Category Archives: Featured Article

Laporan Analisis Data dari Upgrade Hardware Para Gamer PC

Dari tahun ke tahun, game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Alhasil, spesifikasi perangkat yang diperlukan untuk memainkan game tersebut pun menjadi semakin meningkat. Karena itu, para PC gamers akan melakukan upgrade secara rutin. Sayangnya, mobile games yang ingin memperbaiki perangkatnya tidak punya pilihan lain selain membeli smartphone baru. Hanya saja, tidak semua orang dapat membeli smartphone dengan harga mahal. Hal ini memunculkan dilema bagi developer mobile game.

Dilema itu adalah apakah developer harus membuat game yang bisa dijalankan di smartphone dengan spesifikasi yang rendah agar bisa dimainkan oleh banyak orang ataukah mereka harus membuat game dengan spesifikasi yang lebih tinggi agar mereka bisa memberikan pengalaman bermain game yang lebih memuaskan. Untuk menjawab dilema tersebut, Newzoo melacak empat miliar smartphone aktif, yang dirangkum dalam Mobile Device Data.

Developer Bisa Naikkan Spesifikasi Minimal untuk Mobile Game

Beberapa tahun lalu, banyak developer aplikasi mobile yang meluncurkan versi lite dari aplikasi mereka, seperti PUBG Mobile Lite dan Facebook Lite. Tujuannya adalah agar smartphone dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi pun tetap bisa menggunakan aplikasi tersebut. Harapannya, jumlah orang yang bisa memainkan mobile game atau menggunakan aplikasi itu akan naik. Namun sekarang, tren yang terjadi adalah sebaliknya.

Saat ini, developer aplikasi dan game mobile mulai meluncurkan versi yang lebih baik dari aplikasi atau game yang mereka buat. Salah satu contohnya adalah Garena, yang meluncurkan Free Fire Max pada September 2021. Jika dibandingkan dengan Free Fire standar, Free Fire Max memerlukan RAM yang lebih besar. Jika Free Fire membutuhkan RAM minimal 1GB, Free Fire Max memerlukan 2GB.

Untuk mengetahui apakah keputusan Garena untuk meningkatkan spesifikasi minimal dari Free Fire Max mempengaruhi total addressable market (TAM) dari game itu, Newzoo mengumpulkan data dari mobile gamers di India, negara dengan potensi pertumbuhan mobile game paling besar.

Total addressable market berdasarkan minimal RAM smartphone yang diperlukan. | Sumber: Newzoo

Per September 2021, diketahui bahwa 98% mobile gamers di India menggunakan smartphone dengan RAM setidaknya sebesar 1GB dan 92% mobile gamers bermain menggunakan smartphone dengan RAM sebesar setidaknya 2GB. Sementara itu, jumlah mobile gamers yang menggunakan smartphone yang memiliki RAM setidaknya 3GB adalah 73% dan jumlah pemilik smartphone dengan RAM setidaknya 4GB adalah 53%.

Data di atas menunjukkan, meskipun developer mobile game — dalam kasus ini Garena — meningkatkan spesifikasi minimal untuk game mereka, TAM yang mereka punya tidak berkurang jauh, hanya turun sebesar 6%. Walau, harus diakui, jika spesifikasi minimal dari sebuah game dinaikkan menjadi 3GB, atau malah 4GB, TAM yang dari game tersebut akan mengalami penurunan yang cukup drastis.

Perilaku Gamers PC Dalam Melakukan Upgrade

Saat ini, mobile game memang memberikan kontribusi paling besar pada industri game. Namun, industri game PC tetap memiliki nilai yang fantastis. Pada 2021, jumlah PC gamers mencapai 1,4 miliar orang, sementara nilai industri PC gaming mencapai US$35,9 miliar. Tak hanya itu, pandemi — dan beberapa faktor lain — membuat permintaan akan hardware PC gaming naik.

Untuk mencari tahu tentang perilaku para pemain PC, Newzoo melakukan survei pada lebih dari sembilan ribu PC  gamers di enam negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Prancis, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei itu, Newzoo menemukan, sebanyak 40% dari PC gamers merupakan dedicated gamers. Newzoo mengartikan “dedicated gamers” sebagai para gamers yang setidaknya bermain game satu kali dalam seminggu. Hal lain yang Newzoo temukan adalah dari semua dedicated PC gamers, hampir sepertiganya merakit PC mereka sendiri. Sementara sekitar 30% dari mereka membeli PC gaming yang sudah dirakit. Menariknya, di kalangan dedicated gamers, sekitar 38% menggunakan laptop sebagai perangkat mereka.

Laptop Bisa Jadi Langkah Awal untuk Rakit PC Sendiri

Merakit PC sendiri, membeli PC yang sudah dirakit, atau menggunakan laptop; masing-masing pilihan itu memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Jika Anda merakit PC sendiri, Anda bisa menyesuaikan PC yang Anda bangun sesuai dengan selera dan dana yang Anda miliki. Sementara itu, jika Anda membeli pre-built PC, Anda memang tidak perlu repot untuk merakitnya, tapi biasanya, pre-built PC punya harga yang lebih mahal.

Jika dibandingkan dengan PC desktop, salah satu keunggulan laptop adalah ia bisa dibawa berpergian. Namun, harga laptop gaming cenderung lebih mahal jika dibandingkan dengan PC. Tak hanya itu, dengan dana yang sama, spesifikasi yang Anda dapat jika Anda membeli laptop gaming biasanya lebih rendah dari desktop gaming. Karena itu, tidak heran jika sebagian pemilik laptop gaming tertarik untuk membeli desktop gaming.

Grafik pemiliki komputer gaming yang ingin membeli perangkat baru. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, sekitar 26% dari pemilik laptop gaming mempertimbangkan untuk membeli desktop PC ketika mereka harus mengganti laptop yang mereka gunakan. Sebanyak 17% pemilik laptop tertarik untuk membeli PC yang sudah dirakit, sementara 9% sisanya menaruh minat untuk merakit PC sendiri.

Meskipun begitu, umumnya, pemilik laptop akan tertarik untuk membeli laptop gaming baru saat mereka harus mengganti perangkat baru. Begitu juga dengan gamers yang merakit PC sendiri atau membeli pre-built PC. Mereka akan lebih tertarik untuk kembali membeli PC yang sudah dirakit atau membeli hardware baru untuk PC rakitan mereka.

Apa yang Membuat PC Gamers Ingin Memperbarui Perangkat Mereka?

Berdasarkan survei yang mereka lakukan, Newzoo juga menemukan bahwa para dedicated biasanya memperbarui hardware yang mereka gunakan setiap 3,3 tahun sekali. Jika dibandingkan dengan jeda waktu rata-rata antara peluncuran konsol baru, para PC gamers memperbarui perangkat mereka dengan lebih cepat. Hal itu berarti, permintaan akan komponen PC akan selalu ada.

Ketika ditanya tentang alasan untuk melakukan upgrade, hampir 75% dedicated gamers mengatakan, mereka memperbarui komputer mereka untuk mendapatkan pengalaman bermain game yang lebih baik. Dan jika mereka menggunakan komputer dengan spesifikasi yang lebih tinggi, mereka tidak hanya mendapatkan pengalaman bermain yang lebih baik, mereka juga bisa memainkan game-game baru yang menuntut spesifikasi yang lebih tinggi.

Alasan PC gamers ingin melakukan upgrade. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, selain pengalaman bermain game yang lebih baik, alasan lain bagi dedicated gamers untuk memperbarui komputer mereka adalah karena mereka ingin mendapatkan komputer dengan performa yang lebih baik secara umum. Memang, komputer yang powerful tidak hanya bisa digunakan untuk bermain game, tapi juga untuk melakukan tugas-tugas berat lain, seperti mengedit video, machine learning, dan lain sebagainya.

Sementara itu, hanya 32% responden yang mengatakan, mereka melakukan upgrade komputer mereka mereka tertarik dengan fitur atau teknologi baru yang ditawarkan. Biasanya, teknologi atau fitur baru di dunia komputer melekat pada komponen GPU, seperti ray tracing atau Deep Learning Super Sampling (DLSS). Karena itu, tidak heran jika dedicated gamers menganggap GPU sebagai komponen komputer yang paling penting.

Kabar baik bagi perusahaan manufaktur GPU, tingkat kesetiaan para dedicated gamers pada brand sangat tinggi. Sebanyak 70% gamers mengatakan, kemungkinan besar, mereka akan membeli GPU dengan merek yang sama dengan GPU lama mereka.

Sebelum membeli hardware komputer, dedicated PC gamers biasanya akan mencari pilihan terbaik. Rata-rata, mereka menghabiskan waktu sekitar 5,5 minggu untuk mengevaluasi pilihan yang mereka punya. Sumber referensi yang mereka gunakan untuk mencari opsi hardware terbaik beragam. Sebanyak 50% dedicated PC gamers menggunakan situs resmi dari manufaktur hardware, sementara 46% memilih untuk menjadikan situs penjual retail sebagai acuan. Sebanyak 38% menggunakan referensi dari forum online, 33% membaca situs review dan benchmarking resmi, dan 33% lainnya menonton video review.

Sumber header: Pexels

Kenapa Gamers Nge-Cheat? Apa Dampaknya?

Dari tahun ke tahun, total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi esports terus naik. Karena itu, tidak heran jika kecurangan dianggap sebagai masalah serius. Saat ini, bahkan telah ada Esports Integrity Commission (ESIC), yang bertujuan untuk memastikan integritas dari dunia esports. Namun, orang-orang yang menggunakan cheats atau berbuat curang dalam game tidak terbatas pada pemain profesional. Tidak sedikit gamers amatir atau bahkan gamers kasual yang juga berbuat curang. Hal ini menimbulkan pertanyaan: kenapa gamers berbuat curang saat bermain?

Kecurangan Tidak Terbatas oleh Gender

Kebanyakan riset tentang cheating di dunia game fokus pada laki-laki. Hal ini menyebabkan munculnya asumsi bahwa laki-laki lebih sering berbuat curang dalam game daripada perempuan. Namun, studi tentang para pemain Whyville — game edukasi yang ditujukan untuk anak-anak berumur delapan tahun ke atas — menunjukkan bahwa asumsi itu salah. Whyville yang diluncurkan pada 1999. Kebanyakan pemain dari game itu adalah anak dan remaja perempuan di rentang umur 8-13 tahun. Dan ternyata, ada banyak pemain dari game tersebut yang berbuat curang.

“Ketika saya dengar bahwa Whyville dibuat untuk remaja perempuan, saya bertanya pada sang developer: apakah hal itu berarti mereka tidak perlu khawatir tentang masalah cheating,” kata Mia Consalvo, Professor di bidang Game Studies and Design dan Communication Studies di Concordia University, Kanada, seperti dikutip dari BBC. Namun, ternyata, walau 68% pemain dari Whyville adalah anak dan remaja perempuan berumur 8-13 tahun, game itu dipenuhi dengan orang-orang yang berbuat curang.

Dalam Whyville, para pemain akan mendapatkan clams — mata uang virtual yang digunakan dalam game — jika mereka berhasil memecahkan puzzles tentang sains atau matematika. Clams yang didapatkan oleh pemain bisa digunakan untuk mengubah avatar pemain. Misalnya, mengubah tampilan wajah atau potongan rambut avatar. Selain itu, clams juga bisa digunakan untuk membeli item tertentu. Setelah mendesain avatar sesuai dengan selera mereka, para pemain bisa menjual desain avatar tersebut dengan harga yang mereka tentukan sendiri.

Whyville adalah game edukasi untuk anak dan remaja. | Sumber: PC Mag

Menurut Yasmin Kafai, Professor of Learning di University of Pennsylvania, AS dan Deborah Fields dari Utah State University, AS, kecurangan yang dilakukan oleh pemain Whyville beragam. Sama seperti game lain, game itu juga punya cheat codes dan walkthrough guides yang bisa pemain gunakan. Selain menggunakan cheat codes, kecurangan lain yang pemain lakukan adalah dengan membuat akun kedua atau bahkan meretas akun pemain lain agar mereka bisa mendapatkan clams.

Menariknya, Consalvo juga menemukan metode cheating yang jarang digunakan di game lain, yaitu manipulasi harga pasar. Untuk melakukan itu, para pemain akan bersekongkol dan menggunakan fitur chat untuk mengklaim betapa langkanya desain avatar yang mereka jual. Terkadang, mereka menyebarkan rumor bahwa desain avatar yang mereka tawarkan sedang dicari oleh banyak orang. Harapannya, hal ini akan membuat calon konsumen rela untuk mengeluarkan clams lebih banyak. Consalvo menyebut fenomena ini sebagai “arbitrase sosial”, yaitu ketika sekelompok orang berusaha untuk memanipulasi pasar menggunakan kemampuan sosial mereka.

“Hal ini sangat mengejutkan, kan?” kata Consalvo, ketika dia membahas tentang cara kreatif yang digunakan pemain untuk mendapatkan clams. “Anda tidak akan bisa tahu siapa yang melakukan apa di dalam game. Dan karena itulah, sesuatu yang baru dan menarik akan selalu terjadi.”

Kenapa Kita Bermain Curang?

Sekarang, game tidak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Seiring dengan semakin meningkatnya popularitas game, semakin banyak pula orang yang menjadi gamers. Alhasil, gamers kini juga bisa mendapatkan label “cool. Consalvo menyebut konsep ini sebagai “gaming capital“. Jadi, seseorang bisa menjadi populer di komunitas, jika dia bisa sukses dalam game. Dan tentu saja, dia akan ingin bisa mempertahankan kepopuleran mereka itu.

“Jika Anda sangat serius menekuni game tertentu, Anda akan mendapatkan informasi yang tidak diketahui pemain lain… Dan informasi itu bisa Anda bagikan dengan pemain lain,” kata Consalvo. “Hal seperti ini bisa disebut sebagai ‘cultural capital‘.”

Seseorang bisa menjadi populer di komunitas karena keahlian dalam bermain game. | Sumber: Pexels

Hanya saja, biasanya seorang gamer yang berhasil menjadi populer di komunitas akan ingin mempertahankan status itu meski dia harus berbuat curang. Satu hal yang menarik, pemain yang berbuat curang biasanya adalah pemain yang justru punya performa cukup baik dalam game dan bukannya orang-orang yang sama sekali gagal dalam game. Hal ini mengimplikasikan, seseorang akan lebih termotivasi untuk berbuat curang demi mempertahankan apa yang dia miliki daripada untuk mendapatkan sesuatu yang belum pernah dia raih.

Keputusan seseorang untuk berbuat curang demi mempertahankan statusnya tidak hanya terjadi di dunia game, tapi juga di bidang lain, seperti akademi. Kerry Ritchie melakukan penelitian tentang bagaimana cara untuk memperbaiki kualitas pengajaran di University of Guelph, Ontario, Kanada. Dari penelitian itu, dia menemukan, sebagian besar murid yang berbuat curang adalah murid yang memiliki nilai yang bagus. Sebanyak 60% orang yang berbuat curang mendapatkan nilai 80/100 atau lebiih. Memang, berbuat curang dalam game dan berbuat curang di sekolah adalah hal yang berbeda. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, ada kesamaan pada alasan seseorang berbuat curang.

