All posts by Labana.id

LinkAja Partners with the Government of Banyuwangi

LinkAja is making another penetration to increase its user growth. It is an e-money product supported by some state-owned enterprises, partnered up with the Government of Banyuwangi for SME’s regional income payment. LinkAja as a payment method is expected to improve the quality of public services.

The partnership of LinkAja with the Government of Banyuwangi happened at the same time with the launch of Micro Credit Program (KPR) of State-owned Banks (Himbara) in Banyuwangi. From now on, Banyuwangi’s regional income can be paid through LiankAja.

To date, LinkAja has acquired 100 agents in Banyuwangi and will keep counting along with the plan to acquire local SMEs, such as stall owners, phone counters, and others.

“A partnership for payment digitization with the government of Banyuwangi is a real deal on our mission to provide financial service for everyone in order to increase financial inclusion and the work of  National Non-Cash Movement (GNNT),” LinkAja’s CEO, Danu Wicaksana.

He added, “We expect the strategic partnership can help the merchants to start the digital economy innovation to meet the Banyuwangi people needs and preference for shifting through e-money service in daily transaction.”

LinkAja targets 40 million users this year. In the effort to achieve the target, they’re preparing new plans, including a pilot project for some basic needs, such as train ticket, toll, remittance, and gas bill.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Konsep 5 Terminologi dalam Social Media Marketing

Sebagai orang yang berprofesi sebagai social media strategist, atau paling tidak orang yang belajar media sosial untuk urusan profesional, tentunya ada beberapa keterampilan yang dibutuhkan selain bermedia sosial itu sendiri. Social media strategist bukanlah admin media sosial. Lebih dari itu, dia adalah otak dari jalannya media sosial untuk sebuah produk atau bisnis.

Seorang social media strategist tidak hanya harus pandai membuat kata-kata. Ia juga dituntut untuk memahami konsep dan strategi, sehingga proses media sosial bisa diukur menjadi value yang menguntungkan bagi bisnis. Itulah sebabnya, meskipun semua orang bisa menggunakan media sosial, belum tentu setiap orang bisa menjadi social media strategist.

Untuk menjadi social media strategist yang profesional, seseorang mungkin perlu belajar hal-hal yang tidak biasanya social media user lainnya gunakan. Misalnya saja, ia harus paham dengan analytics, mengerti terminologi-terminologi dalam media sosial untuk bisnis dan lain sebagainya.

Terkait dengan terminologi, hal ini menjadi sangat penting dalam pekerjaan sebagai social media strategist. Sebab, terminologi menjadi hal yang fundamental sebelum seseorang menjadi profesional di bidang media sosial. Tanpa mereka memahami maksud dari terminologi yang dipakai dalam pekerjaannya sehari-hari, mereka akan kesulitan untuk belajar lebih lanjut. Hal itu dikarenakan kebanyakan sumber belajar memakai istilah-istilah tersebut tanpa menjelaskan lebih detail.

Maka, proses pertama yang harus dilakukan adalah memahami konsep dari terminologi-terminologi ini. Dengan memahami maksud dari istilah, kita akan mengerti konsep dari dasar, sehingga proses belajar menjadi mudah. Berikut ini adalah beberapa terminologi dasar yang harus dipahami oleh seorang social media strategist sebelum ia mengoperasikan media sosial untuk kepentingan bisnis.

Algoritma

Sebagai orang bekerja dengan media sosial, kita tentu kerap mendengar istilah algoritma. Biasanya akan ada update dari pihak media sosial seperti Facebook atau Twitter yang mengabarkan mereka memiliki beberapa perubahan algoritma. Jadi, apa sebenarnya algoritma? Algoritma merupakan prosedur dengan berbagai aturan tertentu untuk menyelesaikan atau menjawab suatu masalah. Algoritma menjadi dasar dari pengoperasian komputer, termasuk dalam media sosial. Dengan algoritma, media sosial seperti Facebook atau Twitter bisa menentukan konten apa saja yang akan dilihat oleh audiens. Sebagai contoh, audiens tidak akan melihat setiap post atau konten yang ada dari user lain. Adapun konten apa yang muncul disesuaikan dengan preferensi atau rules tertentu yang dinilai Facebook sesuai dengan audiens tersebut. Program inilah yang disebut dengan algoritma. Memahami konsep algoritma akan membuat seorang social media strategist mengerti konten apa saja yang akan diproduksi agar efisien dan sampai pada audiens yang tepat.

Brand advocate

Dalam dunia marketing, kita mengenal istilah brand advocate. Brand advocate adalah bagian dari customer yang memiliki kepuasan sangat tinggi terhadap brand kita. Sehingga, dengan tidak sadar dia melakukan hal-hal yang sebenarnya sangat menguntungkan bisnis, seperti misalnya menyebarkan berita-berita positif mengenai produk, melakukan review product atas kemauannya sendiri, dan juga merekomendasikan teman untuk menggunakan produk tersebut. Sebagai seorang social media strategist, kita harus pandai membaca siapa saja yang menjadi brand advocate ini dan memberikan apresiasi khusus padanya.

