Category Archives: Success Story

Kisah Inspiratif Kampung Kue Rungkut yang Sukses Perbaiki Perekonomian Anggotanya

Di balik kesuksesan bisnis, selalu ada kisah perjuangan dan dedikasi yang luar biasa. Begitu pula dengan Kampung Kue Rungkut yang berhasil mengubah hidup dan memberikan harapan baru bagi para ibu-ibu di kampung tersebut.

Melalui wawancara dengan pendiri Kampung Kue Rungkut, Choirul Mahpuduah, kita akan mendapat wawasan inspiratif mengenai perjalanan pendirian dan keberhasilan komunitas ini.

Proses Awal Terbentuknya Kampung Kue Rungkut

Berlokasi di Jl. Rungkut Lor Gg. II, Kali Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, komunitas dan bisnis Kampung Kue Rungkut tidak terbentuk begitu saja. Choirul Mahpuduah, yang akrab disapa Bu Irul, memulainya dengan ide bisnis handicraft terlebih dahulu pada tahun 2005. Hal itu berangkat dari keinginannya untuk memberdayakan ibu-ibu di Kampung Rungkut agar berdaya untuk menghasilkan uang yang halal untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

“Pagi-pagi saya sudah melihat banyak sekali ibu-ibu yang menganggur, bersantai dan merumpi dengan ibu-ibu lain di teras rumah (di Kampung Kue Rungkut). Disisi lain, saya melihat adanya potensi yang bisa dimanfaatkan dari ibu-ibu tersebut untuk menjadi produktif dan menghasilkan.” Ujar Choirul Mahpuduah, pendiri Kampung Kue Rungkut.

Namun, ide handicraft tersebut tidak menjawab harapannya dikarenakan penjualan produk yang tidak terlalu tinggi sehingga tidak berdampak pada perekonomian. Sampai akhirnya, pada tahun yang sama, ia mendapat inovasi baru untuk memulai bisnis kue yang dirasa memiliki peluang lebih besar untuk mencapai tujuannya.

Dari situ, ia memulai gagasan bernama Kampung Kue Rungkut dan memulai langkah pertama menuju transformasi yang menginspirasi. Kini, kampung tersebut telah diresmikan oleh Walikota Surabaya pada 8 Februari 2022 dan usaha kue telah menjadi sumber penghasilan utama bagi ibu-ibu di Kampung Kue Rungkut.

Tantangan Mendirikan Kampung Kue Rungkut

Mendirikan Kampung Kue Rungkut bukanlah tanpa tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah adanya pro kontra terhadap ide bisnis yang diajukan.

Dimulai dengan ide bisnis handicraft, namun berakhir tidak memberikan hasil yang diharapkan. Kemudian, ia beralih ke ide bisnis kue dengan gagasan Kampung Kue. Meskipun ada pro dan kontra dalam respon komunitas, wanita yang akrab disapa Ibu Irul itu tetap memberikan kebebasan kepada anggota komunitas untuk memilih bidang usaha yang mereka minati, baik handicraft maupun bisnis kue.

Dengan kebebasan ini, terciptalah lingkungan yang inklusif di mana setiap anggota komunitas dapat berkontribusi sesuai minat dan kemampuannya. Namun, melihat perkembangan bisnis kue yang pesat membuat banyak anggota komunitas mulai beralih ke bisnis kue.

Dengan anggota awal yang hanya berjumlah 15 orang, kini total anggota sudah mencapai 68 orang dengan lebih dari 70 item kue yang diproduksi. Beberapa jenis kue yang diproduksi di antaranya; kue kering, kue basah (lemper, pastel, pisang landak, risoles, lumpia, sosis solo), makanan (ayam geprek, nasi pecel, nasi krawu, soto), dan minuman.

Strategi Pengembangan Kampung Kue Rungkut

Kampung Kue Rungkut memiliki keunikan yang membedakannya dari usaha kue lain di sekitarnya. Proses pendiriannya yang unik melibatkan anggota komunitas di satu wilayah dan melakukan produksi di rumah masing-masing. Tidak hanya menjadi tempat belanja, kampung ini juga menjadi tempat edukasi bagi mereka yang ingin mempelajari proses produksi.

Kampung Kue Rungkut menerapkan strategi pemasaran yang beragam untuk memperluas jangkauannya. Dimulai dengan strategi word of mouth dan door-to-door ke toko untuk memperkenalkan keberadaan Kampung Kue dan produknya. Mereka juga menjaga kualitas produk dan memberikan pengalaman unik kepada konsumen yang datang untuk bisa melihat dan mencicipi langsung kue yang diproduksi.

Menurut Ibu Irul, open-minded menjadi strategi yang membantu bisnis tersebut dapat bertahan menghadapi perubahan tren dan preferensi konsumen di era ketatnya persaingan bisnis ini.

“Saya yang sudah berusia 54 tahun tapi sehari-hari bergumul dengan mahasiswa yang melakukan penelitian dan KKN di kampung kami. Secara otomatis segala bentuk pemikiran dan tindakan akan terpengaruh oleh generasi terkini, termasuk penggunaan teknologi digital. Kuncinya adalah open-minded, terbuka terhadap perubahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk semua orang.” Tambah Bu Irul.

Tak ketinggalan, di era digital ini Kampung Kue Rungkut memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp Business, TikTok, serta menggunakan online ads, dan website. Mereka juga membangun relasi dengan berbagai pihak, termasuk perusahaan, pemerintah, kampus, media, dan organisasi sejenis untuk memperluas cakupan pasarnya.

Visi Masa Depan Kampung Kue Rungkut

Dalam rencana dan visi ke depan, Kampung Kue Rungkut berkomitmen untuk terus memberdayakan masyarakat, memperluas jaringan relasi, mempertahankan kualitas produk, dan tetap menjadi kampung yang unggul dalam bisnis kue. Mereka juga berharap dapat menjangkau pasar yang lebih luas, termasuk pasar menengah ke bawah hingga pasar menengah atas.

“Sejak awal visinya adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Bagaimana visi ini dari waktu ke waktu selalu kita perjuangkan melalui misi yang kita emban, yaitu bagaimana kelompok kita selalu menerapkan kepemimpinan yang terbuka terhadap setiap saran dan akuntabel, bagaimana melipatgandakan modal sosial, membangun hubungan dengan berbagai pihak/memperluas relasi, menjaga paguyuban Kampung Kue Rungkut tetap berkelanjutan, tetap menjadi bagian dari kampung unggulan, dan tetap mengambil peran untuk kemajuan bangsa, dan negara.” Tutup Choirul Mahpuduah.

Dengan perjalanan inspiratifnya, Kampung Kue Rungkut tidak hanya menjadi tempat berbelanja kue, tetapi juga merupakan sumber pengetahuan bagi yang ingin belajar tentang proses pembuatan kue. Dengan semangat kolaborasi, kesempatan berdaya, dan kreativitas yang terus berkembang, Kampung Kue Rungkut terus menerus memberikan dampak yang positif bagi anggota komunitasnya dan masyarakat sekitar.

Kisah Sukses “Saat Senggang” Berdayakan Perempuan dan Komunitasnya, Mila: Kami Menjunjung Tinggi Kolaborasi

Setiap brand pastinya ingin bisa berdampak dan bermanfaat bagi sekitarnya. Hal ini juga yang menjadi misi awal dari brand yang kini dikenal dengan Saat Senggang.

Saat Senggang berhasil menjadi brand yang tidak hanya memanfaatkan teknologi di tengah era serba digital ini, tapi juga menjadi brand yang berdampak bagi perempuan dan komunitasnya dengan melibatkan mereka dalam proses produksi.

Penasaran bagaimana perjalanan lengkapnya? Simak kisah sukses Saat Senggang yang di sampaikan oleh Mila Wijaya, selaku Co-Founder, Co-Owner, dan Brand Director Saat Senggang, kepada DailySocial berikut ini.

Sebuah Perjalanan yang Terinspirasi dari Waktu Senggang

Saat Senggang merupakan sebuah brand yang diinisiasi oleh Utterly Magazine dan dinaungi oleh Utterly Studio, sebuah kreatif agensi multidisipliner. Mila menjelaskan bahwa hadirnya Saat Senggang adalah buah dari pemikiran untuk bisa melibatkan perempuan dengan lebih nyata.

“Lahirnya Saat Senggang ini sebetulnya berangkat dari sebuah pemikiran gimana ya caranya supaya kita bisa melibatkan perempuan dan komunitasnya itu lebih dalam dan lebih nyata. Karena kan kalau lewat majalah itu segmennya kan lebih kecil ya. Nah, makanya oke kita harus bikin lifestyle brand supaya value yang ingin kita sampaikan ini bisa terhubung langsung dan lebih dekat dengan audiens,” jelasnya.

Tak dapat dipungkiri, brand Saat Senggang memiliki nama yang cukup unik. Ternyata, ada cerita menarik di balik nama Saat Senggang ini di mana nama ini terinspirasi dari waktu senggang yang bisa diisi untuk mencari inspirasi.

“Jadi kami ini terinspirasi dari waktu senggang yang biasanya diisi dengan momen-momen lagi cari inspirasi. Terus, di waktu senggang itu malah kadang bisa muncul ide-ide yang terbaik kan, kayak ide-ide yang unik, menarik. Dan dari situ kita bisa kembangkan jadi sesuatu,” ujar Mila.

Jadi, waktu senggang yang dimiliki setiap orang merupakan waktu paling produktif yang bisa dimanfaatkan untuk berkarya tanpa terbatas usia, waktu, dan latar belakang.

Dari pemikiran tersebut, kemudian Saat Senggang lahir dengan tujuan untuk memberi semangat kepada perempuan untuk berkreasi dan mewujudkan hal-hal yang mereka suka. Hal ini juga direpresentasikan melalui tagline mereka, yaitu ‘Make each second in life count’.

Berinovasi Dalam Model Produk, Pengemasan, dan Cara Mengembangkan Brand

Membangun brand memang bukanlah hal yang mudah. Maka dari itu, Mila mengakui bahwa dalam mengembangkan Saat Sengggang, dirinya dan tim banyak melakukan trial and error dan berinovasi untuk mencari cara terbaik dalam menjalankan bisnis.

Brand Saat Senggang adalah brand dengan produk rajutan yang meluncurkan koleksi pertamanya di bulan Agustus tahun 2019. Awalnya, Saat Senggang tidak hanya ingin fokus kepada satu jenis produk, melainkan berbagai produk yang berhubungan dengan waktu senggang.

