Kondisi bisnis e-commerce di Indonesia sering disamakan dengan Tiongkok. Banyak yang bilang, Indonesia saat ini adalah kondisi Tiongkok pada 10 tahun lalu. Indonesia diprediksi bisa memangkas ketimpangan waktu tersebut dalam waktu singkat.
Pernyataan tersebut didukung fakta masih berlangsungnya berbagai upaya dari pemerintah untuk membangun infrastruktur pendukung. Pekerjaan rumah terbesar pemerintah Indonesia adalah menghubungkan seluruh wilayah dengan koneksi internet dan mengintegrasikan sistem logistik untuk menekan biaya pengiriman.
Sesungguhnya urusan ketimpangan berlaku juga untuk Tiongkok. Dilihat dari segi ekonomi makro, negara Tirai Bambu ini masih mengalami disparitas, pusat perekonomian negara didorong kawasan timur ketimbang barat.
Persoalannya bagaimana mengurangi tingkat urbanisasi tak hanya menjadi PR untuk pemerintah setempat, tapi perlu bantuan dari pihak swasta. Alibaba punya jawaban tersendiri untuk mengatasinya dengan menggelar proyek Rural Taobao.
Rural Taobao pertama kali meluncur di akhir 2014. Sebenarnya proyek ini berawal dari ide yang berbau CSR, namun sudah dimasukkan ke dalam unit bisnis Taobao. Kendati demikian, belum menjadi unit bisnis yang bisa dimonetisasi karena sifatnya jangka panjang dan belum sampai ke tahap tersebut.
Kepada sejumlah media asal Indonesia, termasuk DailySocial, yang diundang Alibaba ke markasnya, perwakilan perusahaan menyebut proyek ini adalah ajang mempromosikan transaksi dua arah antara Tiongkok kawasan pedesaan dan perkotaan.
Warga desa menjadi sasaran empuk Alibaba, lantaran sekitar 600 juta dari 1,4 miliar penduduk Tiongkok tinggal di desa. Mereka bukan hanya menjadi sumber produk dan sumber daya yang dibutuhkan negara, namun juga memiliki daya beli yang besar.
Dikutip dari CNNIC (China Internet Network Information Center), tingkat penetrasi di kawasan pedesaan hanya 35,4% sedangkan kawasan urban mencapai 71% per Desember 2017. Kendati masih rendah, proporsi pengguna internet di desa terus meningkat.
Masih dikutip dari sumber yang sama, jumlah pengguna internet di area pedesaan meningkat 4% menjadi 209 juta sejak Desember 2016, mewakili 27% dari total pengguna internet di Tiongkok.
Secara kualitas jaringan, meski sangat terbatas namun sudah 4G. Ini masih menjadi PR karena rintangan geografis dan infrastruktur harga pendistribusian internet ke wilayah terpencil sangat mahal.
“Proyek ini sudah masuk ke versi 4.0 jadi kami lewati fase penetrasi internet lewat PC, melainkan langsung ke tahap smartphone. Jadi kami dorong warga desa untuk mengakses internet di smartphone dan berbelanja di sana dengan sinyal yang sudah 4G,” ucap pihak Alibaba.
Untuk melancarkan proyek ini, Alibaba bangun jaringan pusat pelayanan e-commerce di level kabupaten untuk menghilangkan keterbatasan logistik dan jalur masuknya informasi, serta kekurangan tenaga kerja dan pengetahuan seputar e-commerce.
Tempat tersebut dioperasikan oleh seorang agen yang direkrut dari komunitas lokal bernama “Perwakilan Rural Taobao”. Agen tersebut bertanggung jawab terhadap kabupaten masing-masing. Menerima upah melalui biaya pelatihan untuk memfasilitasi pesanan e-commerce dan menyediakan pelayanan lokal.
Di sana, pusat pelayanan sekaligus menjadi fasilitas penyortiran untuk paket yang masuk dari pesanan warga desa. Warga bisa langsung mengambil pesanan mereka atau dibantu pengirimannya oleh manager dengan radius maksimal pengiriman 3 km.
