Platform Equity Crowdfunding Bizhare

Inisiatif Platform “Equity Crowdfunding” Bizhare Mendorong Minat Investasi Masyarakat Indonesia

Istilah equity crowdfunding atau urun dana mulai ramai dibicarakan sejak terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37/POJK.4/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi lnformasi. Pada bulan November 2019, OJK pun telah mengeluarkan izin untuk tiga startup yang menjalankan bisnis menggunakan konsep ini. Salah satunya adalah Bizhare, sebuah platform investasi bisnis yang fokus membantu usaha kecil menengah untuk mendapat pendanaan melalui pembagian kepemilikan saham.

Sudah berjalan sejah tahun 2017, platform jebolan program inkubasi 1000 Startup Digital ini telah menjaring 36 ribu investor, serta mendistribusikan total 30 miliar untuk sekitar 27 bisnis.

Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menyampaikan bahwa target pasar utama mereka adalah karyawan usia produktif, pekerja usia lanjut juga mahasiswa yang sedang belajar bisnis.

“Kita bikin platform ini dengan tujuan untuk menyederhanakan konsep berinvestasi dalam masyarakat. Di sini kita mencoba menjadi bursa efek untuk franchise dan ukm di Indonesia,” tambahnya.

Mekanisme investasi dan skema pasar sekunder

Tim Bizhare saat resmikan kerja sama dengan Baba Rafi / Bizhare
Tim Bizhare saat resmikan kerja sama dengan Baba Rafi / Bizhare

Mekanisme pembagian dividen dalam platform ini cukup transparan mengacu pada data historis penerbit/outlet lain sebagai gambaran untuk investor mulai menanamkan uangnya, namun performa masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa depan.

Nilai pembagian keuntungan bisa bervariasi bergantung pada realisasi keuntungan per bulan dari bisnis tersebut dan jangka waktu menyesuaikan kesepakatan awal dengan penerbit dan franchisor saat pertama kali penawaran saham.

Bizhare juga menerapkan beberapa tahapan dalam memverifikasi bisnis yang masuk. Salah satunya adalah analisis mendalam dan credit scoring sebelum sebuah bisnis bisa melakukan penawaran. Semua informasi yang didapat akan tertera pada proposal untuk dipelajari investor. Setelah investasi terjadi, timnya pun tidak lepas tangan sembari terus mengawasi performa bisnis dan ikut berkontribusi untuk perkembangan bisnis yang ada.

Saat ini, Bizhare juga telah bekerja sama dengan KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) sebagai bentuk keseriusan untuk terus melayani masyarakat dan mencapai misi utama Bizhare, yakni membantu lebih banyak orang bebas secara finansial.

Sebagai investor di platform Bizhare, kepemilikan saham akan tercatat dan tersimpan secara kolektif di KSEI, selayaknya perusahaan publik, dalam rangka mempermudah penjualan saham di pasar sekunder ke investor lain. Saat ini Bizhare juga sedang mengembangkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya. Bentuknya semacam bursa dengan konsep bid offer.

“Kita targetkan untuk launch tahun ini. Soalnya kita termasuk yang pertama yang mengusung konsep ini. Sudah ada beberapa penerbit yang kita siapkan untuk masuk ke secondary market juga,” lanjut Heinrich.

Monetisasi dan rencana pra seri A

Dari segi monetisasi, Bizhare mematok biaya layanan sebesar 5% dari total nominal yang diinvestasikan pada sebuah bisnis. Selain itu, ada management fee sebesar 5% dari setiap keuntungan bisnis yang menggunakan layanan lengkap distribusi laporan keuangan dan pembagian keuntungan bisnis secara otomatis di platform Bizhare.

Sebelumnya, Bizhare telah didukung dengan seed funding dari Plug and Play, GDILab, dan Digitaraya. Saat ini timnya sedang dalam masa penjajakan dengan beberapa VC juga korporasi untuk penggalangan dana pra seri A. Rencananya, dana yang didapat akan digunakan untuk expansi, pengembangan teknologi dan operasional, serta digitalisasi UKM.

“Kita punya rencana untuk mempersiapkan UKM untuk pendanaan melalui teknologi. Sekarang sedang dalam tahap diskusi juga dengan beberapa partner untuk bekerja sama dalam usaha digitalisasi bisnis UKM,” ujar Heinrich.

Saat ini kebanyakan bisnis yang ada di Bizhare adalah franchise dan UKM, namun timnya menyampaikan bahwa mereka tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke ranah startup ke depannya.

“Kita lihat market Indonesia belum siap untuk ritel investor yang mau invest di startup. Jadi kita sedang menunggu momentum,” tutup Heinrich.