Community management

Community management merupakan suatu proses membangun hubungan dengan sekelompok audiens berdasarkan minat yang sama. Community management dilakukan melalui proses social media monitoring dan dilanjutkan dengan melakukan engagement pada mereka yang memiliki ketertarikan yang sama atau relevan dengan bisnis. Social media strategist biasanya akan berkolaborasi dengan community manager untuk mengelola ini.

Conversions

Conversions sebenarnya memiliki banyak sekali definisi. Namun, dalam konteks social media conversions sebenarnya didefinisikan sebagai proses terjadinya kunjungan ke website yang dilakukan oleh audiens melalui perantara media sosial. Penjualan bukan merupakan satu-satunya conversions dalam media sosial ini, karena di samping itu masih banyak opsi lain. Misalnya saja email subscription, newsletter sign up, content download, dan lain-lain.

First response time

First response time merupakan perhitungan waktu mengenai seberapa lama bisnis merespons komentar atau pertanyaan yang diberikan audiens-nya dalam media sosial. First reponse time mengindikasikan seberapa baik customer service yang telah dilakukan oleh bisnis melalui media sosial yang mereka miliki.

Selain kelima terminologi tersebut, tentunya masih ada banyak sekali term yang harus dipelajari untuk menjadi seorang social media strategist profesional. Kuncinya adalah terus belajar dan mengimprovisasi diri dengan berbagai pengetahuan baru.

Logo LabanaID

Membangun Kepercayaan Konsumen di Era Digital

Dalam jenis bisnis apapun, membangun kepercayaan merupakan kunci sukses untuk meraih keberhasilan. Tidak peduli apakah bisnis tersebut berskala besar atau kecil, kepercayaan dibutuhkan untuk terus menumbuhkan dan mengembangkan bisnis. Membangun kepercayaan merupakan salah satu upaya untuk meraih tujuan-tujuan bisnis yang lain. Misalnya saja dengan membangun kepercayaan kepada konsumen, mereka akan dengan senang hati menggunakan produk atau layanan yang ditawarkan.

Dalam kaitannya dengan membangun kepercayaan bagi sebuah bisnis, era digital membawa berbagai perubahan yang menuntut adanya perubahan strategi di berbagai bidang. Di satu sisi, perubahan ini menuntut marketer atau business owner untuk mempelajari hal baru. Namun, di sisi lain, hadirnya era digital membawa banyak sekali kemudahan bagi bisnis, khususnya untuk membangun kepercayaan pada konsumen.

Pada dasarnya, era teknologi internet memungkinkan semua hal untuk semakin terbuka. Sebagai contoh, dengan memanfaatkan media sosial, kini bisnis bisa langsung ‘bertemu’ dan mendengarkan berbagai masukan dari customer-nya. Tak hanya menerima feedback secara langsung, kini business owner bahkan bisa memahami apa orang lain pikirkan dan rasakan mengenai produk yang mereka tawarkan. Misalnya saja melalui obrolan antar pengguna media sosial atau melalui forum-forum yang banyak dibentuk oleh sesama customer.

Kemudahan-kemudahan inilah yang di satu sisi memudahkan proses pembentukan kepercayaan antara bisnis dengan konsumen. Tetapi di sisi lain, keterbukaan ini juga menuntut business owner untuk selalu waspada. Sebab, dengan keterbukaan informasi, kesalahan sekecil apapun bisa langsung diketahui oleh semua orang dan itu secara tidak langsung dapat memberikan image atau kesan yang kurang baik bagi sebuah bisnis.

Kepercayaan sebagai reputasi manajerial

Dalam banyak hal, kepercayaan akan sama pentingnya dengan bisnis itu sendiri. Kepercayaan menunjukkan adanya sistem yang baik dalam sebuah perusahaan. Kepercayaan dalam bisnis tak hanya sebagai sesuatu yang berhak didapat oleh perusahaan, namun sebagai sesuatu yang harus didapat oleh perusahaan.

Kepercayaan menjadi satu kunci awal di mana tujuan-tujuan bisnis dapat dicapai lebih lanjut. Sebagai contoh, jika sebuah bisnis memiliki sebuah produk untuk dijual kepada konsumen, sebelum ia berhasil menjual produk tersebut, tentunya bisnis harus mendapatkan kepercayaan konsumen terlebih dulu. Tentunya, dalam hal ini dibutuhkan berbagai upaya, seperti proses branding ataupun marketing.

Lagi-lagi di era digital ini, kita harus bersyukur mengingat proses branding dan marketing bisa dilakukan melalui berbagai cara yang bisa dikatakan lebih mudah dan murah dibandingkan dulu ketika bisnis masih dijalankan dengan konvensional.

Ada berbagai channel yang bisa dimanfaatkan dengan baik dalam proses ini. Misalnya saja, selain contoh customer service melalui media sosial yang telah disebutkan di atas, kita bisa juga menggunakan e-mail maupun halaman website untuk ‘berkenalan’ lebih jauh dengan konsumen. E-mail ataupun website memungkinkan bisnis untuk menjangkau seluruh user dari berbagai lapisan di wilayah.

Ibaratnya, dengan teknologi digital, kini bisnis bisa dengan mudah menemui customer di manapun ia berada. Bisnis bisa dengan mudah menyerap apapun aspirasi yang dikemukakan oleh customer. Sebaliknya, melalui teknologi ini bisnis juga bisa dengan mudah memamerkan kebolehannya di mata customer.