Lama pengiriman sejak order dikirim pun bervariasi tergantung provinsi. Bila masih dalam provinsi yang sama, barang akan sampai ke pusat pelayanan antara 1-3 hari, jika di luar provinsi bisa memakan waktu antara 4-5 hari. Rata-rata durasi pengiriman ini mirip dengan kondisi di Indonesia.
Hingga November 2017, Rural Taobao telah berdiri di lebih dari 30 ribu pusat pelayanan desa di 29 provinsi di Tiongkok. Diklaim lebih dari 10% dari populasi desa menjual produk online di Alibaba dengan pendapatan tahunan setidaknya RMB 10 juta (sekitar USD 1,6 juta).
Sejak pertama kali diluncurkan, Alibaba Group berkomitmen untuk berinvestasi sebanyak RMB 10 miliar (sekitar US$1,6 miliar) selama tiga sampai lima tahun untuk membangun 1.000 pusat operasi tingkat kabupaten dan 100 ribu pusat pelayanan desa di seluruh Tiongkok.
Selektif memilih agen
Dalam merekrut agennya, Alibaba menetapkan mereka harus bekerja penuh waktu, umumnya menargetkan penduduk muda yang paham akan internet dan pernah tinggal di perkotaan. Mereka juga harus bersedia kembali ke desanya masing-masing untuk mengembangkan pusat pelayanan Rural Taobao.
Tak sembarang Alibaba merekrut seorang agen. Para kandidat diharuskan mengikuti ujian untuk memastikan mereka memiliki kemampuan dan komitmen dalam melayani komunitas mereka. Selain menjadi agen berbelanja, mereka diharapkan dapat menawarkan sejumlah pelayanan yang bersangkutan dengan mata pencaharian penduduk desa dengan memanfaatkan ekosistem dari Alibaba Group.
Termasuk di dalam pelayanan ini adalah pelayanan berbelanja online, pengadaan pembelian kebutuhan bertani, pembayaran tagihan pemesanan tiket dan penginapan, membuat janji kunjungan medis, aplikasi simpanan bank, pelatihan pengusaha, dan berbagai tawaran budaya dan hiburan.
Berkunjung langsung ke lapangan
Tak hanya menjelaskan latar belakang dan informasi terbaru Rural Taobao, kami juga diajak menemui langsung dua pusat layanan di desa Leping dan Bainiu. Keduanya berlokasi di Kabupaten Qianchuan, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.
Bainiu terkenal dengan produk kacang kenari. Warga desa memanfaatkan Taobao untuk memasarkan produk olahannya tersebut. Kami menemui Xu Bing Bing, pemasok kacang kenari. Kesehariannya, Xu membeli kacang dari para petani di desa sekitar, lalu memasoknya ke para pengolah, diberi rasa, dan dipasarkan melalui Taobao.
Xu mengenal Taobao sejak 2007, hasil ajakan teman-temannya yang sudah lebih dulu menggunakan. Dia menjadi salah satu dari 400 lebih warga yang telah merasakan dampak dari kehadiran layanan e-commerce terhadap lapangan pekerjaan, tanpa harus meninggalkan keluarga untuk bekerja di kota.
Desa ini hanya memiliki 500 keluarga dan memiliki 68 toko online di Taobao dan Tmall. Total penghasilannya mencapai RMB 350 juta (sekitar USD 55,7 juta) tahun lalu.
Selain Bainiu, kami juga mengunjungi desa Leping. Masih satu provinsi dengan Bainiu, namun jaraknya cukup jauh, sekitar 50 km. Di sana, kami menemui Zheng Weiling yang memilih kembali ke desa suaminya dan membuka pusat layanan di 2015. Sebelumnya ia bekerja di Shenzhen, namun memilih kembali ke desa demi menikmati lebih banyak waktu bersama keluarga.
Sebelum pusat layanan ini berdiri, warga desa Leping perlu menempuh jarak 20 km untuk mengambil barang yang mereka beli secara online. Kini 3 km saja. Zheng menceritakan ia banyak menghabiskan waktu untuk mengajarkan warga setempat tentang cara mengoperasikan komputer atau smartphone untuk membeli produk secara online.
