Category Archives: Review

[Review] Mouse Razer Deathadder V2 x Hyperspeed, Nyaman Untuk Main Game dan Kerja

Salah satu yang membuat saya tertarik dengan mouse Razer Deathadder V2 x Hyperspeed bukan endorse dari Faker di halaman resmi atau di kotaknya, meski itu adalah tambahan yang menarik. Melainkan adalah dual feature yang hadir pada koneksi wireless-nya yang tersedia dalam dua pilihan, serta dua pilihan juga untuk mengisi baterai. 

Razer Deathadder V2 x Hyperspeed adalah mouse dengan fitur-fitur yang cukup lengkap untuk sebuah mouse. Mulai dari desain yang ergonomis, dual wireless feature – yang salah satunya adalah highspeed, pilihan baterai AA dan AAA, mechanical switches gen 2 khas Razer, 7 tombol yang bisa diprogram (7 tombol ini termasuk right – left click dan roller), serta aplikasi untuk kustomisasi yang juga bisa ‘menempel’ di mouse via HyperShift. 

Desain Razer Deathadder V2 x Hyperspeed

Mari kita bahas dulu dari sisi desain. Sebelum beralih ke Razer Deathadder V2 x Hyperspeed, saya menggunakan Logitech wireless G903 Lightspeed yang memang untuk gaming ,serta untuk kerja menggunakan Logitech MX Master 2s. Keduanya hadir dengan harga yang relatif cukup premium meski tidak ‘semurah’ mouse Razer yang saya coba ini. 

Mengapa saya memasukan mouse yang bukan untuk gaming sebagai perbandingan, karena saya ingin membandingkan dalam penggunaannya, mouse Razer yang ada di tangan saya ini tidak hanya akan saya gunakan untuk bermian game tetapi juga untuk kegiatan sehari-hari, termasuk bekerja. 

Jika Razer mengklain ergonomis dan comfort dalam halaman resminya, serta mencantumkan bahwa desain ini adalah desain yang mendapatkan penghargaan, maka klaim itu memang bisa dirasakan dalam produknya secara nyata. 

Bentuk mouse ini memang tidak simetris utnuk bagian kiri dan bagian kanan (oh ya, mouse ini tidak untuk Anda yang kidal karena beberapa bagian desainnya memang diperuntukkan buat tangan kanan). Bagian kiri agak menjorok dengan akses dua tombol yang bisa dijangkau oleh ibu jari. Sedangkan bagian kanan tetap agak melengkung tetapi tidak sedalam bagian kiri. Desain seperti ini surprisingly cukup nyaman, terutama Anda yang memang punya preferensi bentuk mouse seperti Razer Deathadder V2 x Hyperspeed. Bagian ibu jari bisa agak menjorok dengan pangkalnya tertahan di ujung kiri mouse, yang menjadikan ibu jari seperti ditempatkan di rumah yang pas di bagian lekukan mouse. Akses button juga bisa dijalankan tanpa masalah. 

Desain menjorok ini juga secara tidak langsung mendukung cara saya memegang mouse yang secara default membelok, ke arah laptop atau monitor jika Anda menggunakan PC atau monitor tambahan.Desain yang menjorok ini terasa mendukung dengan posisi lengan yang melengkung, baik saat bermain game atau menggunakan mouse untuk kegiatan produktivitas untuk waktu yang lama. 

Jadi kalau misalnya ada gambar Faker terpampang jelas dan menyebutkan bahwa mouse ini layak jadi pilihan. Kalau dari sisi desain, itu cukup terlihat. 

Dari sisi tampilan, mouse ini memang tidak tampak berlebihan malah terkesan down to earth. Warna hitam doff, tanpa elemen RGB dan hanya ada lampu indikator teramat kecil di bagian tengah. Logo Razer pun tidak terlalu terlihat. Desain low profile seperti ingin menyembunyikan kemampuan yang cukup baik di balik body-nya. 

Desain minimalis ini agak bersebrangan dengan Logitech wireless G903  lightspeed yang terasa ‘ramai’ dengan berbagai elemen yang beberapa ada juga yang bisa di-swap

Untuk bobot perangkat. Awalnya saya agak ragu karena ketika membuka dari kotaknya terasa terlalu ringan. Malah terkesan agak murahan, tetapi itu semua berubah ketika saya memasukan baterai. Saya kebetulan menggunakan 1 baterai AA, dan ketika baterai itu masuk di tempatnya maka bobot mouse terasa pas. Tidak terlalu ringan dan tidak terlalu berat. Tambahan beban dari baterai ini seperti sudah diperhitungkan, jadi ketika akan digunakan, mouse tetap terasa nyaman dan tidak terlalu berat. 

Untuk button sendiri selain 3 button utama, right dan left click serta scroll wheel, ada 4 button tambahan yang lokasinya, dua di sebelah left click dan satu lagi di area sandaran punggung ibu jari. Semua fungsi button bisa diatur sesuka selera lewat aplikasi Razer Synape 3 dengan fitur Hypershift.