Kepercayaan konsumen dalam angka

Sebuah studi menunjukkan bahwa sebanyak 83% konsumen akan dengan senang hati memberikan rekomendasi mengenai produk-produk yang mereka percayai. Angka ini tentu berhubungan dengan jumlah persentase orang yang memutuskan untuk membeli sebuah produk berdasarkan rekomendasi dari orang lain. Jadi, bisa dikatakan bahwa kepercayaan menjadi salah satu kunci sebuah bisnis berhasil mendapatkan customer-nya.

Bermula dari kepercayaan yang didapat, maka bisnis akan mendapatkan rekomendasi. Kemudian, melalui rekomendasi tersebut, orang lain akan tertarik, dan begitu seterusnya.

Logo LabanaID

Transformasi Penggunaan Media Sosial: Dari Jejaring Sosial ke Jejaring Pasar

Penggunaan media sosial meningkat tajam seiring dengan perkembangan pengguna internet di Indonesia. Tak hanya di Indonesia, fenomena ini bisa dikatakan terjadi di hampir semua negara di dunia. Tak heran jika kemudian penggunaan media sosial semakin meluas. Jika dulu media sosial hanya difungsikan sebagai wadah atau platform untuk berjejaring dan membentuk pertemanan, maka seiring dengan meningkatnya pengguna media sosial dan aktivitas mereka di dalamnya, fungsi media sosial pun semakin meluas.

Sebagai salah satu media sosial dengan user terbanyak di dunia, Facebook merupakan contoh nyata dari adanya transformasi penggunaan media sosial ini di kalangan user. Facebook pada awalnya hanya didirikan sebagai tempat untuk berjejaring antar mahasiswa di Universitas Harvard. Platform yang berdiri tahun 2004 ini dibuat oleh seorang mahasiswa di sana bersama dengan beberapa rekannya di asrama tempat mereka tinggal. Mahasiswa itu kini kita kenal sebagai CEO Facebook Mark Zuckerberg.

Seiring dengan berjalannya waktu, Facebook berkembang dan semakin diminati oleh banyak orang. Ekspansi pun dilakukan ke daerah-daerah lain, termasuk di Indonesia hingga saat ini. Berbagai fitur baru pun ditambahkan. Salah satunya dalam fungsi lain Facebook sebagai marketing channel berupa platform analytics, iklan, dan juga berbagai pengaturan algoritma yang memungkinkan user untuk semakin nyaman menggunakan Facebook.

Hingga kini, Facebook memiliki jumlah pengguna aktif sekitar 1,8 juta di seluruh dunia. Jumlah fantastis inilah yang membuat Facebook menjadi salah satu platform paling strategis untuk melakukan berbagai proses marketing, dari mulai branding, user acquisition, hingga sales conversions semua bisa dilakukan di platform yang memiliki warna identik biru ini.

Mengenal berbagai metrics di Facebook Marketing

Sebagai salah satu tools digital untuk melakukan marketing, tentunya Facebook membutuhkan proses belajar yang terus-menerus dari marketer yang menggunakannya. Hal tersebut dapat dipahami mengingat Facebook memang memiliki berbagai aturan dan perubahan algoritma yang membuat cara-cara marketing ikut berubah.

Jika kita mengamati, proses atau aktivitas setiap user pada Facebook umumnya tak jauh dari kegiatan posting, like, komentar, dan juga sharing post antar sesama user. Tak cuma dari segi user yang menggunakan Facebook sebagai media sosial untuk berjejaring, kegiatan yang sama juga dilakukan bagi marketer yang melakukan proses social media marketing. Bedanya hanya, pada marketing, segala sesuatu harus terukur menggunakan metrics yang jelas.

Secara umum kita mengenal ada berbagai jenis metrics dalam Facebook marketing, misalnya saja reach, engagement, dan juga conversion. Masing-masing metrics tersebut dapat kita gunakan sesuai dengan tujuan masing-masing bisnis, seperti misalnya untuk meningkatkan brand awareness, untuk lead generation, maupun untuk sales conversion.

Jika kita mem-posting sesuatu di halaman bisnis Facebook yang kita miliki, kita bisa menghitung berapa jumlah reach yang diperoleh dalam sebuah postingReach tersebut artinya menunjukkan seberapa jauh jangkauan yang dapat dicapai dalam sebuah post di halaman bisnis. Jika post tersebut kemudian dianggap menarik bagi orang lain, ada kemungkinan user, dalam hal ini audiens, akan melakukan tindakan lanjutan seperti misalnya like, sharing, ataupun memberikan komentar pada post tersebut. Aktivitas inilah yang kemudian diukur sebagai adanya engagement.

Engagement menunjukkan sejauh mana post yang kita berikan pada audiens dapat menarik mereka untuk melakukan interaksi. Nah, jika kemudian berdasarkan dalam sebuah post terdapat call-to-action untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, misalnya menginstal aplikasi, menyukai halaman, atau yang lain, inilah yang kemudian diukur dengan metrics conversion. Artinya, sejauh mana post tersebut mampu dikonversi menjadi suatu aktivitas yang memiliki value dalam bisnis.

