All posts by Glenn Kaonang

The Settlers Versi Reboot Siap Menyapa Para Penggemar Game RTS pada Bulan Maret

The Settlers, seri game RTS lawas yang cukup populer di tahun 90-an, bakal kembali menyapa para penggemar game strategi tahun ini. Setelah mengalami beberapa penundaan, reboot The Settlers ini akan resmi meluncur pada tanggal 17 Maret 2022 mendatang.

Tanpa menghitung sejumlah judul spin-off-nya, total ada tujuh game The Settlers yang diluncurkan dari tahun 1993 sampai 2010, sebelum akhirnya franchise ini vakum selama satu dekade lebih. Di tahun 2014, Ubisoft sebenarnya sempat menggarap game The Settlers yang ke-8, akan tetapi game tersebut batal dirilis setelah menerima respons negatif selama masa pengujian closed beta-nya.

The Settlers versi reboot ini pertama kali diumumkan pada event Gamescom 2018, dengan rencana awal perilisan di tahun 2019. Jadwalnya lalu mundur hingga kuartal ketiga 2020, namun seperti yang kita tahu, pandemi COVID-19 melanda, dan di bulan Juli 2020 Ubisoft memutuskan untuk kembali menundanya. Well, semoga saja kali ini tidak mundur lagi.

Dibandingkan game-game RTS lain, The Settlers memang tidak terlalu mengedepankan aspek kompetitif dan bisa dimainkan secara cukup santai. Hal ini semakin dimantapkan berkat visualnya yang apik dan mendetail, dan di versi reboot-nya ini, The Settlers digarap menggunakan engine Snowdrop yang terkenal punya visual beserta tingkat detail yang memukau.

Selain campaign dengan cerita yang mendalam, The Settlers juga menawarkan beberapa mode permainan lain seperti mode skirmish dan onslaught, termasuk halnya mode multiplayer yang mendukung hingga 8 pemain. Ada tiga faksi berbeda yang dapat dimainkan โ€” Elari, Maru, dan Jorn โ€” serta beberapa bioma yang bisa dieksplorasi di The Settlers.

Bagi yang sudah tidak sabar dan ingin segera memainkannya, Anda bisa mengikuti program pengujian closed beta The Settlers yang akan segera berlangsung mulai tanggal 20 sampai 24 Januari 2022. Selama masa closed beta, hanya ada mode skirmish 1v1 dan 2v2 yang bisa dimainkan di dua map yang berbeda. Kalau tertarik, Anda bisa mendaftarkan diri di situs resminya.

Sumber: PC Gamer dan Ubisoft.

Microsoft Diam-Diam Sudah Menyetop Produksi Semua Model Xbox One Sejak Akhir 2020

Berbeda dari smartphone, konsol generasi baru tidak datang setiap tahun. Alhasil, konsol generasi lama tidak otomatis langsung berhenti diproduksi ketika suksesornya telah tersedia di pasaran. Masa transisi dari konsol lama ke baru itu akan selalu ada, akan tetapi lamanya berbeda-beda tergantung kondisi dan kebijakan masing-masing perusahaan.

Di kubu Microsoft, masa transisi dari Xbox One ke Xbox Series X/S rupanya sudah rampung sejak lama. Kepada The Verge, Microsoft mengonfirmasi bahwa mereka sebenarnya sudah berhenti memproduksi semua model Xbox One pada akhir 2020 lalu. Sebelumnya, tepatnya di bulan Juli 2020, Microsoft sempat bilang bahwa mereka sudah menyetop produksi Xbox One X dan Xbox One S Digital Edition, tapi tidak untuk Xbox One S versi standar.

Sekarang kita tahu bahwa rencana tersebut ternyata cuma bertahan beberapa bulan saja, sebab Microsoft secara diam-diam juga sudah berhenti memproduksi Xbox One S versi standar di akhir tahun 2020. Dengan kata lain, Microsoft sebenarnya sudah sepenuhnya berfokus pada Xbox Series X dan Series S mulai 2021 kemarin.

Ini sangat kontras dengan strategi yang dijalankan oleh Sony. Baru-baru ini, beredar laporan bahwa Sony akan menggenjot produksi PlayStation 4 di tahun 2022 ini demi mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh krisis stok PlayStation 5. Sony bahkan sempat bilang bahwa mereka dari awal memang belum pernah berniat untuk menghentikan produksi PS4.