Untuk pengaturan dan mapping button sebenarnya tidak ada masalah. Meski kebutuhan akan berbeda-beda untuk pengguna – saya sendiri mendapatkan ada beberapa pengaturan yang tidak bisa saya lakukan untuk urusan produktivitas – namun Anda setidaknya bisa melakukan berbagai pengaturan seperti memodifikasi semua button yang tersedia di mouse ini untuk berbagai keperluan,  mengatur performa DPI mouse untuk sensitivitas, mengatur konsumsi daya. Dan jika Anda menggunakan mousepad dari Razer, Anda bisa mengkalibrasi untuk mendapatkan pengalaman yang terbaik. 

Untuk urusan fungsi button, terutana untuk kegiatan kerja, jika membandingkan Logitech MX Master 2s tentunya mouse Razer yang saya coba ini agak kalah. Saya bisa maklum karena memang bukan peruntukkannya. Seri MX dari Logitech dikenal powerfull untuk kerja, bukan hanya karena sensivitasnya tetapi ada beberapa fungsi button dan peletakan yang mendukung produktivitas. 

Ada yang ingin saya bahas agak detail yaitu tentang penempatan 2 button di bagian yang dekat dengan left click. Karena posisinya cukup berada di ujung kiri mouse, ketika mencoba perangkat ini saya mendapatkan bahwa button ini secara tidak sengaja sering kepencet. Bukan oleh jari saya tetapi karena terbentur sisi ujung mouse dengan ujung keyboard. Jika biasanya benturan tidak menggagu fungsi karena bagian mouse yang berbenturan adalah body saja, namun di razer ini yang terbentur adalah button. Sehingga sering kali mapping button yang saya lakukan berubah di tengah jalan karena button-nya kepencet. 

Bisa jadi pengalaman ini akan berbeda dengan pengalaman penguna lain, terutama jika meja kerja atau meja bermain game Anda cukup luas.

Fitur lain yang juga cukup menyenangkan adalah adanya dua pilihan koneksi bluetooth langsung dari mouse ke perangkat atau menggunakan donggle yang memiliki kecepatan 2.4G. Pilihan ini tentunya menarik, untuk pengaturan bermain game bisa menggunakan dongle tetapi ketika untuk penggunaan di luar rumah misalnya, saat jauh dari PC dan menggunakan laptop dengan slot USB terbatas, bisa menggunakan bluetooth saja. 

Untuk spesifikasi sendiri, yang belum di bahas di atas,  Razer Deathadder V2 x Hyperspeed mencantumkan daya tahan clik perangkat ini sampai dengan 60 juta klik (yang tentunya akan tergantung penggunaan masing-masing) lalu untuk sensornya adalah optical, max sensitivity 14000 DPI, max speed 300 IPS, max acceleration 35G dan tersedia 7 tombol yang bisa dikustomisasai. Untuk tipe switch-nya sendiri adalah Razer™ Mechanical Gen-2 Mouse Switches sedangkan mouse feet alias bagian bawah peranglat adalah undyed 100% PTFE. 

Pengalaman penggunaan

Nah, untuk pengalaman penggunaan perangkat ini saya sengaja melakukan dua uji utama, tidak hanya fokus untuk bermain game tetapi juga untuk bekerja sehari-hari.

Untuk penggunaan sehari-hari serta untuk mendukung produktivitas, jenis tombol switch dari mouse ini terasa cukup menyenangkan. Cukup clicky memang kalau dari sisi bunyi, namun pengalaman menekan tombol utama mouse cukup menyenangkan, tidak terlalu berat tetapi tidak sangat ringan juga. 

Bobotnya yang pas juga menyenangkan untuk menggunakannya setiap hari atau pun untuk bermain game. Nah untuk bermain game, perangkat ini bisa cukup diandalkan, tidak hanya dari sisi koneksi, tetapi dari sisi kenyamanan serta switch yang menyenangkan untuk dipakai. Meski demikian, saya hanya mencoba dengan judul game yang memang tidak perlu banyak pengaturan atau makro, lebih ke game FPS. Jadi pengalaman yang dirasakan lebih ke switch click, koneksi ke perangkat dan pengaturan DPI. 

Sedangkan pengaturan untuk button lebih saya coba ketika menggunakan mouse untuk produktivitas. Mengatur beberapa button agar bisa lebih cepat melakukan fungsi atau membuat aplikasi bawaan windows tertentu. 

Untuk bisa menjalankan fungsi pengaturan dan mengaksesnya langsung dari mouse, Anda harus selalu menyalakan aplikasi Razer Synapse.

Kesimpulan 

Menggunakan mouse Razer Deathadder V2 x Hyperspeed adalah salau satu pengalaman yang cukup menyenangkan. Bukan karena mouse ini di branding cukup prestisius dengan berbagai atlit esports terkenal di halaman resmi dan juga kotak perangkat, tetapi memang karena desain yang diesekusi dengan pas, dan cukup efisien. Dengan endorsement serta fitur yang dibawanya, dari sisi harga perangkat ini juga bisa dibilang cukup terjangkau (di Tokopedia perangkat ini dijual seharga 1 juta kurang 1 rupiah).

Tampilannya memang cenderung polos, tetapi bagi yang suka dengan selera gaming mouse minimalis dan fokus pada pengalaman penggunaannya, termasuk fitur dan fungsi,  Razer Deathadder V2 x Hyperspeed bisa jadi pilihan.