Selain keingingan untuk mempertahankan status, ada faktor lain yang bisa mendorong seorang gamer untuk berbuat curang. Pertemanan adalah salah satu faktor tersebut. Gamer yang punya teman yang juga berbuat curang punya kemungkinan lebih besar untuk berbuat curang. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, perilaku seseorang biasanya dipengaruhi oleh perilaku teman-temannya. Kedua, karena biasanya, manusia cenderung mencari teman dengan pemikiran yang serupa.

Dampak Bermain Curang

Tentu saja, berbuat curang akan memberikan dampak tersendiri, khusunya dalam game multiplayer online. Salah satu dampak buruk yang muncul, menurut Kafai dan Fields, adalah rusaknya pengalaman bermain dari korban. Tidak tertutup kemungkinan, korban penipuan akan berhenti bermain sama sekali.

Kafai dan Fields lalu menceritakan kisah Zoe, pemain berumur 12 tahun yang menjadi korban penipuan di Whyville. Satu hari setelah dia ditipu, dia  balik menipu pemain lain untuk pertama kalinya. Namun, dua minggu kemudian, dia berhenti bermain Whyville. Tampaknya, dia tidak lagi menikmati pengalaman bermain game tersebut karena penipuan.

Kafai dan Fields menjelaskan, penipuan yang tidak memanfaatkan desain game sebagai loophole dan ditujukan ke pemain lain, jenis penipuan tersebut bisa punya kaitan dengan cyberbullying. Sementara itu, tingginya tingkat penipuan yang terjadi di Whyville menunjukkan, anak dan remaja harus diajarkan tentang konsekuensi dari tindakan yang mereka ambil. Dengan begitu, mereka bisa tahu dampak yang terjadi ketika mereka memutuskan untuk menipu pemain lain.

Menjadi korban kecurangan bisa membuat seseorang berbuat curang. | Sumber: Research Gate

Berbuat curang akan memberikan dampak yang berbeda, tergantung pada apakah pemain bermain game single-player atau multiplayer. Dalam game single-player, menggunakan kode cheats justru bisa membuat pemain lebih menikmati sebuah game. Satu hal yang pasti, meskipun pemain berbuat curang dalam game single-player, tidak ada pemain lain yang dirugikan. Lain halnya dengan kecurangan dalam game multiplayer. Ketika seseorang menggunakan cheat dalam game single-player, hal ini bahkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis mereka.

Consalvo menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa menggunakan cheats dalam game single-player justru bisa membuat para pemain merasa puas. Alasan pertama: terkadang, desain game tidak sempurna. Kesalahan dalam desain game bisa menyebabkan pemain terjebak di satu tempat dalam game. Dan terjebak di satu titik tanpa bisa melanjutkan game bukanlah hal yang menyenangkan. Consalvo mengungkap, hal ini menjadi alasan utama mengapa seorang gamer menggunakan kode cheat.

Lalu, Consalvo membandingkan bermain game dengan membaca buku. Ketika membaca buku, pembaca bisa melakukan skimming atau bahkan melewati bagian yang dianggap membosankan. Jadi, pembaca tidak akan kehilangan minat di tengah jalan ketika mereka sampai di bagian yang membosankan. Sayangnya, hal yang sama tidak bisa dilakukan di game. Kebanyakan game didesain sedemikian rupa sehingga untuk bisa memainkan level berikutnya, pemain harus menyelesaikan level yang sedang dia mainkan. Karena itulah, ada kalanya, menggunakan cheats di game single-player justru bisa membuat pemain merasa puas.

Sumber header: Pexels

Pro dan Kontra Game Play-to-Earn dan Keberadaan NFT di Game

Pada Desember 2021, Ubisoft meluncurkan Quartz, platform untuk membeli Digits — playable NFT dari Ubisoft. Dengan begitu, Ubisoft menjadi perusahaan game besar pertama yang mencoba untuk membuat NFT. Namun, keputusan Ubisoft justru disambut dengan protes oleh para gamers.

Ubisoft bukan satu-satunya perusahaan game besar yang tertarik dengan NFT. Di awal tahun 2022, President Square Enix juga mengungkap ketertarikan perusahaan dengan berbagai teknologi baru dalam dunia game, termasuk blockchain dan NFT. Sekali lagi, surat terbuka dari itu disambut dengan protes atau bahkan cemooh dari para gamers. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Konami untuk meluncurkan NFT sebagai perayaan dari ulang tahun ke-35 dari seri Castlevania.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak gamers begitu antipati dengan NFT? Dan kenapa perusahaan-perusahaan game tetap tertarik untuk menawarkan NFT walau banyak gamers yang protes?

Serba-Serbi NFT

Sebelum membahas tentang keuntungan dan kerugian dari NFT, mari kita membahas tentang NFT itu sendiri. NFT merupakan singkatan dari Non-Fungible Token (NFT). Secara harfiah, “non-fungible” berarti unik dan tidak bisa digantikan. Sebagai contoh, Bitcoin — atau uang kertas — adalah sesuatu yang “fungible“. Jadi, Anda bisa menukar satu Bitcoin dengan Bitcoin lain dan nilai Bitcoin yang Anda miliki tetap sama. Sama seperti jika Anda menukar uang Rp100 ribu dengan uang Rp100 ribu lainnya. Walau uang yang Anda miliki tidak lagi sama, nilai dari uang itu tidak berubah.

Lain halnya dengan NFT, yang lebih menyerupai collectible atau barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas. Misalnya, Anda mengoleksi kartu Yu-Gi-Oh. Kartu 2002 Blue Eyes White Dragon 1st Edition PSA 10 dan 2002 LOB 1st Edition Exodia The Forbidden One PSA 10, keduanya sama-sama kartu Yu-Gi-Oh paling mahal di dunia. Meskipun begitu, keduanya tetaplah kartu yang berbeda, yang punya nilai yang berbeda pula. Contoh lainnya, walau Lamborghini Veneno dan Koenigsegg CCXR Trevita merupakan mobil yang diproduksi dalam jumlah terbatas, keduanya bukanlah mobil yang sama.

Koenigsegg CCXR Trevita. | Sumber: SindoNews

NFT adalah industri yang masih sangat muda. Banyak orang mulai tertarik dengan NFT pada tahun lalu. Meskipun begitu, menurut laporan CNBC, total nilai jual-beli NFT telah mencapai miliaran dollar sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, pada 2017, total nilai jual-beli NFT mencapai US$6,2 miliar. Sebagai perbandingan, total penjualan digital art ketika itu hanya mencapai US$1,9 miliar. Data itu diungkap oleh NonFungible, yang melacak data penjualan NFT.

“Saya merasa, karya seni dan barang koleksi kini menjadi komoditas terbesar dari NFT. Karena, barang-barang itu memang memiliki kriteria yang sesuai,” kata Jon McCormack, Professor of Computer Science, Monash University, pada CNBC. “Produk digital bisa ditiru dengan mudah. Memiliki Certificate of Aunthencity menjadi penting, karena ia bisa menjadi bukti bahwa Anda merupakan pemilik yang sah dari sebuah barang digital.”

Dalam satu tahun terakhir, industri NFT juga tumbuh pesat. Menurut analisa dari DappRader — perusahaan yang bertujuan untuk melacak NFT dan aset terdesentralisasi lainnya — pada Q3 2021, volum penjualan NFT naik 38.000%. Meskipun begitu, sebagian ahli khawatir, popularitas NFT yang meroket dengan begitu cepat akan menciptakan gelembung layaknya Dotcom Bubble.

Sebagian ahli khawatir NFT akan menciptakan bubble baru. | Sumber: Flickr

Seiring dengan semakin populernya NFT, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta. Tak terkecuali perusahaan game, seperti Ubisoft dan Square Enix. Sayangnya, keputusan perusahaan game untuk membuat NFT menimbulkan reaksi yang terpolarisasi dari para gamers. Sebagian gamers mendukung keputusan perusahaan game untuk membuat NFT, sementara sebagian yang lain menentang.

Melalui artikel ini, saya mencoba untuk melihat sudut pandang dari kedua kubu; baik orang-orang yang pro pada NFT, maupun orang-orang yang menentang keberadaan NFT, khususnya di bidang game.

Pro dari NFT di Game

Dulu, jika Anda ingin memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Jadi, dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu, seseorang akan bisa mendapatkan pengalaman bermain dari game yang dia beli. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul model bisnis baru. Salah satunya adalah free-to-play. Sesuai namanya, game free-to-play bisa dimainkan dengan gratis. Hanya saja, game free-to-play biasanya memiliki item yang bisa dibeli oleh pemain, baik item kosmetik maupun item powerup.

Dan jangan salah, model bisnis free-to-play terbukti sangat menguntungkan. Mari kita bandingkan Legend of Zelda: Breath of the Wild dengan Genshin Impact. Ketika Genshin Impact diluncurkan, banyak orang yang menganggap game buatan miHoYo itu sebagai “tiruan” dari Breath of the Wild. Sejauh ini, Breath of the Wild telah terjual sebanyak 24,13 juta unit. Di toko digital resmi Nintendo, game tersebut dihargai US$60. Jadi, total pendapatan dari game tersebut adalah US$1,45 miliar. Sebagai perbandingan, dalam waktu satu tahun, pemasukan dari Genshin Impact diperkirakan mencapai US$3,7 miliar.

Walau harus diakui, Genshin Impact juga menggunakan model bisnis gacha — yang menyerupai judi dan bisa mendorong pemainnya untuk menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Dan model bisnis ini memang menimbulkan kontroversi sendiri, yang pernah kami bahas di sini. Terlepas dari model bisnis yang kontroversial, keberadaan game seperti Genshin Impact menunjukkan bahwa gamers tidak segan-segan untuk menghabiskan uang demi mendapatkan karakter atau item dalam game. Sayangnya, saat ini, tidak peduli berapa banyak uang yang seseorang habiskan untuk membeli item dalam game, item itu akan hilang ketika server game ditutup.

Golden Pharaoh X-Suit. | Sumber: Facebook

Sebagai contoh, jika seseorang membeli skin X-Suit Firaun Emas di PUBG Mobile — yang dihargai Rp32 jutaskin tersebut akan hilang begitu saja jika PUBG Mobile tutup. Nah, di sinilah salah satu keuntungan NFT dalam game. Jika item dalam game dibuat menjadi NFT, maka pemilik akan tetap bisa menyimpan item tersebut dalam bentuk NFT di wallet mereka walau game sudah tutup. Dalam kasus skin X-Suit Firaun Emas yang saya contohkan, pemilik skin akan tetap memiliki versi NFT dari skin tersebut meski PUBG Mobile telah tutup.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah munculnya model bisnis play-to-earn. Dengan memainkan game play-to-earn, pemain bisa mendapatkan uang, bahkan tanpa harus menjadi pemain profesional. Bagaimana mekanisme game play-to-earn? Sederhananya, pemain akan mendapatkan aset digital ketika bermain game. Aset digital itu bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membaca artikel kami tentang blockchain gaming di sini.

Keuntungan NFT untuk Developer Game

Adanya NFT di game tidak hanya bisa menguntungkan pemain, tapi juga kreator game. Salah satu keuntungan untuk developer game adalah potensi sumber pemasukan baru, yaitu biaya transaksi. Jika pemain bisa memperjual-belikan NFT di sebuah game, developer bisa memungut biaya dari setiap transaksi yang pemain lakukan. Dan hal ini bisa menjadi pemasukan baru untuk sang developer.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh developer adalah pemain punya alasan untuk bermain game. Selama ini, biasanya, orang-orang bermain game sebagai pelepas penat. Namun, dengan adanya model bisnis play-to-earn, ada hal lain yang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game, yaitu untuk mendapatkan uang. Hal ini sempat dibahas oleh President Square Enix, Yosuke Matsuda, dalam sebuah surat terbuka.

“Baik dalam game online atau game single-player, pada awalnya, hubungan antara gamers dan kreator game adalah hubungan satu arah: kreator seperti kami menciptakan game yang akan dimainkan oleh konsumen,” kata Matsuda. “Sementara itu, blockchain game — yang baru muncul dan kini sedang tumbuh, –dibangun berdasarkan konsep token economy, yang membuka potensi untuk mendorong pertumbuhan industri game yang mandiri dan berkelanjutan.”

Yosuke Matsuda. | Sumber: VG247

Lebih lanjut Matsuda menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri blockchain game adalah keberagaman, baik dalam cara pemain berinteraksi dengan game maupun alasan pemain bermain game. “Perkembangan token economy akan mendorong momentum dari keberagaman ini,” ujarnya. “Contohnya adalah konsep ‘play to earn‘ yang membuat orang-orang menjadi tertarik untuk bermain game.”

Axie Infinity adalah salah satu contoh game dengan model bisnis play-to-earn. Game itu sangat populer di Filipina. Menurut laporan Niko Partners, per April 2021, Axie Infinity telah diunduh sebanyak 70 ribu kali dan sebanyak 29 ribu downloads berasal dari Filipina. Sementara per Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina naik menjadi sekitar 300 ribu orang. Di bulan yang sama, total volum jual-beli di game itu telah menembus US$25 juta. Setiap harinya, total NFT yang terjual di Axie Inifity melebihi 50 ribu tokens.

Axie Infinity menjadi sangat populer di Filipina sehngga pemerintah pun memutuskan untuk mengeluarkan regulasi tentang cryptocurrency yang didapat pemain dari game tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan game play-to-earn memang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game demi mendapatkan uang. Pada saat yang sama, model play-to-earn juga menciptakan masalah tersendiri, yang saya akan bahas dalam segmen berikut.

Argumen Kontra tentang NFT di Game

Menyertakan NFT dalam game memang memiliki keuntungan tersendiri. Namun, sebagian gamers tampaknya justru tidak suka jika perusahaan game membuat atau berencana untuk memasukkan NFT ke game mereka. Sebagai contoh, ketika Ubisoft meluncurkan platform Quartz — bersamaan dengan tiga NFT pertama mereka — reaksi gamers terpolarisasi.

Sebagian gamers, khususnya yang percaya dengan masa depan blockchain, menganggap bahwa keputusan Ubisoft akan membawa perubahan besar ke industri game. Karena, Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang memutuskan untuk membuat NFT. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang justru mengecam Ubisoft. Buktinya, video peluncuran Quartz — yang sekarang sudah menjadi menjadi video unlistedmendapatkan 40 ribu dislikes dan hanya 1,6 ribu likes.

Ubisoft Quartz dapat protes dari para gamers.

Salah satu hal yang membuat gamers tidak suka dengan potensi adanya NFT dalam game adalah karena keberadaan NFT membuka peluang bagi developer untuk mendorong pemain mengeluarkan uang. Seperti yang disebutkan oleh Economic Times, ketika bermain game, khususnya game AAA, pemain tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga menginvestasikan waktunya.

Tentunya, gamers ingin mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan. Dan pengalaman bermain itu bisa berkurang ketika developer masih mengharuskan pemain untuk membeli NFT. Masalah ini serupa dengan keberadaan microtransactions atau lootbox dalam game premium. Sebagai contoh, Star Wars Battlefront II. Game itu dijual dengan harga Rp479 ribu di Steam. Namun, game tersebut masih dipenuhi dengan lootbox dan microtransactions. Dan hal itu ini menuai kontroversi ketika Electronic Arts meluncurkan game tersebut di 2018.