Tidak seperti Sony, Microsoft menawarkan dua tipe konsol generasi baru yang berbeda / Microsoft

Baik Sony ataupun Microsoft sebenarnya sama-sama kesulitan memenuhi permintaan tinggi konsumen akan konsol next-gen bikinan masing-masing. Namun yang agak berbeda adalah, di saat Sony hanya menawarkan satu tipe konsol saja (PS5), Microsoft menawarkan dua tipe yang berbeda (Xbox Series X dan Series S). PS5 memang ada yang versi Digital Edition, akan tetapi versi tersebut tidak mempunyai perbedaan performa sama sekali.

Xbox Series S di sisi lain memiliki performa yang lebih inferior ketimbang Series X. Secara fisik, ukuran chipset yang menenagai masing-masing konsol bahkan berbeda. Sebelum ini, Phil Spencer selaku bos besar Xbox juga sempat menjelaskan bahwa mereka sebenarnya bisa memproduksi lebih banyak chip milik Series S ketimbang chip milik Series X dalam satu penampang yang sama.

Jadi meski kesulitan memenuhi demand Series X, Microsoft masih bisa sedikit menutupinya dengan memperbanyak stok Series S. Sony di sisi lain harus bergantung pada konsol lamanya untuk menyiasati krisis stok PS5.

Sumber: The Verge. Gambar header: Louis-Philippe Poitras via Unsplash.

Rayakan Ultah ke-35 Castlevania, Konami Luncurkan Koleksi NFT Artwork dan Musik Castlevania

Semakin hari semakin banyak perusahaan game besar yang tertarik untuk ikut meramaikan tren NFT. Ubisoft memulainya di bulan Desember 2021, lalu belum lama ini Square Enix mulai memberikan sinyal. Sekarang, giliran Konami yang ingin mencuri perhatian.

Dalam rangka merayakan ulang tahun Castlevania yang ke-35 (yang sebenarnya sudah sejak September 2021 lalu), Konami meluncurkan koleksi NFT yang berisikan artwork beserta musik paling ikonis dari seri game tersebut. Mulai dari box art Castlevania: Circle of the Moon, sampai BGM “Vampire Killer” dari Castlevania orisinal dan adegan-adegan boss fight dengan berbagai macam senjata yang dijalani oleh Simon Belmont, semuanya sedang dilelang sebagai NFT edisi terbatas di OpenSea.

Total ada 14 aset NFT Castlevania yang Konami rilis, namun demi menjaga eksklusivitasnya, masing-masing hanya akan tersedia sebanyak satu unit saja. Tidak heran kalau kemudian banyak yang berani menawar dengan harga tinggi. Sampai artikel ini ditulis, penawaran tertinggi diberikan pada box art Castlevania: Circle of the Moon, dengan nilai 1,1025 ETH, atau kurang lebih setara $3.600 (ยฑ 51,5 jutaan rupiah), namun masih ada sisa waktu sebelum pelelangannya berakhir.

Artwork Castlevania: Circle of the Moon versi Jepang yang menjadi NFT termahal sejauh ini / OpenSea

Castlevania 35th Anniversary NFT ini merupakan bagian dari Konami Memorial NFT, sebuah inisiatif untuk menciptakan karya seni NFT menggunakan adegan-adegan dalam game dari berbagai judul permainan besutan Konami dengan tujuan pelestarian. Meski Konami tidak bilang secara eksplisit, ini bisa saja diartikan bahwa Castlevania bukanlah game yang terakhir, sebab masih ada banyak franchise-franchise game populer lain milik Konami yang bisa diberi perlakuan serupa.

Dua contoh yang langsung terpikirkan di benak saya adalah Contra dan Metal Gear, yang kebetulan keduanya sama-sama bakal merayakan ulang tahun yang ke-25 di tahun 2022 ini; Contra di bulan Februari, sementara Metal Gear di bulan Juli.

