Beberapa bulan ke belakang kita disuguhi banyak sekali kabar gembira dari game developer di tanah air. Mulai dari kesuksesan Coffee Talk di kancah global, Coral Island yang bisa mendapatkan crowdfunding hingga 1,6jt dolar dengan gamenya yang apik, hingga rilis game karya teman-teman dari Kalimantan yang berjudul Escape from Naraka yang memanfaatkan teknologi RTX terbaru dari NVIDIA.
Walaupun saat ini banyak sekali kabar gembira dari industri game dalam negeri, namun secara skala masih jauh dibandingkan dengan industri game di global. Kita bisa berbahagia melihat ada pertumbuhan yang baik di dalam negeri. Tetapi dengan ekosistem yang kita miliki sekarang, masih sulit sekali bagi game developer untuk bisa tumbuh, apalagi scale up hingga skala company-nya jutaan hingga ratusan juta dolar.
Saat ini ada beberapa kendala yang dialami oleh industri game, terutama dari sisi scaling dan funding. Karena sebagian besar studio game di Indonesia masih di skala UMKM, (revenue di bawah 5 miliar pertahun), agar mereka bisa mengembangkan project dengan budget yang lebih besar maka butuh external funding.
Dengan budget development yang terbatas, dev lokal harus compete dengan game developer yang memiliki capital ratusan hingga jutaan dolar dalam membuat game. Sehingga game yang dev lokal miliki saat ini mentok di skala yang kecil saja. Mungkin kita bisa berharap salah satu game skala kecil ini ada yang super hits, hingga punya revenue puluhan juta dolar, dan bisa memutar uangnya untuk membuat game dengan skala yang lebih besar.
Ketika uangnya ada, entah dari self funding maupun eksternal, masalah berikutnya timbul. Dengan pertumbuhan di indie developer kita yang cukup subur, publisher mulai melirik game dari Indonesia. Sudah cukup banyak gamedev kita yang mendapatkan funding dari publisher dan ingin scale up. Di sini pun masalah kembali terjadi.
Saya lihat di sosial media teman-teman game dev informasi lowongan kerja banyak sekali. Curhat mereka pun sama, susah yah cari talenta di Indonesia yang sudah ready untuk masuk ke industri. Terutama untuk posisi game programming, game designer, dan 3D artist. Artinya supply talent menjadi bottle neck juga bagi studio game di Indonesia untuk berkembang, meski sudah punya capital.
Lalu bagaimana cara kita mengakselerasi kondisi ini? Talenta-talenta yang ada sekarang dari sisi supply kurang mumpuni, yang berada di indie pun sudah mengalami kesulitan untuk scale-up.
Jika harus menunggu perkembangan secara organik, akan terlalu lama dan bisa jadi industrinya keburu mati sebelum sempat tumbuh. Untuk itulah kita perlu strategi untuk membangun ekosistem industri game ini dari sisi supply maupun demand.
Framework Membangun Eksosistem Game Indonesia
Ketika saya mewakili AGI dan berdiskusi dengan berbagai kementerian, kita mencoba banyak sekali program adhoc untuk mengisi berbagai bolong di ekosistem dengan bermacam program. Tapi kita perlu sebuah framework besar untuk menggambarkan strategi untuk bisa membuat industri game di Indonesia tumbuh.
Minggu hari Senin kemarin kami di ajak meeting oleh Kemenko Marves untuk membahas Framework yang lebih besar agar bisa menumbuhkan ekosistem game di Indonesia. Tim dari AGI sudah menyiapkan banyak sekali riset dan kajian baik itu dari internal melalui riset-riset di dalam negeri maupun di negara lain melalui diskusi dengan partner-partner AGI dari berbagai negara seperti di SEA ada Singapura, Malaysia, Filipina, hingga ke Australia.
Ada juga partner-partner AGI dari US, Poland, Jerman, UK, dan negara-negara yang punya ekosistem game yang maju. Dari situ, kita coba pelajari dan bangun strategi yang cocok untuk di Indonesia.
Supply dan demand, dua mata rantai yang harus diputus bersamaan. Oleh karena itu kita perlu strategi yang bisa mendorong terciptanya talenta baru serta mendorong terbukanya demand dan juga investment.
Jadi ada tiga strategi besar yang bisa kita lakukan:
- Kembangkan talenta berkualitas.
- Tumbuhkan indie game developer kita agar bisa naik level.
- Buat insentif untuk masuknya investasi ke dalam negeri. Kondisi kita saat ini adalah jumlah talent yang ready masih minim serta studio-studio game masih dalam skala kecil.
Yang perlu kita push adalah agar talenta yang ready makin banyak, jumlah studio game yang berada di mid level semakin besar, dan juga bisa ada triple A company atau studio game skala unicorn di Indonesia.
Bagaimana Cara Menumbuhkan Talenta Pengembang Game
Cara paling cepat dan super efektif untuk mendapatkan talenta baru dalam jumlah banyak adalah ‘bakar duit’. Ini strategi yang dilakukan oleh startup-startup unicorn kita. Inget kan dulu jaman awal-awal Gojek.
Developer Indonesia sudah sanggup untuk bikin aplikasi memanfaatkan fitur-fitur canggih di kala itu dengan memanfaatkan location based untuk order ojek. Tapi kalau kita ngomong skala untuk bisa meng-handle puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu order dalam waktu bersamaan, skill kita belum sampai. Itulah mengapa Gojek mengakuisisi software house dari India.