Ketiga metrics tersebut sama-sama memiliki peranan penting dalam proses Facebook marketing. Lagi-lagi, poin paling pentingnya adalah apa tujuan dari bisnis yang kita jalankan. Adapun metrics atau ukuran-ukuran keberhasilan suatu proses marketing dapat ditentukan setelahnya.

Logo LabanaID

Belajar dari Mundurnya Para Petinggi Startup di Indonesia

Kabar keluarnya Ken Dean Lawadinata mungkin masih menyisakan pertanyaan besar di benak kita, mengapa petinggi startup yang merasakan berdarah-darahnya membangun sebuah startup dari nol justru mundur ketika perusahaan yang dirintisnya mulai tumbuh besar? Pertanyaan yang sama barangkali juga menggelayuti pikiran kita ketika Alamanda Shantika memutuskan meninggalkan Go-Jek yang ikut dirintisnya sejak awal hingga memiliki jutaan user seperti sekarang ini. Terakhir, kita dikejutkan dengan kabar mundurnya Michaelangelo Moran yang juga co-founder dari Go-Jek.

Meskipun belum diketahui alasan mengapa Mikey, begitu ia disapa, memutuskan mundur dari Go-Jek, tetapi beberapa pihak menyebut Mikey yang juga berprofesi sebagai DJ akan memulai bisnis propertinya di Bali. Sama seperti Mikey, Ken Dean mundur dari Kaskus karena melirik bisnis lain. Sementara, Alamanda memiliki alasan yang sedikit berbeda. Sebab setelah mundur dari Go-Jek, Ala masih berkecimpung di dunia IT lewat Kibar dan Gerakan 1000 Startup yang dipeloporinya.

Sepintas, mundurnya beberapa nama beken dari perusahaan yang dipandang “wow” di kalangan pelaku bisnis startup membuat kita berpikir, apakah memang pilihan mundur sesuai untuk kondisi sekarang ini?

Seperti yang kita tahu, saat ini startup Indonesia mengalami dualisme yang cukup membuat galau. Di satu sisi, pertumbuhan bisnis startup sedang gencar-gencarnya diikuti semangat ratusan bahkan ribuan orang yang memiliki cita-cita untuk membangun startup. Namun, di sisi lain kita tidak menutup mata bahwa geliat startup yang telah berjalan justru mengalami musim “paceklik”. Terlihat beberapa waktu lalu ketika startup fashion e-commerce besar di Indonesia seperti SaleStock dan BerryBenka ramai-ramai melakukan layoff terhadap ratusan karyawannya. Meski tidak semata-mata karena keuangan, tetapi layoff yang dilakukan oleh suatu perusahaan pastilah menandai adanya permasalahan di dalamnya.

Startup dan mimpi-mimpi kabur anak muda Indonesia

Masih terekam jelas di ingatan saya ketika kali pertama mengenal startup, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah soal masa depan yang berubah. Startup mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Dan istimewanya, hal-hal yang berubah adalah salah satu dari sekian banyak hal yang kita tidak senangi; jam kerja yang kaku, otoritas atasan, tempat kerja bersekat, dan lain-lain.

Ekosistem di startup bagaimanapun mengubah hal tersebut. Dan itu adalah salah satu yang membuat banyak orang, terutama di kalangan anak muda, yang menaruh banyak sekali mimpi. Entah menjadi founder atau bekerja di startup, paling tidak mereka memiliki harapan dan cita-cita bahwa melalui startup, banyak hal yang bisa berubah dan bisa diubah. Maka tidak salah ketika startup mulai populer, antusiasme anak muda yang ingin terjun di sana juga semakin tinggi.

Hanya saja satu hal yang luput dari pemahaman kita adalah tidak segala hal diciptakan dengan instan. Tidak ada yang serba mudah, termasuk ketika memutuskan untuk bergabung di startup.

Sembilan puluh persen startup di dunia ini mengalami kegagalan. Seharusnya hal itu yang pertama wajib kita ketahui. Dengan demikian, setidaknya kita sadar bahwa mengambil langkah untuk terjun di startup berarti siap dengan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk gagal, dipecat, dan segala macam. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri, kemungkinan besar sukses ataupun gagal, ada banyak hal yang bisa dipelajari selama proses tersebut.

Mundurnya mereka bukan karena menyerah

Banyak orang berpikir bahwa bekerja di startup yang serba tidak pasti adalah salah satu alasan mengapa banyak orang memilih angkat kaki. Kita pun boleh curiga barangkali baik Ala, Mikey, maupun Ken Dean sudah cukup “lelah” dengan startupnya. Namun, saya pribadi memiliki pandangan yang lain.

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran adalah seberapapun hasilnya, pada akhirnya, lakukan yang terbaik. Jika kita sebagai anak muda mundur dari startup dengan alasan lelah dengan ketidakpastian, saya rasa jangan pernah menyamakan kita dengan mereka bertiga. Ketiga pentolan startup tersebut mundur setelah mereka melakukan banyak hal dan membuktikan bahwa apa yang mereka lakukan sudah cukup berguna. Ken Dean mundur dari Kaskus setelah startup tersebut melejit dengan kepopuleran yang tinggi. Tak jauh beda, Mikey dan Ala mundur ketika Go-Jek sudah menjadi “unicorn” dengan valuasi yang fantastis. Ala sendiri justru menganggap mundurnya dia dari Go-Jek justru akan membawa banyak manfaat, sebab ilmu yang dulunya hanya diketahui Go-Jek, kini bisa ia ajarkan kepada seluruh orang di Indonesia.