Berbeda dari yang Ubisoft lakukan, inisiatif NFT dari Konami ini murni hanya merupakan bentuk karya seni. Ubisoft di sisi lain meluncurkan aset NFT yang bisa muncul di dalam salah satu game-nya, dan mereka juga sudah punya rencana untuk mengintegrasikan teknologi blockchain lebih jauh lagi ke portofolionya. Meski demikian, kita tidak perlu terkejut seandainya Konami juga akan mengambil langkah serupa ke depannya.

Sumber: Konami.

Krafton Kembali Menggugat Garena Terkait Kemiripan Free Fire dengan PUBG

Tidak bisa dimungkiri, Free Fire punya banyak kemiripan dengan PUBG Mobile. Saking banyaknya, Krafton berniat untuk memerkarakan hal itu di meja hijau. Dilansir dari Bloomberg Law, perusahaan induk PUBG Studios itu baru saja melayangkan surat gugatan terhadap Garena.

Ini bukan pertama kalinya Krafton menuntut Garena. Di tahun 2017, Krafton sebenarnya sempat mengajukan gugatan terhadap Garena di pengadilan Singapura terkait penjualan Free Fire. Sengketa tersebut akhirnya selesai, namun Krafton rupanya masih tidak terima. Gugatan serupa pun kembali dilayangkan, namun kali ini melalui pengadilan Amerika Serikat.

Krafton mengklaim bahwa setelah perkaranya selesai di tahun 2017, Garena masih lanjut memublikasikan Free Fire di Apple App Store dan Google Play Store tanpa mendapat izin maupun perjanjian lisensi dari Krafton. Garena bahkan juga sempat merilis game yang berbeda di bulan September 2021 (Free Fire Max), dan itu pun juga mencontek banyak aspek dari PUBG Mobile.

“Free Fire dan Free Fire Max secara ekstensif menjiplak beragam aspek dari Battlegrounds, baik secara individu maupun gabungan, termasuk adegan pembuka permainan “air drop“, struktur dan mekanisme permainan, kombinasi dan pilihan senjata, armor, objek-objek unik, lokasi, dan keseluruhan pemilihan skema warna, material, dan tekstur,” tulis Krafton di surat gugatannya.

Krafton tidak lupa menyertakan sejumlah screenshot yang menunjukkan kemiripan antara PUBG Mobile dan Free Fire. Mereka bahkan juga sempat menyinggung soal bagaimana Free Fire turut mencontek ekspresi kemenangan “chicken dinner” yang sudah sangat lekat asosiasinya dengan PUBG.

Tidak puas sampai di situ saja, Krafton juga ikut menyeret Apple dan Google, menggugat keduanya dengan alasan mereka menolak memenuhi permintaan Krafton untuk menyetop distribusi Free Fire di platform milik masing-masing perusahaan. Bahkan YouTube pun juga ikut diperkarakan karena menolak menghapus video-video gameplay Free Fire dari platformnya.

“Tindakan Apple dan Google memperjelas bahwa mereka memilih untuk melindungi hak cipta hanya jika mereka tidak diberi kompensasi oleh pelanggar yang berkantong tebal,” tulis Krafton. Ya, meskipun penghasilan Free Fire masih kalah jauh dari PUBG Mobile, Garena tetap kaya raya berkat pendapatan dari Free Fire.

Sumber: Games Industry. Gambar header: Onur Binay via Unsplash.

Bos Xbox: Pasar Ritel Game Tradisional Masih Lebih Besar Daripada Subscription

Di antara nama-nama besar industri gaming, Microsoft adalah salah satu yang paling optimistis soal cloud gaming dan mekanisme subscription. Meski demikian, Microsoft masih belum punya rencana untuk meninggalkan pasar ritel game tradisional, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Phil Spencer selaku bos besar Xbox sempat menyinggung soal ini. Menurutnya, bisnis subscription yang Xbox jalankan berbeda dari Netflix karena Xbox masih menjual game dengan cara konvensional, dan ini penting karena pasar ritel game masih sangat kuat dan juga terus bertumbuh. Itulah mengapa Xbox memberi pilihan antara subscription dan transaksi kepada konsumennya.