“Awalnya Saat Senggang itu sendiri kami nggak ingin fokus pada satu produk sebenarnya. Jadi (inginnya) semuanya berhubungan sama saat senggang. Mungkin kayak ada ibu-ibu yang saat senggangnya masak, ada ibu-ibu yang saat senggangnya menjahit, atau ada ibu-ibu yang saat senggangnya ngerajut. Nah, karena kami dulu dapatnya ibu-ibu orang terdekat kami ini bisa merajut ya kami berpikir oke kita mulai dari sini,” kata Mila.

Dari situlah kemudian Saat Senggang mulai berkolaborasi memudahkan proses distribusi dan branding produk rajutan komunitas rajut, serta terus mencari cara terbaik mengembangkan brand-nya. Mulai dari mengintegrasi program offline dan online, membuat campaign, pemotretan, dan lainnya agar value brand dan produk dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Selain itu, Saat Senggang juga terus berinovasi dalam hal model dan pengemasan produk, menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar mudah diterima market.

Fokus Mengelola Komunitas di Sela-Sela Produksi dan Branding

Menurut keterangan Mila, seluruh perempuan yang turut serta dalam produksi merupakan seniman bagi Saat Senggang. Maka dari itu, mengelola komunitas adalah salah satu hal penting yang harus diperhatikan dan juga akan berdampak baik kepada proses produksi Saat Senggang sendiri.

Saat ini, aktivitas produksi Saat Senggang sendiri berada di empat lokasi yang berbeda, antara lain di Surabaya, Semarang, Solo, dan Malang, yang mana semua pengiriman akan dilakukan dari Surabaya.

Banyaknya lokasi produksi dan jumlah perempuan pengrajut ini membuat Saat Senggang harus pintar-pintar mencari cara untuk mengelola komunitas agar kualitas produk yang dihasilkan tetap bagus.

“Karena kan sebenarnya kami sendiri bukan pelaku produksi, kan. Maksudnya kayak saya dan partner bukan yang merajut. Tapi kami mensiasatinya dengan setiap daerah itu akan ada satu ibu pemimpin dimana kami bekerja sama dengan dia,” jelas Mila.

Lebih lanjut Mila juga menjelaskan bahwa ibu pemimpin di setiap daerah ini bertugas membantu apabla ada yang ingin bergabung ke komunitas dengan memandu cara produksi dan juga SOP yang harus diikuti.

Namun, ternyata, alih-alih kualitas produk Mila mengakui bahwa komitmen pengrajut lah yang seringkali menjadi kendala. Meski begitu, hal tersebut dapat menjadi ruang baru bagi Saat Senggang untuk berinovasi.

Tokopedia Menjadi Platform Andalan Sejak Awal Berdiri

Ketika pandemi melanda Indonesa di tahun 2020 silam, banyak bisnis yang kewalahan dalam hal produksi hingga melakukan transisi dari penjualan offline ke online. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi Saat Senggang.

Dalam kegiatan produksi, Saat Senggang justru dapat menggandeng komunitas lebih kuat karena para seniman-seniman perempuannya memiliki waktu luang lebih banyak ketika pandemi.

Selain itu, dalam hal penjualan pun Saat Senggang tidak mengalami kesulitan yang berarti selama pandemi. Hal ini dikarenakan Saat Senggang merupakan salah satu brand yang mengawali perjalanannya sejak awal berbasis online dengan platform Tokopedia sebagai andalannya hingga saat ini. 

“Perannya (Tokopedia) yang pasti banyak ya karena Tokopedia punya sistem yang menurut kami cukup membantu. Sangat membantu bahkan. Ya istilahnya dari bagaimana back office-nya, ketika ada order, bisa setting PO, dikasih waktu pengirimannya, ditambah ada penilaian dan performa toko itu sangat membantu bagaimana kita mengontrol pihak internal,” kata Mila.

Menurutnya, sistem di Tokopedia sangat membantunya dalam berkoordinasi dengan bagian-bagian lain, seperti administrasi dan warehouse. Kemudian, Saat Senggang juga tak perlu membangun toko online-nya sendiri.

“Terus misalnya ada komplain itu kayak mempermudah kita tanpa kita harus build own website kan, own e-commerce gitu. Terus ditambah ada gratis ongkir, kita bisa daftar di Power Merchant. Ya sangat membantu sih kalo saya bilang ya. Ditambah sekarang sudah ada affiliate. Sehingga dari tokonya sendiri pun bisa integrasi ke platform lain, sosial media, contohnya Instagram,” lanjutnya.

Adanya program Tokopedia affiliate juga membantu Saat Senggang mendapatkan penghasilan tambahan dengan membagikan link produknya ke platform promosi lain, seperti media sosial.

Hadapi Tantangan dengan Selalu Update Ilmu

Meski saat pandemi Saat Senggang tidak mengalami kesulitan bukan berarti Saat Senggang tidak pernah menghadapi tantangan. Dari kesulitan di proses produksi hingga tantangan dalam menyusun strategi bisnis pernah dihadapi oleh Saat Senggang menurut keterangan Mila.

“Iya selalu ada. Itu lah kenapa harus update ilmu terus,” katanya.

Sebagai bisnis dengan produk yang dibuat secara handmade, memenuhi jumlah produksi ketika demand sedang tinggi tentu merupakan kendala tersendiri. Namun, hal itu tidak menghentikan Saat Senggang. Memperbesar komunitas adalah solusi yang dipilih oleh Saat Senggang.

Tapi, lagi-lagi, kendala tidak berhenti sampai di situ. Saat Senggang menemui tantangan lainnya, yaitu bagaimana cara mengontrol komunitas dan kualitas produk (QC) karena komunitas yang semakin besar.

Kendala lainnya yang diutarakan Mila adalah strategi dalam mewujudkan impian untuk menjadi brand yang sustainable dengan memperhatikan tiga faktor, yaitu people, profit, dan planet.

“Tapi untuk planetnya ini kami sampai sekarang masih berusaha sih karena kami ini sebetulnya pengin bisa memproduksi produk yang materialnya bisa dari daur ulang. Jadi lebih ke economic circular gitu. Tapi lagi-lagi untuk ke sana bukan sesuatu yang mudah. Karena pertama supply-nya gak ada. Barang tersebut susah ditemukan, misalnya ada pun itu akan mahal sekali. Jadi kita mensiasatinya dari hal-hal kecil untuk punya value sustainable itu.”

Untuk mensiasati agar tetap tercapai sustainability yang diimpikan, Saat Senggang mulai dari hal-hal kecil seperti membuat packaging yang reusable, membuat desain dari sampah daur ulang, dan membuat barang-barang kecil dari sisa benang yang dapat dijual kembali.

Berhasil Bertahan dengan Konsistensi, Value, dan ‘Melek Digital’

Banyaknya tantangan ternyata tidak menyurutkan Saat Senggang untuk terus berkembang. Menurut Mila, konsistensi dan value yang dimiliki Saat Senggang juga menjadi alasan mengapa Saat Senggang bisa bertahan hingga saat ini.

“Yang membuat bertahan yang pasti konsistensi ya. Kami punya full heart kami tuangkan di brand ini. Menurut kami, brand yang bisa survive ketika brand itu dibentuk dengan value,” ujarnya.

Selain itu, Mila juga beberapa kali menekankan ‘melek digital’ sebagai kunci dari bertahan dan mengembangkan brand Saat Senggang. Mau terus belajar memahami teknologi adalah kunci survive yang dibagikan oleh Mila.

“Kalau yang masih gagap teknologi, kalau mereka masih merasa takut masuk ke teknologi itu biasanya karena keterbatasan informasi ya. Jadi mungkin kiat-kiat untuk pelaku bisnis yang masih gagap teknologi, dia harus terbuka dengan informasi baru, cari tahu. Karena kalau misalnya di zaman sekarang mereka gagap teknologi saya juga nggak tahu gimana mereka survive kan.”

Ingin Menjadi Brand yang Lebih Berdampak

Tak dapat dipungkiri, Saat Senggang telah memberikan dampak yang cukup besar bagi para senimannya, yakni perempuan-perempuan komunitas rajut di berbagai daerah yang menjadi bagian dari proses produksi Saat Senggang.

Meski begitu, Saat Senggang tidak ingin berhenti sampai di sini. Mila mengutarakan harapan Saat Senggang untuk bisa menjadi brand yang lebih berdampak ke depannya serta terus mempertahankan value yang dipegang sejak awal.

“Ke depannya kami ingin jadi brand yang bisa jadi wadah untuk membuka lapangan pekerjaan baru, menjadi brand yang selalu menjunjung tinggi sustainability, dan mungkin bisa punya produk-produk lain yang mungkin saja di luar rajut supaya bisa lebih berdampak buat komunitas-komunitas lain selain komunitas rajut.”

Dari kisah yang disampaikan Mila tersebut, kita tahu bahwa Saat Senggang di bawah naungan Utterly Studio telah berhasil melibatkan perempuan dan mendukung mereka untuk berkreasi melakukan hal yang mereka sukai.

Meski perjalanan Saat Senggang dan komunitas rajut dihadapi berbagai tantangan, namun hal tersebut tidak menghentikan mimpi Saat Senggang untuk bisa berdampak lebih besar lagi.

101Red Wujudkan Jualan Online Tanpa Ribet, Gandeng Brand Lokal Jadi Kunci Utama

101Red merupakan sebuah platform bisnis online yang menyediakan berbagai pilihan produk untuk dijual kembali, atau penjualan secara dropship. Bukan hanya produk untuk dijual, 101Red juga menyediakan marketing kit berupa media promosi dan website replika, di mana website tersebut dapat menjadi wadah berjualan yang langsung diisi hingga 45.000 produk. 

Yang unik, seluruh orderan yang masuk akan dikelola oleh tim 101Red.101Red juga memiliki customer service yang dapat melayani pembeli Anda, sehingga Anda tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra. Kelihatannya sangat praktis, bukan?

Gandeng Brand Lokal

Di balik seluruh hal brilian tersebut, pada awalnya 101Red merupakan platform jual beli yang menjual ribuan produk-produk aksesoris import yang hits di tahun 2016, utamanya produk-produk aksesoris K-Drama dan K-Pop. 

Melebarkan sayapnya, pada tahun 2018 101Red mulai berkolaborasi dengan brand lokal untuk bekerja sama dalam memajukan produk lokal. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap brand lokal, sehingga brand lokal lebih digemari.

Terlebih, kini 101Red dihadapkan dengan keadaan di mana negara importir turut serta berjualan ke pasar Indonesia melalui marketplace, hal ini menyebabkan rusaknya persaingan pasar. Sebab, harga yang ditawarkan lebih rendah dan biaya impor yang lebih terjangkau.