Masalahnya, game NFT dengan model play-to-earn memang didesain sedemikian rupa agar gamers mau melakukan jual-beli dari aset digital yang ada. Alhasil, tujuan pemain untuk bermain tak lagi untuk bersenang-senang, tapi untuk mendapatkan uang. Pada akhirnya, hal ini bisa membuat kepuasan bermain game menjadi berkurang.

Tiga “pendiri” Fame Lady Squad. | Sumber: InputMag

Alasan lain mengapa para gamers tidak suka akan keberadaan NFT dalam game adalah karena banyaknya penipuan di ranah NFT. Jenis penipuan yang ada pun beragam, mulai dari giveaways palsu di Twitter untuk mendapatkan banyak retweets dan followers, tautan berbahaya yang disebarkan agar orang-orang mengklik tautan tersebut, sampai metode rug pull.

Secara sederhana, skema penipuan rug pull adalah ketika developer membawa lari uang investor tanpa menyelesaikan proyek yang mereka janjikan. Salah satu contoh model penipuan rug pull adalah Fame Lady Squad, yang mengklaim sebagai proyek NFT untuk pemberdayaan perempuan. Proyek itu diklaim dibuat oleh tiga perempuan, yaitu Cindy, Andrea, dan Kelda.

Ketiga perempuan itu memiliki avatar yang dibuat ke dalam NFT, yang kemudian bisa dibeli. Secara total, Fame Lady Squad berhasil mengumpulkan hampir US$1,5 juta dari investor dan komunitas sebelum mereka melarikan diri. Dan setelah diselidiki, diketahui bahwa Fame Lady Squad bahkan tidak didalangi oleh tiga perempuan, tapi oleh sekelompok pria asal Rusia, seperti yang dilaporkan oleh InputMag.

Pada awalnya, Evil Ape berjanji akan membuat fighting game, Evolved Apes. Dalam game itu, para pemain akan mengadu kera yang mereka miliki dengan satu sama lain. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan Ethereum sebagai hadiah. Untuk bisa bermain, pemain harus membeli NFT dari karakter Evolved Apes, yang dijual di marketplace NFT, OpenSea.

Namun, untuk bisa membangun game Evolved Apes, Evil Ape akan memerlukan biaya. Karena itu, mereka menjual NFT dari karakter di Evolved Apes. Uang itu diklaim akan digunakan untuk biaya pengembangan dan marketing game. Namun, Evil Ape justru membawa kabur uang yang terkumpul — senilai US$2,7 juta — tanpa pernah meluncurkan game yang dijanjikan. Kabar baiknya — jika hal ini bisa disebut kabar baik — pemain yang sudah terlanjur membeli NFT masih dapat menyimpan NFT tersebut.

Evolved Apes. | Sumber: PC Gamer

Masalah penipuan terkait NFT diperburuk oleh fakta bahwa belum ada banyak regulasi yang mengatur teknologi tersebut. Faktanya, Evil APe dilaporkan ke kepolisian di Inggris, yang merupakan markas dari kru Evolved Apes. Dan pihak kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini mungkin akan sulit untuk diprotes. Karena, orang-orang yang sudah membeli NFT memang mendapatkan NFT yang mereka inginkan. Sementara masalah janji untuk membuat game yang tidak terpenuhi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa game itu memang tidak menjadi bagian dari apa yang pemain beli, seperti dikutip dari PC Gamer.

Dampak Buruk NFT ke Seniman dan Lingkungan

Selain gamers, kelompok yang cenderung menentang NFT adalah digital artists dan aktivis lingkungan. Bagi para digital artists, NFT memang sering disebutkan akan bisa menjadi mata pencaharian baru. Hanya saja, keberadaan NFT juga menimbulkan masalah tersendiri, yaitu membuat pencurian seni menjadi semakin marak. Memang, sebelum keberadaan NFT pun, pencurian karya digital adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, setelah NFT menjadi populer, tidak sedikit orang yang mencuri karya digital orang lain untuk menjadikannya sebagai NFT.

Masalah pencurian karya ini begitu marak sehingga salah satu comic artist dari DC Comics, Liam Sharp, memutuskan untuk menutup akun DevianArt miliknya. Melalui Twitter, dia menjelaskan, dia mengambil langkah drastis itu karena ada banyak karyanya yang dijadikan NFT tanpa izinnya. Seolah hal ini tidak cukup buruk, ketika dia melaporkan masalah ini ke pihak DeviantArt, laporannya justru diacuhkan, seperti yang dilaporkan oleh Futurism.

Sementara bagi aktivis lingkungan, alasan mereka menjadi antipati dengan NFT adalah karena ia memberikan dampak buruk pada lingkungan. Seperti yang disebutkan oleh Wired, marketplace besar untuk menjual NFT — seperti MakersPlace, Nifty Gateway, dan SuperRare — menggunakan Ethereum. Sama seperti Bitcoin, proses penambangan Ethereum memerlukan komputer yang bisa memproses kriptografi kompleks. Dan komputer itu biasanya membutuhkan energi besar.

Sebagai ilustasi, energi yang dihabiskan oleh penambang Bitcoin setiap tahunnya diperkirakan mencapai empat sampai lima terawatt-jam, atau sama seperti listrik yang dihabiskan oleh Hong Kong pada 2017. Sementara itu, daya listrik yang dihabiskan oleh penambang Ethereum setiap tahunnya diperkirakan sama seperti penggunaan listrik Libia. Dan semakin besar listrik yang penambang cryptocurrency habiskan, semakin banyak pula polusi yang dihasilkan.

Penutup

Teknologi baru biasanya menciptakan disrupsi di industri yang sudah ada. Namun, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsi teknologi baru. Sebagai contoh, sekarang, orang-orang sudah terbiasa untuk berbelanja melalui platform e-commerce. Tapi, beberapa tahun lalu, platform e-commerce sibuk untuk melakukan edukasi, meyakinkan konsumen bahwa mereka tidak akan tertipu jika mereka berbelanja secara online.

Saya rasa, hal yang sama juga berlaku untuk NFT. Mengingat betapa barunya industri NFT, tidak heran jika banyak orang yang masih sangat was-was, apalagi karena belum banyak atau bahkan belum ada regulasi yang mengatur tentang industri tersebut. Kabar baiknya, industri NFT masih terus berevolusi. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, masalah-masalah yang muncul saat ini bisa diselesaikan di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua teknologi baru akan diadopsi secara massal. Tidak peduli seberapa besar hype dari teknologi baru, terkadang, teknologi itu memang hanya bisa menargetkan pasar niche. Salah satu contohnya adalah teknologi mixed reality. Jadi, walau industri NFT memang tengah menarik perhatian saat ini, tidak ada jaminan bahwa industri itu akan bertahan atau menjadi mainstream di masa depan. Saya rasa, hal ini akan tergantung pada pelaku industri NFT itu sendiri.

Sumber header: Pixabay

Turnamen Esports Paling Populer di Desember 2021

Di awal bulan, seperti biasa, Hybrid.co.id membuat daftar turnamen esports terpopuler pada bulan sebelumnya. Pada Desember 2021, lima turnamen esports dengan jumlah penonton paling banyak mengadu lima game yang berbeda-beda: sebagian merupakan mobile game, sementara sebagian yang lain adalah game PC. Berikut data turnamen esports terpopuler di Desember 2021, menurut data Esports Charts.

5. PUBG Mobile Global Championship 2021 League East

PUBG Mobile Global Championship (PMGC) 2021 League East ada di peringkat ke-5 dalam daftar turnamen esports terpopuler di Desember 2021. Dimulai pada 30 November 2021, PMGC 2021 League East berlangsung hingga 24 Desember 2021. Secara total, durasi siaran dari kompetisi ini mencapai 80 jam. Kompetisi tersebut berhasil mendapatkan 84,1 juta views dengan total hours watched sebanyak 14,1 juta jam. Sementara jumlah rata-rata penonton dari turnamen itu adalah 176,6 ribu orang.

Lima pertandingan paling populer dari PMGC 2021 League East berlangsung pada hari terakhir. Round 3 menjadi babak paling populer, dengan peak viewers sebanyak 387 ribu orang. PMGC 2021 League East hanya disiarkan di dua platform, yaitu YouTube dan Facebook. Di YouTube, jumla peak viewers dari turnamen itu mencapai 366 ribu orang, dan di Facebook 27 ribu orang. Untuk masalah views dan likes, PMGC 2021 berhasil mengumpulkan 73,4 juta views dan 682,7 ribu likes di YouTube.

Data viewership dari PMGC 2021 League East. | Sumber: Esports Charts

PMGC 2021 League East disiarkan dalam 18 bahasa. Siaran dalam Bahasa Indonesia menjadi siaran paling populer, dengan peak viewers sebanyak 284 ribu orang. Setelah siaran dalam Bahasa Indonesia, siaran dalam Bahasa Burma menjadi siaran terpopuler ke-2. Siaran dengan Bahasa Burma berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 90,4 ribu orang.

4. BLAST Premier World Final 2021

Dengan jumlah peak viewers sebanyak 727,4 ribu orang, BLAST Premier World Final 2021 berhasil duduk di peringkat 4 dalam daftar turnamen esports terpopuler di Desember 2021. Menawarkan total hadiah sebesar US$1 juta, turnamen Counter-Strike: Global Offensive itu diadakan pada 14-19 Desember 2021. Digelar selama hampir satu minggu, BLAST Premier memiliki total airtime selama 51 jam. Secara keseluruhan, turnamen tersebut berhasil mendapatkan 24,5 juta views, dengan total hours watched sebanyak 15,6 juta jam dan jumlah penonton rata-rata sebanyak 307 ribu orang.

Babak final dari BLAST Premier mempertemukan Natus Vincere alias NAVI dengan Gambit. Pertandingan antara keduanya menjadi pertandingan dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang turnamen. Sementara pertandingan antara NAVI dengan Team Liquid di hari ke-5 mejadi pertandingan terpopuler ke-2. Ketika itu, pertandingan antara keduanya berhasil mengumpulkan 593,3 ribu peak viewers.

Lima pertandingan terpopuler di BLAST Premier World Final 2021. | Sumber: Esports Charts

Selain membawa pulang gelar juara, NAVI juga berhasil memenangkan gelar tim terpopuler di BLAST Premier World Final 2021, baik dari segi hours watched maupun average viewers. Secara total, hours watched yang didapatkan oleh NAVI mencapai 9 juta jam, sementara jumlah average viewers dari pertandingan tim tersebut adalah 425,2 ribu orang.

Dari segi hours watched, Gambit ada di posisi ke-2 dengan total hours watched 5,2 juta jam. Namun, dari segi average viewers, Team Liquid berhasil mengalahkan Gambit dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 356,2 ribu orang. Sebagai perbandingan, total hours watched yang didapat Team Liquid adalah 4,72 juta jam, sementara jumlah penonton rata-rata dari Gambit mencapai 353,8 ribu orang.

Tim-tim terpopuler di BLAST Premier World Final 2021. | Sumber: Esports Charts

BLAST Premier World Final 2021 disiarkan di enam platform streaming game. Twitch merupakan platform favorit untuk menonton kompetisi itu, dengan peak viewers sebanyak 490,5 ribu orang. Posisi platform terpopuler ke-2 diduduki oleh YouTube, yang mendapatkan peak viewers sebanyak 191,9 ribu orang.

Ditayangkan di 18 channels di Twitch, BLAST Premier berhasil mendapatkan 13,6 juta views dan 103,4 ribu follows. Sementara di YouTube, kompetisi itu mendapatkan 10,6 juta views. Dari lebih dari 20 bahasa yang digunakan dalam siaran BLAST Premier, siaran dalam Bahasa Rusia menjadi siaran paling populer dengan 337,3 ribu peak viewers, diikuti oleh siaran dalam Bahasa Inggris, yang mendapatkan 248,1 ribu peak viewers.

3. Arena of Valor International Championship 2021

Arena of Valor International Championship 2021 (AIC 2021) dimulai pada 27 November 2021 dan berakhir pada 19 Desember 2022. Secara keseluruhan, turnamen itu disiarkan selama 114 jam. Dari siaran tersebut, AIC 2021 berhasil mendapatkan 83,3 juta views dan 144,3 ribu average viewers. Pada puncaknya jumlah penonton dari kompetisi tersebut mencapai 879,5 ribu orang.

Data viewership di atas mengecualikan data dari Tiongkok. Jika data penonton dari platform streaming game di Tiongkok dihitung, maka total hours watched yang didapatkan oleh AIC 2021 adalah 173,6 juta jam, dengan jumlah peak viewers mencapai 16,3 juta orang, dan jumlah penonton rata-rata sebanyak 1,5 juta orang.

Viewership dari AIC 2021. | Sumber: Esports Charts

Menariknya, menurut data dari Esports Charts, acara pembuka sebelum grand final menjadi bagian yang menarik paling banyak penonton. Setelah preshow, babak yang menarik perhatian paling banyak penonton adalah babak final, yang mempertemukan Buriram United Esports (BUE) dari Thailand dengan V Gaming dari Vietnam. Ketika itu, pada puncaknya, ada 472,5 ribu orang yang menonton pertandingan tersebut. Di AIC 2021, BUE — yang keluar sebagai pemenang — juga menjadi tim paling populer, dengan 4,39 juta hours watched. Namun, dari segi average viewers, V Gaming dari Vietnam masih lebih unggul dengan 178,41 ribu orang.

AIC 2021 disiarkan di delapan platform. Di YouTube, total peak viewers dari turnamen itu mencapai 647,1 ribu orang. Dengan begitu, YouTube menjadi platform favorit untuk menonton AIC 2021. Di platform tersebut, kompetisi AOV itu mendapatkan 51,8 juta views dan 127,9 ribu likes di YouTube. Sementara itu, platform streaming game terpopuler ke-2 di kalangan fans AIC 2021 adalah Facebook, yang mendapatkan peak viewers sebanyak 196,5 ribu orang.

2. VALORANT Champions 2021

Dalam daftar turnamen esports terpopuler di Desember 2021, peringkat dua diduduki oleh VALORANT Champions 2021. Kompetisi itu berhasil mendapatkan 1,1 juta peak viewers. Jumlah peak viewers itu tercapai dalam pertandingan antara Gambit dan Acend di babak final. Sepanjang turnamen, jumlah rata-rata penonton mencapai 469,1 ribu orang. Dengan total durasi siaran selama 98 jam, VALORANT Champions 2021 mendapatkan 46 juta hours watched dan 88 juta views.

Acend berhasil keluar sebagai juara dari VALORANT Champions 2021. Menariknya, tim itu bukanlah tim paling populer di turnamen tersebut, baik dari segi hours watched maupun average viewers. Gelar tim terpopuler justru dipegang oleh Gambit, yang mendapatkan 12,9 juta jam hours watched dan 647,1 ribu orang average viewers.

Viewership dari VALORANT Championship 2021. | Sumber: Esports Charts

VALORANT Champions 2021 disiarkan di 103 channels Twitch. Di platform tersebut, kompetisi itu dapat mengumpulkan 64,9 juta views dan 1,1 juta follows. Pada puncaknya, jumlah penonton VALORANT Champions 2021 di Twitch mencapai 954,1 ribu orang. Hal ini menjadikan Twitch sebagai platform streaming game favorit untuk fans VALORANT. Selain di Twitch, VALORANT Champions 2021 juga disiarkan di YouTube. Platform streaming milik Google itu menjadi platform paling favorit ke-2, dengan jumlah peak viewers sebanyak 127,8 ribu orang. Secara keseluruhan, VALORANT Champions 2021 mendapatkan 18,9 juta views dan 156,6 ribu likes di YouTube.