Sparks

  • Nyaman digunakan dari sisi eksekusi desain
  • Bobot yang pas termasuk baterai
  • Minimalis
  • Switch mechanical nyaman

Slacks

  • Desain ‘terlalu’ polos
  • Button lokasi depan sering tidak sengaja kepencet
  • Masih menggunakan baterai eksternal

Sony Perkenalkan Alpha 7 Mark IV: Entry Level 33 MP

Momen ini sepertinya yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan pengguna kamera DSLR Sony Alpha. Sony akhirnya meluncurkan kamera DSLR terbarunya, yaitu Alpha 7 (Mark) IV. Sang penerus dari Alpha 7 III ini resmi hadir di Indonesia semenjak tanggal 7 Januari 2022 yang lalu.

Koji Sekiguchi, President Director PT Sony Indonesia mengatakan, “Alpha 7 IV mengintegrasikan teknologi gambar terbaik dari Sony untuk melampaui ekspektasi kamera full-frame dasar. Alpha 7 IV juga memberikan pengalaman yang luar biasa baik dalam foto maupun video, memungkinkan pengguna untuk memotret dengan tepat gambar yang mereka inginkan, terlepas dari situasi yang mereka hadapi. Dengan sensor gambar Exmor R CMOS terkini yang dikombinasikan dengan mesin pemrosesan terbaru BIONZ XR, Alpha 7 IV memiliki performa pencitraan yang tinggi dan mampu menghasilkan resolusi 33 MP. Selain itu, dengan berbagai fitur untuk mendukung kebutuhan komunikasi jarak jauh yang terus meningkat, Alpha 7 IV memberikan makna baru pada apa yang dapat dicapai oleh kamera ‘dasar’.”

Dibandingkan dengan seri sebelumnya yang memiliki resolusi 24 MP, Alpha 7 IV hadir dengan sensor full frame resolusi 33 MP. Teknologi auto fokusnya pun juga baru, yaitu memiliki fitur Real-Time Tracking dengan 759 titik AF. Selain itu, teknologi Eye Auto Focus yang ada sudah mampu melacak mata burung dan hewan. Kamera ini juga mampu merekam video dengan resolusi 4K 60 fps dengan 10-bit depth 4:2:2 color sampling.

Dari sisi dapur pacunya, Sony Alpha 7 IV menggunakan prosesor BIONZ XR yang sama digunakan pada Alpha 7s III. Untuk sensornya, Sony Alpha 7 IV menggunakan Exmor R CMOS terbaru. Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 50 hingga 204.800. Untuk penyimpanannya, kamera ini sudah mendukung CFExpress dan SDXC.

Untuk pertama kalinya dalam seri Alpha, kamera baru ini memiliki fitur Breathing Compensation untuk memerangi focus breathing dan mempertahankan sudut pandang yang konsisten selama perubahan fokus serta dapat dinyalakan atau dimatikan. Sony juga menanamkan fitur Creative Look di mana akan mengubah gambar dengan filter tertentu. Dan untuk para content creator, kamera ini juga sudah memiliki kemampuan untuk live streaming.

Sony Alpha 7 IV akan hadir di Indonesia pada bulan Januari 2022 dengan harga Rp36.999.000 untuk varian body only dan Rp39.999.000 untuk varian dengan lensa kit 28-70mm. 

Alpha 7 III akan discontinue?

Dengan lahirnya Alpha 7 IV, tentu saja semua mata akan tertuju pada kamera terbaru ini. Oleh karena itu, masih tanda tanya apakah Sony masih akan menjual Alpha 7 III yang saat ini masih banyak beredar di pasaran atau tidak. Hal tersebut tentu saja cukup lumrah di mana sebuah perusahaan akan menghentikan penjualan produk seri sebelumnya saat produk yang baru diluncurkan.

Takeshi Hatanaka, Head of Digital Imaging Product Marketing Sony Indonesia mengatakan bahwa mereka masih akan menjual kamera Sony Alpha 7 III di pasar Indonesia pasca peluncuran Alpha 7 IV. Sony juga masih akan menjualnya dengan harga yang sama dengan sebelumnya. Hal ini tentu akan membuat alternatif pemilihan kamera menjadi lebih luas lagi.

Hasil Foto

Agar tidak penasaran, berikut adalah beberapa contoh hasil foto dari Alpha 7 IV

[Review] Western Digital Black SN850: PCIe 4.0 x4 Kencang untuk Gamer

Jika kita berbicara mengenai kecepatan sebuah perangkat penyimpanan, tentu saja SSD menjadi yang pertama terpikir. Apalagi, saat ini teknologi NVMe sudah mencapai PCIe 4.0 x4 yang bisa mentransfer data hingga 7000 MB/s. Untuk kecepatan seperti ini, ternyata Western Digital sudah memiliki produknya. SSD tersebut bernama Western Digital Black SN850.

Western Digital selalu memberikan warna tersendiri untuk setiap produknya. Warna hitam selalu identik dengan produknya yang ditujukan untuk para gamers. Warna biru biasanya akan ditujukan untuk pemakaian sehari-hari PC di rumah dan kantor sehingga kinerjanya akan di bawah Black. Warna merah saat ini ditujukan untuk penyimpanan data seperti di NAS atau sebagai drive penyimpan data.