Jadi, jika kamu anak muda yang masih menaruh mimpi pada masa depan startup yang lebih baik, saya rasa tidak perlu khawatir. Fokus kita saat ini adalah melakukan yang terbaik, pada apapun yang kita bisa. Fokus untuk berkarya, berimprovisasi, dan membangun sesuatu yang berguna. Sebab jika orang-orang muda seperti kita sudah “lelah” sebelum jadi apa-apa, mau bagaimana masa depan bangsa? Pikir sekali lagi. *ehm, berat ya.

Logo LabanaID

Tren Pemasaran di Instagram Pada Tahun 2016

Seperti yang Anda tahu, kini kita telah memasuki era digital di mana mayoritas orang melakukan hampir seluruh aktivitas di ponselnya. Pada saat shopping juga, kebanyakan orang kini beralih pada e-commerce dan menggunakan ponsel mereka untuk berbelanja. Mulai dari melihat-lihat barang sampai dengan membelinya, semuanya dilakukan di ponsel.

Salah satu platform yang banyak digunakan untuk transaksi jual-beli adalah Instagram. Namun, melakukan pemasaran melalui Instagram sebenarnya tidak semudah yang Anda bayangkan. Lalu, bagaimana cara agar akun bisnis Anda bisa standout dan menarik perhatian banyak orang? Mari kita simak tren-tren pemasaran di Instagram agar Anda tidak kalah saing dari para pesaing.

Berinvestasi Pada Influencer Marketing

Influencer Marketing merupakan strategi pemasaran yang melibatkan orang-orang yang berpengaruh atau influencer. Menurut survey yang dilakukan oleh eMarketer, 76 persen responden lebih mempercayai review online dibandingkan iklan. Artinya, iklan saja tidak cukup untuk mencuri hati konsumen.

[Gambar- @yumnakemal | instagram.com]
[Gambar- @yumnakemal | instagram.com]

Dalam konteks bisnis di Instagram, orang-orang berpengaruh di Instagram biasanya menyandang status ‘Selebgram.’ Bagi Anda yang ingin memasarkan produk dan memperkenalkan brand Anda, bekerja sama dengan influencers ini adalah langkah yang cerdas dan efektif.

[Gambar: @npmalina | instagram.com]
[Gambar: @npmalina | instagram.com]
Selain biaya yang dikeluarkan tidak akan semahal jika Anda beriklan di media massa, jangkauan konsumen yang Anda inginkan juga bisa lebih spesifik dan efektif. Oleh karena itu, Anda harus paham betul apa image brand Anda dan putuskan siapa influencer yang memiliki demografi follower yang sekiranya cocok untuk bidang usaha Anda.

Manfaatkan Micro Video atau Gifs

Video berdurasi pendek mengubah cara brand Anda berkomunikasi dengan konsumen. Dengan menggunakan micro video ini, Anda juga bisa lebih terpacu untuk menyajikan tayangan yang bermutu, kreatif, dan menarik ke dalam sebuah video pendek. Dengan durasinya yang kurang dari satu menit, video ini bisa lebih menarik dan memorable. Beberapa brand juga bahkan menggunakan layanan video Snapchat untuk menjangkau dan membangun komunikasi dengan konsumen.

Salah satu contoh penggunaan micro video dalam Instagram yang paling saya sukai adalah ad-campaign dari GAP yang dibintangi oleh aktris Jenny Slate dan aktor Paul Dano. Kampanye #SpringIsWeird ini sendiri terdiri dari 12micro video yang masing-masing berdurasi 15 detik. Format iklan yang berupa sitkom pendek ini sangat menarik untuk ditonton dan yang pasti sangat berkesan.

[Gambar- @gap | instagram.com]

Gunakan Instagram Ads

Seperti yang telah Anda ketahui, Instagram menawarkan fitur iklan bagi semua bentuk bisnis dan brand di seluruh dunia. Dalam layanan Instagram Ads ini, postingan Anda akan disertai dengan tombol ‘learn more’ atau ‘buy now’ yang bisa mendorong konsumen untuk membeli produk Anda. Karena iklan ini bersifat targeted ads, jadi iklan Anda akan ditampilkan secara selektif ke orang-orang yang sesuai dengan spesifikasi demografi yang Anda inginkan. Jika ada pengguna IG yang tertarik dengan konten maupun produk yang Anda tawarkan, maka mereka bisa dengan mudah mengikuti akun bisnis Anda.

