Membedah Faktor Penentu Kesuksesan Layanan E-Commerce Kecantikan di Indonesia

Ilustrasi Perempuan Membeli Produk Kecantikan / Shutterstock

Indonesia adalah rising star di pasar e-commerce dan momen ini belum berakhir. Dengan dua pertiga penduduk Indonesia belum terhubung dengan Internet, prospek dan potensinya masih terbuka lebar di tahun-tahun mendatang. Produk fashion sejauh ini menyumbang pangsa yang besar sebagai segmen e-commerce yang paling populer di negara ini. Selain fashion, sebenarnya ada satu hal lagi yang memiliki potensi tinggi untuk bisnis online, yakni produk kecantikan.

Sejauh ini sektor produk kecantikan online hingga saat ini belum bisa tumbuh sepesat sektor fashion. Dengan segala potensinya, belum ada online beauty shop di Indonesia yang menjadi besar.

Produk kecantikan bukan hanya sekedar make up. Dalam segmen ini tercakup pula shower gel, cream, lotion, hingga aftershave. Sektor kecantikan merupakan sektor dengan karakteristik loyalitas yang kuat.

“Memang betul, produk kecantikan adalah produk yang selalu dibutuhkan dan dicari oleh perempuan. Bukan cuma untuk perempuan yang hobi dandan, tapi hampir semua perempuan pasti menggunakan produk kecantikan ‘standar’ seperti sabun mandi, shampoo, deodorant, body lotion, lipstick dan masih banyak lagi,” ujar  Co-Founder dan Business Director Female Daily Network Affi Assegaf.

Menurutnya bukan cuma sekadar kebutuhan, perempuan seperti tidak pernah berhenti untuk mencoba produk kecantikan yang terbaru atau yang belum pernah mereka coba. Semua ini dilakukan demi menemukan yang paling baik atau paling cocok untuk dirinya.

Lalu, dengan segala argumen di atas, mengapa layanan e-commerce sektor kecantikan belum bisa maju pesat di Indonesia?

Salah satu masalahnya utamanya adalah perempuan cenderung perlu mencoba produk-produk tersebut sebelum memutuskan untuk membeli. Itu sebabnya mereka masih lebih nyaman berbelanja di mall ketimbang membeli secara online.

Produk kecantikan

“Beli online kalau produknya sudah tahu benar. Soalnya kalau beli online belum mencoba produknya khawatir tidak cocok. Pernah kejadian, hanya karena tertarik beli BB cream Etude harganya lebih murah, ternyata tidak cocok buat saya,” cerita Managing Editor Gogirl Magazine Yenni Kartika.

Editor-in-Chief Let’s Eat! Magazine Ayu Sawitri mengeluarkan pendapat yang senada. Ia mengatakan, “Enggak tertarik beli online, karena pasti ingin coba dulu. Biarpun produknya sudah kenal dan sering digunakan tetap lebih suka jalan ke toko beli sekalian coba-coba produk baru.”

Tentang fenomena ini, Affi berpendapat, “Lain ceritanya dengan produk kecantikan yang belum tersedia di tempat lain selain online. Untuk mendapatkan produk yang biasanya hype di kalangan blogger internasional ini, perempuan rela membeli secara online walaupun tanpa mencoba terlebih dahulu. Ini terbukti dari banyaknya seller independen di forum atau Instagram yang menjual produk-produk yang belum resmi masuk ke Indonesia dan jualan mereka laku keras!”

Hal tersebut, ditambahkan Affi, tidak mudah dilakukan oleh pemain besar, seperti distributor produk kecantikan resmi atau department store. Adalah rahasia umum jika birokrasi izin impor barang di Indonesia membutuhkan proses yang rumit dan panjang. “Saya rasa ini salah satu alasan mengapa belum ada e-commerce beauty yang besar di Indonesia,” imbuhnya.

Memang, ketersediaan barang kecantikan di banyak tempat juga menjadi alasan konsumen enggan membeli online jika harganya sama saja. “Semua produk kecantikan yang saya gunakan tersedia di toko terdekat. Lagi pula kulit saya tidak rewel, pakai mass product juga nggak masalah,” cetus Meita Winarto yang berprofesi sebagai Sales Consultant.

Terlepas dari semua tantangan tersebut, Affi memandang hal ini adalah sebuah kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh pemain e-commerce, yaitu dengan menargetkan penjualan produk kecantikan ke consumer yang ada di kota kecil di Indonesia. Kota-kota  yang mempunyai daya beli tetapi tak punya akses ke produk-produk kecantikan yang ada di kota-kota besar karena di kotanya tidak ada mall atau department store besar.

Pelaku e-commerce melihat hal yang sama. Berrybenka misalnya, baru-baru ini menambah produk-produk di segmen beauty. Saat ini, menurut VP Marketing Berrybenka Lily Suriani, layanannya sudah memiliki 50 brand dengan lebih dari 600 SKU. “Sales juga terus growing. Di bulan keempat sudah mendapatkan angka 5 persen dari total sales,” ungkapnya.

Tantangan yang dihadapi, menurut Lily, adalah mendapatkan brand dan inventory yang permintaannya lumayan tinggi. Ia mengatakan, “E-commerce sendiri masih merupakan channel yang tergolong baru dibandingkan toko offline di mata industri kecantikan. Namun dengan bukti sales yang cukup kuat, kami yakin ke depannya akan semakin banyak brand yang tertarik untuk bergabung bersama kami.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.