Benny Tjia Timba Ilmu di Silicon Valley Sebelum Terjun Jadi Pengusaha

Pendiri Bornevia Benny Tjia sejak kuliah telah bercita-cita untuk terjun dalam dunia startup. Saat itu kondisinya masih berupa ide, karena Benny merasa pengetahuannya tentang startup masih minim. Untuk itu dia memutuskan untuk menimba pengetahuan dan pengalaman sebanyak-banyaknya sebelum benar-benar terjun menjadi pengusaha yang menjalankan sebuah startup.

“Makanya saya memilih bekerja di Silicon Valley supaya mendapatkan pengalaman penting,” kenangnya saat menuturkan kisah perjalanan karirnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Menurut Benny, pengalaman pertamanya dimulai dengan bekerja di Yammer, startup yang diakuisisi oleh Microsoft pada Juli 2012.

Saat di Yammer, Benny bekerja sebagai Senior Software Engineer. Pelajaran yang paling berharga yang ia petik di sana, yang menurutnya sangat khas Silicon Valley, adalah budaya startup yang sangat kuat. Pada saat ia bergabung dengan Yammer, Benny mengatakan bahwa saat itu Yammer sendiri sudah bisa dikategorikan enterprise karena telah memiliki 350 pegawai. Menariknya mereka tetap mempertahankan budaya startup yang  dinamis.

“Kalau di enterprise itu biasanya banyak operating procedure yang memberi limit kebebasan untuk para engineer dalam berkreasi. Tetapi di Yammer, kami masih bisa bebas memberi usul untuk menggunakan technologi cutting-edge baru yang mungkin lebih interesting untuk di-explore,” ujarnya.

Budaya startup yang kuat bukan satu-satunya yang menarik hatinya. Komposisi pekerjanya juga sangat menarik. Yammer memiliki tim teknis yang jumlahnya sekitar 60 hingga 70 persen dari total karyawan. “Bisa dibayangkan betapa pentingnya execution di mata manajemen mereka,” tutur Benny.

Pola seperti ini menurutnya, hanya bisa dihargai oleh startup sebab filosofi yang banyak dianut oleh startup adalah “ide itu hanya 10 persen dan eksekusi itu 90 persen dari kesuksesan sebuah startup”. Hal ini mengejutkan Benny yang tidak menyangka Yammer yang sudah berkembang besar justru masih menghargai prinsip-prinsip ini.

Setelah merasa cukup, pria lulusan University of Michigan ini akhirnya pun kembali ke Indonesia dan mendirikan Bornevia. Bornevia sendiri adalah startup B2B yang menyediakan aplikasi layanan konsumen bagi bisnis online.

“B2B CRM adalah market yang sangat menarik di Asia Pacifik karena pemainnya hampir tidak ada dan saya sendiri sudah pernah ada pengalaman bekerja di B2B startup (Yammer),” jelasnya mengenai latar belakang pendirian Bornevia.

Pilihan tersebut juga didasari pada besarnya market Indonesia untuk CRM (Customer Relationship Management) yang mencapai $200 – $500 juta dan pasar Asia Pasifik yang secara total bisa mencapai nilai pasar $4 miliar. Benny berpendapat, “Tentunya memang lebih kecil dari consumer market seperti e-commerce yang key interest-nya adalah di market size, tetapi yang menarik di B2B menurut saya adalah kenyataan bahwa kami bisa memiliki monetization strategy yang jelas dari awal, dan memiliki cashflow yang mudah diprediksi untuk kelangsungan pertumbuhan serta me-reduce risk dalam menjalankan sebuah ide startup.”

Benny melontarkan optimisme bahwa Bornevia saat ini bisa diterima dengan baik oleh pasar. Faktanya hingga saat ini, menurut Benny, sudah ada 550 perusahaan yang menggunakan Bornevia. Beberapa perusahaan bahkan sudah bersedia menggunakan layanan berbayar.

“Sebenarnya kami baru akan memperkenalkan produk versi berbayar itu di akhir bulan Agustus dengan payment gateway berupa paypal, wire transfer (transfer rekening), dan credit card. Tetapi bulan Juli ternyata sudah ada beberapa perusahaan yang akhirnya memutuskan jadi user berbayar kami. Kami tentunya senang sudah bisa monetize lebih awal di bulan ini, tetapi tentunya akhir Agustus kami akan lebih siap memberi support yang lebih bagus untuk customer berbayar kami,” pungkas Benny.

[Dok. foto pribadi]

Leave a Reply

Your email address will not be published.