Western Digital Black SN850 pun juga sudah mampir ke meja pengujian Hybrid Indonesia. Varian yang datang tentu saja sudah lengkap dengan heatsink-nya. Sebagai informasi, WD juga memiliki SSD SN850 yang dijual tanpa heatsink. Dan kita semua tahu bahwa SSD yang digunakan pada interface PCIe 4.0 x4 akan mengeluarkan panas yang berlebih.

SSD yang satu ini diklaim dapat melakukan transfer data pada kecepatan 7000 MB/s pada saat membaca data dan 5300 MB/s pada saat menulis. Western Digital juga menjual SSD yang satu ini dengan menyasar ke para pengguna PC serta Playstation 5. Dengan form factor M.2 2280, tentu saja SSD ini juga bakal mampu ditancapkan pada kebanyakan laptop yang beredar saat ini.

Spesifikasi dari Western Digital Black SN850 NVMe SSD yang saya dapatkan adalah sebagai berikut

Kapasitas 1 TB
Interface PCIe Gen 4.0 x4
Tipe konektor NVMe 1.4
Form Factor M.2 2280
Controller Western Digital G2
Jenis memori NAND Sandisk 96L 3D TLC
Endurance 600 TBW
Dimensi 80 x 23.4 x 8.8 mm
Bobot 25 gram

Western Digital memberikan garansi 5 tahun untuk SSD NVMe yang satu ini. Selain itu, garansi yang diberikan juga akan akan terpotong oleh TBW (TeraByte Written) yang ditentukan. Jadi, garansi akan berakhir jika sudah terpakai lebih dari 5 tahun atau melebihi penulisan 600 TB.

Desain

Western Digital Black SN850 hanya menggunakan satu sisi untuk menaruh semua cip dan transistornya. Pada bagian atasnya, terdapat dua buah cip NAND SanDisk (buatan Toshiba) sebesar 512 GB per cip. Dengan menggunakan kontroler WD G2, nama yang terlabel pada cip ini hanyalah SanDisk. WD menggunakan DDR4 2666 cache dengan cip buatan Nanya.

Bobot yang dimiliki oleh Western Digital Black SN850 ini sangat ringan, hanya 25 gram saja. Perangkat ini memiliki dimensi 80 x 23.4 x 8.8 mm yang cocok untuk dipasangkan pada sebuah desktop, laptop tipis, mau pun Playstation 5. Untungnya, model ini sudah menggunakan heatsink sehingga panas yang dihasilkan saat SSD ini bekerja bisa diredam dengan baik.

Western Digital juga melengkapi SSD ini dengan software yang dinamakan Western Digital Dashboard yang mampu memberikan informasi mengenai SSD ini. Selain itu, software ini juga menyediakan beberapa fungsi seperti TRIM dan juga update firmware. Sayang memang, sampai akhir pengujian saya tidak menemukan adanya firmware baru untuk SN850.

Pengujian

Dalam menguji SSD yang satu ini, tentu saja membutuhkan sebuah perangkat yang sudah mendukung PCI-e 4.0. Saya memilih menggunakan sebuah laptop yang memakai prosesor Intel Core i5 Generasi ke 11 yang memang sudah mendukung PCI express 4.0 dan mampu menjalankan SSD NVMe PCIe Gen 4 x4 dengan kecepatan penuh. Untuk mengujinya, tentu saja saya menggunakan slot NVMe utama yang tersedia. Sistem operasi yang digunakan adalah Windows 11.

Tentunya, Western Digital Black SN850 juga mendukung slot PCIe Gen 3 x4 yang saat ini banyak sekali digunakan pada beberapa laptop serta motherboard. Namun, kecepatan baca dan tulisnya akan dibatasi hingga 3500 MB/s saja. Walaupun begitu, kecepatan 3,5 GB/s saja sudah sangat mencukupi kebutuhan komputasi yang ada saat ini.

Pada pengujian kali ini, saya akan menggunakan dua buah software benchmark, yaitu Crystal Disk Mark dan ATTO. Crystal Disk Mark sendiri saya gunakan dua versi, yaitu versi 6 dan 8, karena keduanya memiliki perhitungan yang berbeda. Berikut adalah hasilnya

Pengujian ini tentu saja dilakukan dengan menjaga suhu yang ada. Pada saat pengujian, WD Black SN850 ada pada suhu 70 derajat celcius dan beberapa kali mengalami sedikit throttling. Panas akan meningkat pada saat adanya penulisan data dalam jumlah besar. Pada saat membaca, saya melihat suhunya akan menurun di bawah 65 derajat celcius.

Hal ini berarti akan berpengaruh pada saat sebuah game diinstalasikan ke dalam SN850. Pada saat bermain game, tentu akan membuat pengguna akan merasa tenang karena tidak akan mengalami throttling. Pada saat suhunya di bawah 65 derajat, perangkat ini akan berlari dengan kecepatan maksimumnya.

Pada saat pengujian, saya hanya mendapatkan angka sedikit di bawah 7000 MB/s untuk uji membaca data. Akan tetapi, perangkat ini mampu berlari di atas 5300 MB/s. Dengan perolehan angka seperti ini, semua sistem komputer tentu akan mendapatkan peningkatan performa yang sangat baik. Pada saat throttle, saya mendapatkan angka yang masih kencang, yaitu sekitar 4300 MB/s baca dan tulis.

