Aryo Ariotedjo: Demi Startup, Sibuk Bolak-Balik Dua Benua

Pendiri perusahaan investasi dan inkubator Grupara, co-working space Freeware, dan startup Project Shoe. Aryo Prakoso Ariotedjo menjalani dua sisi dalam kehidupan startup, sebagai investor sekaligus entrepreneur digital. Dua sektor ini merupakan dua hal yang berbeda meski saling berkaitan. Yang satu memberi modal dan yang lain merupakan proyek kerja yang diberi modal. Sebenarnya mana yang lebih dia sukai?

DailySocial berkesempatan menemuinya di Kantor Grupara saat ia kebetulan sedang berada di Jakarta. Belakangan ini inkubator startup yang dijalaninya memang sedang vakum, sehingga ia lebih fokus untuk startup yang didirikannya di Amerika Serikat, Project Shoe.  Sekarang ia sering bolak-balik Jakarta – New York untuk mengurusi perusahaannya yang berbasis di dua benua.

Lulusan Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya ini mengakui bahwa sebenarnya kalau harus memilih ia lebih suka menjadi investor.

“Karena bisa banyak belajar dari pendiri startup lainnya. Berusaha mempelajari dan mengerti persepsi sukses menurut mereka, dan kebanyakan orang-orang yang sekarang sukses mereka sudah punya rencana satu hingga tiga tahun ke depan. Mereka sudah menjalankan plan A, dan kalau sesuatu enggak berjalan, mereka juga sudah punya Plan B,” ujar Aryo.

Berbicara tentang pandangannya mengenai sukses, Aryo melihat bahwa startup yang sukses adalah perusahaan yang benar-benar menyelesaikan masalah untuk jutaan orang dan jutaan orang lainnya, yang membuat bisnisnya bisa menjadi besar. “Bukan masalah gimmick, tetapi terkait dengan masalah orang-orang sekitar saja. Sekitar kantor atau sekitar rumah, sebab masalah orang sekitar yang dikenal belum tentu sama dengan lingkungan luar. Jangan malas riset, lah,” terangnya.

Aryo mengatakan, “Pada akhirnya, jangan menghabiskan waktu tahunan mengerjakan sesuatu masalah, dan menawarkan solusi yang orang tidak mau.”

Aryo menjelaskan bahwa tidak masalah di mana startup itu dimulai, di sini atau di belahan dunia lain. Jika memang menawarkan solusi terhadap masalah jutaan orang, startup itu bisa sukses secara global.

“Lihat pasarnya juga, mulailah startup di tempat yang dinilai menguntungkan. Lihat saja expat di sini. Asalnya dari banyak negara, tetapi mereka menghasilkan uang di sini. Kenapa kita juga enggak bisa seperti itu, orang Indonesia tetapi punya perusahaan di Eropa atau Afrika,” tuturnya. Ia menambahkan memilih lokasi memulai bisnis sangat tergantung dan berbeda untuk setiap kasus.

Alasan ia mendirikan Project Shoes di New York, menurut Aryo, juga didasari bahwa pasar sepatu dunia 60 persennya berada di Amerika Serikat dan dengan pendapatan rata-rata di  sana termasuk tinggi, pengeluaran untuk belanja sepatunya pun ikut tinggi.

Aryo mengatakan di sana nilai pasar e-commerce khusus sepatu mencapai $6 Miliar. Ario berujar, “Kalau dimulai di sini agak susah, apalagi orang Indonesia untuk membeli sepatu yang seharga  100-an dolar pasti lihatnya brand. Kalau di sana asal bagus dan mereka suka tidak masalah.”

Untuk produksi sepatunya, Aryo mengatakan ada yang dari China dan ada yang diproduksi di Indonesia. Ia mengatakan pilihan ini didasarkan semata dari kualitas. “Misalnya untu sepatu model Oxford buatan Indonesia terkenal bagus, tetapi untuk heels masih agak kurang,” ungkapnya.

Meski tak ingin membuka angka, Aryo menyebutkan bahwa sekarang Project Shoes sudah melayani 15 negara.

Ia juga mengatakan Project Shoes hingga saat ini masih tumbuh secara organik. Strategi pemasaran yang digunakan adalah membagikan gift untuk fashion blogger di luar negeri,  tidak hanya di Amerika Serikat. Saat ini Project Shoe bahkan sudah pernah diulas oleh majalah dan media online mainstream di luar negeri.

Satu hal lagi yang bisa dipetik dari pengalaman Aryo adalah bekerja di dunia startup tidak bisa setengah-setengah. Sejak mulai terjun di dunia startup di tahun 2011, Aryo harus meninggalkan kegiatan organisasinya di Pemuda Pancasila dan juga HIPMI.

Aryo bilang awalnya terjun di startup termakan omongan sendiri. Dahulu ia memandang sebelah mata bisnis berbasis Internet. Dia mengungkapkan, “Awalnya kayak kecebur. Ini bisnis apa sih enggak jelas? Tetapi setelah dijalanin bukan hanya suka, tetapi suka sekali.”

Meski mengakui sangat menyukai dunia yang digeluti sekarang, namun bukan berarti segalanya berjalan mulus.

“Banyak dramanya bikin startup,” ujarnya.

Ia menceritakan bahwa drama tidak bisa dihindari. Saat ingin memulai startup selalu manis di awal, tetapi setelah dijalani setahun baru kelihatan susah senangnya.

“Kayaknya orang gampang banget dapat co-founder. Kalau saya itu lumayan sulit mencari yang benar-benar tahan. Saat memulai perusahaan waktu tersita, harus mengerjakan banyak hal. Banyak orang yang awalnya yakin bisa menjalani bisnis startup, tetapi setelah setahun enggak tahan dengan stresnya,” kenang Aryo.

Saran terakhir, untuk memperkuat perusahaan, adalah memilih orang-orang yang tepat karena ahli di bidang yang dibutuhkan, bukan karena sekedar kenal dekat secara personal. Terkait bagaimana dia mengajak istri sebagai Co-Founder Project Shoe, Aryo bercerita, “Co-Founder saya sekarang adalah istri saya sendiri. Tetapi itu bukan karena dia istri saya, melainkan bahwa kinerjanya ternyata sangat profesional. Awalnya dia tidak mau terlibat, hanya mau support, tetapi kinerjanya sangat profesional dan berkontribusi. Nah ketika co-founder terdahulu keluar, langsung saja saya tawarkan posisi itu.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.