Ditanya mana yang lebih besar antara subscription dan transaksi dari sudut pandang bisnis, Phil dengan sigap menjawab transaksi. “Transaksi lebih besar daripada subscription. Subscription bertumbuh dengan lebih cepat, tapi hanya karena itu relatif baru. Dan dengan Game Pass, kami adalah salah satu penggerak pertama di ranah tersebut. Namun bisnis transaksi sangatlah besar. Kami masih menjual disk fisik,” jelas Phil.

Setidaknya untuk sekarang, masih ada beberapa alasan mengapa Microsoft belum bisa sepenuhnya bergantung pada bisnis subscription. Salah satunya menyangkut isu ketersediaan: layanan Xbox Game Pass maupun PC Game Pass hingga detik ini masih belum tersedia secara resmi di negara-negara besar macam Tiongkok maupun Indonesia. Padahal, hampir semua game keluaran Xbox Game Studios sudah bisa kita beli lewat Steam, termasuk judul-judul terbaru seperti Forza Horizon 5 atau Halo Infinite.

Layanan subscription Xbox Game Pass dan PC Game Pass sejauh ini baru tersedia di beberapa negara saja / Microsoft

Phil juga sempat menyinggung lebih jauh soal cloud gaming, dan bagaimana belakangan ini semakin banyak raksasa teknologi yang tertarik untuk ikut menggeluti bidang ini, mulai dari Google, Amazon, bahkan sampai Netflix sekalipun. Kendati demikian, Phil cukup yakin Microsoft setidaknya satu langkah lebih unggul, sebab di samping memiliki infrastruktur cloud yang bagus, mereka juga sudah paham betul mengenai dunia game development.

“Menurut saya cloud itu penting. Dan Netflix jelas punya cloud. Amazon punya cloud. Google punya kapabilitas cloud yang nyata. Namun tanpa konten, komunitas dan cloud, saya pikir masuk ke gaming saat ini โ€” dan Anda bisa melihatnya pada apa yang sedang Netflix lakukan. Menurut saya apa yang mereka lakukan itu cerdas. Mereka membeli sejumlah studio. Mereka mempelajari proses kreatif dari hiburan interaktif. Dan saya pikir ini merupakan cara cerdas bagi mereka untuk masuk ke ranah ini. Bagi kami, kami sudah memulai ini sejak bertahun-tahun yang lalu,” terang Phil.

Benar saja. Di saat Amazon baru punya satu game yang bisa dibilang lumayan sukses (New World), dan Google malah menutup studio pengembangan game-nya, Microsoft justru merilis banyak game populer hanya di tahun lalu saja (Forza Horizon 5, Halo Infinite, Age of Empires 4, Psychonauts 2). Kita pun juga tidak boleh lupa bahwa Zenimax beserta seluruh anak perusahaannya kini juga merupakan bagian dari keluarga Xbox Game Studios.

Sumber: The New York Times dan PC Gamer.

Logitech Luncurkan Litra Glow, Lampu Streaming Premium Seharga $60

Kamera dan mikrofon merupakan dua gadget terpenting bagi para streamer (di samping gaming PC tentu saja), namun tidak jarang mereka juga membutuhkan beberapa peralatan pendukung untuk meningkatkan nilai produksi dari karya-karyanya. Berhubung karyanya berbentuk video, pencahayaan yang baik tentu menjadi krusial, dan itulah mengapa produk terbaru dari Logitech ini bisa menjadi alternatif yang menarik buat mereka.

Dinamai Litra Glow, ia merupakan lampu yang dirancang khusus untuk keperluan streaming. Keunggulan utamanya adalah teknologi TrueSoft, yang diklaim mampu memancarkan cahaya secara merata selagi mempertahankan keakuratan warna kulit masing-masing penggunanya sealami mungkin. Jadi tidak peduli Anda berkulit gelap atau terang, Logitech yakin wajah Anda bisa tampil berseri berkat Litra Glow.

Pancaran cahayanya pun dipastikan lembut dan tidak menyilaukan. Logitech bahkan mengklaim bahwa Litra Glow sudah tersertifikasi aman untuk digunakan seharian. Ini penting mengingat para streamer umumnya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer setiap harinya, dan pancaran cahaya yang mengarah ke wajah secara konstan terkadang bisa membuat mata cepat lelah.