Sama seperti komeptisi esports internasional lainnya, VALORANT Champions 2021 disiarkan dalam banyak bahasa: lebih dari 20 bahasa. Siaran dalam Bahasa Inggris menjadi siaran paling populer. Pada puncaknya, ada 600,5 ribu orang yang menonton siaran dalam Bahasa Inggris. Sementara itu, siaran dalam Bahasa Spanyol menjadi siaran paling populer ke-2, dengan jumlah peak viewers sebanyak 421,8 ribu orang.

1. M3 World Championship

M3 World Championship merupakan turnamen esports paling populer sepanjang Desember 2021. Satu hal yang menarik, pertandingan dengan jumlah penonton paling banyak bukanlah pertandingan final — yang mempertemukan Blacklist International dengan ONIC Philippines — tapi pertandingan antara ONIC Philippines dengan RRQ Hoshi di hari ke-5 babak playoffs. Pada puncaknya, pertandingan tersebut berhasil menarik 3,2 juta orang, hampir 2 kali lipat dari peak viewers MPL Indonesia Season 8 di September 2021. Dan seperti yang bisa Anda lihat di bawah, pertandingan final bahkan tidak masuk dalam lima pertandingan paling populer.

Viewership dari M3 World Championship. | Sumber: Esports Charts

Kemungkinan, babak final M3 World Championship kalah populer dari pertandingan di babak playoff karena tidak ada tim asal Indonesia yang berhasil masuk ke babak final. RRQ Hoshi harus tereliminasi dari M3 setelah dikalahkan oleh Blacklist International di lower bracket quarter-finals. Tim asal Indonesia itu masuk ke lower bracket setelah kalah dari ONIC Philippines di upper bracket semi-final.

Menariknya, walau RRQ Hoshi tidak masuk babak final, tim tersebut berhasil menjadi tim terpopuler berdasarkan jumlah average viewers. Jumlah average viewers dari pertaningan RRQ Hoshi mencapai 1,5 juta orang, jauh mengalahkan Blacklist International, yang hanya memiliki 933 ribu average viewers. Meskipun begitu, dari segi hours watched, Blacklist International masih lebih unggul, dengan total hours watched sebanyak 22,2 juta jam. Sebagai perbandingan, total hours watched yang didapatkan oleh RRQ Hoshi hanyalah 19,2 juta jam.

Lima tim terpopuler di M3 World Championship. | Sumber: Esports Charts

Sebenarnya, tidak heran jika RRQ Hoshi bisa mendapatkan jumlah rata-rata penonton yang banyak, mengingat M3 World Championship memang sangat populer di kalangan fans esports Indonesia. Buktinya, siaran dalam Bahasa Indonesia menjadi siaran paling populer, dengan total peak viewers sebanyak 2,5 juta orang. Sementara itu, siaran dalam Bahasa Inggris menjadi siaran terpopuler ke-2. Namun, jumlah peak viewers dari siaran dalam Bahasa Inggris jauh lebih rendah, yaitu hanya795 ribu orang.

Tiga platform favorit yang digunakan fans esports untuk menonton M3 World Championship adalah YouTube, Nimo TV, dan Facebook. Di YouTube, M3 berhasil mendapatkan 174,2 juta views dan 255,2 ribu likes, dengan peak viewers mencapai 1,8 juta orang. Sementara itu, jumlah peak viewers di Nimo TV adalah 987 ribu orang dan Facebook 411,5 ribu orang. Walau Twitch masih mendominasi pasar platform streaming game, tidak banyak orang yang menonton M3 di platform tersebut. Meski disiarkan di 15 channels Twitch, M3 hanya mendapatkan 111,7 ribu views dan 7,1 ribu follows. Dan pada puncaknya, jumlah penonton di Twitch hanya mencapai 5,6 ribu orang.

5 Tim Dota 2 Asia Tenggara yang Perlu Diikuti di Tahun 2022

Ranah kompetitif Dota 2 di Asia Tenggara mengalami peningkatan yang cukup pesat di tahun 2021. Kompetisi tingkat dunia seperti The International 10 yang membawa T1 sebagai wakil Asia Tenggara menjadi pencapaian yang sangat penting.

Memang di beberapa seri sebelumnya, Asia Tenggara dianggap kurang menantang di kompetisi Dota 2 level dunia. Hanya ada Fnatic dan TNC Predator yang terhitung stabil, meskipun tidak berbuat banyak di The International.

Menatap tahun 2022 dengan penuh prediksi, apakah tim-tim Dota 2 dari Asia Tenggara bisa kembali tampil konsisten di hadapan tim-tim dunia?

Berikut dipilih 5 tim Dota 2 dari Asia Tenggara yang wajib diikuti perkembangannya di tahun 2022. Tentu kelima tim yang dipilih masuk dalam jajaran Regional League DPC 2021-22: Upper Division.

5. OB.Neon

Tidak kaget bila OB.Neon masuk ke dalam jajaran tim yang perlu diikuti pada tahun 2022. Tim satu ini memiliki langkah yang mengejutkan dalam mengamankan slot di Singapore Major.

Bukan hanya masuk ke Singapore Major, OB.Neon juga menduduki peringkat 5-6 serta mampu mengalahkan tim kuat Dota 2. Jangan lupakan aksi skem dkk. saat mengalahkan Vici Gaming, Team Liquid, dan Fnatic di Singapore Major.

https://cms.dailysocial.id/wp-content/uploads/2021/04/e9ce24e39d87c68677c53adb65b0acf3_EyBz2BgUUAAVZR9.jpeg
Sumber: Neon Esports

Meski begitu, OB.Neon harus tersingkir di tangan Team Secret dengan skor sengit yaitu 2-1. Namun dengan tingginya performa dari pemain OB.Neon, rupanya terjadi penurunan di babak kualifikasi TI10 regional Asia Tenggara.

Beberapa pemain dari OB.Neon berpencar selepas aktifnya periode transfer pemain. Alhasil, OB.Neon tidak lagi terlalu difavoritkan namun memiliki potensi yang sangat baik menghadapi DPC di tahun 2022.

Dari klasemen saat ini DPC 2021-22: SEA, OB.Neon sedang terpuruk di urutan ke-7 dengan torehan 0 kemenangan dan 3 kekalahan.

4. TNC Predator

Tim yang sangat sering mewakili Asia Tenggara di ajang internasional satu ini tidak boleh dilewatkan. TNC Predator mampu memberikan banyak kejutan, seperti mengalahkan OG pada gelaran The International 6 silam.

Langkahnya di DPC 2021-22 sendiri tidak berjalan cukup baik. TNC Predator berjalan sangat buruk di tahun 2021 saat gagal melaju di kualifikasi The International 10.

https://www.upcomer.com/wp-content/uploads/2021/09/Wallpaper_TNCPredator.png
Sumber: WePlay

Tahun terburuk TNC Predator sejak tahun 2015 dan kegagalan ke TI untuk pertama kalinya sejak beraksi di main event pada TI6. Masih setia menggunakan roster Filipina, rupanya tidak memberikan dampak yang lebih baik pasca perubahan roster.

Bahkan, 3 pemain yang setia mengisi formasi TNC Predator sejak tahun 2018, Gabbi, Armel, dan Tims tidak luput dari target perubahan roster. Saat ini, TNC Predator menduduki klasemen terakhir di DPC 2021-22 SEA – Upper Division dengan 0 kemenangan dan 4 kekalahan.

3. BOOM Esports

https://pbs.twimg.com/media/FAOEBt-VgAYR-ux.jpg
Sumber: BOOM Esports

BOOM Esports layak masuk ke dalam jajaran tim Asia Tenggara terbaik di tahun 2021. Kini, armada Serigala Hitam siap menghadapi tahun 2022 dengan tatapan positif.

Setelah melakukan perubahan roster besar-besaran dengan hanya menyisakan satu pemain Indonesia yaitu Fbz, rupanya BOOM mendapatkan banyak gelar juara.

BOOM Esports menarik pemain Filipina ke tim seperti Tims, skem, Yopaj, dan Tino serta sang pelatih yaitu Mushi. Hasil memuaskan sukses diraih oleh BOOM seperti gelar juara BTS Pro Series Season 8 dan Season 9.

Dari rekor di DPC 2021-22 juga BOOM Esports sukses menempati posisi puncak dengan 4 kemenangan dan 0 kekalahan. Poin ini berhasil diraih melawan tim yang sulit yaitu Fnatic, OB.Neon, Team SMG, dan Motivate.Trust Gaming.

Perjalanan roster ini masih sangat panjang tentu BOOM Esports siap memberikan permainan terbaiknya di tahun 2022 mendatang.

2. Fnatic

Fnatic menghadapi tahun yang sangat tidak konsisten di tahun 2021. Mereka kerap kalah di beberapa pertandingan krusial sehingga harus keluar dari turnamen meski belum lama, seperti saat Singapore Major.

Selain itu Fnatic harus bermain di The International 10 melalui jalur kualifikasi menghadapi TNC Predator. Dengan periode DPC 2021-22 yang baru berlangsung, tentu Fnatic masih memiliki ruang untuk berkembang.

Nama Fnatic sendiri sudah sangat terkenal di tim Dota 2 dunia, apalagi menjadi tim langganan dari Asia Tenggara yang lolos ke The International.

Meski begitu banyak hal yang harus dibenahi Fnatic, karena tampil konsisten merupakan kunci penting dalam meraih banyak gelar juara. Hingga saat ini di DPC 2021-22: SEA, Fnatic menempati posisi papan tengah di urutan ke-4.

Pada pertandingan DPC, Fnatic harus kalah di tangan BOOM Esports dan Team SMG, serta meraih poin saat mengalahkan TNC Predator dan OB.Neon.

1. T1

Salah satu tim yang sangat diapresiasi di tahun 2021 dengan performanya yan sangat baik. T1 merekrut pemain yang didominasi oleh mantan pemain Geek Fam.

Raihan paling memukau T1 di tahun 2021 tentu gelar juara di ESL One Summer 2021, posisi ketiga di WePlay Animajor 2021, serta posisi 7-8 di The International 2021.

Hasil yang sangat memuaskan untuk tim yang baru dibentuk, apalagi T1 sebelumnya hanya mampu bermain di turnamen tier 2 dan tier 3 level Asia Tenggara.

T1 bertanding melawan tim-tim terbaik Dota 2 dunia dengan perlawanan, apalagi saat menghadapi Vici Gaming, PSG.LGD, dan Alliance. Pada DPC 2021-22 SEA: Upper Division, tim T1 menempati posisi kedua dengan torehan 2 kemenangan dan 0 kekalahan dengan menyisakan 2 pertandingan.

8 Mobile Game dengan Pemasukan Lebih dari US$1 Miliar di 2021

Pandemi COVID-19 membuat industri game tumbuh pesat pada 2020. Momentum tersebut berlanjut di 2021. Menurut data dari Sensor Tower, total belanja mobile gamers pada 2021 mencapai US$89,6 miliar, naik 12,6% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Seiring dengan meningkatnya total belanja para mobile gamers, jumlah mobile game yang pemasukannya menembus US$1 miliar pun bertambah. Di 2018 dan 2019, hanya ada 3 mobile game yang pemasukannya mencapai US$1 miliar. Angka itu naik menjadi 5 mobile game pada 2020. Dan pada 2021, ada 8 mobile game yang pemasukannya melebihi US$1 miliar.

Total Belanja Gamers dari 8 Mobile Game Tembus US$1 Miliar

Di tahun 2021, PUBG Mobile berhasil menjadi mobile game dengan total belanja paling banyak. Sepanjang tahun ini, pemain PUBG Mobile menghabiskan US$2,8 miliar di game tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, total spending PUBG Mobile pada tahun ini naik 9%.

Pada tahun lalu, PUBG Mobile sempat mengalami masalah dan diblokir di India, salah satu pasar terbesarnya. Namun, tahun ini, masalah tersebut telah terselesaikan. Di India, PUBG Mobile diluncurkan dengan nama Battlegrounds Mobile. Selain di India, PUBG Mobile juga melalui proses pelokalan di Tiongkok. Di sana, PUBG Mobile dikenal dengan nama Game For Peace.

Dengan total spending sebesar US$2,8 miliar, Honor of Kings berhasil menjadi mobile game dengan total spending terbesar ke-2 di 2021. Pada tahun ini, total belanja gamers Honor of Kings — yang juga dikenal dengan nama Arena of Valor — mengalami kenaikan sebesar 14,7%. Baik PUBG Mobile dan Honor of Kings merupakan mobile game di bawah bendera Tencecnt.

Delapan mobile game dengan total belanja lebih dari US$1 miliar. | Sumber: Sensor Tower

Selain PUBG Mobile dan Honor of Kings, mobile game lain yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar pada tahun ini adalah Genshin Impact dari miHoYo. Sejak diluncurkan pada September 2020, Genshin Impact telah meraup US$1,8 miliar, menjadikannya sebagai mobile game dengan total belanja terbesar ke-3. Untuk membuat para gamers tetap tertarik memainkan Genshin Impact, miHoYo terus merilis update secara berkala. Strategi miHoYo ini terbukti efektif. Setelah mereka meluncurkan Version 2.1 pada September 2021, total spending mingguan para pemain Genshin Impact naik hingga 5 kali lipat.

Dalam daftar 8 mobile game dengan total spending terbesar di 2021, Roblox ada di posisi ke-4. Sepanjang 2021, total spending gamers Roblox mencapai US$1,3 miliar, naik 20,3% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Peringkat 5 diisi oleh Coin Master dari Moon Active, yang juga mendapatkan total spending sebanyak US$1,3 miliar. Dari tahun lalu, total belanja gamers Coin Master tahun ini naik hingga 13,8%.

Posisi ke-6 dan ke-7 diisi oleh Pokemon Go dari Niantic dan Candy Crush Saga dari King. Kedua game itu sama-sama mendapatkan total spending sebesar US$1,2 miliar. Game ke-8 yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar adalah Free Fire dari Garena. Selain delapan mobile game tersebut, Sensor Tower mengatakan, ada satu mobile game lain yang berpotensi untuk mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Ialah Uma Musume Pretty Derby dari Cygames. Walau mobile game itu baru diluncurkan pada Februari 2021 dan hanya diluncurkan di Jepang, game tersebut telah berhasil mendapatkan US$965 juta per 14 Desember 2021. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, total spending dari game itu akan menembus US$1 miliar dalam dua minggu terakhir dari 2021.

900 Aplikasi Dapatkan US$1 Juta untuk Pertama Kalinya di 2021

Sepanjang 2021, konsumen tidak hanya menghabiskan uangnya untuk membeli item dalam mobile game, tapi juga untuk aplikasi lain. Buktinya, total spending pengguna aplikasi mobile di 2021 juga mengalami kenaikan. Berkat hal itu, sepanjang 2021, lebih dari 900 publisher aplikasi mobile berhasil mendapatkan pemasukan sebesar US$1 juta untuk pertama kalinya.