Tempatnya tak hanya menjadi tempat parkir paket warga, namun juga menjual produk-produk populer bagi masyarakat setempat, seperti produk peralatan rumah tangga, material dekorasi, produk keperluan sehari-hari, serta bahan-bahan pertanian.
Zheng mengaku kini pendapatan bulanannya stabil di kisaran RMB 6 ribu (sekitar USD 955). “Sekitar 80-90 paket berdatangan setiap harinya, lalu kami pilah pilih kembali mana paket yang akan diantar, mana yang akan diambil langsung warga,” tutur Zheng.
Alibaba mengaku masih memiliki PR bagaimana bisa mengirim barang ke seluruh Tiongkok dalam waktu satu hari saja. Perusahaan mengerahkan berbagai inovasi dari lini unit usahanya untuk membantu mewujudkannya. Lewat Cainiao Network, contohnya. Sebagai perusahaan logistik, Cainiao kini memiliki 200 robot AGV (automated guided vehicles) yang ditempatkan dalam dalam salah satu gudang Alibaba di Huizhou.
Robot tersebut mampu memproses satu juta pengiriman dalam sehari atau tiga kali lebih efisien dari operasi manual. Robot bisa dipakai selama enam jam dan durasi charge hanya satu jam.
Indonesia bisa belajar
Indonesia memiliki banyak potensi produksi lokal yang layak dipasarkan. Upaya yang dilakukan Alibaba juga dilakukan perusahaan e-commerce di Indonesia dengan berbagai pendekatan.
Blanja menyediakan platform khusus UMKM, sementara Lazada secara bertahap mengedukasi mitra UMKM untuk go online dan berencana untuk mengajak mereka berdagang di platform global milik Lazada.
Ada juga Blibli yang memilih menggandeng Pos Indonesia dan memanfaatkan jaringan kantor dengan menempatkan kiosk Blibli InStore di Kantor Pos. Blibli ingin menyasar konsumen ke area rural tier dua dan tiga, yang terdiri dari pelanggan setia Kantor Pos, karyawan Pos Indonesia, sekaligus penduduk sekitarnya.
Mereka didorong bertransaksi lewat perangkat yang disediakan Blibli dan membayarnya secara tunai lewat Pospay. Setiap pesanan akan dikirim menggunakan Pos Kilat Khusus hingga retur barang secara gratis.
Ada banyak lagi inisiasi yang dilakukan perusahaan e-commerce untuk meningkatkan derajat UMKM lokal. Salah satu dampak yang diharapkan adalah berkurangnya tingkat urbanisasi dan naiknya ekonomi daerah.
Apakah Alibaba cocok untuk menjadi role model yang tepat? Meski tidak semuanya bisa diterapkan saat ini, kita bisa mencontoh bagaimana mengintegrasikan sistem terpadu yang dimiliki berbagai perusahaan logistik dan layanan e-commerce.
Yang Indonesia butuhkan adalah menekan ongkos logistik yang mahal dan memiliki jaringan internet yang stabil agar semakin banyak orang mau memanfaatkan platform online untuk berjualan ataupun membeli barang.
Inisiasi yang dilakukan antar perusahaan swasta dan BUMN sebenarnya sudah cukup nyata. Hanya saja butuh andil dari pemerintah di tengah-tengah untuk mengawal seluruh prosesnya.
Lalu hal-hal apa saja yang memerlukan kehadiran pemerintah? Jawabannya ada di peta jalan e-commerce. Semua sudah tertera jelas di sana, apa saja PR-nya, kapan tenggat waktunya selesai, dan sebagainya. Sejak diresmikan di tahun lalu, hingga sekarang belum ada langkah nyata implementasinya padahal peta jalan tersebut memiliki tenggat waktu sampai 2019. Itulah mengapa, baik Indonesia maupun Tiongkok, pada akhirnya memiliki PR masing-masing yang harus diselesaikan.