Berikut Ini Klasifikasi Fintech yang Akan Diatur OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjabarkan ada dua penggolongan fintech yang akan masuk ke dalam ranah pengawasan OJK. Mereka adalah Fintech 2.0 Digital LJK dan Digital Banking dan Fintech 3.0-3.5 Startup Companies. Kedua kategori tersebut nantinya harus mematuhi segala aturan yang dibuat oleh OJK. Pada akhir tahun rencananya Peraturan OJK (POJK) untuk fintech akan terbit.

Dijabarkan bahwa kategori Fintech 2.0 melingkupi tiga ranah sektor industri diantaranya perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Untuk perbankan, ranah bisnis yang akan diatur mulai dari E-banking, Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), Digital Branch, dan Banking Anywhere (Omnichannel).

Sementara, untuk pasar modal yakni E-stocks, Bonds, Mutual Funds, dan Trading. Terakhir, dalam IKNB yang akan diatur adalah E-Gadai, E-LKM, E-Penjaminan, dan E-Asuransi.

Kategori berikutnya, Fintech 3.0-3.5 khusus mengatur perusahaan startup fintech non lembaga jasa keuangan (LJK), dengan ranah bisnis yang akan diatur adalah koperasi, bursa berjangka, dan loan-based crowdfunding (P2P Lending).

Di sisi lain, Bank Indonesia akan menaungi dan mengatur Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK), E-Money, Telco Money, Blockchain (Bitcoin), dan National Payment Gateway (NPG). Sementara ini jumlah fintech yang masuk otorisasi OJK mencapai 120 perusahaan. Angka itu di luar perhitungan fintech bidang sistem pembayaran yang akan diatur oleh Bank Indonesia.

Rahmat Waluyanto, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, menerangkan aturan yang akan diterbitkan oleh OJK tersebut nantinya hanya mengatur manajemen risiko, governance, kecukupan modal, hingga likuiditas. Namun, standar pendekatannya tidak akan sedetil peraturan yang ada di perbankan maupun asuransi.

“Peraturannya akan dibuat sesuai kondisi fintech, misal di bank ada standar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) untuk aturan likuiditasnya. Tidak akan sedetil CAR, namun tujuannya sama, ingin mengatur tingkat likuiditas fintech karena ini menyangkut perlindungan konsumen,” ujarnya beberapa waktu lalu.

[Baca juga: OJK Jadi Penerbit Sertifikat Tanda Tangan Digital]

Dia menambahkan fintech pun ke depannya memang harus diatur karena ke depannya masyarakat Indonesia beserta industri akan semakin bergantung pada teknologi informasi, baik dalam perdagangan sekuritas, bisnis perbankan, asuransi, dan lainnya.

POJK tersebut nantinya akan memastikan bahwa layanan fintech didukung oleh undang-undang pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Poin yang akan masuk dalam POJK ada empat hal, yakni fintech innovation HUB, Certificate Authority (CA), penerbitan Sandbox Regulatory, kajian mengenai implementasi standar pengamanan data dan informasi dalam pengelolaan industri fintech dan kebutuhan Pusat Pelaporan Insiden Keamanan Informasi di industri jasa keuangan, dan kajian Vulnerability Assessment Tersentralisasi.

BI terbitkan aturan fintech bulan ini

BI menyatakan pada pertengahan bulan ini akan segera mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait Penyelenggaraan Transaksi Pembayaran (PTP). Dalam aturan tersebut, akan mengatur penyelenggaraan aktivitas usaha dalam model bisnis fintech seperti penyedia payment gateway, penyelenggara e-wallet, hingga penyelenggara penunjang seperti terminal ATM/EDC, dan point of sales (POS).

Berikutnya, akan ada regulatory sandbox dan fintech office untuk penyelenggarannya. “Nanti akan kita grand launching pertengahan Oktober ini. Regulatory sandbox itu kita berdiri bareng dengan pelaku fintech, mereka melakuakan inovasi di bawah supervisi kita. Kalau oke, kita lihat potensinya lalu akan diatur dengan baik,” ujar Pungky Wibowo, Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran BI.

Menurutnya, saat ini regulator dan pemerintah sedang dalam tahap menciptakan ekosistem fintech. Regulator pun harus berhati-hati dalam mendorong akses finanseal sembari memperhatikan risiko dari perkembangan teknologi.

BI juga sedang mengkaji dan menyiapkan rancangan PBI terkait upaya meregulasi fintech yang berpotensi memicu praktik pencucian uang (money laundering).