Dari semua publisher itu, sebanyak 581 publishers merilis aplikasi mereka di iOS dan 325 publisher lainnya meluncurkan aplikasi mereka di Android. Sebagai perbandingan, pada 2016, jumlah publisher aplikasi iOS yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta hanyalah 310 perusahaan dan jumlah publisher aplikasi Android yang berhasil mendapatkan pencapaian itu hanyalah 165 perusahaan. Hal itu berarti, dalam 5 tahun lalu, jumlah publisher aplikasi iOS yang pemasukannya bisa menembus US$1 juta meningkat 87%. Angka pertumbuhan itu lebih tinggi di Android, mencapai 97%.

Jumlah aplikasi yang pemasukannya berhasil menembus US$1 juta. | Sumber: Sensor Tower

Sebagian besar aplikasi yang pemasukannya mencapai US$1 juta merupakan mobile game. Menurut Sensor Tower, tahun ini, ada 185 publisher mobile game yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta. Selain mobile game, banyak aplikasi dengan pemasukan lebih dari US$1 juta yang masuk dalam kategori Social Networking dan Entertainment. Jumlah aplikasi Social Networking yang berhasil mendapatkan US$1 juta di tahun ini adalah 62 aplikasi. Sementara di sektor Entertainment, ada 41 aplikasi yang berhasil mendapatkan US$1 juta.

Selain mobile game, Social Networking, dan Entertainment, aplikasi-aplikasi yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta berasal dari kategori Productivity dan Sports. Jumlah aplikasi Productivity dengan total spending lebih dari US$1 juta di 2021 mencapai 34 aplikasi, naik dari 21 aplikasi pada tahun lalu. Sementara di kategori Sports, di tahun ini, ada 18 aplikasi yang berhasil mendapatkan pemasukan sebesar US$1 juta, naik dari 5 aplikasi pada tahun lalu.

Kategori aplikasi-aplikasi yang berhasil mendapatkan US$1 juta. | Sumber: Sensor Tower

Di masa depan, spending yang dilakukan oleh konsumen di mobile game dan aplikasi mobile diperkirakan masih akan mengalami kenaikan. Sayangnya, jumlah aplikasi yang akan bisa mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta justru diduga akan berkurang. Alasannya adalah perubahan kebiasaan konsumen.

Pandemi COVID-19 pada 2020 membuat kebiasaan konsumen dalam memasang aplikasi mobile berubah drastis. Mereka cenderung mau untuk memasang aplikasi baru. Namun, seiring dengan semakin terkendalinya pandemi, maka kebiasaan penggunaan aplikasi konsumen mulai kembali normal seperti sebelum pandemi. Hal ini tercermin dari menurunnya jumlah aplikasi yang diunduh oleh konsumen pada tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Selain itu, jumlah aplikasi yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta di tahun 2021 sebenarnya lebih sedikit dari tahun 2020. Di tahun lalu, jumlah aplikasi dengan total spending lebih dari US$1 juta adalah 1.003 aplikasi: 636 aplikasi iOS dan367 aplikasi Android.

Sumber header: Sensor Tower

Tantangan dan Potensi Game Blockchain Menurut Blockchain Game Alliance

Sama seperti teknologi, dari tahun ke tahun, game juga terus berubah. Tahun ini, muncul tren baru dalam industri game, yaitu blockchain game dan game Nonfungible Token (NFT). Menurut laporan dari Blockchain Game Alliance (BGA), total pemasukan dari game-game NFT pada Q3 2021 mencapai US$2,32 miliar. Hal itu berarti, game NFT memberikan kontribusi sebesar 22% pada total volum transaksi NFT di industri.

Didirikan pada 2018, BGA merupakan grup advokasi untuk game NFT. Ketika didirikan, grup itu hanya memiliki delapan anggota. Sekarang, jumlah anggota mereka telah menjadi 300 perusahaan. Sebanyak 198 perusahaan baru mendaftar sebagai anggota BGA pada 2021. Laporan yang BGA dibuat didasarkan pada survei yang mereka adakan pada ratusan perusahaan yang menjadi anggota mereka tersebut.

Dalam laporan tersebut, BGA membahas tentang tantangan yang dihadapi dalam industri blockchain game serta masa depan blockchain game.

Industri Blockchain Game Dipenuhi dengan Pekerja Muda

Sepanjang 2021, blockchain game menjadi salah satu topik yang disorot oleh media. Tak hanya itu, ada banyak perusahaan blockchain game yang mendapatkan kucuran dana. Salah satunya adalah Animoca Brands. Mereka mendapatkan pendanaan sebesar US$88 juta di bulan Mei 2021. Pada Juli 2021, mereka kembali mendapatkan investasi sebesar US$65 juta dan terakhir, mereka mendapatkan modal sebesar US$65 juta pada Oktober 2021. Sekarang, perusahaan itu telah berstatus sebagai unicorn, startup yang valuasinya telah menembus US$1 miliar.

Blockchain gaming adalah industri yang masih sangat muda. Karena itu, mungkin tidak aneh jika industri tersebut juga diisi oleh orang-orang yang masih muda. Sebanyak 48,6% pekerja di industri blockchain game ada di rentang umur 25-34 tahun dan 30,7% lainnya di rentang umur 35-44 tahun. Dari segi lama bekerja, sebanyak 42,5% pekerja mengatakan, mereka baru bekerja di industri blockchain gaming selama kurang dari 1 tahun dan sebanyak 38,2% pekerja lainnya telah bekerja selama 1-3 tahun.

Industri blockchain game adalah industri yang masih sangat muda. | Sumber: VentureBeat

Sementara itu, kebanyakan perusahaan yang bergerak di bidang blockchain gaming bukanlah perusahaan besar. Sekitar 60% perusahaan blockchain gaming mempekerjakan kurang dari 50 karyawan dan 25% lainnya memiliki pegawai kurang dari 10 orang.

Selama periode Januari sampai November 2021, lima blockchain game dengan jumlah Unique Active Wallets harian paling banyak adalah Alien Worlds, Axie Infinity, Splinterlands, CryptoMines, dan Bomb Crypto. Per September 2021, jumlah Unique Active Wallets harian di Splinterlands mencapai 245 ribu dompet, naik 3.267% jika dibandingkan dengan pada akhir Q2 2021.

Masa Depan dari Industri Blockchain Game

Dari survei yang diadakan oleh BGA, sebanyak 86% responden percaya, teknologi blockchain akan diadopsi oleh industri game tradisional dalam waktu dua tahun. Dan memang, sepanjang 2021, ketertarikan masyarakat akan blockchain gaming terus naik. Hal ini bisa terlihat meningkatnya pencarian akan blockchain gaming, menurut data Google Trends. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pencarian dengan kata kunci blockchain gaming, game NFT, dan play-to-earn mengalami kenaikan yang signifikan pada bulan Juli 2021.

Pencarian dengan kata kunci blockchain game menunjukkan kenaikan. | Sumber: VentureBeat

“Satu hal yang sangat menarik pada 2021 adalah betapa cepatnya topik rumit seperti NFT atau mekanisme play-to-earn menarik perhatian komunitas gaming di seluruh dunia,” kata Jon Jordan, Editor-At-Large, BlockchainGamer.biz. “Jelas, salah satu faktor yang mendorong hal itu adalah adanya game-game blockchain-first seperti NBA Top Shot dan Axie Infinity. Di awal 2022, saya ingin melihat bagaimana perusahaan game tradisional akan mulai membuat game-game NFT atau blockchain.”

Blockchain gaming kini menjadi segmen favorit di industri,” kata Dragos Dunica, Co-founder dari DappRadar. Dia mengatakan, meningkatnya jumlah pemain blockchain game, digabung dengan keberadaan decentralized app dan tren gaming saat ini, maka semua itu akan menciptakan metaverse. “Di masa depan, cara kita berkomunikasi, bermain, berdagang, dan bersosialisasi akan berubah sama sekali. Blockchain gaming adalah katalis yang mendorong terciptanya pusat dari dunia virtual yang akan kita tinggali.”

Tantangan di Industri Blockchain Game

Survei dari BGA memang disambut dengan baik. Meskipun begitu, masih ada banyak tantangan yang pelaku industri blockchain game harus hadapi. Buktinya, ketika Ubisoft menggunakan NFT di game Ghost Recon Breakpoint, banyak gamers yang protes.

Berdasarkan survei BGA, beberapa tantangan yang ada di industri blockchain gaming antara lain ketidakpastian regulasi, kebutuhan edukasi, keterbatasan teknologi, pengalaman penggunaan yang buruk, kualitas gameplay, ketiadaan pekerja ahli, ketiadaan standar industri, implementasi yang sulit, dan lain sebagainya. Sebanyak 52% responden mengatakan, regulasi merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh indusri blockchain game.

“Teknologi bergerak dengan cepat dan para regulator kesulitan untuk bisa mengikuti laju perkembangan teknologi,” kata Gianluigi Guida, rekan di Guida & Associates. “Meskipun begitu, regulasi dasar diperlukan untuk membantu developer memahami batasan yang tidak boleh mereka lewati.” Lebih lanjut dia menjelaskan, dengan adanya peraturan yang jelas, pelaku industri blockchain gaming akan bisa membuat produk sesuai dengan peraturan tersebut. Menurutnya, hal ini bisa membantu pelaku industri blockchain gaming untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.

Edukasi menjadi masalah lain di industri blockchain gaming. Sebanyak 43% responden menganggap, edukasi tentang konsep dasar blockchain game merupakan masalah terbesar kedua di industri. Memang, 59% responden menjelaskan, orang-orang yang tidak memahami blockchain gaming akan berasumsi bahwa game itu merupakan penipuan.

Tantangan yang dihadapi pelaku industri blockchain gaming. | Sumber: VentureBeat

“Sejak saya memasuki dunia blockchain gaming pada enam tahun lalu, sekarang adalah periode yang paling menarik. Karena, dana investasi yang masuk ke blockchain gaming mengalir deras, jumlah pengguna meroket, dan media-media besar dunia membahas tentang blockchain gaming,” kata Sebastien Borget, Presiden dari BGA, seperti dikutip dari VentureBeat. “Karena perhatian banyak orang tertuju ke blockchain gaming, kami juga menerima banyak kritik terkait berbagai isu, seperti ketidaktahuan masyarakat akan blockchain gaming, manfaat blockchain gaming untuk developer dan gamers, dampak NFT ke lingkungan, serta regulasi tentang aset digital yang belum jelas.”

Borget mengatakan, sebagian kritik yang ditujukan ke pelaku blockchain gaming memang bersifat konstruktif dan membuka diskusi tentang masalah yang mungkin muncul di masa depan. Namun, sebagian kritik lainnya justru menakut-nakuti masyarakat. Menurut Borget, hal itulah yang membuat sejumlah kejadian yang disesalkan terjadi, seperti keputusan Valve untuk memblokir blockchain game dari Steam.

Faktor Pendorong Pertumbuhan Industri Blockchain Game

Walau ada banyak tantangan yang harus dihadapi di industri blockchain game, responden survei dari BGA tetap optimistis bahwa industri blockchain game masih akan tumbuh di masa depan. Sebanyak 68% responden memperkirakan, mekanisme play-to-earn akan menjadi faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan industri blockchain game.

Play-to-earn adalah mekanisme game baru, memungkinkan pemain untuk mendapatkan cryptocurrency ketika mereka bermain game. Cryptocurrency yang didapat oleh pemain lalu bisa ditukar dengan uang di dunia nyata. Berkat adanya mekanisme play-to-earn, ada banyak studio muda yang berhasil tumbuh. Tak hanya itu, game-game play-to-earn juga memberikan dampak besar di negara-negara berkembang, seperti Filipina atau kawasan Amerika Latin. Di kedua kawasan itu, game play-to-earn seperti Axie Infinity bisa menjadi sumber pemasukan bagi para pemainnya, apalagi karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan mereka akibat pandemi COVID-19.

Memang, mekanisme play-to-earn diperkirakan akan menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan industri blockchain gaming. Namun, para responden survei BGA juga mengatakan, gameplay yang menarik tidak kalah penting untuk menumbuhkan industri blockchain gaming. Sebanyak 83% responden mengatakan, elemen paling penting dari blockchain game adalah kualitas gameplay.

“Sekarang, memang sudah ada game-game blockchain sukses yang menyenangkan untuk dimainkan,” kata Lenny Peterson, Acting Managing Director, Antler Interactive. “Tapi, agar blockchain game bisa diadopsi secara massal, maka kualitas dan aksesibilitas dari blockchain game tetap harus ditingkatkan.”

Jika pelaku industri blockchain gaming ingin agar industri itu terus tumbuh, hal lain yang harus mereka lakukan adalah terus memperbaiki kualitas grafik dan gameplay dari blockchain game. Sebanyak 56% responden mempercayai hal tersebut. Sementara itu, 51% responden mengatakan, membuat blockchain game yang didasarkan pada franchise yang sudah terkenal juga punya potensi untuk mendorong pertumbuhan industri blockchain game.

Alasan Di Balik Strategi Investasi Agresif Tencent

Sekarang, Tencent merupakan publisher game terbesar di dunia. Sejauh ini, strategi Tencent untuk mengembangkan bisnis game mereka adalah dengan mengakuisisi atau membeli saham dari berbagai perusahaan game. Sepanjang 2021, Tencent masih menggunakan strategi yang sama untuk membangun bisnis game mereka.

Bulan Desember 2021, Tencent mengakuisisi Turtle Rock, developer dari Left 4 Dead. Pada Juli 2021, Tencent mengeluarkan US$1,27 miliar untuk membeli developer asal Inggris, Sumo. Di era sebelum 2020, strategi Tencent dalam mengakuisisi atau menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game terbilang konservatif. Mereka hanya tertarik dengan perusahaan-perusahaan yang telah meluncurkan game sukses. Contohnya, Riot Games, yang membuat League of Legends.

Namun, pada 2020, Tencent mulai mengubah strategi mereka. Pada 2021, mereka bahkan sangat aktif dalam melakukan akuisisi atau membeli saham dari perusahaan-perusahaan game. Menurut Niko Partners, rata-rata, Tencent melakukan 2,5 transaksi bisnis per hari, mulai dari pembelian saham sampai akusisi. Per 10 Mei 2021, Tencent telah menandatangani 51 transaksi bisnis, jauh lebih banyak dari total transaksi bisnis yang mereka lakukan pada 2020 — yang hanya mencapai 31 transaksi sepanjang tahun.

Walau Tencent menjadi lebih agresif dalam mengakuisisi atau membeli saham perusahaan-perusahaan game, mereka tidak mencoba untuk melakukan rebranding pada perusahaan yang sudah mereka akuisisi atau modali. Sebaliknya, Tencent biasanya membiarkan perusahaan-perusahaan itu beroperasi secara mandiri.

Tencent kini masih menjadi publisher game nomor satu. | Sumber: Niko Partners

Melihat sikap Tencent yang menjadi lebih agresif dalam mengakuisisi atau membeli perusahaan gameNiko Partners mencoba untuk menjelaskan tiga alasan di balik perubahan strategi tersebut.