Menyikapi situasi tersebut, 101Red melakukan pivot dengan menciptakan produk lokal bernama Lumecolors serta bekerja sama dengan brand lokal lainnya. Lumecolors merupakan brand penyedia kosmetik yang halal dan memiliki sertifikasi BPOM, dengan kualitas yang bersaing dengan brand luar negeri namun harganya lebih terjangkau.

Christina Lie, Founder 101Red menyatakan bahwa pencapaian terbesar 101Red adalah saat pihaknya melakukan pivot bisnis, dari yang semula importir produk hingga melahirkan brand kosmetik Lumecolors. Lumecolors pada awalnya hanya menjual produk lipcream, namun sambutan baik dari pelanggan membuat Lumecolors bisa melahirkan kategori kosmetik lainnya seperti foundation, compact powder, loose powder, dan akan terus kami berkembang dengan menyesuaikan kebutuhan orang indonesia.

Merangkul brand lokal dan melakukan pivot terbukti menjadi senjata ampuh bagi 101Red. Pivot dalam bisnis memang terkadang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan bisnis agar tetap mampu bertahan. Disebutkan bahwa hal inilah yang membuat 101Red eksis hingga kini.

Pelayanan Jadi Fokus Utama

Dalam menyikapi ketatnya persaingan industri saat ini, Christina Lie menyatakan bahwa pihaknya selalu berupaya untuk memberikan pelayanan kepada seluruh pihak yang terlibat, mulai dari para seller, pemilik brand, hingga pelanggan. “Kami yakin, jika kami fokus kepada kebutuhan semua pihak, kami tidak perlu risau dengan kompetitor. Jadi, kami berkompetisi dalam  memberikan pelayanan yang terbaik untuk semua pihak,” ungkap Christina.

101Red berupaya menjadi jembatan antara pemilik brand dengan seller, dengan menyediakan layanan customer service yang ramah serta terus meningkatkan kecepatan pengiriman demi kepuasan pelanggan. Dengan begitu, 101Red berharap bahwa upaya tersebut bukan hanya mampu meningkatkan penjualan para seller, namun juga nama sebuah brand di mata pelanggan.

“Kami turut aktif menjaga harga jual dari semua brand, sehingga jika ada seller kami yang nakal, kami menghentikan jalur distribusinya sebagai tindakan tegas kami kepada seller yang tidak mengikuti harga jual. Kami juga menyediakan marketing kit tambahan berupa video dan foto pendukung, lalu pembinaan baik dari internal hingga mengundang pakar di bidang digital marketing untuk memberikan webinar ke para seller untuk bisa jualan online melalui platform marketplace, Instagram, Facebook, hingga Tiktok,” ujar Christina.

Pentingnya Relasi dan Negosiasi

Sumber: Youtube Christina Lie

Bicara soal modal, Christina mengaku bahwa memulai bisnis tidak melulu butuh modal yang besar. Membangun bisnis tanpa modal berupa materi yang besar mungkin saja terjadi, karena modal bisnis pada dasarnya bukan hanya materi.

“Menurut saya, modal yang diperlukan bukan hanya pinjaman modal. Tapi luasnya relasi juga kemampuan bernegosiasi menjadi modal penting selain modal materi. Sehingga kita bisa bekerja sama saling mengisi kekurangan masing-masing,” tegasnya.

101Red hingga kini tidak melakukan pinjaman modal dalam menopang bisnisnya. Hal tersebut adalah bukti nyata bahwa hal penting dalam memulai bisnis bukan hanya materi dalam jumlah besar, namun antara lain butuh niat yang kuat, kesiapan dalam menghadapi berbagai situasi, luasnya relasi, dan kemampuan negosiasi.

Jualan Online Tanpa Ribet

101Red berupaya meningkatkan kembali slogan jualan online tanpa ribet. 101Red akan terus berupaya untuk menggandeng brand lokal dalam memajukan produk-produk indonesia.

Mengingat saat ini adalah era kolaborasi, Christina menyadari bahwa pihaknya tidak bisa fokus ke banyak hal sekaligus. “Kita perlu untuk menyadari kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, lalu mencoba mencari orang yang bisa melengkapi menopang kelemahan tersebut dan kita bisa fokus memaksimalkan kelebihan dengan tujuan untuk membesarkan bisnis.”

RS The Label, Brand Fashion Lokal dengan Konsep Zerowaste yang Bermimpi Go Global di Era Digital

Setiap bisnis, baik kecil maupun besar, berhak untuk bermimpi. Hanya saja setelah itu tergantung bagaimana usaha mereka dalam meraihnya. Di era digital seperti saat ini, pemanfaatan teknologi tidak akan luput dalam perjalanan setiap bisnis dalam meraih mimpinya. RS The Label adalah salah satu yang membuktikannya.

Riene Subiyanto, owner RS The Label, mengakui bahwa teknologi dan platform digital, seperti media sosial, berperan besar dalam membantu brand-nya melangkah maju mendekati mimpinya. Tertarik mengetahui kisah lengkapnya? Berikut cerita perjalanan RS The Label bersama digitalisasi yang dibagikan oleh Riene.

Mengusung Konsep Zerowaste Sebagai Investasi Masa Depan

RS The Label merupakan salah satu brand fashion lokal yang mengusung konsep zerowaste. Tidak hanya dalam bentuk produk hasil, konsep zerowaste ini juga ia terapkan hingga ke proses pengemasan.

“RS The Label (adalah) brand fashion yang mengusung konsep zerowaste, dimana proses produksi dimulai dari material, cutting, hingga packaging menerapkan prinsip minim limbah atau bahkan tidak meninggalkan limbah kain,” katanya.

Sumber: Instagram @rsthelabel

Konsep zerowaste ini ia terapkan bukan tanpa alasan. Pemikiran tersebut adalah hasil dari analisanya pada industri bisnis fashion yang ia mulai di tahun 2019. Ia melihat begitu banyaknya limbah yang dihasilkan oleh industri ini dan merasa khawatir.

“RSthelabel awalnya hanya brand fashion seperti pada umumnya. Tetapi permasalahan muncul ketika saya menyadari bahwa bisnis ini ikut andil dalam menyumbang limbah terbesar kedua di dunia dan akan berdampak buruk buat kita dan anak cucu kita di masa depan. Maka saya berpikir bagaimana cara saya tetap menjalani passion saya tetapi beriringan dengan compassion. Lalu terciptalah zerowaste fashion,” jelas Riene.

Kemudian, Riene pun senang karena bisnis fashion dengan tema zerowaste ini dapat diterima masyarakat.

Giat Berinovasi Dengan Tetap Konsisten Minim Limbah

Bergerak dengan konsep zerowaste fashion tidak menyurutkan semangat Riene untuk terus berinovasi menghasilkan produk yang unik. Dari komitmennya untuk meminimalisir limbah ini, Riene selalu rutin melakukan riset sebelum meluncurkan inovasi produk.

“Karena ini adalah zerowaste fashion, maka sebelum memproduksi selalu dilakukan riset terlebih dahulu, mulai dari desain apakah desainnya bisa diterapkan ke dalam zerowaste cutting.”

Sumber: Instagram @rsthelabel

Agar tidak keluar dari konsep minim limbah itu sendiri, Riene berusaha untuk selalu memastikan bahwa inovasi produk yang ia buat bisa diproduksi menggunakan pattern, cutting, dan material kain yang ramah lingkungan.

Tak jarang juga inovasinya berasal dari pemanfaatan sisa kain yang kemudian ia buat menjadi ornamen pada produk pakaiannya.

Ternyata, konsep zerowaste tidak membuat Riene kehabisan ide untuk berinovasi. Bahkan, ia juga mulai menggabungkannya dengan konsep classic monochrome bergaya fashion street yang produknya ia launching pada Juli 2022 ini.

“Sedikit cerita tentang produk baru yang InsyaAllah akan dilaunching di bulan Juli 2022. Mengambil konsep classic monochrome dengan cutting zerowaste tetapi bergaya street fashion untuk memperluas target market juga pastinya,” ujarnya..

Kolaborasi Sebagai Langkah untuk Perluas Edukasi

Tidak ada usaha yang berjalan mulus tanpa adanya tantangan atau kesulitan. Selain tantangan dalam riset produk sebelum berinovasi, Riene juga mengakui bahwa kurangnya kesadaran masyarakat tentang dampak limbah kain ini menjadi kesulitan tersendiri bagi RS The label.

Untuk itu, Riene selalu berusaha mengedukasi masyarakat, salah satunya dengan cara berkolaborasi dengan influencer atau aktivis lingkungan.

“Masyarakat cenderung mengabaikan dan selalu berpikir untuk menguntungkan dirinya sendiri. Dibutukan effort yang lebih untuk mengedukasi. Maka dari itu, RS The Label berusaha berkolaborasi dengan para aktivis lingkungan maupun influencer yang peduli lingkungan atau alam.”

Pandemi Menjadi Momen Berinovasi

Momen pandemi adalah momen yang umumnya memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan sebuah usaha. Namun, hal fakta tersebut ternyata tidak berlaku untuk RS The Label. Riene bersyukur bahwa pandemi tidak menurunkan aktivitas produksi dan penjualan RS The Label.

Sebaliknya, ia memanfaatkan momen pandemi untuk menciptakan solusi untuk para pekerja WFH saat pandemi dari limbah kain dalam bentuk produk detachable collar.

Sumber: Instagram @rsthelabel

“Pada saat pandemi, RS The Label membuat produk dari limbah kain juga seperti detachable collar atau kerah lepas pasang. Jadi ketika para pekerja khususnya wanita melakukan WFH cukup menambahkan detachable collar pada homedress-nya, jadi pakaian mereka terlihat lebih formal meskipun hanya memakai baju rumahan,” jelas Riene.

Teknologi Berperan Besar dalam Edukasi dan Promosi

Dalam mengembangkan RS The Label, Riene selalu memaksimalkan pemanfaatan teknologi. Kehadiran teknologi, menurutnya, berperan besar dalam pemasaran produk, penjualan, edukasi masyarakat, hingga membantu trend forecasting.

“Kehadiran teknologi digital dalam dunia fashion tidak hanya dalam branding, pemasaran, atau jual beli, tetapi bisa membuat trend forecasting. Jadi selalu berinovasi dan kreatif dalam berbisnis,” katanya.

Menurut Riene, marketplace dan media sosial, terutama WhatsApp dan Instagram, adalah platform digital yang berpengaruh besar dalam perkembangan RS The Label. Kedepannya ia akan memanfaatkan platform digital lainnya, yakni media sosial Twitter.