Lalu bagaimana saat digunakan untuk kegiatan non-gaming? Para editor foto dan video tentu saja dapat menggunakan sistemnya dengan lancar. Pada angka kecepatan seperti ini, rendering video juga akan terbantu selain dari sisi prosesor dan RAM-nya. Dan untuk mereka yang bekerja menggunakan tab lebih dari 10 pada software Office juga bakal menikmati rendahnya lag yang terjadi.

Verdict

Sepertinya saat ini gamers di Indonesia sudah dimanjakan oleh para vendor dengan tersedianya SSD NVMe PCIe 4.0 x4. Pasalnya, SSD ini dapat berjalan dengan kecepatan hingga 7 GB/s yang memastikan semua aplikasi dapat loading dengan kencang. Salah satunya adalah SSD NVMe Western Digital Black SN850 yang saat ini banyak tersedia di toko-toko komputer di Indonesia.

Kinerja dari Western Digital Black SN850 yang saya dapatkan hanya terpaut puluhan MB/s saja dari 7 GB/s yang berarti sangat kencang. Dengan menggunakan cache DDR4 2666 MHz membuatnya lebih stabil pada saat menulis file dalam kapasitas besar. Tingkat kestabilannya juga lebih dijaga lagi dengan tersedianya heatsink pada SSD yang saya dapatkan ini. SSD ini juga memiliki TBW yang cukup tinggi sehingga tidak akan rusak dalam waktu yang dekat.

Western Digital Black SN850 1 TB dengan heatsink ini dijual dengan harga Rp. 4.199.000. WD juga menjual versi tanpa heatsink dengan harga yang lebih terjangkau, yaitu Rp. 3.420.000. Dengan harga ini, pengguna gamer mau pun profesional akan mendapatkan sebuah storage untuk PC dan Playstation 5 yang memiliki kinerja tinggi.

Sparks

  • Kinerja tinggi hingga hampir 7000 MB/s
  • Memiliki DRAM Cache yang menjamin kinerjanya tinggi
  • Cocok untuk PC dan Playstation 5
  • Garansi panjang, yaitu 5 tahun
  • Sudah memiliki heatsink
  • Dukungan WD Dashboard

Slacks

  • Harganya cukup tinggi
  • Suhu masih cukup tinggi saat menulis file besar dan banyak

[Review] Xiaomi 11T: Kencang dengan Dimensity 1200 dan Kamera Apik

Pada tahun 2021, Xiaomi banyak sekali mengeluarkan perangkat flagship dari seri 11-nya di Indonesia. Mulai dari Mi 11, Mi 11 Lite, sampai ke Xiaomi 11T Pro dan Xiaomi 11T. Yup, tahun 2021 Xiaomi mengubah semua smartphone Mi menjadi Xiaomi untuk branding yang menurut mereka lebih baik. Dailysocial tahun ini kedapatan unit review dari Xiaomi dengan Xiaomi 11T non Pro.

Xiaomi mengeluarkan 2 varian di kelas T seri 11, yaitu Xiaomi 11T dan Xiaomi 11T Pro. Perbedaan mendasar keduanya adalah Xiaomi 11T Pro menggunakan SoC Snapdragon 888 dan Xiaomi 11T menggunakan Mediatek Dimensity 1200. Oleh karena bukan kelas Pro, Xiaomi 11T tidak dipersenjatai dengan kemampuan Dolby Vision, pengisian baterai cepat 120 watt, suara Harman Kardon, serta perekaman 8K seperti yang ada pada Xiaomi 11T Pro.

Xiaomi 11T juga memiliki kamera yang ada pada Xiaomi 11T Pro, yaitu dengan ISOCELL HM2 dengan resolusi 108 MP. Hal ini membuat keduanya akan memiliki sedikit perbedaan pada saat pengambilan gambar, seperti yang diklaim oleh Xiaomi Indonesia. Selain itu, konfigurasi kameranya juga sama antara keduanya.

Untuk lengkapnya, berikut adalah spesifikasi lengkap dari Xiaomi 11T yang saya dapatkan

SoC Mediatek Dimensity 1200
CPU 1 x 3.0 GHz Cortex-A78 + 3 x 2.6 GHz Cortex-A78 + 4 x 2.0 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G77 MC9
RAM 8  GB LPDDR5
Internal 256 GB UFS 3.1
Layar 6.67 inci 2400×1080 AMOLED 120 Hz GG Victus
Dimensi 164.1 x 76.9 x 8.8 mm
Bobot 203 gram
Baterai 5000 mAh 67 watt
Kamera 108 MP / 12 MP utama, 8 MP ultrawide, 5 MP Telemakro, 16 MP Selfie
OS Android 11 MIUI 12.5

Hasil dari CPU-Z, AIDA64, serta Sensor Box dapat dilihat sebagai berikut:

Satu hal yang juga membuat Xiaomi 11T lebih unggul dari saudaranya adalah kemampuan Mediatek Dimensity seri 1000 yang sudah mendukung codec AV1 secara hardware. Codec AV1 sendiri akan dipakai oleh Google secara keseluruhan agar streaming video menjadi lebih hemat. Netflix juga sudah mulai menggunakan AV1 untuk beberapa perangkat. Dan saat ini, Google Duo serta Youtube sudah mendukung AV1.