Litra Glow bersifat plug-and-play. Cukup jepitkan ke atas monitor dan tancapkan kabelnya ke port USB 3.0 milik PC, maka ia sudah bisa langsung digunakan. Tinggi, sudut kemiringan, dan rotasinya bisa diatur, sementara fitur manajemen kabel memastikan setup streaming masing-masing pengguna tetap terlihat rapi di depan kamera.

Deretan LED yang tertanam di Litra Glow mampu memancarkan cahaya dengan rentang temperatur warna 2700 K – 6500 K dan tingkat kecerahan maksimum 250 lumen. Kedua parameter ini bisa diatur via tombol kontrol pada bagian belakang Litra Glow, atau bisa juga dengan menggunakan software Logitech G Hub. Pengguna juga dapat menyimpan hingga lima preset pengaturan, sehingga mereka bisa selalu menyesuaikan suasana ruangan dengan aktivitas yang tengah dilakukannya.

Litra Glow kabarnya akan segera dijual dengan harga $60 di beberapa negara. Di harga tersebut, ia bisa jadi alternatif yang jauh lebih terjangkau ketimbang penawaran serupa dari brand macam Elgato.

Sumber: Logitech via Engadget.

Perilisan Stalker 2 Kembali Ditunda, Kini Dijadwalkan Meluncur pada 8 Desember 2022

S.T.A.L.K.E.R. 2: Heart of Chernobyl (atau “Stalker 2” saja supaya saya tidak kesulitan mengetiknya) kembali mengalami penundaan perilisan. Lewat Twitter, GSC Game World selaku pengembangnya mengumumkan bahwa jadwal peluncuran Stalker 2 kini mundur menjadi 8 Desember 2022.

Sebelumnya, Stalker 2 dijadwalkan meluncur pada 28 April 2022, dan ini juga sudah beberapa kali diundur mengingat game-nya pertama kali diumumkan di tahun 2010. Alasan penundaannya tentu sudah bisa ditebak: pengembangnya perlu lebih banyak waktu untuk memoles game-nya sampai sebagus mungkin.

“Tambahan waktu pengembangan selama tujuh bulan ini diperlukan guna mewujudkan visi kami serta untuk menyelesaikan game-nya sampai pada tahap yang kami inginkan. Stalker 2 adalah proyek terbesar dalam sejarah GSC, dan ia memerlukan pengujian dan polesan yang menyeluruh,” tulis pengembangnya di Twitter.

Meski mundur cukup jauh, menurut saya ini merupakan keputusan yang tepat bagi GSC, apalagi setelah beberapa kasus game yang dirilis dalam kondisi kurang layak seperti Cyberpunk 2077 maupun remaster GTA Trilogy. Sebagai sekuel dari trilogi game Stalker, ekspektasi terhadap Stalker 2 sangatlah besar, terutama dari para penggemar serinya.

Ada kemungkinan juga keputusan penundaan ini berkaitan dengan dibatalkannya rencana GSC untuk menyelipkan NFT ke Stalker 2. Buat yang tidak tahu, pada 16 Desember 2021 lalu, GSC mengumumkan bahwa mereka akan menghadirkan NFT di Stalker 2. Pengumuman tersebut disambut dengan protes dari banyak penggemarnya, dan hanya sehari setelahnya, GSC langsung membatalkan rencana tersebut. Bisa jadi, perubahan di menit-menit terakhir ini agak mengacaukan tahap finalisasi game.

Kemungkinan lain, GSC memang membutuhkan lebih banyak waktu untuk membenahi bug di Stalker 2. Sebagai informasi, Stalker 2 awalnya digarap menggunakan Unreal Engine 4, namun di tengah-tengah pengembangannya, GSC memutuskan untuk memperbaruinya ke Unreal Engine 5. Bisa jadi, mereka juga perlu tambahan waktu untuk mengoptimalkan transisi engine-nya.

Apapun alasannya, saya yakin sebagian besar penggemarnya tidak akan keberatan menunggu. GSC berniat untuk memberikan informasi tambahan dalam beberapa bulan ke depan. Semoga saja kita bisa melihat trailer gameplay barunya di E3 2022.

Via: Rock Paper Shotgun.