Perencanaan Matang Dalam Urusan Modal

Ketika berbicara mengenai pinjaman modal untuk menopang bisnis, Riene berkata ia tidak menggunakan pinjaman modal untuk mengembangkan RS The Label. Menurutnya, terlalu banyak resiko yang perlu ia tanggung apabila menggunakan pinjaman. Lalu, ia pun membagikan tips dalam memulai dan mengembangkan usaha dengan modal yang ada.

“Tips dari saya ketika ingin membuat usaha atau mengembangkan usaha sebaiknya direncanakan dan diperhitungkan dengan matang untung ruginya. Jika ada aset selain rumah, sebaiknya aset tersebut yang dijual untuk dijadikan modal meskipun nominalnya tidak sesuai yang diharapkan itu tidak apa-apa. Mulailah dengan perlahan dan bertahap. Tidak perlu terlihat besar tetapi banyak konflik didalamnya.”

Rencana Go Global Di Era Digital

Soal mimpi, Riene memiliki banyak mimpi untuk RS The Label. Salah satu mimpinya yang akan terwujud dalam waktu dekat adalah memiliki toko offline. Toko tersebut nantinya juga akan dilengkapi dengan studio jahit untuk memberi kesempatan kepada konsumen belajar mengenai pembuatan zerowaste fashion.

Selain itu, ia juga memiliki harapan lainnya, yaitu agar RS The Label dapat selalu berkembang, berempati, dan berinovasi. Riene juga ingin RS The Label menjadi brand zerowaste fashion ternama di Indonesia dan go global dengan bantuan digitalisasi.

Sumber: Instagram @rsthelabel

”Saat ini, RS The Label sudah mendistribusikan produknya ke salah satu distrik di Singapore. Pastinya dengan teknologi digital, RS The Label bisa merambah ke negara-negara lain,” ujarnya.

Mempelajari Teknologi Sebagai Solusi Dapatkan Peluang di Era Digital

Semua pencapaian RS The Label tentu tidak diperoleh dengan mudah. Semua adalah hasil dari kemauan Riene untuk mempelajari teknologi. Untuk sesama pelaku UMKM di luar sana, Riene pun berpesan untuk mulai belajar dan terbiasa teknologi guna mendapatkan banyak peluang dan keuntungan.

“Mulai lah belajar. Jangan self-defense dulu sebelum mencoba. Mintalah orang-orang terdekat untuk mengajarkan cara penggunaan teknologi atau bisa mencari informasi melalui halaman pencarian seperti Google,” katanya.

Banyak sekali hal inspiratif dari kisah perjalanan Riene dalam mengembangkan RS The Label.

Meski konsep yang diusung oleh RS The Label masih jarang ditemui di Indonesia, namun hal itu tidak mengurangi tekad Riene untuk terus menciptakan berbagai inovasi produk yang minim limbah, serta menggunakan berbagai sumber yang ada untuk mengedukasi masyarakat.

Riene juga turut mengajak rekan UMKM lainnya untuk meraih banyaknya peluang, seperti yang ia temukan, dengan pemanfaatan teknologi yang maksimal.

Kailoka, Brand Kerajinan Kayu Lokal yang Terus Semangat Berinovasi di Tengah Kompetisi

Meski saat ini tengah ramai serangan brand luar ke dalam negeri, namun brand lokal masih mempertahankan eksistensinya dan terus berusaha mencuri hati masyarakat. Salah satu brand lokal yang semakin eksis, terutama di era digital seperti sekarang, adalah Kailoka.

Kailoka merupakan brand kerajinan kayu lokal yang banyak terbantu oleh adanya digitalisasi. Harizal, selaku Founder Kailoka, membagikan pengalaman berharganya dalam membangun Kailoka sebagai salah satu brand lokal yang bertahan dan berkembang di era internet.

Sebuah Solusi Pemanfaatan Kayu Sisa Furniture

Harizal merupakan seorang desainer interior sekaligus founder Kailoka. Dalam kesehariannya sebagai desainer interior, Harizal bercerita bahwa ia sering menemukan kayu-kayu sisa olahan furniture yang terbuang begitu saja.

Dari situlah ide untuk membuat bisnis yang memanfaatkan kayu muncul dan terbentuklah Kailoka yang namanya merupakan gabungan antara bahasa sunda dan sansekerta, Kai dan Loka.

“Kailoka adalah brand yang terdiri dari dua kata, bahasa sunda dan sansekerta, dimana Kai adalah Kayu dan Loka adalah tempat. Hal ini menggambarkan Kailoka adalah ide yang muncul karena profesi saya sebagai desain interior yang menemukan sering kali bahan kayu sisa olahan furniture yang terbuang,” kata Harizal.

Memulai dengan Segmen Market Luar Negeri

Tahun 2018 merupakan tahun yang mengawali perjalanan Kailoka dengan produk jam tangan ukir berbahan kayu. Meski kesulitan menarik minat market dalam negeri, namun dengan produk tersebut, Kailoka berhasil masuk ke pameran di Manila Fame.

“Kailoka dimulai 2018, dan mulai dengan produk jam tangan yang diukir, walaupun segmen market di indonesia masih kurang namun produk tersebut sempat membawa kailoka pameran di manila fame,” ujar Harizal.

Sumber: kailoka.com

Kemudian, di tahun 2019, Kailoka mulai berinovasi dengan merilis model-model baru yang menyesuaikan dengan target market dalam negeri.

Berhasil Bertahan dari Tekanan Ekonomi saat Pandemi

Jika membahas mengenai perjalanan bisnis di beberapa tahun terakhir ini, fenomena pandemi tidak bisa luput untuk dibicarakan. Banyak bisnis yang tersendat dari segi penjualan selama masa pandemi. Namun, untuk Kailoka, Harizal mengakui tidak mengalami hambatan dalam penjualan selama masa pandemi, melainkan proses produksi yang terganggu.

“Pandemi tidak mengganggu penjualan, namun mengganggu produksi kami dimana pekerja yang memproduksi mengalami tekanan ekonomi yang cukup kuat, sehingga mekanisme pembayaran yang sebelum pandemi digunakan tidak dapat digunakan lagi. Alhasil, produksi tersendat.”

Meski akhirnya sempat vakum pada 2020 akibat pandemi, Kailoka kini bisa kembali bangkit dan bertahan hingga sekarang. Di tahun 2021, proses produksi Kailoka kembali aktif dan penjualan mulai kembali berjalan lancar karena banyaknya fasilitas pameran dari pemerintah.

Tidak Menyerah dalam Menyuguhkan Produk Unik

Selain pandemi, tantangan lainnya yang dihadapi Kailoka menurut Harizal adalah menyuguhkan produk yang tidak hanya disukai, tapi juga unik dengan proses produksi yang mudah.

Sumber: kailoka.com

Tapi, meskipun hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi Kailoka, namun Kailoka selalu berhasil untuk terus berinovasi menciptakan produk unik dan memenuhi keinginan pasar. Sehingga, Kailoka tetap ada sampai sekarang di tengah kompetisi era digital dengan brand luar dan brand lokal lainnya.

“Kami tetap ada sampai sekarang di tengah – tengah kompetisi yang ada karena kailoka menanamkan semangat untuk tidak menyerah dan terus berinovasi untuk unik dan menenuhi kebutuhan atau keinginan pasar,” kata Harizal. 

Internet Berperan Besar dalam Setiap Proses

Berbicara mengenai peran internet bagi Kailoka, Harizal mengatakan bahwa internet memiliki peran sangat besar bagi Kailoka. Tidak hanya dari segi pemasaran, internet juga turut andil dalam proses pencarian ide dan proses produksi.

Dengan perkembangan internet yang cukup pesat belakangan ini, tak heran internet berperan besar dalam setiap proses perkembangan Kailoka. Kemajuan internet juga menghasilkan semakin banyaknya platform digital yang membantu bisnis berbagai skala berkembang.

Sumber: kailoka.com

Namun, bukan berarti sebuah bisnis harus menggunakan semua platform digital yang tersedia.  Penggunaannya tentu tetap memperhatikan kebutuhan bisnis atau brand itu sendiri agar tetap efektif.

Untuk Kailoka, platform digital yang paling berperan besar adalah website Kailoka sendiri. Website toko online merupakan platform digital yang dipilih oleh Kailoka yang menggunakan sistem checkout melalui WhatsApp alih-alih melalui website e-commerce.

Rencana Merambah Pasar secara Online dan Offline

Adanya digitalisasi memungkinkan banyak bisnis dapat merambah pasar yang lebih luas secara mudah. Hal itu juga merupakan rencana Kailoka ke depannya. Dengan semakin mudahnya akses masyarakat karena digitalisasi, maka semakin mudah juga bagi Kailoka untuk menjangkau target market lebih luas.

“Pasti (mau merambah pasar lebih luas). Bahkan bukan hanya pada proses pemasaran, Kailoka sedang mempersiakan produk jam kayu yang dikombinasikan dengan teknologi digital,” terang Harizal.

Selain merambah pasar secara online, Kailoka kini juga mulai mengembangkan toko secara offline. Saat ini, kailoka telah mendapatkan fasilitas untuk display produk di Galeri Patrakomala Dekranasda Bandung, tepatnya di Jalan Jakarta nomor 34 kota Bandung.

Tidak hanya itu, Kailoka juga membuka kesempatan untuk rekan-rekan dan keluarga yang ingin turut berpartisipasi dalam produksi proyek dengan mekanisme bagi hasil sebagai salah satu cara mengembangkan Kailoka.

Dengan strategi dan rencana yang sudah disiapkan, Harizal berharap ia dapat membawa Kailoka menjadi brand kerajinan kayu Indonesia yang dikenal luas.

Hambatan Terbesar Bukan Teknologi, Melainkan Kemauan

Bagi beberapa bisnis, umumnya bisnis yang sebelumnya offline based, teknologi terkadang menjadi hambatan. Tapi, bagi Harizal, teknologi sebenarnya bukanlah hambatan. Hambatan terbesar menurutnya adalah kemauan dan keberanian.

“Teknologi bukan hambatan, karena hambatan terbesar adalah kemauan dan keberanian. Apapun teknologi yang kita manfaatkan, maka penguasaan kita kepada teknologi tersebut yang menentukan kita berhasil atau tidak,” ujar Harizal.

Tanpa adanya kemauan dan keberanian yang besar, maka tidak hanya teknologi, apapun itu bisa menjadi hambatan. Sebaliknya, jika semua diawali dengan tekad yang bulat, maka tidak akan ada hambatan yang berarti, termasuk teknologi.

Banyak sekali yang dapat dipetik dari pengalaman yang dibagikan oleh Harizal dalam membangun Kailoka.