[Gambar: Instagram.com]
[Gambar: Instagram.com]
Bride Story adalah salah satu aplikasi lokal yang mengalami peningkatan peminat dan pengguna aplikasi setelah menggunakan Instagram Ads. Segmentasi pasar dan penargetan konsumen membantu Bridestory untuk dapat menekan biaya aplikasi yang rendah dan mendapatkan pelanggan tetap. Dalam satu bulan saja (di Februari 2016), Bridestory telah menjangkau 7,5 juta orang di Asia Tenggara—jauh lebih banyak dibandingkan saluran media lain

Logo LabanaID

Tingkatan Programmer dan Pentingnya Mentoring di Industri Startup Teknologi

Ada yang sudah tahu bahasa pemrograman Scala? Ini adalah sebuah bahasa pemrograman yang berjalan di platform JVM. Pencipta bahasa pemrograman berbasis JVM ini adalah profesor yang bernama Martin Odersky. Beliau ini adalah seorang profesor di bidang computer science dan pemrograman. Sekilas tentang Scala :

Scala merupakan singkatan dari “Scalable Language”. Artinya, Scala tumbuh bersama Anda. Anda bisa hanya bermain-main dengan Scala dengan mengetik one-line expressions dan mengobservasi hasilnya. Tetapi Anda juga bisa mengandalkannya untuk sebuah sistem krusial (mission critical systems), seperti yang saat ini dilakukan oleh Twitter, Linkedin atau Intel.

Tapi tulisan ini sendiri bukan menjelaskan tentang detail/tutorial Scala. Saya ingin mengulas tentang konsep yang menarik yang diberikan oleh si pencipta bahasa pemrograman Scala ini. Martin memberikan konsep tentang tingkatan (level) seorang programmer, yang bagi saya pribadi bisa diimplementasikan (mungkin dengan penyesuaian) di bahasa-bahasa pemrograman yang lain.

Tingkatan (Level) Programmer

Selama ini di sebuah startup (atau bahkan di korporasi besar), kita hanya mendengar istilah “junior” dan “senior” tanpa ada batasan yang jelas antara keduanya.  Padahal hal ini menurut saya cukup penting, termasuk di dalamnya untuk :

  1. Menentukan kualitas produk kita
  2. Menentukan gaji yang harus dikeluarkan oleh perusahaan

Martin mengajukan konsep pengkategorian level programmer dibagi menjadi dua, yaitu :

  1. Application programmer:  Di kategori ini, programmer dituntut untuk bisa membuat sebuah aplikasi / program.
  2. Library programmer:  Di kategori ini, programmer lebih dituntut untuk bisa mendesain sebuah library dengan desain API yang bisa dipertanggungjawabkan, generic dan reusable.

Setiap kategori ini memiliki levelnya sendiri. Level dan deskripsi ilmu seperti apa yang harusnya sudah dikuasai dan dipahami oleh masing-masing level tersebut adalah sebagai berikut:

Level A1: Beginning application programmer

  • Java-like statements and expressions: standard operators, method calls, conditionals, loops, try/catch
  • class, object, def, val, var, import, package
  • Infix notation for method calls
  • Simple closures
  • Collections with map, filter, etc
  • for-expressions

Level A2: Intermediate application programmer

  • Pattern matching
  • Trait composition
  • Recursion, in particular tail recursion
  • XML literals

Level A3: Expert application programmer

  • Folds, i.e. methods such as foldLeft, foldRight
  • Streams and other lazy data structures
  • Actors
  • Combinator parsers

Level L1: Junior library designer

  • Type parameters
  • Traits
  • Lazy vals
  • Control abstraction, currying
  • By-name parameters

Level L2: Senior library designer

  • Variance annotations
  • Existential types (e.g., to interface with Java wildcards)
  • Self type annotations and the cake pattern for dependency injection
  • Structural types (aka static duck typing)
  • Defining map/flatmap/withFilter for new kinds of for-expressions
  • Extractors

Level L3: Expert library designer

  • Early initializers
  • Abstract types
  • Implicit definitions
  • Higher-kinded types

Source: http://www.scala-lang.org/old/node/8610

Manfaat Pengkategorian Tingkatan Programmer

Bagi saya pribadi, pengkategorian dan leveling programmer ini sangat menarik.  Tetapi perlu diingat, kalau metode dan konsep ini bukan dimaksudkan untuk menyombongkan diri atau untuk eksis di social media dengan mencantumkan tag “I’m an Expert Programmer Level bla..bla. ” atau semacamnya, please…

Pengkategorian dan leveling programmer di sini, bisa berguna untuk :

  1. Meninjau kondisi internal tim engineer di sebuah startup
  2. Jenjang karir
  3. Memantau kondisi programmer ketika awal masuk sampai akhir (kalau perlu sampai resign), maksudnya untuk mengetahui apakah programmer tersebut berkembang atau tidak di sebuah startup
  4. Proses perekrutan programmer (atau hijacking?)
  5. Mentoring

Sekali lagi saya ingatkan di sini, kalau konsep ini bisa diimplementasikan di bahasa pemrograman apapun dan bisa bermanfaat pula untuk digunakan di startup manapun.

Mentoring

Dari beberapa manfaat leveling programmer di atas, yang ingin saya bahas di sini utamanya adalah mentoring.

Awal mula kenapa seharusnya startup membutuhkan mentoring adalah untuk meminimalisir adanya skill gap di timengineering sebuah startup.  Pada dasarnya, yang dinamakan engineering di sebuah startup adalah sebuah permainan tim, bukan one man show.