Unboxing

Seperti inilah isi dari paket penjualan smartphone Xiaomi 11T. Didalamnya hanya akan ditemukan kabel USB-C, charger, serta back case. Xiaomi menyertakan charger 67 watt untuk mengisi baterai pada smartphone ini.

Desain

Sangat sulit untuk membedakan antara Xiaomi 11T dan 11T Pro jika disejajarkan keduanya. Pada bagian belakangnya yang menggunakan bahan kaca ini juga memiliki desain yang mirip antar keduanya. Xiaomi mendesainnya dengan motif yang mirip dengan garis-garis pada permukaan aluminium. Kebetulan, saya mendapatkan perangkat dengan warna yang dinamakan Meteorite Black sehingga terlihat cukup mirip seperti metal.

Layar Xiaomi 11T memiliki resolusi 2400×1080 pada layar dengan dimensi 6.67 inci. Panel yang digunakan adalah AMOLED yang memiliki 1 miliar warna dengan refresh rate 120 Hz dan mendukung HDR10+. Xiaomi juga sudah menggunakan kaca terkuat saat ini dari Gorilla Glass dengan versi Victus. walaupun begitu, saya sangat menyarankan untuk menggunakan lapisan pelindung tambahan agar layar tersebut lebih aman dari goresan.

Xiaomi menempatkan kamera pada sisi kiri atas yang saat ini selalu digabungkan pada satu blok kotak. Xiaomi mendesain 3 kamera yang ada pada bagian belakangnya dengan 2 bulatan besar dan 1 bulatan kecil yang diletakkan ditengah. Xiaomi sendiri mengaku bahwa desain ini terinspirasi dari bentuk roll film pada sebuah kamera lama. Di sebelah kamera tersebut terdapat sensor fokus infra merah serta LED untuk flash.

Pada sebelah kanannya, terdapat tombol volume naik dan turun serta power yang juga sekaligus sebagai sensor sidik jari. Untuk bagian bawahnya, dapat ditemukan slot SIM, microphone, USB-C, serta speaker kanan. Di bagian atasnya hanya terdapat sensor infra merah serta speaker kiri. Pada perangkat ini, tidak ditemukan apa-apa pada bagian kirinya.

Xiaomi 11T sudah menggunakan sistem operasi Android 11 yang sudah terpasang MIUI 12.5 Enhanced. Versi MIUI yang saya gunakan saat ini adalah 12.5.3.0 (RKWIDXM) yang sudah memiliki fitur Memory extension. Xiaomi sendiri mengalokasikan 3 GB dari penyimpanan internalnya untuk dijadikan memori virtual. Hal ini tentu saja akan membuat RAM 8 GB yang ada menjadi jauh lebih lowong saat membuka banyak aplikasi, seperti memiliki RAM sebesar 11 GB.

Jaringan

Xiaomi 11T menggunakan chipset Dimensity 1200 yang memang ditujukan untuk perangkat flagship. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem yang digunakan oleh Dimensity 1200 juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 26, 28, 32, 38, 40, 41, 42, dan 66 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, Xiaomi 11T sudah mendukung bandwidth n1, n3, n5, n7, n8, n20, n28, n38, n40, n41, n66, n77, dan n78. Smartphone ini juga sudah mendukung jaringan 5G semua operator. Namun sayang, karena keterbatasan keadaan saya belum berhasil menguji jaringan 5G-nya

Dimensity 1200 mendukung fungsi Smart 5G Power Saving. Teknologi ini secara cerdas akan mengidentifikasi kekuatan sinyal di sekitarnya dan beralih antara 4G dan 5G tanpa jeda waktu peralihan. Hal tersebut akan menghasilkan konsumsi daya yang 30% lebih rendah dibandingkan dengan smartphone tanpa fitur Smart 5G.

Kamera: Bagus! tapi ….

Kamera masih merupakan salah satu poin penting untuk menentukan keputusan seseorang untuk membeli sebuah smartphone. Untuk memperindah gambarnya, Xiaomi membenamkan sensor 108 MP dari Samsung dengan ISOCELL HM2 1/1.52″. Dengan menggunakan teknologi filter Nonapixel, sensor ini menggabungkan 9 piksel 0,7 µm menjadi sebuah piksel sebesar 2.1 µm.

Pada saat dalam kondisi cahaya yang terang, hasil kameranya memang terlihat sangat bagus. Hasilnya memiliki dynamic range yang baik, tingkat ketajaman yang bagus, serta mampu menangkap detail yang pas. Akan tetapi, beberapa kali kamera ini menangkap gambar dengan detail yang washed out serta warna yang sedikit oversaturated. Saya menyarankan Anda untuk mengambil gambar 2x agar mendapatkan hasil yang bagus

Kamera wideangle yang menggunakan sensor Sony IMX355 ini memiliki resolusi 8 MP. Sensor kamera ini berhasil menghasilkan sebuah gambar lebar yang bagus dengan detail yang apik serta warna yang baik pula. Namun didalam ruangan yang cahayanya cukup rendah, saya menyarankan untuk menggunakan mode malam agar lebih baik hasilnya.