Mulai dari munculnya ide bisnis dari lingkungan sekitar, pemanfaatan teknologi yang maksimal namun tetap sesuai kebutuhan, kiat go digital, hingga kisah Kailoka yang terus bertahan di tengah kompetisi bisnis yang semakin sengit.

Karena nyatanya, membangun dan mempertahankan bisnis di era digital seperti sekarang tidaklah sulit asalkan diawali dengan kemauan dan keberanian yang besar, serta diiringi semangat untuk terus berinovasi.

Kreator Wiralagabae Berkarya Sambil Mengurangi Limbah Lewat Konten dan Bisnis Upcycle

Mendaur ulang barang atau limbah tidak terpakai menjadi sesuatu yang bernilai jual adalah salah satu solusi untuk menyelamatkan lingkungan. Upcycle adalah proses kreatif mengubah barang tidak terpakai menjadi sebuah barang yang memiliki nilai seni dan berguna. Saat ini sudah banyak sekali yang menekuni hobi upcycle. Salah satunya adalah Wira.

Wira Laga Bachtiar, pemilik akun Instagram Wiralagabae, merupakan seorang content creator dengan jenis konten pembuatan barang-barang upcycle. Tidak hanya membuat konten terkait upcycle, Wira kini juga mulai menekuni bisnis penjualan barang-barang hasil upcycle karya dirinya dengan bantuan digitalisasi.

Bagaimana kisah Wira hingga berhasil menghasilkan uang dan menjadi kreator sukses dari hobi upcycle? Berikut informasi yang dibagikan oleh Wira untuk Anda.

Bermula dari Hobi yang Dijadikan Konten

Bagi kebanyakan orang, barang-barang seperti botol bekas, gelas minuman plastik bekas, atau karet tutup galon tidaklah lebih dari sebuah sampah. Namun, bagi Wira, barang-barang tersebut adalah barang-barang yang menuntunnya hingga ke titik dimana ia berada sekarang.

Mulanya, ia tidak lebih dari hanya sekedar mencoba untuk membuat sesuatu yang berbeda dari barang-barang tak terpakai di sekitarnya. Hingga akhirnya percobaan tersebut menjadi sebuah hobi.

“Awal mula saya hanya mencoba-coba membuat sesuatu yang berbeda dari barang yang tidak terpakai di sekitar kita. Contohnya seperti membuat paperbag (dari) botol atau barang-barang lainnya yang kita anggap itu adalah sampah. Dan saya berfikir bahwa sampah ini bisa dikelola atau dikreasikan dengan model dan bentuk lainnya sehingga mempunyai nilai yang lebih dari sebelumnya,” ujar Wira.

Tidak hanya sampai di situ, kemudian Wira mulai membuat konten tentang hobinya tersebut sekitar dua tahun yang lalu. Ternyata, Wira mendapatkan respon positif dari pengguna media sosial yang menikmati kontennya. Dari situlah kemudian Wira fokus menekuni pembuatan konten dan bisnis barang-barang hasil upcycle-nya.

“Ketika saya membuat konten tentang up cycle itu banyak sekali komen positif dari para Netizen sampai sampai mereka ada yang mau membeli hasil karya up cycle saya. Dari sini saya berfikir ulang kenapa nggak saya bisniskan saja kenapa saya tidak membuat barang2 limited dari hasil upcycle,” lanjutnya.

Mengeksplor Internet untuk Mendapatkan Inspirasi

Inspirasi atau ide sangatlah penting bagi seorang content creator, termasuk Wira. Menurut Wira, era digital seperti saat ini sangat memudahkan ia dalam mencari inspirasi untuk konten-konten upcycle-nya. Banyak sekali platform yang bisa ia akses untuk mendapatkan inspirasi, mulai dari media sosial hingga platform search engine seperti YouTube dan Google. Hingga kemudian terciptalah barang-barang unik bernilai jual yang ia jadikan konten di media sosialnya.

“Dunia digital itu sangat mudah untuk diakses. Contohnya, saya mendapatkan inspirasi seperti di Pinterest, YouTube, Google, Facebook atau bahkan informasi-informasi dari sosial media lainnya. Inspirasi-inspirasi yang saya dapat dari beberapa sumber itu kemudian saya rangkum, lalu saya ubah sedikit menyesuaikan dengan barang yang akan saya upcycle, dan hasilnya akan menjadi barang-barang unik seperti yang sudah saya post di beberapa sosial media saya.”

Sangat Terbantu dengan Digitalisasi

Digitalisasi memang sangat memudahkan banyak orang, terutama para kreator dan pemilik bisnis. Wira juga mengaku bahwa digitalisasi berperan besar dalam karir dan bisnisnya. Menurutnya, digitalisasi sangat membantunya dalam menjangkau pasar yang lebih luas dengan konten-konten yang ia buat.

Bahkan, ketika pandemi, alih-alih semakin menurun, bisnis upcycle-nya justru mengalami perkembangan. Ia berpendapat bahwa hal itu dikarenakan meningkatkannya jumlah pengguna media sosial ketika pandemi.

“Justru pandemi yang kita alami kemarin itu membuat bisnis upcycle semakin berkembang karena rata rata orang di Indonesia ketika pandemi mereka banyak meluangkan waktu untuk di rumah. Nah, pada saat mereka di rumah, mereka itu sering ber-sosial media, sering membuka aplikasi sosial media yang di mana kesempatan kita sebagai kreator upcycle itu lebih banyak atau luas untuk di-notice oleh viewer,” kata Wira.

Prospek Bisnis Menjanjikan di Masa Depan

Bisnis upcycle memang masih terdengar asing di telinga banyak orang. Meski begitu, bukan berarti bisnis ini tidak memiliki prospek. Menurut Wira, prospek bisnis upcycle di Indonesia sangatlah menjanjikan.

“Untuk prospek bisnis upcycle sebenarnya sangat menjanjikan untuk di kemudian hari karena selain mengurangi limbah atau sampah, barang-barang yang dihasilkan dari upcycle itu tergolong unik dan pasarnya sudah ada baik dalam negeri maupun luar negeri.”

Jadi, selain mengurangi limbah, Anda juga bisa menghasilkan uang karena semakin banyaknya minat masyarakat terhadap produk-produk hasil upcycle seperti yang dibuat oleh Wira.

Selalu Update Tren adalah Kunci Bertahan

Siapapun bisa untuk mulai menekuni konten dan bisnis upcycle. Meski sering mengalami kendala, terutama perihal pesanan barang yang terbatas, namun Wira tetap mendukung dan memberikan pesan untuk siapapun itu yang ingin menggeluti bidang yang sama dengannya.

“Tips untuk pemula yang baru ingin menggeluti dunia upcycle, sering-seringlah mencari informasi dan tren-tren saat ini. Dengan begitu, kita bisa menyesuaikan hasil upcycle dengan model-model yang tidak ketinggalan jaman.”

Bermimpi untuk Memiliki Brand Sendiri

Setiap bisnis tentu memiliki harapan dan rencana ke depannya. Ketika berbicara hal tersebut, Wira mengungkapkan bahwa ia saat ini masih ingin menggeluti pembuatan konten dan bisnis upcycle-nya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa ia ingin untuk memiliki brand sendiri suatu saat dengan tema yang masih berhubungan dengan upcycle.

Dengan eksplorasi tanpa batas di era digital seperti saat ini, Wiralagabae berhasil menarik minat banyak orang lewat konten upcycle yang ia buat sejak dua tahun lalu.

Selain berkarya, Wira juga turut andil dalam mengurangi limbah sampah dan mengedukasi masyarakat bahwa sampah bisa diubah menjadi barang bernilai jual. Tertarik mengikuti jejak Wira?

Jingga Syrup, Brand Sirup Lokal Setara Impor yang Punya Sejuta Misi

Jingga Syrup merupakan brand sirup lokal yang hadir sejak 2019. Brand sirup yang dirintis oleh pemuda berusia 27 tahun asal Malang, Jawa Timur, Chistian Bobby Chandra atau akrab disapa Bobby ini, menyediakan beragam varian produk sirup untuk berbagai kebutuhan.

Bisnis yang dirintisnya dari nol ini menyasar sesama pelaku industri kuliner atau food and beverages (F&B) seperti coffee shop, kafe, restoran, hingga hotel sebagai target marketnya. Selain itu, juga menerima pesanan untuk kebutuhan konsumen pribadi.

“Mulanya, Jingga Syrup menargetkan segmentasi market menengah ke bawah, tapi seiring berjalan waktu, brand ini turut menjangkau market menengah ke atas. Mulanya juga hanya sebagai menu di kedai kopi sendiri, kini bisa jadi supplier untuk usaha lain,” jelas Bobby.

Dengan menyediakan berbagai kebutuhan menu usaha, mulai dari produk sirup dengan beragam varian rasa, powder sirup, powder kopi, gelas dan kebutuhan bar lainnya. Saat ini, Jingga syrup saat ini sukses memiliki banyak cabang di sejumlah wilayah Jawa Timur, dari Malang, Blitar, Jombang dan Banyuwangi.

Pandai Baca Peluang dari Tren Pasar

Saat awal mendirikan bisnis, Bobby selaku owner Jingga Syrup, membuka usaha kedai kopi bernama Kopi dari Jingga. Lalu, pada 2018, ia mengamati kedai kopi lain sebagai kompetitor bisnisnya kian menjamur di Malang.

Guna memenangkan persaingan pasar saat itu, Bobby berniat melakukan inovasi menu agar menjadi keunggulan bisnisnya kala itu. Ia lalu bereksperimen membuat sirup sendiri, berdasarkan riset dan keahliannya.

Menurutnya, pembuatan menu minuman dengan bahan dasar sirup sangat mudah dan cepat. Cukup dengan menuangkan sirup, es batu dan susu, minuman siap disajikan, kata Bobby. Sementara, pada bahan lain, perlu melewati proses menimbang, melarutkan dan sebagainya yang memakan waktu cukup lama.

“Saya juga lihat peluang di industri F&B, menu minuman menggunakan bahan sirup sedang naik daun, tetapi pemain sirup lokal masih jarang. Saat itu, pelaku bisnis di industri F&B kebanyakan ambil produk impor untuk dapat sirup berkualitas bagi menu mimumannya,” ujar Bobby.

Lahirkan Produk Sirup Lokal Setara Impor

Mulanya, Bobby mengamati bisnis coffee shop dengan konsep takeway express sedang sangat digandrugi konsumen. Saat itu, banyak brand kopi yang menyediakan menu dengan bahan dasar flavour powder atau bubuk perasa.

Ketika ia melakukan riset soal bahan dasar tersebut, ia mendapati bahwa ternyata pembuatan minuman dengan bahan dasar flavour powder itu membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, menurutnya kurang efisien dan dapat menghambat produktivitas.