Krisis Stok PS5 Masih Berlanjut, Sony Akan Genjot Produksi PS4

Sejak pertama kali diluncurkan di bulan November 2020, PlayStation 5 terus dilanda isu seputar keterbatasan stok. Di belahan dunia manapun, stok konsol terbaru Sony ini hampir selalu kosong, dan alasannya tidak lain dari krisis yang melanda industri semikonduktor secara global.

Ketimbang menerima nasib begitu saja, Sony dikabarkan sudah menyiapkan strategi lain, yakni menggenjot produksi PlayStation 4. Berdasarkan laporan Bloomberg, Sony rupanya telah menyuarakan ke mitra-mitra manufakturnya pada akhir tahun lalu bahwa mereka akan terus memproduksi konsol lamanya itu hingga tahun ini.

Sony memang tidak pernah secara resmi mengumumkan ke publik bahwa mereka bakal menyetop produksi PS4, akan tetapi mereka kabarnya sempat berencana untuk menghentikan perakitan PS4 pada akhir 2021 kemarin. Rencana tersebut batal dijalankan, dan Sony sekarang malah berniat untuk meningkatkan produksi PS4.

Narasumber Bloomberg mengatakan bahwa Sony berniat menambahkan sekitar satu juta unit PS4 tahun ini untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh terhambatnya produksi PS5. Meski begitu, angkanya bisa saja berubah tergantung permintaan. Dibanding PS5, PS4 tentu lebih mudah dan lebih murah untuk dibuat karena menggunakan komponen-komponen yang lebih inferior.

Kepada Bloomberg, juru bicara Sony mengonfirmasi bahwa produksi PS4 masih akan terus dilanjutkan, dan Sony pun dari awal tidak pernah berniat untuk menghentikannya. “PS4 merupakan konsol dengan penjualan terbesar, dan persilangan antar generasi itu bakal selalu ada,” ujarnya.

Dirilis di tahun 2013, PS4 tercatat telah terjual sebanyak lebih dari 116 juta unit, dan konsol ini pun masih cukup diminati hingga sekarang. Bukan hanya itu, PS4 juga masih menyumbangkan pendapatan yang cukup besar buat divisi gaming Sony melalui penjualan game dan subscription.

Apa yang Sony lakukan ini pada dasarnya mirip seperti langkah yang diambil oleh Nvidia. Belum lama ini, Nvidia memutuskan untuk memproduksi kembali kartu grafis lamanya (RTX 2060) demi memenuhi permintaan konsumen. Minat terhadap perangkat gaming melonjak drastis selama pandemi, sementara produksi perangkat-perangkat barunya justru terhambat karena kendala di rantai pasok. Alhasil, produk-produk lama pun dilihat sebagai salah satu cara untuk mengantisipasi.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Fabian Albert via Unsplash.

Samsung Luncurkan The Freestyle, Proyektor Unik untuk Kalangan Milenial dan Gen Z

Samsung meluncurkan banyak produk baru di ajang CES 2022 pekan lalu, namun salah satu yang paling mencuri perhatian adalah sebuah proyektor bernama The Freestyle. Pasalnya, perangkat ini terkesan sangat berbeda dari proyektor pada umumnya.

Berwujud silindris, The Freestyle mampu berayun 180ยบ untuk memudahkan pengaturan posisi proyeksinya. Mau ke tembok, ke langit-langit, maupun ke lantai; asalkan permukaannya datar, The Freestyle siap menjalankan tugasnya dengan baik. Ukuran proyeksinya bervariasi antara 30 inci sampai 100 inci, tergantung seberapa jauh posisi perangkatnya dari permukaan.

Secara teknis, The Freestyle mampu memproyeksikan dalam resolusi 1080p, dengan tingkat kecerahan maksimum 550 lumen dan rasio kontras 300:1. Fitur-fitur seperti auto-focus, auto-levelling, dan auto-keystone hadir sebagai standar, demikian pula dukungan terhadap konten HDR10. Tidak punya tembok putih? Tidak masalah, sebab The Freestyle dibekali fitur Smart Calibration yang akan menyesuaikan warna secara otomatis. Usia pakainya diperkirakan mampu mencapai 20.000 jam.