Kamera makro pada smartphone ini menggunakan sensor Samsung S5K5E9 dengan resolusi 5 MP. Hasilnya memang tidak terlalu tajam, namun dapat menghasilkan warna yang bagus. Kamera ini bahkan bisa membuat latar belakang bokeh yang sangat baik bila dibandingkan dengan kamera makro pada smartphone lainnya yang masih 2 MP.

Di bagian depannya terpasang kamera yang menggunakan sensor OmniVision OV16A1 dengan resolusi 16 MP quad bayer. Terus terang, saya menyukai hasil kamera ini karena memiliki tingkat ketajaman yang pas dengan warna yang baik saat dicetak pada kertas foto. Semuanya cukup terlihat natural pada saat kondisi cahaya yang cukup. Pada saat kondisi cahayanya kurang, saya menyarankan untuk menyalakan fungsi flash-nya agar menjaga tingkat ketajamannya yang menurun.

Pengujian

Xiaomi 11T menggunakan chipset 5G terbaru dan tertinggi dari Mediatek yang ada hingga tulisan ini diterbitkan, yaitu Dimensity 1200. Chipset ini sendiri menggunakan arsitektur 3 cluster DynamiQ dari ARM dengan Cortex A78 berkecepatan 3 GHz pada Ultra cluster, 3 inti CPU Cortex A78 berkecepatan 2.6 GHz pada Super cluster, dan paca cluster efisiensi menggunakan 4 inti Cortex A55 berkecepatan 2 GHz. GPU yang digunakan adalah ARM Mali-G77 MC9.

Saya menggunakan smartphone ini sebenarnya sudah cukup lama, sekitar 1,5 bulan. Hal tersebut memang dilakukan untuk mendapatkan firmware kedua yang sudah pasti lebih bebas dari bug. Ternyata, firmware tersebut datang di akhir bulan Desember 2021 dan tidak membawa peningkatan kinerja pada Dimensity 1200-nya. Walaupun begitu, kinerja yang ada sudah jauh dari mumpuni untuk menjalankan game serta untuk digunakan sehari-hari.

Bermain Game

Mediatek Dimensity 1200 merupakan SoC tertinggi yang dimiliki oleh Mediatek saat ini. Dengan spesifikasi yang sangat tinggi untuk sebuah smartphone Android, tentu saja mampu menjalankan semua aplikasi yang ada pada Google Play Store, termasuk Game. Pada pengujian kali ini, saya (sudah pasti) menggunakan game Genshin Impact yang sangat memakan resource dari sebuah smartphone serta Pokemon Unite.

Oleh karena chipset-nya ditujukan untuk perangkat flagship, tentu saja saya langsung memasang profile Highest pada Genshin Impact. Limit framerate juga dinaikkan ke 60 fps agar bisa mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dan hasilnya, Xiaomi 11T rata-rata bisa menjalankan game ini dengan framerate 44 fps. Hasil seperti ini tentu saja akan membuat pengguna nyaman untuk bermain.

Dua game selanjutnya adalah Pokemon Unite dan PUBG: New State. Sayang memang, sampai saat ini PUBG: New State belum mendukung Developer Options sehingga perhitungan framerate hanya bisa melalui aplikasi Game Turbo bawaan Xiaomi. Hasilnya, kedua game ini dapat berjalan pada 60 fps dengan stabil.

Untuk mengukur framerate, saya menggunakan aplikasi GameBench yang akurat dalam menghitung frame per detiknya

Bekerja dan hiburan

Seperti biasa, sebuah smartphone tentu saja tidak melulu hanya dipakai untuk bermain game. Dalam kegiatan sehari-hari, perangkat ini tidak luput dari pemakaian untuk bekerja dan juga hiburan. Aplikasi sosial media seperti Facebook, Tiktok, Twitter, Instagram, Zoom, dan Whatsapp serta aplikasi editor Filmora Go saya gunakan pada perangkat ini. Selain itu, tentu saja Trello dan Slack juga dipakai untuk bekerja.

Untuk menonton video, saya menggunakan VLC dan mencoba untuk menjalankan video 1080p H.265 yang ternyata lancar hingga habis. Oleh karena Xiaomi 11T menggunakan Dimensity 1200, Youtube yang ada pada perangkat ini sudah menggunakan codec AV1 secara hardware sehingga lebih menghemat bandwidth. Saat dijalankan pada 1080p, tidak ada lag yang dirasakan sehingga nyaman digunakan.

Benchmarking

Xiaomi 11T menggunakan cip baru dari Mediatek dengan Dimensity 1200. Untuk hal ini, saya kembali menghadirkan Dimensity 1100, Snapdragon 870, serta Snapdragon 888. Hal ini hanya untuk membandingkan kinerja sistemnya secara keseluruhan.

Walaupun Dimensity 1200 bukan yang paling kencang, namun bukan berarti Xiaomi 11T pelan. Hasil yang ada memang sudah di atas rata-rata perangkat mainstream yang sudah diluncurkan hingga hari ini. Tentunya, hasil ini sejalan dengan pengalaman saya dalam memakainya sehari-hari.