“Lalu, saya buat semacam solusi dari sirup yang varian rasanya serupa dengan yang ada di bahan dasar powder. Alasannya, agar pembuatan minuman menjadi lebih cepat dengan menggunakan sirup,” kata Bobby.

Akhirnya, pada 2019, Bobby mulai memasarkan produk hasil eksperimennya itu. Di tahun yang sama, bisnis kedai kopinya yang semula bernama ‘Kopi dari Jingga’ rebranding menjadi ‘Jingga Syrup’ yang bertahan hingga kini.

Produk Jingga Syrup mulai digemari pasar karena keunikan dan solusi efisiensi yang ditawarkannya. Selain itu, dari segi kualitas, produk sirup lokal satu ini menerapkan standar yang bagus, setara dengan produk impor.

“Produk lokal dengan standar yang hampir sama dengan sirup impor itu jarang sekali. Produk Jingga Syrup punya kualitas yang sama dengan produk impor, tapi dijual dengan harga yang terjangkau,” kata Bobby.

Produk Jingga Syrup dijual dengan kisaran harga mulai dari 50 hingga 85 ribu rupiah per liter. Sementara, kompetitor dari brand sirup asing seperti dari Perancis, Malaysia dan lainnya, menjual dengan kisaran harga 120 ribu ke atas untuk ukuran 750ml saja.

Rintis dari Bawah, Kini Bantu UMKM Lain Naik Kelas

Selain karena berbagai keunggulan produknya, Bobby mengatakan, salah satu kunci sukses Jingga Syrup adalah karena keunggulan pelayanannya. Sebagai brand sirup lokal dengan ambisinya bersanding sebagai kompetitor asing, Jingga Syrup menawarkan kualitas pelayanan yang lebih unggul.

“Kami tak sekadar menjual sirup, tetapi juga memberikan product knowledges. Kami membantu pelaku bisnis sebagai konsumen kami dalam menciptakan dan mengembangkan menunya. Itu yang tidak didapatkan dari brand sirup impor,” jelas Bobby.

Jingga Syrup mengaku memiliki misi membantu UMKM atau kedai-kedai kecil yang ingin naik kelas, melalui eksplorasi menu. Misalnya, dengan membuat menu kopi rasa buah-buahan, seperti kopi susu rasa durian, kopi susu rasa pisang, dan semacamnya.

Selain itu, brand sirup lokal satu ini juga mengajari UMKM di industri serupa terkait cara menghitung harga produk atau harga pokok penjualan (HPP). “Saya bantu mereka hitung costing produk, saya beri menu dengan HPP murah, dengan kualitas rasa yang bagus,” kata Bobby.

Menurutnya, hal itulah yang membuat Jingga Syrup unggul di mata konsumen. Umumnya, pembekalan pengetahuan yang diberikan oleh brand sirup impor akan dikenakan tarif khusus. Sementara, Jingga Syrup memberi pengetahuan terkait eksplorasi menu itu secara gratis.

Tak sampai di situ, Jingga Syrup juga membuka kesempatan bagi UMKM yang ingin bekerja sama, seperti titip jual. UMKM yang belum memiliki toko sendiri dapat menitipkan produknya di toko Jingga Syrup. Ada pun produk yang dititipkan biasanya berupa keperluan bar, teh, kopi, gelas, dan lainnya yang masih berkaitan dengan produk brand sirup satu itu.

Terus Berkembang Berkat Digitalisasi

Dengan sejuta misi yang dimilikinya, Jingga Syrup tak terbatas pada penjualan offline di ke empat cabangnya di wilayah Jawa Timur. Brand sirup ini juga melebarkan pasarnya dengan merambah pasar digital lewat e-commerce.

Jingga Syrup memulai toko online-nya di sejumlah e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak dan Lazada saat itu dari nol. Tanpa mengeluarkan modal seperti untuk iklan atau yang lainnya.

“Kami juga memiliki reseller dan konsumen e-commerce yang tersebar di setiap daerah di Indonesia, mulai dari Jabodetabek, Yogyakarta, Bali, Maluku hingga beberapa wilayah Kalimantan,” ungkapnya.

Menurut Bobby, hingga kini Jingga Syrup telah berkembang jauh sejak awal merintis. Ia mengungkapkan, dahulu ia masih kesulitan mengatur manajemen keuangan bisnisnya. Secara brandnya benar-benar berangkat dari nol dengan modal awal hanya 300 ribu rupiah, tanpa investor, tanpa pinjaman modal.

“Jadi memang kami mengembangkan bisnis ini tidak bisa terlalu cepat. Perlahan namun ada progress yang baik. Ini berkat adanya e-commerce juga, yang membantu penjualan kami. Terlebih, saat dilanda pandemi Covid-19 dengan segala peraturannya saat itu,” papar Bobby.

Misi Sosial Berdayakan Masyarakat Lewat Sirup

Dengan segala tantangan bisnis yang dihadapi Jingga Syrup, Bobby bersama timnya yang saat ini berjumlah 25 orang, berhasil mempertahankan bahkan mengembangkan brand sirup lokal tersebut hingga seperti sekarang ini.

“Sebenarnya yang membuat kita bertahan sampai sekarang itu, karena prinsip awal Jingga Syrup yang simpel. Intinya, kalau kami tidak berjualan, kami besok tidak bisa makan. Itu mindset yang saya terapkan kepada tim saya juga,” katanya.

Tim Jingga Syrup sendiri tak sedikit yang berasal dari anak-anak komunitas punk yang tidak sekolah, tidak lulus sekolah, tetapi punya potensi diri. Misalnya, anak punk yang mempunyai skill desain dan lainnya.

“Jadi saya punya misi memberdayakan masyarakat, saya sangat mendukung komunitas dalam kota, seniman dalam kota, dan UMKM lokal. Melalui prinsip Jingga Syrup yang simpel iti, saya upayakan bantu mereka agar bisa terus berkembang,” jelas Bobby terkait ambisinya.

Brand Lokal Popsiklus: Upcycling Barang Bekas Jadi Produk Bernilai Tinggi

Popsiklus merupakan brand lokal yang bergerak di bidang seni rupa terapan atau craft. Brand lokal satu ini populer dengan konsep ramah lingkungan yang diusungnya, yakni upcycling atau menghidupkan kembali bahan-bahan bekas pakai menjadi barang fungsional yang artistik.

Sebagai informasi, istilah upcycling berbeda dengan recycling yang lebih umum di masyarakat. Upcycling merupakan proses daur ulang barang bekas menjadi barang dengan manfaat baru, tanpa menghilangkan bentuk aslinya. Sementara, pada proses recycling, bentuk asli barang bekas dihancurkan untuk diolah menjadi barang yang lain.

Baru-baru ini, Popsiklus baru saja mendapat kehormatan dari ajang perhargaan UNESCO bagi para pengrajin lokal yakni Indonesia Handicraft (Inacraft) Awards 2022. Brand lokal ini memenangkan kategori produk other materials atas produk upcycle yang diusungnya.

Bisnis kerajinan daur ulang yang telah berdiri sejak 2009 ini diinisiasi oleh Kurniati Rachel Sugihrehardja atau akrab disapa Nia. Mula-mula berdiri, Nia menggunakan nama ‘Bikinbikincraft’ pada brand yang dirintisnya, sebelum akhirnya berganti nama menjadi ‘Popsiklus’, yang digunakan hingga sekarang.

Dari Karton Susu Bekas Jadi Barang Berkualitas

Sejak awal berdiri, Nia konsisten menghasilkan produk-produk daur ulang artistik bernilai tinggi yang diolah dari limbah rumah tangga. Produk-produk Popsiklus yang dihasilkan antara lain tas besar, totebag, dompet, notebook hingga cable holder. Menyasar market kelas menengah ke atas, produk tersebut dipatok dengan kisaran harga jual 395 ribu hingga 550 ribu rupiah.

Terciptanya beragam produk Popsiklus sendiri bermula dari tumpukan karton susu bekas milik Nia di rumah. Ia melihat, limbah tersebut kerap kali enggan dilirik oleh petugas pengangkut sampah. Akhirnya, dari sana ia melihat secercah potensi cuan.

Berdasarkan pengamatannya, karton susu bekas itu mempunyai bentuk dan struktur bahan yang kuat. Menurut Nia, potensi ini dapat menjadi peluang baginya untuk berkreasi menciptakan sesuatu yang bermanfaat.

“Dari tumpukan karton susu bekas yang ada di rumah itu, lahirlah ide untuk memberi jiwa dan fungsi baru, dengan upcycling atau menghidupkan kembali karton susu bekas pakai  yang siap buang menjadi barang fungsional yang artistik,” kata Nia.

Alur Produksi Produk Popsiklus

Proses pembuatan produk Popsiklus dikerjakan oleh tangan Nia langsung serta dibantu oleh lima orang pegawainya, yang terdiri atas tiga pekerja tetap dan dua pekerja lepas. Nia berkata, proses produksi yang dijalaninya itu tidaklah sederhana.

Dalam menciptakan satu produk upcycling artistik bernilai tinggi itu, Nia membutuhkan banyak karton susu bekas sebagai bahan baku. Misalnya, pada produk unggulan Popsiklus yakni tas besar, diperlukan sebanyak 11 hingga 12 buah karton susu bekas.

“Lalu, waktu yang diperlukan dalam proses pembuatan tas tersebut memakan kurang lebih lima hingga tujuh hari kerja,” jelas Nia.

Ia juga bercerita bahwa pembuatan produk Popsiklus, bergantung pada ketersediaan limbah karton susu bekas yang dimiliki dan diterimanya. Jadi, produknya tidak memiliki target stok atau produksi yang tetap.

“Saya hanya membuat produk sesuai dengan limbah yang tersedia, karena bahan bakunya sendiri juga memerlukan proses yang cukup lama untuk siap diolah,” katanya.

Sebelum karton susu bekas tersebut disulap menjadi produk daur ulang siap pakai, ada beberapa tahapan produksi yang dilewati. Mulai dari pengumpulan limbah karton susu sebagai bahan baku utama, hingga siap diolah menjadi produk siap jual.

“Pengumpulan limbah karton susu tidaklah mudah karena saya menggunakan karton susu dalam kondisi apa adanya, tidak melalui proses penghancuran, sehingga kondisi karton susu bekas pakai harus nya sangat prima,” ungkap Nia.

Nia mengungkapkan bahwa Popsiklus memiliki syarat dan ketentuan yang ketat, untuk limbah karton susu yang dikumpulkan, baik yang datang dari timnya atau dari para pendonasi limbah. Ia mengaku tidak akan menerima limbah karton susu yang belum di cuci bersih.