Contoh sebuah startup yang melakukan one man show adalah ketika fitur-fitur kritikal dari sebuah produk hanya dipegang oleh satu orang, sedangkan puluhan (atau bahkan ratusan?) programmer lainnya hanya sekedar bekerja untuk membuat fitur “aksesoris”.  Apakah seorang engineer bisa berkembang di startup yang seperti ini ? Pendapat saya pribadi, bakal sulit berkembang, tapi kalau tertekan, mungkin bisa.. #eh

Proses mentoring juga bukan sesuatu yang mudah atau simpel.  Proses mentoring yang baik adalah yang dilakukan dengan berjenjang sesuai dengan levelnya.

Contoh, asumsi kita pakai model pengkategorian & leveling seperti yang diterapkan di Scala di atas tadi.  Seorang programmer dengan level A1 seharusnya dimentoring oleh A2, bukan langsung oleh A3.  Seorang library designer L1, seharusnya dimentoring oleh L2, bukan langsung oleh L3, begitu seterusnya.  Dengan cara ini, harapannya adalah proses mentoring lebih efektif, dan bisa meminimalisir miskomunikasi.

Barusan saya menyebutkan tentang miskomunikasi dalam proses mentoring.  Miskomunikasi ini sebenarnya terjadi ketika misal seorang programmer dengan level A1 berbicara dengan programmer L3.  Si programmer A1 tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh programmer L3, dan kemudian mengambil kesimpulan “Ah, ngomong apa sih dia (L3), ngomong gak jelas, kayak gitu kok udah L3”.  Dari sisi programmer L3 pun akan berpendapat “Lelet bgt sih dia ini (A1), gitu aja ga paham.”  Begitu seterusnya.  Dan dari sini, niat baik sebuah startup ingin menerapkan mentoring, alhasil malah jadi bubar.

Dengan konsep pengkategorian tingkatan programmer seperti di atas, akan lebih mudah memetakan seperti apa kemampuan masing-masing anggota tim engineer. Dengan begitu akan bisa segera dilakukan perencanaan agar gap skill antar engineer tidak terlalu jauh. Karena kemampuannya sudah terpetakan, maka proses mentoring pun akan lebih mudah dilakukan.

Akhir kata, selamat mentoring 🙂

Logo LabanaID

Otomatisasi di Industri Teknologi, Sebuah Ancaman atau Peluang?

Foxconn dikabarkan telah memecat 60.000 pekerja di salah satu pabriknya dan menggantikannya dengan robot guna mempercepat laju pertumbuhan dan mengurangi biaya tenaga kerja. Menurut survei pemerintah, 600 perusahaan di pusat manufaktur Tiongkok, Kunshan, kemungkinan besar mengikuti jejak Foxconn dan menerapkan otomatisasi dan robotika dalam pabrik mereka.

Juru bicara Foxconn Xu Yulian mengatakan:

“Foxconn dapat menekan angka tenaga kerja dari 110 ribu orang menjadi 50 ribu orang saja berkat adanya robot. Dengan ini, Foxconn berhasil mengurangi pengeluaran untuk biaya tenaga kerja.” Yulian pun menambahkan, “Akan ada banyak perusahaan lain yang mengikuti langkah ini.”

Dorongan untuk menggantikan manusia dengan robot ini merupakan usaha untuk mempertahankan bisnis seiring dengan meningkatnya upah minimum buruh di Tiongkok. Meskipun Kunshan sendiri termasuk ke dalam kota dengan PDB (Produk Domestik Bruto) yang tinggi, tapi pada 2013-2014 PDB mengalami penurunan. Tampaknya, penurunan PDB dan kasus pabrik yang meledak pada tahun 2014 yang menyebabkan peningkatan investasi pada otomasi dan robotika dalam industri.

Tidak hanya soal penghematan biaya tenaga kerja saja, perubahan ini juga dilakukan sebagai respon terhadap ledakan yang terjadi di sebuah pabrik di Kunshan pada tahun 2014. Kabarnya, ledakan di pabrik manufaktur produk logam milik Taiwan itu disebabkan oleh kondisi kerja yang tidak aman.

Setelah ledakan yang menewaskan 146 jiwa tersebut, pemerintah setempat berjanji untuk mengurangi populasi penduduk dan menghentikan pengembangan lahan di Kunshan yang 46% bagiannya sudah dipenuhi oleh bangunan dan pabrik. Pemerintah pun berjanji untuk memberikan subsidi sebesar 2 miliar Yuan (setara Rp 4.1 triliun) per tahun untuk mendukung perusahaan yang akan menerapkan otomatisasi industri dan robotik pada lini produksi mereka.

Meskipun meratanya pekerjaan manufaktur turut menopang perekonomian Tiongkok dan membuat masyarakatnya bisa keluar dari garis kemiskinan, pada saat ini sebagian pekerjaan ini justru cenderung dialihkan ke India dan negara-negara lain yang menawarkan upah buruh yang lebih rendah. Indonesia pun sempat ramai dikabarkan menjadi tujuan tempat pengalihan pekerjaan ini. Foxconn sempat dikabarkan berniat untuk membangun pabriknya di Indonesia, meskipun sampai saat ini tampaknya rencana tersebut belum juga jadi dilakukan karena adanya masalah lahan.