Walaupun dulu banyak yang nyinyir Karya Anak Bangsa jadi Karya Anak Bangalor, lihat hasilnya sekarang, Gojek jadi aplikasi super power yang sangat reliable. Tak hanya itu, lulusan-lulusannya pun ketika resign dari Gojek bisa bikin startup baru yang lebih keren lagi.
Tapi sayangnya, di Indonesia belum ada kapital yang membanjiri studio game seperti unicorn-unicorn yang ada di dunia startup, jadi kita harus cari strategi lain.
Ideally, klo secara organik, dosen-dosen yang mengajar di kampus itu adalah lulusan studio game triple A yang sudah lelah dan ingin mengejar passionnya mengajar. Lalu, mahasiswa-mahasiswa yang lagi kuliah pun ketika intern, bisa intern di perusahaan triple A untuk mendapatkan knowledge dan experience di skala yang besar. Pun ketika mahasiswa lulus, ada banyak sekali lowongan pekerjaan dari studio game baik dari level indie maupun triple A yang siap menampung mereka.
Walaupun tidak mau masuk dunia kerja, untuk mereka membuat studio gamenya sendiri, banyak funding pemerintah ataupun grant lainnya yang bisa dijadikan modal untuk mereka mencoba dan belajar. Ketika mencoba dan belajar pun, di dalam ekosistem sudah banyak pelaku yang bisa dijadikan mentor untuk tempat mereka bertanya agar bisa sukses lebih cepat.
Di ekosistem game Indonesia, kondisi ideal itu belum ada sehingga perlu ada tindakan yang mengintervensi agar bisa terbangun ekosistemnya. Ibarat kata kita ini di padang pasir, harus kayak Qatar dan Dubai yang pemerintahnya mengubah padang tandus menjadi tempat yang nyaman ditinggali. Pemerintah pun perlu melakukan strategi disruptif agar ekosistem game bisa bertumbuh dengan cepat.
Dari sisi supply, kampus harus bisa menjawab kebutuhan skill di industri. Lalu perlu ada paid internship agar para indie studio ini bisa menampung mahasiswa untuk belajar tanpa perlu menguras kas perusahaan. Lalu perlu perbanyak grant untuk riset agar mahasiswa-mahasiswa bisa merasakan langsung membuat game. Dan yang terpenting, bagaimana dosen-dosen bisa di-scale up, atau bisa didatangkan dari luar negeri, untuk memastikan talenta yang tumbuh nanti bisa memiliki kompetensi yang cukup.
Kondisi lain, kita punya modal indie developer yang cukup banyak. Ini adalah bonus demografi di Indonesia yang menjadikan kita dikaruniai oleh studio game yang keren-keren. Mereka ini bisa kita push dan upscale agar bisa menjadi lebih besar lagi. Kenapa kita perlu mereka bisa jadi lebih besar? Tentu selain karena kita ingin revenue game developer di Indonesia makin besar, kita juga ingin kapasitas mereka untuk bisa menyerap sumber daya manusia bisa lebih tinggi lagi.
Dengan proyek yang mereka kerjakan akan semakin tinggi scope-nya, maka sumber daya yang dibutuhkan akan semakin banyak. Ini bisa jadi salah satu demand yang akan menyedot talenta untuk masuk ke industri game. Studio game di level ini selain perlu funding, perlu juga mentorship dan support marketing untuk bisa level up.
Dan yang terakhir adalah regulasi untuk memancing studio unicorn masuk ke Indonesia. Kenapa kita butuh ini? Karena unicorn ini akan menjadi penggerak utama bagi para mahasiswa untuk memilih berkarir ke industri game dan menjadi game developer. Melihat studio game besar yang mungkin membuat game favorit mereka, bisa jadi motivasi untuk mereka belajar lebih keras untuk masuk ke studio tersebut.
Studio triple A ini jadi penting untuk menetapkan diri sebagai hub industri game di region SEA. Malaysia punya, Singapura punya, Vietnam punya banyak banget, sedangkan di Indonesia gak ada. Ini jadi tantangan buat kita. Pemerintah harus menyiapkan insentif dan program-program atraktif untuk mengundang mereka.
Bahkan negara-negara maju kayak Kanada dan Polandia pun sedang aktif “mencuri” talent dan studio game dari Indonesia untuk pindah ke negara mereka dengan bujuk rayu fasilitas yang menarik mulai dari kemudahan permit, funding, keringanan pajak, dll.
Kesimpulan
Seluruh negara sedang kekurangan talenta. Indonesia punya sumber daya manusia yang banyak. Jika kita bisa menyiapkan talenta yang jago, maka semua mata akan menuju ke Indonesia. Ini adalah potensi yang tidak boleh sampai kita kelewat dan harus dipersiapkan sedini dan secepat mungkin. Pemerintah sudah menaruh perhatian besar untuk industri game jadi tidak ada momen yang lebih tepat untuk mengejar selain saat ini.
—
Tulisan ditulis oleh Adam Ardisasmita, Vice President AGI (Asosiasi Game Indonesia). Pertama kali ditulis di blog pribadi. Pemuatan di Hybrid atas persetujuan penulis. Ada beberapa editing yang dilakukan sesuai karakter Hybrid.co.id tanpa mengubah konteks dan makna artikel.
Ada bisa kontak langsung jika ingin memberikan saran tambahan atau berdiskusi. Adam bisa dikontak melalui FB, LinkedIn atau AGI.