Setelah steril, karton susu bekas tersebut akan dipotong secara manual, satu demi satu, sebelum akhirnya melalui tahapan menciptakan tekstur bahan. Setelah itu, bahan baku dari bahan bekas tersebut akan dijahit menjadi sebuah produk, yang juga akan dipadupadankan dengan material lain untuk mempercantik tampilan produk.

Tantangan Popsiklus dalam Digitalisasi Bisnis

Selang beberapa tahun sejak berdiri, Popsiklus mulai berani mengenalkan produknya lebih luas lagi ke masyarakat, melalui penggunaan media sosial, seperti Instagram. Dari platform tersebut, konsumennya dapat mengenal hingga melakukan pemesanan produk.

Hingga kini, Popsiklus masih aktif mempromosikan produknya di Instagram. Sebagai pemilik, Nia rajin membagikan foto produk unggulannya, berikut dengan cerita terkait setiap produk dari brand yang ia bangun tersebut.

Pemanfaatan platform media sosial menjadi upaya digitalisasi bisnis yang dilakukan Popsiklus. Namun, Nia mengaku digitalisasi bisnis pada brand-nya saat ini belum maksimal. Terdapat kendala yang menjadi tantangan tersendiri baginya dalam melakukan digitalisasi tersebut.

Pertama, Popsiklus belum dapat melebarkan sayap usahanya dengan pemanfaatan e-commerce atau marketplace. Alasannya karena terdapat kendala teknis. Nia menilai, produk Popsiklus tidak dapat diproduksi secara cepat.

“Jadi, saat ini Popsiklus baru hadir di media sosial melalui Instagram saja. Selebihnya, pemesanan hingga pembelian produk dapat dilakukan melalui WhatsApp, atau secara offline di acara bazaar,” kata Nia.

Kedua, Nia merasa sebagai brand yang memproduksi barang upcycling, tidak ideal bagi konsumen Popsiklus melakukan pembelian secara online. Ia berkata bahwa konsumennya perlu memegang langsung sebelum membeli.

“Rasanya tidak ideal kalau tidak lihat langsung. Gak kebayang, gitu, bagaimana produk upcycling yang dibuat dari karton susu bekas. Jadi, memang lebih enak kalau bisa pegang langsung,” tegasnya.

Misi ‘Go Green’ di Balik Produk Seni Rupa

Selain fokus menciptakan produk daur ulang artistik berkualitas, brand lokal yang mengusung slogan “reimagining waste” atau memikirkan kembali limbah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan ini, memiliki misi untuk mempopulerkan semangat siklus daur ulang limbah.

Tujuannya, agar limbah rumah tangga seperti karton susu bekas tidak langsung berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020, limbah rumah tangga menjadi penyumbang terbesar komposisi sampah nasional, yakni sejumlah 37,3% dari total 67,8 juta ton sampah yang ada.

Popsiklus meyakini bahwa segala sesuatu memiliki potensi untuk di dayagunakan kembali, salah satunya karton susu bekas pakai. Brand lokal yang berlokasi di Cimahi, Jawa Barat ini, masih berkomitmen menggunakan barang bekas pakai pada sebagian besar produknya.

“Kami berharap semangat untuk mempopulerkan siklus daur ulang dapat terus ditularkan kepada lingkungan terdekat sekitar, dan dapat melakukan pengembangan produk dengan teknik, bahan dan variasi desain lainnya.” ujar Nia terkait misinya.

Lebih jauh dari itu, Nia berharap agar kedepannya masyarakat dapat lebih peduli dan tanggung jawab atas sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari, supaya tidak merusak lingkungan. Apalagi, saat ini sampah menjadi sumber permasalahan serius bagi lingkungan, yang tak kunjung terselesaikan.

the able art

Perjalanan The Able Art, Bisnis dengan Misi Sosial yang Optimis Bangkit Pasca Pandemi

Seperti yang kita ketahui, pandemi memang berdampak kepada sebagian besar bisnis. Terutama mereka yang penjualannya tidak sepenuhnya mengandalkan platform penjualan online, seperti The Able Art.

The Able Art adalah sebuah bisnis berbasis social enterprise yang mereproduksi lukisan para seniman difabel menjadi produk fashion, seperti pouch, tote bag, dan scarf. Sebagai bisnis di bidang seni yang memiliki social value, The Able Art mengandalkan platform digital dan pameran offline sebagai sarana penjualan.

Lalu, bagaimana nasib The Able Art saat dan pasca pandemi? Apa yang membuatnya bertahan hingga saat ini? Simak perjalanan penuh pembelajaran The Able Art yang dibagikan oleh Tommy, Founder The Able Art, berikut ini.

Terinspirasi dari Tayangan “Melukis dengan Hati” Kick Andy

The Able Art merupakan sebuah ide bisnis yang datang setelah Tommy melihat program Kick Andy dengan tema “Melukis dengan Hati”.

Pada tayangan tersebut, Bapak Sadikin Pard dan Winda, seniman pelukis difabel, menjadi narasumbernya. Dari situ, muncul keprihatinan Tommy terhadap kondisi para seniman difabel di Indonesia yang juga menjadi awal perjalanan The Able Art.

Setelah itu, Tommy melakukan riset serta berdiskusi dengan Bapak Sadikin Pard di Malang. Setelah ia yakin dengan rencananya, Tommy pun melepaskan karirnya di bidang IT untuk fokus mendirikan The Able Art dan meningkatkan kesejahteraan para seniman difabel.

Kemudian, pada 3 Desember 2007, The Able Art resmi berdiri dan beroperasi hingga sekarang dengan total 7 seniman dan 1 sanggar lukis per tahun ini.

Memulai dengan Zero Knowledge di Bidang Fashion

Berangkat dari latar belakang IT, Tommy memulai The Able Art dengan nol pengetahuan pada bidang fashion, seni, dan retail. Fakta ini, diungkapkan oleh Tommy, membuat perjalanan The Able Art bak roller coaster karena perlu melakukan banyak trial and error.

 

the able art
Tote Bag The Cat by The Able Art

 

the able art
Hijab Lotus by The Able Art

“Perjalanan TAA bukan perjalanan yang mulus. Perjalanan kami seperti roller coaster. (Kami) memulai dengan zero knowledge tentang fashion, lukisan, dan bisnis retail karena background saya IT. (Hal ini) membuat awalan TAA seperti meraba-raba dan banyak melakukan trial and error baik di sisi produksi, penjualan, dan partnership dengan seniman,” ujar Tommy.

Meski begitu, pada tahun 2018, akhirnya The Able Art menemukan konsistensinya setelah mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar Incubator untuk social enterprise yang juga membawa The Able Art memenangkan beberapa kejuaraan e-commerce.

“Pada tahun 2018, kami mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar inkubator untuk social enterprise. Dari situ kami mulai menemukan konsistensi baik di produksi dan membawa kami menjadi Top 100 Blibli The Big Start 2018, dilanjutkan dengan menjadi juara 3 di Tokopedia MAKERFEST Nasional 2018,” lanjutnya.

Tidak berhenti sampai di situ, The Able Art kemudian mendapatkan kesempatan berharga untuk bisa diwawancarai oleh Andy F. Noya di program yang mengilhami bisnisnya, yakni Kick Andy. Sejak saat itu, penjualan The Able Art, baik online maupun offline, meningkat.

Menyisihkan Profit untuk Seniman Pemula

Tidak hanya fokus dalam menghasilkan profit melalui penjualan online dan offline, The Able Art juga memiliki misi untuk mendukung dan melatih seniman-seniman pemula.

Misi tersebut diwujudkan The Able Art dengan menyisihkan 5% dari profit untuk menyediakan alat lukis guna para seniman pemula berlatih.

Selain didukung dalam bentuk peralatan lukis, para seniman pemula juga diberikan bimbingan dan masukan dari para seniman-seniman senior The Able Art dan guru-guru sanggar lukis.

“Untuk seniman pemula, kami menyisihkan 5% dari profit kami untuk support alat lukis seperti cat dan kanvas untuk mereka berlatih, dan kami juga memberikan bimbingan dan masukan untuk mereka melalui seniman-seniman yang sudah senior dan guru sanggar lukis yang menjadi partner kami,” jelas Tommy.

Perjalanan Bangkit Pasca Pandemi

Penjualan Menurun Drastis saat Pandemi Covid-19

Badai pandemi Covid-19 diketahui menumbangkan banyak usaha. Meskipun penjualan sempat menurut drastis akibat tidak adanya event-event offline, tapi The Able Art berhasil survive selama 2 tahun terakhir ini.

“Sejak badai Covid-19 di Maret 2020 melanda, kami mengalami penurunan penjualan yang drastis karena event-event offline tidak bisa dilaksanakan dan ekonomi tidak menentu. Setelah survive dua tahun, kami siap dan sangat yakin bisa bangkit dan lompat lebih tinggi lagi daripada tahun-tahun sebelumnya,” kata Tommy.

Menata Ulang Strategi Penjualan

Sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2020, The Able Art aktif dalam menggunakan platformplatform online, seperti WhatsApp, media sosial Instagram, dan e-commerce Tokopedia, sebagai sarana berjualan.

Diakui oleh Tommy, penggunaan platformplatform tersebut cukup efektif dan menghasilkan bertambahnya penjualan.

Platform yang kami gunakan antara lain melalui WA, IG dan tokopedia untuk promosi dan penjualan. So far, penjualan bertambah dari tahun 2017 sampai 2020 awal.”

Tapi, sayangnya, sejak pandemi, penjualan menurun secara drastis, sehingga Tommy dan tim perlu menata strategi baru agar penjualan produk The Able Art kembali konsisten.

Tekad Menjadi Salah Satu Kunci untuk Bertahan

Memulai bisnis di bidang fashion, seni, dan retail dari nol memang bukanlah sesuatu yang mudah. Meski terlihat mulus dan indah, tapi nyatanya banyak kesulitan yang dihadapi oleh The Able Art sebagai bisnis berbasis social enterprise.

Tommy menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seringkali datang ketika melakukan penjualan online. Ketika berjualan online, sulit bagi The Able Art menonjolkan social value yang dimilikinya.

 

the able art

 

“Kesulitannya lebih ke arah saat menjual online. Kami tidak bisa menonjolkan social value yang kami miliki dan buyer cenderung cari product yang lebih murah.”

Meskipun begitu, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi alasan The Able Art untuk menghentikan niat baiknya. Tekad, visi, dan misinya sejak awal, yang ingin berperan untuk bisa mendukung para seniman difabel, menjadi alasan utama The Able Art bisa bertahan sampai sekarang.