Fisiknya tergolong ringkas, dengan bobot di kisaran 830 gram saja. Ia memang tidak bisa dimasukkan kategori proyektor portabel karena tidak mengemas modul baterai. Namun setidaknya ia masih bisa beroperasi dengan dicolokkan ke power bank (yang memiliki output minimum 50W/20V serta mendukung spesifikasi USB Power Delivery).

Saat sedang tidak dipakai untuk menonton, The Freestyle dapat beralih fungsi menjadi sebuah smart speaker, dengan sepasang passive radiator yang menjanjikan dentuman bass yang jernih sekaligus bulat. Dalam posisi ini, penutup lensanya bahkan punya peran kedua sebagai diffuser untuk menghadirkan ambient lighting.

Satu kelebihan yang sangat unik adalah kemampuan The Freestyle untuk dipasangkan ke fitting lampu standar E26 tanpa bantuan kabel tambahan, sangat berguna ketika perlu memproyeksikan sesuatu ke atas meja (selagi rapat di kantor misalnya). Selebihnya, The Freestyle juga didukung sistem operasi Tizen, sehingga fitur-fiturnya bakal terasa cukup identik seperti lini smart TV milik Samsung.

Sesuai namanya, nilai jual utama The Freestyle terletak pada fleksibilitasnya, bukan spesifikasi maupun kualitas hasil proyeksinya, dan itulah mengapa Samsung melihat kalangan milenial sekaligus Gen Z sebagai target pasarnya. Di Amerika Serikat, perangkat ini rencananya akan dijual dengan harga $900.

Sumber: Samsung.

ASUS Luncurkan Mechanical Keyboard dengan Hot-Swappable Switch dan Programmable Mini LED

ASUS meluncurkan sederet perangkat gaming baru di CES 2022, termasuk halnya sejumlah periferal gaming. Salah satu periferal yang cukup mencuri perhatian adalah sebuah mechanical keyboard bernama ROG Strix Flare II Animate.

Daya tarik utamanya datang dari segi desain. Embel-embel “Animate” pada namanya merujuk pada kemampuannya menampilkan animasi bergerak via 312 mini LED yang tertanam di atas area numpad-nya. Kalau ini terkesan familier, itu karena Anda sudah pernah melihatnya di laptop ROG Zephyrus G14 maupun headset ROG Delta S Animate.

Seperti di kedua perangkat tersebut, deretan mini LED di keyboard ini juga dapat diprogram dengan berbagai macam efek melalui software Armoury Crate. ASUS menamai fiturnya AniMe Matrix, dan ini bisa jadi pendamping yang serasi untuk pencahayaan RGB-nya yang cukup melimpah. Bicara soal RGB, ASUS memastikan bahwa RGB di sisi bawahnya bakal tetap menyala dengan apik meski wrist rest-nya sedang terpasang.

ROG Strix Flare yang dirilis di tahun 2018 mengemas sejumlah elemen desain yang cerdas, dan sekuelnya ini pun juga demikian. Posisi kenop dan tombol multimedianya sekali lagi ditempatkan di sebelah kiri, sehingga pengguna dapat mengaksesnya tanpa harus melepaskan tangan dari mouse (kecuali untuk pengguna yang kidal).

Tidak berhenti sampai di situ saja, ASUS turut membekali ROG Strix Flare II Animate dengan PCB yang hot-swappable. Artinya, mechanical switch di balik setiap tombolnya dapat kita lepas-pasang tanpa harus melibatkan proses solder-menyolder. Jadi kalau tidak suka dengan switch bawaannya (yang merupakan rancangan ASUS sendiri), pengguna tinggal mencabut dan menggantinya dengan switch lainnya.

Fitur-fitur lain ROG Strix Flare II Animate mencakup polling rate 8.000 MHz, USB 2.0 passthrough, keycap berbahan PBT double-shot, serta lapisan foam peredam suara di bagian dasar keyboard.

ASUS berniat menjual keyboard ini seharga $220. Di saat yang sama, ASUS juga bakal menawarkan varian lain dari keyboard ini yang tidak dibekali fitur AniMe Matrix, yang tentu saja dibanderol lebih terjangkau ($180). Sayangnya, selain mengorbankan deretan mini LED yang programmable, varian standar itu rupanya juga tidak dibekali hot-swappable switch.

Sumber: ASUS via The Verge.