“Cash Burn Rate” Startup di Indonesia Masih Dianggap dalam Taraf Wajar

Dalam presentasinya di Echelon Indonesia 2016 yang membedah perkembangan iklim investasi di wilayah Asia Tenggara, Managing Partner Venturra Capital, Stefan Jung menyebutkan bahwa investasi di kawasan ini masih dalam taraf sehat.

Faktor yang bisa menjadi sinyal positif adalah cash burn rate startup, yang biasanya digunakan untuk subsidi atau biaya akuisisi konsumen, masih sehat. Contohnya adalah pengeluaran untuk kantor tidak berlebih dibandingkan dengan pendapatan. Pengeluaran dari berbagai startup ini, menurut pantauan Stefan, juga masih bisa dibilang sehat.

Selain alasan cash burn rate yang masih di taraf normal, pandangan Stefan yang positif ini juga disokong oleh beberapa faktor, seperti dana yang ada memiliki masa komitmen yang cukup lama (hingga 8-10 tahun) dan jumlah startup yang gugur atau tidak berhasil masih dalam taraf normal dan tidak mengkhawatirkan.

stefan

Menggunakan data, salah satunya dari Golden Gate Ventures, Stefan menampilkan data bahwa level startup dalam mendapatkan funding di wilayah Asia Tenggara telah mencapai level baru. Ia menampilkan beberapa contoh funding yang belum lama ini terjadi dan banyak di antaranya yang bernilai besar berkaitan dengan startup Indonesia, antara lain Bukalapak, Grab, Lazada, Tokopedia, Traveloka, Gojek, dan MatahariMall.

Stefan juga menampilkan daftar singkat beberapa VC yang paling aktif di Asia Tenggara. Nama seperti East Ventures, 500 Startups, Golden Gate Ventures masuk di sana.

stefan 4

Meski pendapat Stefan ini bisa dibilang mengambil posisi positif dalam memandang iklim investasi startup, namun ia juga memberikan beberapa catatan untuk ekosistem startup yang ada di Asia Tenggara. Salah satunya adalah kualitas revenue yang kini harus menjadi pertimbangan startup dalam menjalankan perusahaan mereka. Tidak hanya fokus mencari growth saja, tetapi trennya kini harus pula memperhatikan revenue karena proses penggalangan dana di fase berikutnya (late stage) tak akan semudah saat awal.

Mitos tentang ekosistem startup

Ada beberapa mitos yang ingin dipatahkan Stefan tentang ekosistem startup di Asia Tenggara, salah satunya adalah tentang “keharusan” untuk ekspansi ke pasar internasional secepat mungkin. Stefan berpendapat bahwa startup harus menimbang secara tepat sebelum memutuskan untuk berekspansi. Memutuskan untuk melebarkan sayap ke luar negara haruslah memanfaatkan timing yang tepat dan sebelumnya sudah mengenal bisnis yang dijalani.

Ada tiga faktor utama yang harus diperhatikan saat melakukan ekspansi, yaitu nilai ekonomi, kemampuan organisasi (misal: leadership, mampukah mengelola tim lokal ketika berkembang dengan tim negara lain, pengetahuan tentang pasar yang akan disasar, kemampuan funding untuk menyokong pelebaran ke pasar yang baru), dan seberapa yakinkah ketika akan mengambil keputusan untuk melebarkan sayap ke negara lain.

stefan 13

Mitos yang lain adalah pendapat tentang belum siapnya ekosistem startup di Asia Teggara. Stefan menjelaskan bahwa ekosistem yang ada di kawasan saat ini telah berkembang pesat dan sudah siap mendukung pertumbuhan dan perkembangan startup. Beberapa acuan yang mendukung pendapat ini antara lain: kemampuan talenta di area ini terus berkembang, munculnya banyak co-working, hadirnya beragam akselerator dan inkubator serta yang terakhir cara yang berhubungan dengan ekosistem startup semakin banyak muncul.

Secara garis besar, Stefan memiliki pandangan yang positif dengan iklim investasi yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan pertumbuhan seperti sekarang, VC sebagai pemberi dana juga harus ikut berkembang dan menaikkan batas mereka untuk membantu startup. Menurut Stefan, saat ini adalah waktu yang tepat untuk masuk dan terjun dalam iklim atau ekosistem startup, terutama bagi investor.