Dewasa ini, mendistribusikan musik jauh lebih dimudahkan berkat kehadiran banyak platform streaming. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah, seberapa menguntungkan layanan macam Spotify atau Apple Music bagi seorang musisi?
Kita tahu bahwa Spotify, Apple Music, dan penyedia layanan streaming lainnya membayar biaya lisensi ke pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor) demi menyajikan konten ke masing-masing pelanggannya, namun berapa persisnya uang yang pada akhirnya masuk ke kantong tiap-tiap musisi?
Jawabannya bisa berbeda-beda tergantung platform streaming-nya, dan sulit untuk menerka angka persisnya karena ada banyak faktor yang memengaruhi. Kalau untuk Apple Music, berdasarkan surat yang dikirimkan ke para musisi (yang dilaporkan oleh Wall Street Journal), rata-rata Apple membayar satu sen dolar per stream. Kedengarannya memang tidak banyak, akan tetapi tarif yang dipatok rupanya sekitar dua kali lebih tinggi daripada Spotify.
Spotify, kalau dirata-rata, membayar sekitar sepertiga sampai setengah sen dolar per stream. Pun demikian, kita juga tidak boleh lupa bahwa Spotify memiliki total pengguna yang jauh lebih banyak. Pada kuartal keempat tahun 2020, Spotify melaporkan jumlah penggunanya telah mencapai angka 345 juta, dan 155 juta di antaranya merupakan pelanggan berbayar. Di sisi lain, terakhir Apple melaporkan jumlah pelanggannya adalah di bulan Juni 2019, tepatnya ketika mereka menembus 60 juta pelanggan.
Alhasil, tidak heran apabila kontribusi finansial Spotify terhadap industri musik juga lebih besar. Tahun lalu saja, Spotify membayarkan sekitar 5 miliar euro kepada pemegang hak cipta. Tarif per stream-nya lebih rendah karena rata-rata pelanggan Spotify juga mendengarkan lebih banyak musik setiap bulannya ketimbang pelanggan layanan lain. Ditambah lagi, Spotify juga punya paket gratisan yang sepenuhnya mengandalkan pemasukan dari iklan (yang jelas lebih sedikit ketimbang pemasukan yang didapat dari paket berbayarnya).
Satu hal yang perlu dicatat adalah, tarif satu sen dolar atau setengah sen dolar per stream itu tidak langsung masuk ke kantong musisi begitu saja. Tarif tersebut dibayarkan oleh penyedia layanan streaming kepada pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor), yang kemudian membayar tarif royalti ke para musisi berdasarkan persetujuan masing-masing. Seperti yang saya bilang, sulit menerka angka persisnya karena ada banyak faktor, salah satunya perbedaan kontrak yang disepakati oleh tiap-tiap musisi.
Meski begitu, tidak sedikit musisi yang menganggap tarif per stream ini sebagai indikator pemasukan mereka di era serba streaming seperti sekarang. Transparansi semacam ini tentu sangatlah relevan terutama di masa-masa pandemi seperti sekarang, di mana musisi terpaksa kehilangan salah satu sumber pemasukan utama mereka: konser.
Sumber: WSJ via Engadget. Gambar header: Depositphotos.com.