global, Corsair juga menjadi sponsor Team Secret, Invictus Gaming, Counter Logic Gaming, dan yang lainnya.
Sedangkan EVOS Esports adalah salah satu organisasi esports besar yang bisa dibilang juara dalam hal exposure. Mereka punya banyak divisi game, mulai dari Dota 2, Mobile Legends, Arena of Valor, Point Blank, FIFA, PUBG Mobile, dan yang lain-lainnya. Buat Anda yang mengikuti perkembangan ekosistem esports dalam negeri, keterlaluan rasanya jika Anda belum pernah mendengar nama EVOS. Divisi Dota 2 EVOS Esports sempat juga turut bertanding di ajang kompetitif Dota 2 bergengsi tingkat internasional di Jerman, di ESL One Hamburg 2018. Divisi Mobile Legends mereka juga baru saja menjadi juara kedua di gelaran MPL ID Season 2.
Supreme League mungkin adalah nama yang paling minim exposure jika dibanding 2 nama tadi. Namun demikian, Supreme League merupakan salah satu organizer event esports besar di Indonesia yang telah menjalankan berbagai kompetisi berskala nasional. Namanya mungkin memang minim exposure karena posisi mereka juga sebagai organizer. Namun buat orang-orang yang sudah malang melintang di belakang layar dunia esports Indonesia, Supreme League sudah tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Proyek terakhir mereka adalah Ultimo Hombre, yang digelar di Jakarta dan Surabaya.
Proses Tim Menggaet Sponsor
Kenapa sebenarnya Corsair tertarik untuk menjadi sponsor tim esports?
Bambang pun menjelaskan bahwa kompetitif gamer itu butuh perangkat yang bisa diandalkan. “Jadi, bagi Corsair, ketertarikan ini memang sudah seperti yang biasa mereka lakukan.” Dengan menjadi sponsor tim, selain bisa dijadikan standar perangkat untuk gamer kompetitif, mereka juga bisa mendapatkan masukkan tentang pengembangan produk yang cocok untuk gamer seperti apa.
Sedangkan Yansen dari EVOS yang sekarang telah menggaet banyak sponsor seperti Lenovo, Tokopedia, Gojek, Traveloka, dan NimoTV pun bercerita bagaimana klub esports ini bisa menggandeng begitu banyak sponsor. Menurut ceritanya, awalnya masih banyak sponsor yang belum tahu esports itu apa dan bagaimana masa depannya. Jadi, merekalah yang harus menjelaskan dan meyakinkan ke para calon sponsor ini tentang potensi esports. Yansen juga mengatakan bahwa menaruh iklan di YouTube atau di esports itu juga lebih efektif daripada menaruh iklan di jalan.
Bagaimana dengan sebaliknya? Apakah yang sebenarnya dicari sponsor dari tim esports? Bagaimana mereka menentukan pilihan tim seperti apa yang bisa disponsori? Apa sajakah takarannya?
Bambang pun mengatakan bahwa ada beberapa hal yang biasanya dilihat sponsor. “Kita ingin melihat rekam jejak dari satu tim sih.” Prestasi mungkin bisa jadi takaran meski memang tak terlalu kaku berkisar di sana. Manajemen organisasi yang bagus yang lebih besar kemungkinannya mendatangkan ketertarikan sponsor. Sentimen positif tentang tim esports itu, yang bisa terlihat di media sosial, juga dapat berpengaruh pada ketertarikan sponsor.
Sayangnya, ia juga bercerita bahwa masih banyak tim di Indonesia yang memiliki kekurangan di aspek manajemen organisasi.
Lalu bagaimana soal turnamen? Turnamen esports memang faktanya adalah bagian yang tak dapat dilepaskan dari ekosistem esports. Tanpa turnamen, tim-tim esports tak punya ruang untuk berkompetisi. Namun apakah ada lagi fungsi lain dari turnamen?
Tio dari Supreme League pun mengatakan bahwa turnamen juga berfungsi sebagai ruang exposure buat tim itu juga. Tio pun kembali menegaskan bahwa, sampai kapan pun, esports selalu akan ada turnamennya karena turnamen memberikan sebuah tolak ukur akan sebuah capaian, prestasi, dan exposure dari tim esports.
Masalah yang Dihadapi oleh Tim Esports
Meski bergantung satu sama lainnya, antara turnamen dan tim, tentu saja pernah atau bahkan sering terjadi gesekan antara keduanya. Apa saja yang pernah dialami oleh Supreme League tentang hal ini? Tio pun bercerita bahwa pemain-pemain yang sudah cukup populer memang tak jarang sulit diatur walaupun memang ia mengakui mentalitas orang itu berbeda-beda. Kedisiplinan para pemain itu adalah masalah yang paling sering ia temui saat menggarap event esports.