1. Ancaman dari Alibaba dan ByteDance

Salah satu alasan mengapa Tencent menjadi lebih agresif dalam melakukan investasi dan akuisisi di industri game sepanjang 2021 adalah karena mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan dua raksasa teknologi Tiongkok lain: Alibaba dan ByteDance, perusahaan induk TikTok.

Memang, pada awal 2020, ByteDance dikabarkan berencana untuk membuat divisi gaming. Tak hanya itu, sekarang, mereka juga mempekerjakan hampir 3 ribu orang untuk membuat game sendiri. Sejauh ini, mereka telah sukses dengan Ragnarok X: Next Generation di Hong Kong dan Taipei, serta One Piece: The Voyage di Tiongkok. Tak berhenti sampai di situ, pada Maret 2021, ByteDance mengakuisisi Moonton, developer dari Mobile Legends.

ByteDance beli Moonton di tahun 2021. | Sumber: IGN

Sementara itu, pada September 2019, Alibaba meluncurkan Three Kingdoms: Tactics, game yang didasarkan intellectual property (IP) Koei Techmo. Berkat game tersebut, Alibaba sukses menjadi publisher mobile game terbesar ke-4 di Tiongkok pada 2020. Di tahun yang sama, mereka memutuskan untuk memindahkan divisi gaming mereka dari segmen “inisiatif inovasi” — berisi bisnis-bisnis kecil yang bersifat eksperimental — ke segmen “hiburan dan media digital”. Alasannya adalah karena mereka menganggap, bisnis game mereka sudah berkembang cukup besar.

 2. Munculnya Game-Game Populer dari Developer Menengah

Tencent tidak hanya menghadapi persaingan dari perusahaan raksasa seperti Alibaba dan ByteDance, tapi juga dari perusahaan-perusahaan game skala menengah, seperti miHoYo, Lilith Games, dan QingCi Digital. Dari tiga perusahaan itu, Tencent hanya memiliki saham di QingCi Digital. Dan nilai saham yang mereka miliki hanyalah 3,33%, yang mereka beli seharga RMB101 juta (sekitar Rp225, 6 miliar). Padahal, ketiga perusahaan itu telah mengeluarkan game-game sukses.

Developer miHoYo berhasil meraih sukses di kancah global dengan Genshin Impact. Game itu hanya membutuhkan waktu 12 hari untuk mendapatkan US$100 juta, yang merupakan total biaya produksi dari game tersebut. Tak hanya itu, pada Maret 2021, 5 bulan sejak Genshin Impact diluncurkan, game itu telah berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar ke-3 di dunia. Dan menurut Niko Partners, total pemasukan dari Genshin Impact di semua platform telah menembus US$1,5 miliar.

Rise Kingdoms berhasil mengalahkan game Tencent dengan genre yang serupa.

Sementara itu, Lilith Games meluncurkan AFK Arena dan Rise of Kingdoms di Tiongkok pada tahun lalu. AFK Arena adalah turn-based RPG sementara Rise of Kingdoms merupakan real-time multiplayer 4x strategy game. Menariknya, pada tahun lalu, Tencent sebenarnya juga meluncurkan game dengan genre yang sama seperti AFK Arena dan Rise of Kingdoms. Namun, game dari Tencent masih kalah populer dari kedua game buatan Lilith.

3. Keinginan untuk Kuasai Pasar Game International

Saat ini, Tiongkok memang masih menjadi pasar game paling besar. Sekitar 33% dari total pemasukan game PC dan mobile berasal dari Tiongkok. Meskipun begitu, Tencent juga tertarik untuk memasuki pasar game internasional. Sekarang, pasar game internasional hanya berkontribusi sebesar 21% dari total pemasukan Tencent. Mereka berencana untuk meningkatkan angka itu menjadi 50%.

Di pasar game internasional, sebagian besar dari pemasukan Tencent berasal dari IP yang lisensinya mereka beli, seperti PUBG Mobile dan Call of Duty Mobile. Dari segi platform, mobile masih memberikan kontribusi paling besar. Meskipun begitu, Tencent juga sadar, nilai pasar game PC dan konsol di luar Tiongkok bernilai US$70 miliar. Jadi, walau mobile jadi salah satu prioritas mereka, mereka juga tidak mengacuhkan pasar game PC atau konsol. Selain itu, mereka juga merasa, mereka masih bisa menumbuhkan bisnis game PC mereka di Tiongkok.

Di masa depan, Tencent juga berencana untuk mengembangkan game AAA yang bisa dimainkan di berbagai platform. Sementara mereka membuat game tersebut, mereka juga akan terus menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game yang memang sudah punya pengalaman dalam membuat game AAA.

Menilik Strategi Investasi Agresif Tencent

Per 10 Mei 2021, Tencent telah mengakuisisi atau menanamkan investasi di 51 perusahaan game. Dari semua perusahaan game itu, sebanyak 39 perusahaan berasal dari Tiongkok dan 12 sisanya berasal dari luar Tiongkok. Lima dari 12 perusahaan asing yang Tencent akuisisi atau berikan modal berasal dari Korea Selatan. Kesamaan lain dari lima perusahaan itu adalah mereka fokus untuk membuat game PC atau mobile. Tahun ini, Tencent sama sekali tidak melirik perusahaan Amerika Serikat. Kemungkinan, alasannya adalah karena masalah geopolitik. Bahkan saat ini, kepemilikan saham Tencent di Riot Games dan Epic Games menjadi perhatian dari Committee on Foreign Investments in the United States (CFIUS).

Hampir setengah dari 51 perusahaan game yang menarik perhatian Tencent punya pengalaman dalam membuat game konsol atau PC. Menariknya, banyak dari perusahaan tersebut yang bermarkas di Tiongkok. Seperti yang disebutkan oleh Niko Partners, keputusan Tencent untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok yang membuat game PC dan konsol adalah sesuatu yang baru. Pasalnya, di 2020, kebanyakan perusahaan game asal Tiongkok yang mendapatkan investasi atau diakuisisi oleh Tencent merupakan perusahaan yang membuat mobile game.

Pada 2021, Tencent justru menginvestasikan dana mereka ke perusahaan yang membuat game PC atau konsol, seperti Game Science yang membuat Black Myth: Wu Kong, Surgical Scalpels yang merupakan kreator dari Project Boundary, atau UltiZero Games yang membuat Lost Soul Aside. Tujuan Tencent menanamkan modal di perusahaan-perusahaan tersebut adalah karena mereka ingin memperkuat posisi mereka di pasar game PC lokal, yang diperkiran akan kembali tumbuh pada 2022.

Tak hanya di dalam negeri, Tencent juga tertarik untuk menanamkan saham atau mengakuisisi perusahaan game yang membuat game atau konsol di luar Tiongkok, seperti Fatshark, Bohemia Interactive, Dontnod Studios, dan Klei. Salah satu tujuan mereka adalah untuk membawa game-game dari perusahaan itu ke Tiongkok. Tujuan lainnya adalah karena mereka ingin bisa mendapatkan keahlian perusahaan-perusahan itu dalam membuat game PC dan konsol.

Tencent Mulai Perhatikan Gamers Perempuan

Pada 2021, Tencent juga berusaha untuk memperkaya portofolio akan perusahaan yang mereka akuisisi atau modali. Sekarang, mereka juga tertarik dengan perusahaan yang membuat game untuk gamers perempuan atau game dengan konten anime. Dalam satu tahun terakhir, mereka telah menanamkan modal di 14 perusahaan yang membuat game dengan gaya anime dan game untuk perempuan.

Sebelum ini, Tencent sebenarnya telah membuat game yang didasarkan pada anime, seperti Naruto dan Dragon Ball. Meskipun begitu, game anime Tencent tidak sesukses Genshin Impact dari miHoYo atau Onmyoji dari NetEase. Alasan mengapa Tencent tertarik dengan game bergaya anime atau game yang menargetkan gamers perempuan adalah karena pada akhir 2020, ada lebih dari 350 juta gamers perempuan dan 300 juta fans ACGN (Animation, Comic, Game, dan Novel) di Tiongkok.

Perubahan lain dalam strategi investasi Tencent adalah sekarang, mereka lebih bersedia untuk menanamkan modal ke perusahaan-perusahaan muda. Dalam dua tahun terakhir, mereka telah memberikan investasi pada enam perusahaan yang baru membuat sedikit produk atau bahkan belum mengeluarkan produk sama sekali. Tampaknya, alasan mengapa Tencent menjadi lebih proaktif dalam menanamkan investasi adalah karena ancaman dari developer game skala menengah seperti miHoYo dan Lilith Games.

Acara Awards dan Penghargaan Tahunan di Industri Game, Pentingkah?

Jika industri film punya Academy Awards alias Oscars, industri game punya The Game Awards. Namun, sementara penyelenggaraan Oscars 2021 sempat ditunda karena lockdown, TGA 2021 tetap diselenggarakan seperti biasa. Salah satu alasannya adalah karena sejak pertama kali diadakan pada 2014, TGA memang lebih fokus pada siaran online daripada siaran di TV.

Faktanya, TGA 2021 justru baru saja memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak, menurut laporan ScreenRant. Pada tahun ini, jumlah penonton TGA 2021 mencapai 85 juta orang, lebih banyak 2 juta daripada jumlah penonton pada tahun lalu. Selain itu, TGA 2021 juta memecahkan rekor Watch Time di YouTube, dengan total viewership mencapai 1,75 juta jam di platform video tersebut.

Pertanyaannya: seberapa penting The Game Awards untuk industri game?

Awal Mula The Game Awards

The Game Awards pertama kali diadakan pada 2014. Geoff Keighley, jurnalis game asal Kanada, merupakan kreator di balik awards show tersebut. Kali pertama Keighley melibatkan diri dalam acara penghargaan game adalah pada 1994, yaitu dengan Cybermania ’94: The Ultimate Gamer Awards. Walau acara tersebut dianggap kurang sukses, ia berhasil membuat Keighley tertarik untuk membuat acara game awards-nya sendiri.

Pada 2003, Keighley bekerja untuk Spike, saluran televisi kabel dan satelit asal Amerika Serikat. Ketika itu, dia menjadi produser dari Video Game Awards (VGA). Selain sebagai produser, dia juga sering menjadi host dalam acara tersebut. Tujuan dari VGA adalah untuk memamerkan game-game yang diluncurkan dalam satu tahun.

Spike memberikan dukungan besar untuk penyelenggaraan VGA. Pada 2012, mereka bahkan mengajak Samuel L. Jackson sebagai host dari acara itu. Namun, pada 2013, dukungan Spike untuk VGA surut. Alasannya, karena mereka ingin mengurangi program yang ditujukan untuk penonton laki-laki. Setelah itu, Spike mengubah nama VGA menjadi VGX, untuk menunjukkan bahwa acara itu akan fokus ke konsol terbaru saat itu, yaitu PlayStation 4 dan Xbox One.

Samuel L. Jackson di VGA. | Sumber: USA Today

Acara VGX di 2013 dianggap mengecewakan, karena porsi iklan yang sangat besar. Meskipun begitu, Spike tetap menawarkan Keighley untuk mengadakan VGX di tahun 2014, dengan syarat, acara itu hanya akan ditayangkan secara online, tapi tidak di TV. Keighley akhirnya memutuskan untuk keluar, sementara hak kepemilikan atas VGX tetap dipegang oleh Spike. Di 2014, Spike mengumumkan bahwa mereka memutuskan untuk berhenti mengadakan VGX sama sekali.

Sementara itu, Keighley mencari dukungan dari perusahaan konsol — Microsoft, Nintendo, dan Sony — serta beberapa publisher ternama untuk membuat awards show baru. Dan lahirlah The Game Awards. Di awards show itu, Keighley juga menanamkan modal sebesar US$1 juta.

Sejak awal, Keighley fokus untuk menayangkan TGA di platform streaming. Sekarang, awards show itu disiarkan di lebih dari 45 platform streaming di dunia, termasuk lebih dari 20 platform di Tiongkok, 7 di India, dan 4 di Jepang. Keputusan Keighley untuk fokus pada siaran online berbuah manis. Dari tahun ke tahun, jumlah penonton TGA menunjukkan tren naik. Sebaliknya, jumlah penonton Oscars justru terus turun. Tahun ini, jumlah penonton Oscars hanya mencapai 9,23 juta orang, turun 51% dari 18,7 juta orang pada 2020.

“Saya ingin menjadikan The Game Awards sebagai awards show terbesar di dunia,” kata Keighley pada Protocol. “Oscars punya reputasi cemerlang. Dan walau game punya industri yang lebih bsear dan merupakan media yang lebih powerful dari media hiburan lain, game tetap tidak mendapatkan penerimaan yang sama dari masyarakat. Banyak orang yang memiliki persepsi yang salah akan game dan tetap tidak mau menganggap game sebagai media yang powerful. Jadi, kami punya kesempatan untuk tidak hanya menunjukkan bahwa game punya arti penting bagi para core gamers, tapi juga menampilkan sisi terbaik dari industri game.”

Walau The Game Awards sering disebut sebagai “Oscars untuk game“, TGA punya beberapa perbedaan dengan awards show di industri film itu. Salah satunya, TGA tidak hanya fokus untuk mengumumkan game-game yang berhasil memenangkan berbagai kategori, awards show itu juga menjadi ajang bagi perusahaan game untuk memberikan pengumuman penting akan rencana mereka di tahun berikutnya. Misalnya, Microsoft mengumumkan rencana mereka untuk meluncurkan Xbox Series X pada TGA 2019. Selain itu, keberadaan sejumlah game diungkap dalam TGA, seperti Far Cry New Dawn dari Ubisoft, Marvel: Ultimate Alliance 3 dari Nintendo, dan Mortal Kombat 11 dari Warner Bros. Interactives.

“The Game Awards berhasil menjadi salah satu acara tahunan terbesar dalam industri game karena acara tersebut berhasil membangun hubungan erat dengan komunitas gamers di seluruh dunia,” kata David Haddad, President, Warner Bros. Interactive pada The Hollywood Reporter. “Kami memilih untuk mengumumkan Mortal Kombat 11 di Game Awards karena kami ingin menarik perhatian banyak gamers di dunia.”

Tak hanya peluncuran game baru, TGA juga bisa menjadi ajang promosi untuk sejumlah film. termasuk Shaft, Aquaman, dan Birds of Prey dari Warner Bros. Andrew Hotz, Executive VP Global Digital Marketing dan Chief Data Strategist, Warner Bros. menjelaskan, alasan mereka mempromosikan film mereka di TGA adalah karena setiap kali mereka melakukan hal itu, film yang mereka promosikan akan menjadi bahan pembicaraan di media sosial.

Mekanisme The Game Awards

“Best Game of The Year” adalah penghargaan paling tinggi yang diberikan dalam The Game Awards. Pertanyaannya: bagaimana cara untuk mengukur kualitas game, ketika penilaian gamers akan game yang mereka mainkan sangat subjektif? Gamers yang memang suka dengan game dengan narasi berbobot cenderung suka dengan game-game single-player. Namun, gamers yang menganggap gaming sebagai kegiatan sosial justru akan lebih sering memainkan game-game multiplayer.