Merambah Pasar B2B hingga NFT

Ketika berbicara soal inovasi, Tommy menjelaskan bahwa The Able Art melakukan inovasi pada beberapa hal, salah satunya produk. The Able Art kini telah memiliki lebih banyak jenis produk jika dibandingkan saat pertama kali berdiri.

Kemudian, The Able Art juga mulai menjalin hubungan dan berdiskusi dengan perusahaan enterprise sebagai langkah nyata masuknya ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya fokus kepada B2C.

“Kami mulai masuk ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya B2C, dimana kami banyak berdiskusi dengan perusahaan enterprise untuk bisa berperan dalam ‘giving back to society’,” katanya.

Tidak hanya itu, The Able Art kini juga mulai merambah NFT sebagai platform untuk menjual lukisan digital.

Berpesan untuk Para Pegiat Usaha Lain di Luar Sana

Sejak pandemi, keputusan untuk go digital sudah bukan merupakan pilihan lagi, melainkan suatu keharusan. Meskipun untuk The Able Art peran offline belum bisa ditinggalkan karena dinilai lebih efektif untuk menonjolkan social value, namun Tommy tetap mengakui tanpa platform digital bisnis akan sulit untuk berkembang.

“Tanpa digitalisasi, bisnis kita akan sulit untuk berkembang karena market sekarang lebih besar digital walaupun peran offline juga belum bisa sepenuhnya ditinggal, terutama untuk bisnis yang memiliki social value yang membutuhkan tatap muka diskusi untuk menjelaskan value-nya.

Maka dari itu, Tommy berpesan kepada pelaku bisnis di luar sana untuk mulai go digital. Entah dengan cara belajar sendiri atau merekrut talenta muda yang lebih paham dunia digital untuk membantu mengembangkan bisnis.

Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, terutama dalam menyampaikan social value-nya, The Able Art tetap semangat untuk terus mewujudkan misinya dalam memperjuangkan kesejahteraan seniman difabel dan memperkenalkan karya mereka ke dunia yang lebih luas. Tentunya dengan bantuan digitalisasi.

n

Kisah Sukses Masakan Ibu Tutu: Tak Ragu untuk Mulai Hal Baru

Salah satu problematika yang sering kita temui ketika hendak memulai suatu usaha ialah takut untuk memunculkan ide baru. Padahal, justru perilaku inilah yang menjadi kunci kegagalan Anda. Memunculkan hal baru  memang terasa asing. Takut jika ide kita tidak diterima masyarakat itu memang wajar. Namun, ini sebenernya merupakan ‘turning point’ Anda untuk menjadikan usaha Anda berbeda dari yang lain.

Begitu juga dengan Bu Nina. Wanita bernama lengkap Gusti Noor Nisrina Khairia ini berani mencetuskan ide yang bisa dibilang sangat baru di dunia bisnis kuliner. Ya, produk Roti Cocol yang ia cetuskan sejak Juli 2019 lalu sukses besar di pasaran. Hal ini karena wanita asal Surabaya ini berani ambil langkah baru untuk bisnisnya.

Roti Cocol, atau yang biasa disebut dengan Rotcol adalah baked bread yang dipanggang di tray bulat dan disajikan dengan saus cocolan di tengahnya. Variannya pun banyak, mulai dari smoked beef, cheese, tuna, palm sugar, dan masih banyak lagi. Namun menu top andalan mereka adalah rotcol varian sweet butter yang sangat digandrungi oleh para konsumen.

Usaha Ibu dan Anak

IMG WA
Usaha milik duo mother and daughter

Yang menarik, bisnis berlabel Masakan Ibu Tutu ini didirikan oleh ibu dan anak yang sama-sama memiliki keahlian memasak. Foundernya ialah Ibu Nina sendiri. Sedangkan Ibu Zulfia Arifni yang lebih akrab disapa Ibu Tutu ini berperan sebagai co founder. Sebenarnya, Ibu Tutu telah mengawali usaha kuliner seperti ini dari tahun 1993, mulai dari membuat cookies, cake, siomay dan lain-lain. Namun, pemasarannya hanya sebatas ranah teman-teman terdekat saja. Baru ketika Bu Nina lulus kuliah di tahun 2017, ia berpikir untuk mengajak ibunya untuk berbisnis bersama.

“Waktu itu, beberapa bulan setelah lulus kuliah saya ikut bazar. 10 hari berturut-turut kita jual siomay batagor. Itu pertama kalinya itu kita melayani customer secara langsung, dan habis itu kita merasa tertantang. Kayaknya seru juga jualan kayak gini. Dan akhirnya kita mutusin untuk menseriusi bisnis bareng. Akhirnya 2017 itu kita mulai waktu itu dengan jualan mie ayam mie ayam. Terus ada juga produk seperti schootel, rice box, snack box, dll.”

Pertama di Indonesia

IMG WA
Roti Cocol pertama di Indonesia

Inilah yang menjadikan produk ini diminati banyak orang. Selain karena harganya terjangkau sehingga dapat dinikmati semua kalangan, produk ini juga mengusung konsep fresh yang membuat para konsumen tertarik untuk mencicipinya. Ya, ide ini murni dari sang founder. Ternyata, ada kisah menarik di balik munculnya roti cocol ini.

“Ceritanya cukup unik. Jadi sebelumnya tuh memang Ibu Tutu  sudah sering bikin roti, tapi hanya untuk kita konsumsi sehari-hari aja. Suatu hari, ketika pergi ke toko bahan kue itu saya lihat ada tray aluminium bulat. Tapi waktu itu belum ada pikiran buat beli sih, karena kayak belum tau mau buat apa. Nah selang beberapa hari setelah itu, pas kita berdua ngobrol, tiba-tiba terlintas ide buat bikin roti cocol. Saya utarakan ke Mamah. ‘Mah yuk bikin roti cocol’. ‘Apa roti cocol?’  ‘ya roti, ntar kita bikin di tray bullet, tengahnya ada cocolan. Yaudah coba aja gitu,’”, cerita Bu Nina.

Sejak awal dibuat, Bu Nina memang sangat optimis kalau produknya ini akan disukai dan digandrungi banyak orang, karena memang belum pernah ada produk yang sama sebelumnya. Produknya juga beda dari yang lain. Varian awal yang dijadikan eksperimen adalah roti sosis dengan cocolan saus keju.

Hal ini karena Bu Nina lebih menyukai roti varian rasa gurih. Kemudian, Bu Tutu mengembangkan roti varian rasa manis, yang saat ini justru menjadi signature produk mereka, yaitu Sweet Butter.

Sukses Berkat Konsistensi Bahan

n
Dibuat dengan bahan berkualitas, tanpa telur dan pengembang kue.

Hingga kini, duo ibu dan anak ini belum ada rencana untuk hiring karyawan lain. Dengan kemampuan di dapur yang berbeda, mereka bisa bekerja dan saling melengkapi untuk menciptakan produk dengan cita rasa tinggi. Sebelum memutuskan untuk merintis usaha ini, mereka terbiasa untuk membuat orderan sendiri-sendiri dengan produk dan target market yang berbeda.

Namun, walaupun usaha mereka hanya dirintis berdua dan mengandalkan alat-alat rumahan saja, kualitas produk mereka patut disamakan dengan tingkatan medium to high class. Itu karena mereka selalu menjaga kualitas bahan produk. walaupun kerap kali mengadakan promo, mereka tetap mengutamakan kejujuran.

Foto produk yang ditampilkan di sosial media adalah produk sama dengan yang mereka jual dengan tidak mengurangi Bahan baku dalam proses produksi sama sekali. Dengan begitu, pelanggan pun merasa tak dibohongi oleh foto semata.

Seperti halnya bisnis lainnya, usaha Masakan Ibu Tutu ini juga pernah mengalami masalah, yakni saat naiknya harga bahan baku.

“Ada beberapa produk bahan baku yang kenaikan harganya itu tidak diiringi dengan bertahannya kualitas. Karena harganya itu naik terus. Kadang agak bingung juga sih. kenaikan harga bahan baku ini nggak bisa kita barengi dengan kenaikan harga jual. Karena kan dikondisi pandemi seperti ini kita juga menjaga supaya customer tetap setia dengan produk buatan kita.” Ujar Bu Nina.

“Namun, kami tetap bersyukur dengan apa yang sudah kami jalani. Walaupun sebenernya belum bisa dibilang besar, tapi alhamdulillah usaha ini bisa bertahan di tengah kondisi pandemi seperti ini. Usaha kami masih terus produksi hampir tiap hari dan bahkan mendapatkan customer-customer baru setiap harinya.”tambah Bu Tutu.

Tak Ragu tuk Mulai Suatu Hal Baru

Saat ini, promosi produk Masakan Ibu Tutu ini dilakukan melalui via sosial media, seperti via Instagram dan WhatsApp. Waktu awal peluncuran, mereka menggunakan jasa promosi dari foodies di Instagram. Namun selebihnya promosi dilakukan mengikuti alur saja, entah itu story by story, post by post, atau mouth to mouth. Postingan Instagram mereka yang apik nan menggoda selalu membuat netizen tertarik untuk mencoba produk mereka. Kini, followers Instagram akun mereka hampir menembus angka 3000.

Saking suksesnya, pernah suatu kali di tahun 2020, ibu dan anak ini menerima orderan Roti Cocol sebanyak 100 tray sekaligus. Dengan peralatan seadanya yang terbatas, berbekal dengan tekad yang kuat, mereka berhasil menyelesaikan pesanan ini. Terbayar sudah letihnya 29 jam kerja non-stop mereka. Pekerjaan ini melatih mereka untuk selalu bersabar, tekun, dan memiliki manajemen waktu yang baik.

“Kuncinya mengutamakan kejujuran disaat memulai usaha. Terutama dalam hal foto promosi. Seringkali Kami menemukan produknya yang menggunakan foto bagus, namun ternyata hasil buatan orang lain. Produk yang kami terima tidak sesuai dengan ekspektasi, sehingga customer  pun kecewa dan enggan untuk repeat order lagi,” ujar Bu Tutu.

“Untuk kalian yang ingin mulai merintis bisnis, kuncinya harus tekun dan konsisten. Jangan mudah menyerah. Jangan ragu buat memulai sesuatu. Kalau misal ada ide, yaudah langsung eksekusi aja. Kenalkan dulu calon produk kalian ke orang-orang terdekat. Minta pendapatnya, menurut mereka tentang kekurangan produk kamu. Karena kalau orang terdekat biasanya jujur nih. Jadi dari situ kita bisa improve lagi produknya sebelum kita lepas ke pasaran. Jangan ragu untuk mulai suatu hal baru!” tutup Bu Nina di akhir wawancara.