Bambang pun menambahkan cerita menarik yang pernah ia rasakan sendiri tentang masalah profesionalisme pemain. “Satu kali pernah ada pemain yang datang untuk tanda tangan kontrak. Namun kala itu, dia datang dengan mengenakan kaos kompetitor. Hahaha…” Katanya sambil tertawa. Ia pun tak serta merta menyalahkan sang pemain di kasus tadi namun justru menilai manajemennya yang tak sigap dalam mengatur pemainnya.
Bagaimana tanggapan Yansen sebagai bagian dari manajemen tim esports mengenai profesionalisme pemain? Solusi apa yang diterapkan di EVOS untuk masalah tersebut?
Yansen pun mengatakan bahwa sebenarnya memang setiap divisi memiliki personality-nya masing-masing dan, meski manajemen telah menekankan nilai-nilai kedisiplinan, tetap saja ada satu dua pemain yang kadang-kadang tidak disiplin. Ia juga mengakui bahwa masalah ini masih menjadi PR buat EVOS. Ia juga tidak bisa mengatakan bahwa tim EVOS itu lebih disiplin dari organisasi lainnya.
Lalu bagaimana soal tantangan dari tim sendiri soal prestasi?
“Setiap hari sih tantangan ya… Hahaha…” Ujarnya Yansen tertawa. “Tim kita sekarang sudah ada bootcamp. Bangunin mereka saja itu sebenarnya sudah tantangan tersendiri.”
Sedangkan untuk soal prestasi, menurut Yansen, kembali lagi ke masing-masing pemain dan visi mereka. “Kalaupun mereka belum bisa menyumbang prestasi, mereka mungkin hanya belum beruntung.” Ia pun kembali menyebutkan yang sebelumnya dikatakan oleh Bambang di atas bahwa prestasi itu sebenarnya bisa dicari sambil berjalan, yang penting adalah bagaimana manajemennya.
“Kita ga terlalu result-oriented sih. Yang penting proses dalam mencapai prestasi itu yang kelihatan.” Katanya.
Kelebihan dan Kekurangan Maraknya Turnamen Esports
Tahun 2018 ini, ada banyak gelaran esports setiap bulannya. Meski memang menjadi bagian integral dari ekosistem, terlalu banyak turnamen juga memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bagaimana narasumber kita di sini melihat hal ini?
“Negatifnya, karena sponsorship itu jadi bagian dari perencanaan perusahaan, kalau turnamen terlalu sporadis itu kita jadi susah juga dari sisi budgeting. Apalagi kalau levelnya besar ya. Itu pertama. Kedua, menciptakan image turnamen itu juga lebih sulit. Misalnya, tim-tim yang bermain di sini sama yang di sana itu setingkat kah?” Kata Bambang.
Dengan kata lain, menciptakan turnamen yang berkesan jadi lebih tinggi tantangannya karena narasi/cerita masing-masing turnamen bisa saling mengaburkan atau membingungkan.
Namun sisi positifnya, buat sponsor, mereka bisa lebih punya banyak exposure; lebih banyak ruang untuk beriklan. Selain itu, sponsor juga punya lebih banyak pilihan turnamen mana yang ingin dikejar.
Lalu bagaimana dari sisi klub esports? Apa plus dan minusnya?
Yansen mengatakan, “pertama, kita jadi punya lebih banyak exposure. EVOS di sini, EVOS di sana. Kalau menang, kita dapat prize pool lebih banyak juga. Namun, yang terutama adalah para pemain jadi lebih punya banyak pengalaman. Apalagi jika event offline. Karena di event offline, mereka harus nambah satu skill lagi yaitu mental.”
Sebaliknya, kekurangannya, terlalu banyak turnamen adalah kesulitan untuk mencari jadwalnya. Ia bercerita bahwa beberapa kali EVOS harus mengundurkan diri karena jadwal turnamen yang tabrakan. Pasalnya, para pemain ini juga harus mengatur jadwal kapan harus latihan, istirahat, ataupun kegiatan lainnya. Semakin padatnya jadwal turnamen, hal tersebut akan menyulitkan juga buat para pemain dan manajemen membagi waktu.
Tio dari Supreme League juga memberikan pendapatnya mengenai kelebihan dan kekurangan maraknya turnamen esports yang terjadi. Dari sisi EO, lebih banyak turnamen esports, positifnya kembali lagi lebih banyak exposure.
Menurutnya, hal ini juga akan membantu mengenalkan esports ke masyarakat awam. “Dengan esports dikenal di kalangan mainstream, hal ini dapat memudahkan mereka untuk menyadari bahwa esports itu adalah sebuah bisnis yang layak; yang menjanjikan.” Ujar Tio.
Sedangkan negatifnya, menurut Tio, terlalu banyak event juga akan membuatnya terlalu monoton buat para esports enthusiast ataupun mereka-mereka yang ada di belakang layar.
–
Itu perbincangan singkat saya bersama 3 narasumber tadi tentang sponsor, tim, dan event esports. Semoga hal ini berguna buat Anda yang berencana membangun tim esports ataupun menyelami industri/ekosistem esports lebih dalam.