Menentukan game terpopuler justru lebih mudah daripada game terbaik. Karena, popularitas bisa diukur menggunakan pemungutan suara. Sayangnya, popularitas bukan jaminan kualitas. Game yang menjadi pembicaraan banyak orang belum tentu sudah sempurna. Mari kita jadikan Cyberpunk 2077 sebagai contoh. Walau game itu dibicarakan banyak orang — sebelum dan sesudah diluncurkan — game itu dipenuhi dengan banyak bugs ketika diluncurkan. Bahkan, game buatan CD Projekt itu sempat ditarik dari PlayStation Store oleh Sony, meski game tersebut kemudian kembali tersedia di toko digital itu.

Jadi, bagaimana cara TGA untuk memilih “Best Game of The Year” atau game pemenang dalam kategori lain? Dalam situs resminya, TGA menjelaskan bahwa pemenang penghargaan ditentukan berdasarkan pemungutan suara dari para juri dan juga masyarakat umum. Gamers bisa memberikan suaranya melalui situs TheGameAwards.com atau melalui media sosial. Bagi gamers Tiongkok, mereka bisa ikut dalam pemungutan suara melalui Bilibili. Satu hal yang harus diingat, bobot penilaian para juri jauh lebih besar daripada suara para gamers. Pemungutan suara para juri memiliki bobot 90%, dan voting dari para gamers 10%.

Beberapa proses dalam TGA. | Sumber: TheGameAwards

Di situs resminya, TGA juga mengungkap mengapa mereka tidak menentukan pemenang penghargaan berdasarkan pemungutan suara para gamers. Salah satu alasannya, karena hal ini dianggap tidak adil bagi game yang hanya diluncurkan dalam satu platform. Jika sebuah game diluncurkan secara eksklusif untuk satu platform, maka jumlah pemain dan fans dari game itu pun akan lebih sedikit dari game yang diluncurkan di banyak platform. Jadi, game-game eksklusif akan punya kemungkinan yang lebih kecil untuk menang, jika TGA menggunakan sistem voting. Selain itu, TGA juga ingin memastikan bahwa pemenang dari TGA tidak bisa dimanipulasi melalui media sosial.

Sama seperti Oscars atau awards show lainnya, The Game Awards juga punya daftar nominasi untuk setiap kategori. Menentukan game-game yang masuk nominasi melibatkan lebih dari 100 juri. Para juri terdiri dari perusahaan media dan influencer gaming. Jika juri merupakan perusahaan media, maka daftar nominasi yang mereka berikan merupakan cerminan dari pendapat semua karyawan perusahaan. TGA memilih para juri berdasarkan rekam jejak mereka dalam memberikan penilaian pada sebuah game.

Setiap juri bisa menominasikan lima game dalam satu kategori. Setelah suara para juri dikumpulkan, TGA akan memilih lima game yang mendapatkan suara paling banyak dari para juri untuk masuk nominasi. Bobot suara dari masing-masing juri sama. Jadi, tidak ada juri yang memiliki hak veto. Untuk kategori khusus — seperti esports dan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas — TGA akan meminta bantuan dari juri-juri khusus.

The Game Awards menganggap, menggabungkan sistem voting antara para juri dan masyarakat umum merupakan cara paling efektif untuk bisa memberikan penilaian kritis akan sebuah game. Meskipun begitu, saya percaya, setiap juri dalam TGA tetap punya bias subjektif. Selain itu, kemungkinan besar, para juri akan memilih game AAA atau game indie yang memang tengah populer. Alasannya, mereka tidak mungkin bisa mengetahui — apalagi memainkan — semua game yang diluncurkan dalam satu tahun. Di Steam saja, jumlah game baru yang diluncurkan sepanjang 2020 mencapai lebih dari 10 ribu game. Dan angka itu belum mencakup game-game yang diluncurkan untuk konsol.

Jumlah game yang diluncurkan di Steam dari tahun ke tahun. | Sumber: Statista

Selain subjektivitas para juri, masalah lain yang mungkin muncul di The Game Awards adalah tentang metode pengelompokkan game. Genre menjadi salah satu cara untuk mengategorikan game. Hanya saja, belakangan, semakin banyak game yang mencampuradukkan genre yang sudah ada. Sebagai contoh, Borderlands. Game itu masuk dalam kategori FPS karena ia memang merupakan game shooter dengan sudut pandang orang pertama. Di sisi lain, Borderlands juga bisa dikategorikan sebagai RPG karena game itu memiliki sistem progression, seperti level karakter dan skills.

Padahal, TGA punya kategori Best Action Game, Best Action/Adventure Game, dan Best Role-Playing Game. Jika sebuah game menggabungkan beberapa genre tersebut, apakah hal itu berarti mereka bisa dinominasikan dalam semua kategori itu?

The Game Awards vs Oscars

Jumlah penonton Academy Awards menunjukkan tren turun, menurut data dari Statista. Pada 2010, jumlah penonton Oscars mencapai 41,62 juta orang. Angka ini turun menjadi 9,85 juta orang pada 2021. Meskipun begitu, Oscars punya fungsi tersendiri di industri film. Salah satunya, sebagai bukti pengakuan industri akan bakat seseorang atau kualitas dari sebuah film. Bagi aktor atau aktris, memenangkan atau hanya masuk dalam nominasi Oscars bisa membantu mereka untuk mengembangkan karir mereka. Sementara bagi studio film, menjadi pemenang atau nominasi Oscars bisa menjadi alat untuk mempromosikan film mereka.

Jumlah penonton Oscars di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

“Pertanyaan akan relevansi dari Academy Awards telah muncul sejak lama,” kata seorang awards strategist yang memberikan konsultasi pada sejumlah studio besar pada Washington Post. Dia rela diwawancara, tapi enggan untuk disebutkan namanya. “Para pelaku industri film ingin mendapatkan penghargaan demi memuaskan ego mereka dan karena penghargaan itu bisa membantu karir mereka. Sementara pihak studio ingin membantu para talents di industri film karena hal itu akan membantu mereka.”

Menariknya, Academy Awards pertama kali diadakan untuk mencegah para pekerja di industri film — seperti sutradara, aktor, dan penulis skenario — untuk membentuk perserikatan. Tujuan lainnya adalah untuk membangun reputasi Hollywood di mata masyarakat umum. Jadi, walau Oscars merupakan bentuk apresiasi industri film pada orang-orang berbakat di dalamnya, penghargaan itu juga penuh dengan intrik politik di belakang layar, ungkap analis film industri film, Stephen Follows.

Follows menegaskan, film yang memenangkan Oscars tidak selalu merupakan film terbaik yang dirilis pada tahun itu. “Semakin banyak data yang saya amati, semakin banyak orang yang saya ajak bicara, semakin saya sadar bahwa para pemimpin politik industri film selalu mempekerjakan orang-orang terbaik,” katanya pada Washington Post.

Salah satu orang yang memperlakukan Oscars seperti pemilihan umum adalah Harvey Weinsten, seorang produser yang memiliki dua perusahaan: Miramax dan Weinstein Company. Saat ini, karirnya sudah hancur karena dia terbukti sebagai pemerkosa. Namun, sebelum itu, dia memiliki taktik khusus untuk membuat film dari perusahaannya menang Oscars. Dikabarkan, dia menyebarkan kabar negatif tentang film-film yang menjadi pesaing dari film di bawah perusahannya. Dia juga berusaha untuk memenangkan hati para pemilih.

Taktik Weinsten terbukti sukses. Pasalnya, Shakespeare in Love — film buatan John Madden yang didistribusikan oleh Miramax — berhasil mengalahkan Saving Private Ryan — dari Steven Spielberg — pada Oscars 1999. Padahal, film buatan Spielberg diperkirakan akan memenangkan penghargaan Best Picture. Dan walau Weinstein kini tak lagi punya tempat di industri film, strategi yang dia gunakan untuk mempopulerkan film-film dari perusahaannya tetap digunakan sampai sekarang.

Shakespeare in Love. | Sumber: IMDB

Bagi aktor atau aktris, memenangkan atau masuk dalam nominasi Oscar merupakan pengakuan industri akan kemampuan mereka. Matt Damon bercerita, karirnya menanjak pesat setelah dia memenangkan Best Original Screenplay pada Oscars 1997. Hal yang sama terjadi pada Jennifer Lawrence, yang mulai dikenal setelah dia masuk nominasi Best Actress pada 2010.

Sayangnya, bagi sebagian aktor atau aktris, memenangkan Oscar justru merupakan bencana. Salah satu aktris yang mengalami hal ini adalah Halle Berry, aktris berkulit hitam pertama yang memenangkan penghargaan Best Actress. Dia bercerita, dia justru kesulitan untuk mendapatkan peran yang berbobot setelah memenangkan Oscars. Kepada Variety, dia menyebutkan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagai “kutukan Oscar”.

Hal yang sama juga terjdi pada Rita Moreno, aktris Latina pertama yang memenangkan Oscar berkat perannya di West Side Story. Dia bercerita, walau dia mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah ketika dia memenangkan Oscars, dia tidak mendapatkan banyak tawaran peran setelah itu.

“Saya mendapatkan tawaran untuk bermain di beberapa film. Kebanyakan dari film itu bercerita tentang gang, tapi dalam skala yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan West Side Story. Tentu saja, hal ini sangat megencewakan bagi saya,” ujar Moreno. Dia menambahkan, memenangkan Oscar tidak memberikan perubahan berarti untuk karirnya. Dia juga mengatakan, dia tidak berusaha untuk menjelekkan Oscars atau awards show lain, tapi, memang ada perlakuan tidak adil pada kelompok minoritas di industri film.

Secara teori, keberadaan Oscars seharusnya memberikan kesempatan bagi aktor atau aktris yang belum dikenal, membantu mereka untuk dikenal lebih banyak orang dan meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan peran penting dalam film. Dan jika mereka bisa memainkan peran penting, kesempatan mereka untuk kembali memenangkan atau masuk dalam nominasi Oscars akan menjadi semakin besar.

Hanya saja, aktor atau aktris dari kelompok minoritas justru mengalami kesulitan untuk masuk nominasi Oscars. Dan terkadang, masuk dalam Oscars justru merusak karir mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam Academy Awards, menurut Franklin Leonard, produser dan pendiri dari Black List. Adanya ketidakadilan ini berarti, Oscars bisa menguntungkan kelompok tertentu, tapi justru mempersulit kelompok yang lain.

Nominasi dari Best Game of The Year.

Sekarang, mari kita bandingkan apa yang terjadi di industri film dengan industri game. Kabar baiknya, sejauh yang saya tahu, tidak perusahaan game yang breusaha melakukan lobbying untuk membuat game mereka menang atau masuk dalam nominasi di The Game Awards.

Namun, hal itu tidak mengubah fakta bahwa perusahaan-perusahaan game besar lebih diuntungkan dengan keberadaan TGA daripada developer indie. Kenapa? Seperti yang sudah dibahas di atas, ada ribuan game yang diluncurkan setiap tahun. Karena para juri di TGA tidak mungkin menilai semua game tersebut, maka kemungkinan, mereka akan menaruh perhatian pada game-game yang banyak dibicarakan oleh gamers. Dan cara perusahaan memasarkan game punya dampak langsung pada popularitas game tersebut. Tentu saja, perusahaan besar akan punya dana yang lebih besar pula untuk mempromosikan game mereka.

Jadi, pada akhirnya, walau TGA punya tujuan untuk “merayakan keberadaan game-game terbaik”, game-game yang mungkin memenangkan penghargaan di awards show itu akan terbatas pada game-game populer, yang kemungkinan dibuat oleh perusahaan game AAA.

Kesimpulan

Setiap orang punya selera masing-masing. Sebagian orang suka dengan teh, sebagian yang lain kopi atau cokelat. Bahkan di kalangan pecinta kopi pun, mereka punya selera beragam. Ada orang yang sudah puas dengan kopi sachet, ada pula yang sangat memerhatikan biji kopi yang hendak dia minum, serta cara penyajiannya. Hal ini juga berlaku untuk film dan game. Sebagian orang menonton semua film dan seri TV yang menjadi bagian dari Marvel Cinematic Universe, sementara sebagian yang lain merasa film-film superhero cenderung membosankan.

Secara pribadi, saya merasa, tidak ada yang salah dengan selera pribadi seseorang. Penyuka kopi tidak lebih baik dari penyuka teh atau cokelat. Orang yang menyukai film-film science-fiction tidak memiliki derajat yang lebih tinggi dari pecinta film romantis. Begitu juga dengan gamers. Orang-orang yang senang memainkan game-game soulslike tidak mendadak punya kasta yang lebih tinggi dari pemain game kasual. Perbedaan antara keduanya hanya waktu — dan mungkin uang — yang mereka dedikasikan untuk hobi mereka.

Mengingat selera orang berbeda-beda, maka jenis game yang mereka mainkan pun tentu saja beragam. Karena itu, saya merasa, penghargaan dalam The Game Awards bisa menjadi bukti apresiasi industri, tapi ia tidak bersifat absolut.

Misalnya, hanya karena It Takes Two memenangkan penghargaan Best Game of The Year bukan berarti semua orang yang memainkan game itu akan menyukainya. Sebaliknya, game-game yang tidak menang, atau bahkan tidak masuk nominasi di The Game Awards, juga tetap bisa dinikmati banyak orang. Buktinya, walau TGA tidak punya kategori untuk game kasual, toh game kasual seperti Candy Crush tetap bisa mendapatkan pemasukan hingga lebih dari US$1 miliar.

Apakah Game Harus Memiliki Nilai Edukasi?

Banyak orang yang mengisi waktu luangnya dengan bermain game selama pandemi. Selain mengusir kebosanan, game juga punya fungsi lain. Sebagian orang menggunakan game sebagai alat komunikasi dengan teman dan keluarga mereka. Bahkan sebelum pandemi pun, sebagian gamers memang menganggap main bareng sebagai kegiatan sosial. Sayangnya, stigma yang sudah melekat pada game — khususnya di benak para orang tua — tampaknya tidak bisa luntur begitu saja. Padahal, orang tua bisa berperan aktif dalam membentuk kebiasaaan bermain buah hati mereka.

Sebagian orang merasa, game seharusnya punya fungsi lain selain sebagai media hiburan, seperti mengajarkan nilai budi pekerti pada para pemainnya. Padahal, jika Anda memperhatikan game-game populer, kebanyakan — jika tidak semua — akan memprioritaskan gameplay yang menyenangkan. Pertanyaannya, apa game harus selalu punya fungsi lain selain sebagai media hiburan? Dan jika game digunakan sebagai alat edukasi, apakah hal itu akan efektif?

Definisi Game dan Game Edukasi

Topik game memiliki cakupan yang sangat luas. Bahkan jika kita memperkecil topik pembahasan menjadi video game secara spesifik, cakupan topik itu pun masih cukup luas. Karena itu, mari kita samakan persepsi tentang definisi dari game itu sendiri. Dalam studi “A Short and Simple Definition of What a Videogame Is“, Nicolas Esposito mengartikan game sebagai permainan yang kita mainkan menggunakan peralatan audiovisual yang didasarkan pada sebuah cerita.

Sementara itu, dalam jurnal “Fifty Years on, What Exactly is a Videogame? An Essentialistic Definitional Approach“, Rafaello V. Bergonse mengartikan game sebagai:

A mode of interaction between a player, a machine with an electronic visual display, and possible other players, that is mediated by a meaningful ficitonal context, and sustained by an emotional attachment between the player and the outcomes of her actions within this fictional context.