Otomatisasi Industri di Dunia

Masa depan otomasi industri dan robotika kini sudah begitu dekat bagi berbagai perusahaan terbesar di dunia, yang kini lebih tertarik untuk menggunakan robot daripada mempekerjakan tenaga manusia. Di AS, mantan CEO McDonald USA Ed Rensi pernah mengatakan:

“Lebih murah membeli lengan robot seharga $35 ribu (setara Rp 475 juta) daripada membayar $15 (setara Rp 203 ribu) per jam untuk seorang karyawan yang tidak efisien dalam membungkus french fries.”

Para pendukung otomatisasi mengatakan bahwa pekerjaan yang akan dihilangkan adalah pekerjaan yang membuat tenaga kerja manusia sengsara. Dengan begitu dalam jangka panjang akan banyak posisi lain yang terbuka bagi tenaga kerja manusia.

Bagi Foxconn -yang banyak mengundang kontroversi karena kondisi pabriknya dan tingginya tingkat bunuh diri pada pekerjanya, robot merupakan solusi untuk memperbaiki persepsi buruk publik pada perusahaan tanpa harus meningkatkan kualitas hidup karyawan.

Dampak otomatisasi industri sendiri digambarkan dengan jelas pada rencana Foxconn yang diumumkan tahun 2014 lalu: Jika di Tiongkok pabriknya harus mempekerjakan ribuan karyawan, di Pennsylvania mereka hanya memerlukan beberapa lusin orang saja.

Menanggapi hal ini, sebagian orang berpendapat, jika memang pihak Foxconn berencana menerapkan teknologi otomatisasi secara besar-besaran, mengapa mereka tidak melakukannya juga di AS? Biaya produksinya dijamin akan bisa bersaing mengingat mereka bisa menekan berbagai pengeluaran biaya seperti biaya kirim dan penanganan.

Menanggapi pendapat ini, Terry Gou, CEO Foxconn berkomentar:

“Saya bisa saja mengotomatisasi pabrik di AS lalu mengirimkan [hasil produksinya] ke Tiongkok. Biaya produksinya pun masih bisa bersaing … Namun saya khawatir AS memiliki terlalu banyak pengacara. Saya tidak ingin menghabiskan waktu untuk orang-orang yang ingin menuntut saya setiap harinya.”

Rupanya, upah buruh bukanlah satu-satunya permasalahan. Hukum dan peraturan ketat di AS menjadi penghalang bagi Foxconn untuk menjalankan rencana mereka itu. Belum lagi banyaknya tekanan dari berbagai aktivis.

Namun, para ekonom sebenarnya lebih mengkhawatirkan bahwa otomatisasi industri ini bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan secara drastis dan terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Berdasarkan laporan dari Deloitte dan Oxford University, sebanyak 35 persen pekerjaan diprediksi akan diotomasi selama dua dekade ke depan. Selain itu, berdasarkan penelitian Carl Benedikt Frey dan Michael Osborne di tahun 2013, diperkirakan sekitar 50 persen dari pekerjaan akan lenyap dalam empat hingga lima dekade berikutnya.

Otomasi industri di Indonesia

Kini yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin di Indonesia terjadi pemecatan massal dan otomatisasi industri seperti yang terjadi seperti di pabrik Foxconn, Tiongkok? Menurut saya, hal ini sangat mungkin terjadi, meskipun mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Apalagi akhir-akhir ini buruh semakin gencar menggelar demo untuk menuntut kenaikan UMR. Khawatirnya, hal ini bisa menjadi bom waktu yang berimbas pada pemecatan buruh secara besar-besaran untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi produksi. Selain itu, memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, perusahaan lokal dituntut untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya agar bisa bersaing di pasar terbuka ini. Dari segi investasi, menggunakan teknologi otomatisasi dan robotika dalam industri merupakan pilihan yang lebih menguntungkan, apalagi melihat harga robot yang semakin menurun.

Untuk saat ini, memang masih sedikit industri manufaktur di Indonesia yang menerapkan teknologi tersebut, mengingat besarnya biaya investasi awal yang diperlukan. Oleh karenanya, kebanyakan perusahaan yang sudah menerapkan teknologi ini adalah industri berskala besar. Namun untuk ke depannya, otomasi atau robotika di industri Indonesia merupakan hal yang tidak bisa terhindari lagi.

Peluang

Seperti diuraikan di atas, dengan semakin banyaknya otomatisasi yang dilakukan di industri teknologi, maka semakin banyak pula pekerjaan yang menghilang. Namun di satu sisi dampak dari hal ini adalah terciptanya peluang-peluang baru.

Agar otomatisasi ini semakin berkembang dan proses serta hasilnya bisa semakin baik, tentunya harus didukung oleh industri yang sejalan. Ini artinya akan banyak peluang untuk membuat bisnis di sekitar teknologi otomatisasi ini, yang otomatis berarti membuka lapangan pekerjaan baru.

Semoga saja di Indonesia ini juga berarti membuka peluang menjadi salah satu pemain di industri ini, tidak seperti yang sudah-sudah, yang kebanyakan hanya menjadi pasar saja.

Logo LabanaID