Game merupakan topik yang luas. | Sumber: Pexels

Ketika ditanya akan arti gameCipto Adiguno, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) menjawab: game adalah sebuah media interaktif. “Ketika sesuatu jadi interaktif, yaitu bisa memberi feedback yang sesuai dengan aksi pemainnya, sesuatu itu bisa dianggap game,” katanya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Karena definisinya sangat sederhana, game bisa di-apply ke mana2, dari hiburan sampai edukasi. Oleh karena itu, menurut saya ‘fungsi utama’ game juga sangat luas, yaitu “membuat sesuatu menjadi lebih engaging“.”

Dihadapkan dengan pertanyaan yang sama, El Lim, pendiri dan Head Developer, Khayalan Arts mengatakan bahwa game merupakan media yang serba guna: game bisa menjadi media hiburan, tapi juga bisa digunakan untuk media edukasi atau bahkan media latihan, seperti yang terjadi di industri virtual reality.

Game itu terdiri dari banyak hal. Dari sisi desain, ada art, animasi. Dari sisi naratif, ada tulisan, story telling. Game juga punya elemen desain puzzle, strategi, manajemen,” ujar El ketika dihubungi melalui telepon. “Belum lagi jika kita memperhitungkan aspek bisnis dari game.” Dia juga menyebutkan, dalam beberapa tahun belakangan, gamifikasi adalah metode yang sering digunakan di berbagai sektor, termasuk edukasi.

Memang, sekarang, game edukasi memiliki pasar tersendiri. Cipto menjelaskan, di industri game, “game edukasi” merujuk pada  game yang memang tujuan utamanya adalah untuk memberikan edukasi pada pemainnya. Dia menyebutkan, “Banyak game yang dirancang murni untuk menghibur tapi tetap memasukkan unsur-unsur edukasi kok, tapi hanya sebagai pendukung agar lebih menghibur. Dalam game edukasi, paradigmanya terbalik, yaitu ada hiburan agar edukasinya lebih mengena dan tidak membosankan.”

Minecraft Education Edition.

Masalahnya, persepsi gamers akan game edukasi acap kali negatif. Game edukasi sering dianggap membosankan, walau Cipto mengatakan, game edukasi yang baik tidak akan membuat para pemainnya bosan. Sementara menurut El, game akan bisa menjadi alat edukasi yang efektif jika ia dikemas dengan menarik. Dia menjadikan Minecraft sebagai contoh. Dia menjelaskan, Minecraft tidak dibuat untuk menjadi game edukasi. Namun, ketika game itu dimainkan, ternyata, ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pemainnya, mulai dari kompetisi, kolaborasi, cara bertahan hidup, sampai belajar tentang programming. Setelah itu, barulah muncul Minecraft Education Edition.

Approach kita dengan Samudra juga seperti itu,” kata El. Samudra adalah game buatan Khayalan Arts yang mengangkat tema tentang pencemaran laut. Game  berhasil memenangkan Unity for Humanity Grant. “Yang penting adalah membuat gamers suka dengan game-nya terlebih dulu.”

Game Sebagai Alat Edukasi

Game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Buktinya, muncul subkategori game edukasi. Masalahnya, apakah menggunakan game sebagai media edukasi efektif? Jurnal “Using a gamified mobile app to increase student engagement, retention, and academic achievement” membahas tentang dampak dari penggunaan aplikasi mobile gamifikasi sebagai alat pembelajaran para mahasiswa.

Dalam jurnal itu disebutkan bahwa ada korelasi antara penggunaan aplikasi mobile dengan naiknya tingkat retensi mahasiswa serta performa akademi para mahasiswa. Walau, para penulis studi tersebut juga menyebutkan bahwa korelasi antara ketiga hal itu bukan jaminan bahwa penggunaan aplikasi merupakan alasan di balik naiknya tingkat retensi mahasiswa atau performa akademi mahasiswa.

Berdasarkan studi di atas, diketahui bahwa penggunaan aplikasi mobile membuat tingkat retensi mahasiswa naik sebesar 12,3%. Tak hanya itu, performa rata-rata para mahasiswa juga mengalami kenaikan, yaitu sebesar 7,03%. Hal ini menunjukkan, aplikasi mobile tidak hanya memperbesar kemungkinan mahasiswa bertahan di sebuah universitas, tapi juga bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mempelajari dan mengingat pelajaran yang mereka pelajari.

Tingkat retensi mahasiswa berdasarkan penjurusan. | Sumber: Jurnal

Saat ditanya tentang efektivitas game sebagai media pembelajaran, Cipto mengatakan, game bisa memudahkan proses penanaman informasi di benak para pelajar. Pasalnya, game mengharuskan pemain untuk aktif melakukan tindakan tertentu. Jadi, menurutnya, game bisa menjadi media yang efektif dalam mempelajari konten yang mengharuskan seseorang menghafal. “Game juga sangat efektif untuk problem solving, karena berbeda dengan media statis — seperti menjawab pertanyaan di buku — problem dalam game bisa berubah secara instan, sesuai dengan input pemain,” kata Cipto.

El punya pandangan yang agak berbeda. Dia merasa, ada banyak hal yang bisa  seseorang pelajari dari game, mulai dari bahasa sampai sejarah. Secara pribadi, saya setuju bahwa game adalah media yang efektif untuk mempelajari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Sewaktu saya masih SMP, saya sering bolos les Bahasa Inggris. Tapi, ketika saya bermain game — apalagi game RPG, seperti Suikoden dan Final Fantasy — saya dengan suka rela membawa kamus demi memahami percakapan antar karakter dalam game.

Selain itu, hal yang tidak kalah penting, El berkata, game bisa membuat para pemainnya merasa penasaran. Dan ketika pemain merasa penasaran — tentang topik atau karakter atau hal-hal lain dalam game — mereka akan terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentang hal-hal tersebut. Jadi, game-game yang tidak punya embel-embel game edukasi pun sebenarnya bisa memberikan berbagai pelajaran pada para pemainnya.

El memberikan contoh, dari game seperti Harvest Moon atau Stardew Valley, pemain bisa belajar tentang manajemen risiko, sementara game bertema perang bisa menunjukkan sedikit tentang cara kerja sistem politik. “Kita bisa belajar tentang cara untuk mengatasi situasi dalam skala besar,” ujar El. “Hanya saja, kalau dulu situasi itu adalah perang, sekarang adalah perang antar perusahaan.”

Contoh lain yang El berikan adalah Assassin’s Creed, yang bisa mengajarkan sejarah. Tentu saja, sejarah yang diangkat dalam sebuah game biasanya telah dimodifikasi. Hanya saja, dalam kasus Assassin’s Creed, Ubisoft mencoba untuk menampilkan kota-kota penting dalam momen bersejarah dengan realistis. Faktanya, Assassin’s Creed Unty bisa digunakan untuk menampilkan tur virtual dari Paris semasa Revolusi Prancis.

“Salah satu daya tarik dari Assassin’s Creed adalah kita bisa menjelajah dunia yang biasanya hanya bisa kita lihat di museum. Dalam game, kita bisa menjelajahi kota itu, bisa memanjat gedung yang ada,” ujar El.

El menambahkan, terkadang, “nilai” yang tersirat dalam sebuah game bukanlah sesuatu yang bisa diukur secara akademik. Sebagai contoh, Spiritfarer yang mengajarkan tentang cara melalui masa duka karena kematian dari orang-orang tersayang. “Ketika Anda main game seperti Journey atau Spiritfarer, kedua game itu punya kemasan yang cantik, tapi moral yang disampaikan berat,” ujarnya.

Spiritfarer. | Sumber: Steam

Secara pribadi, saya merasa, game sangat efektif untuk mengajarkan hukum sebab-akibat. Jika Anda melakukan A, maka Anda akan mendapatkan X dan jika Anda melakukan B, Anda akan mendapatkan Y. Di dunia nyata, konsekuensi dari tindakan yang seseorang ambil tidak selalu terlihat dengan cepat. Lain halnya dengan game. Misalnya, di Stardew Valley, jika Anda tidak menyiram tanaman secara rutin atau memberi makan ternah Anda, tanaman atau ternak Anda akan mati. Jika Anda memberikan NPC sesuatu yang dia benci, dia akan terlihat kecewa atau bahkan marah. Sebaliknya, jika Anda memberikan sesuatu yang dia sukai, dia akan terlihat senang dan dia akan menjadi lebih menyukai Anda.

Contoh lainnya, ketika Anda memainkan Democracy, negara Anda akan ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan besar jika Anda mengenakan pajak terlalu tinggi. Sementara jika Anda tidak memenuhi janji Anda selama kampanye, Anda akan kehilangan kepercayaan rakyat. Dalam City: Skylines, jika Anda tidak menata kota dengan benar, Anda akan mendapat protes dari rakyat. Jika Anda terus membiarkan masalah yang ada, sebagian warga akan meninggalkan kota yang Anda urus.

Ketika Game Hanya Menjadi Media Hiburan, Apakah Cukup?

Game bisa menjadi alat edukasi yang efektif. Dan sah-sah saja bagi developer untuk menyisipkan pesan moral dalam game yang mereka buat. Namun, pada akhirnya, developer game tetaplah perusahaan, yang tujuan utamanya mencari untung. Jika developer ingin memaksimalkan keuntungan yang mereka dapat, kemungkinan, mereka tidak akan membuat game edukatif. Karena, tidak ada satupun game edukasi yang masuk dalam daftar 10 game dengan penjualan terbesar sepanjang waktu. Tiga game dengan penjualan terbanyak adalah Space Invader, Pac-Man, dan Street Fighter II.

Jika developer game dituntut untuk terus membuat game dengan muatan edukasi, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lain: kenapa media hiburan lain — mulai dari komik, novel, film, atau bahkan sinetron — tidak dituntut untuk melakukan hal yang sama?

Menurut El, alasan kenapa game dinilai dengan standar yang berbeda dari media hiburan lain adalah masalah accessibility. Dia menjelaskan, game baru bisa dimainkan oleh banyak orang sejak kemunculan smartphone, atau sekitar 10 tahun lalu. Sementara komik, novel dan TV, semuanya sudah bisa diakses oleh masyarakat luas sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Jadi, pengetahuan masyarakat akan game pun menjadi jauh lebih terbatas.

Cipto memiliki pendapat serupa. Dia mengungkap, ketidatahuan masyarakat akan media — dalam kasus ini, game — merupakan alasan terbesar mengapa game seolah-olah dituntut untuk memenuhi standar yang berbeda dari media hiburan lain. “Dulu juga semua media lain mengalami trayektori serupa di awal eranya masing-masing, yaitu penolakan oleh generasi sebelumnya,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, “Bila dibandingkan dengan Five Stges of Grief/Kubler-Ross Model, karakteristik mengharuskan ada materi edukasi ada di tahap ‘Bargaining’. Karena, game memang sudah menjadi media mainstream, jadi setidaknya, ia punya manfaatlah. Kalau ada yang suka bilang prihatin tapi diam saja, nah itu ada di tahap ‘Depression’. Suatu hari nanti, semua akan sampai ke ‘Acceptance’, tapi mungkin masih butuh waktu.”

Lima tahap kesedihan. | Sumber: Wikipedia

Di satu sisi, ada orang-orang yang menganggap bahwa game harus punya nilai edukasi. Di sisi lain, gamers cenderung menganggap bahwa game edukasi itu membosankan. Lalu, adakah cara untuk menemukan jalan tengah antara dua kubu yang saling berlawanan ini?

“‘Game edukasi’ yang paling bagus biasanya sangat menyenangkan, sehingga tidak terlihat seperti sebuah game edukasi,” kata Cipto. “Seperti halnya film action Perang Dunia 2 bukan film edukasi, tapi penonton tetap belajar sejarah melalui film tersebut.” Lebih lanjut dia menyebutkan, “Daripada memaksakan hanya game-game tertentu yang bisa dimainkan, salah satu jalan tengah adalah membuat anak/gamer melihat lebih dekat apa yang bisa dipelajari dari suatu game yang dia sukai. Misal kalau di dalam game ada karakter atau tempat yang menarik, bisa mencari info lebih dalam mengenai inspirasinya dari dunia nyata.”

Sementara El mengajukan ide untuk menonjolkan sisi cinematic dari sebuah game untuk menarik orang-orang yang bukan gamers. Harapannya, orang-orang yang bukan gamers sekalipun bisa tertarik untuk, setidaknya, menonton konten sebuah game. Dia juga menyebutkan, sekarang, ada cukup banyak game yang menggunakan format episodic, membuat gameplay terlihat seperti penuturan cerita interaktif. Contoh game seperti ini adalah game The Walking Dead atau game-game buatan Telltale Games lainnya.

The Walking Dead adalah salah satu contoh game dengan format episodic. | Sumber: Steam

Game terbukti bisa digunakan untuk banyak hal, bahkan propaganda sekalipun. Namun, jika developer hanya membuat game sebagai media hiburan, apakah hal itu akan menghilangkan nilai dari game itu sendiri?

Tentang hal ini, El mengatakan bahwa game tidak akan kehilangan nilainya meski ia hanya menjadi media hiburan. Hanya saja, dia menganggap, menjadikan game sebagai media hiburan saja akan menyia-nyiakan potensi game sebagai media. “Game adalah media yang sangat powerful, bisa mengajarkan ini itu. Kalau cuma dipakai untuk satu bagian, yaitu bagian hiburan doang, rasanya sayang,” katanya. “Rasanya seperti memiliki Infinity Stones, tapi yang digunakan hanya gauntlet-nya saja.” Karena, dia percaya, ada banyak media lain selain game yang bisa berfungsi sebagai murni media hiburan.

Senada dengan El, Cipto juga menganggap, nilai game tidak akan hilang meski ia hanya menjadi media hiburan. Dia mengatakan, nilai sebuah produk atau objek itu tergantung pada persepsi orang yang menilai.

“Kalau dari perspektif kalipalisme, selama ada yang mau beli, pasti ada yang setuju dengan harga yang tertera. Kalau tidak, pasti tidak ada yang mau beli,” ujar Cipto. “Seperti halnya semua media lain yang pernah muncul, saya rasa, akan ada tempat bagi game yang memiliki konten edukasi maupun game murni hiburan. Ada saatnya kita butuh game untuk belajar hal-hal baru, ada saatnya untuk mencari hiburan saja. Sebagian besar orang tidak belajar sepanjang waktu, kan?”

Penutup

Sebagai media, game punya fungsi yang beragam. Tak hanya sebagai media hiburan, game juga bisa digunakan untuk mengedukasi, sebagai alat latihan, atau bahkan media propaganda. Pada akhirnya, sebagai kreator game, developer punya hak untuk memilih game seperti apa yang mereka buat. Jika mereka ingin membuat game gacha dan menggunakan berbagai trik psikologi untuk mendorong para pemain menghabiskan uang dalam game demi memaksimalkan keuntungan, ya boleh saja. Sebaliknya, jika developer ingin memasukkan idealisme mereka ke dalam game mereka, hal itu juga tidak salah.

Tentu saja, setiap pilihan punya konsekuensi masing-masing. Jika seseorang membuat game yang mengeksploitasi para pemainnya, hal ini mungkin akan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sementara jika seorang developer bersikap idealis, bisa jadi, game yang dia buat tidak laku di pasar.

Sumber header: Pexels