Uji baterai: 5000 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 5000 mAh memang membutuhkan 1 hari khusus untuk menjalankannya. Namun, aplikasi yang ada saat ini belum bisa merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Xiaomi 11T dapat bertahan hingga 20 jam 12 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 67 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang dari 45 menit.

Verdict

Untuk merasakan sebuah perangkat flagship, tentu saja orang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Hal tersebut memang akan membuat orang tidak akan bisa merasakan lancarnya perangkat Flagship. Masalah tersebut dipecahkan oleh Xiaomi dengan mengeluarkan perangkat bernama Xiaomi 11T.

Smartphone ini menghasilkan kinerja yang sangat baik. Dengan menggunakan Mediatek Dimensity 1200, semua game dan aplikasi dapat berjalan dengan kencang tanpa masalah. Kinerja tersebut pun disokong dengan baterai 5000 mAh yang mampu bertahan lebih dari sehari. Apalagi, RAM yang sudah besar ini terbantu dengan Memory extension sebesar 3 GB yang membuatnya lebih lancar lagi untuk multitasking.

Setiap gambar yang diambil dari kamera Xiaomi 11T hasilnya akan bagus. Kamera 108 MP yang menghasilkan foto 12 MP tersebut mampu menggantikan kamera pocket untuk mengambil momen sehari-hari. Feature video yang ada juga membuat pengguna bisa mengeksplor bakat terpendam untuk menjadi sutradara. Sayang saja, kamera telephoto atau zoom absen pada perangkat ini.

Xiaomi menjual smartphone Xiaomi 11T dengan harga Rp. 5,999,000. Dengan harga tersebut akan terlihat terjangkau karena Xiaomi 11T hadir dengan fitur yang ada pada sebuah perangkat flagship. Harga tersebut juga jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan kakaknya, Xiaomi 11T Pro. Dengan kinerja dan fitur berbanding harga terjangkau yang diberikan membuat smartphone menjadi salah satu yang menarik untuk dimiliki oleh mereka yang menginginkan perangkat flagship yang murah.

Sparks

  • Hasil foto Xiaomi 11T yang bagus pada setiap kameranya
  • Daya tahan baterai yang baik serta pengisiannya yang cepat
  • Kinerja yang kencang untuk bermain dan bekerja
  • Layar OLED yang nyaman di mata dan warnanya yang bagus
  • Responsif saat bernavigasi
  • Harganya terjangkau untuk sebuah flagship
  • Mendukung AV1 pada Youtube tanpa lag

Slacks

  • Tanpa Dolby vision dan 8K Recording seperti seri Pro
  • Absennya lensa zoom dan OIS
  • Minim game yang mendukung 120 Hz di Xiaomi 11T

12 Game Mobile Augmented Reality (AR) Yang Bisa Dimainkan Di 2022

Istilah Augmented Reality mungkin masih terasa futuristis dan masih jauh di masa depan. Padahal teknologi ini sudah ada sejak lama, meskipun memang penggunaannya untuk umum baru benar-benar bisa dilakukan beberapa tahun ke belakang.

Keberadaan smartphone yang telah memiliki spesifikasi baik hardware maupun software yang mumpuni kini membuka jalan untuk pengembangan berbagai aplikasi berbasis AR, termasuk video game. Meskipun implementasinya masih mendasar namun potensi pengembangan teknologi ini sangat besar.

Contoh game berbasis AR yang paling sukses saat ini adalah Pokemon GO!. Mampu bertahan hingga 5 tahun, game ini masih banyak digemari hingga sekarang. Namun ternyata masih banyak game-game berbasis AR yang bisa Anda coba sekarang. Berikut daftar beberapa game-nya:

Pokemon Go

Seperti yang telah kami bilang sebelumnya, Pokemon GO merupakan salah satu game dengan implementasi AR terbaik hingga sekarang. Pemain akan berpetualang di dunia nyata untuk mencari Pokemon-pokemon yang tersebar di sekitar lokasi pemain.

Dan meskipun game ini telah menginjak umur 5 tahun, Niantic dan Pokemon Company kelihatannya masih tetap memberikan update konten berkala untuk dinikmati para pemain.

DC: Batman Bat-Tech Edition

Siapa yang tidak ingin menjadi Batman? Dalam game ini, pemain dapat menjelma menjadi cape crusader. Game-nya akan menggunakan kamera smartphone untuk memproyeksikan dunia game-nya ke dalam dunia nyata.

Pemain akan membantu Batman untuk menyelidiki dan melawan musuh-musuhnya dalam 10 cerita yang diusung. Selain itu game ini juga memiliki beragam fitur lain seperti filter AR, mini games, stiker filter, hingga komik.

Harry Potter: Wizards Unite

Kesuksesan Pokemon Go membuat franchise Harry Potter mempercayakan game berbasis AR-nya kepada developer Niantic. Game-nya juga akan berisi banyak hal yang pemain kenal dari film dan novelnya mulai dari item, mantra, hingga karakter-karakter ikoniknya.

Sama seperti Pokemon GO, pemain akan diminta untuk berpetualang di dunia nyata, mengumpulkan berbagai item sihir dan juga melawan musuh-musuh menggunakan mantra yang telah dipelajari.

Ingress Prime

Sebelum sukses besar lewat Pokemon Go, Niantic telah mengembangkan game AR milik mereka yang diberi nama Ingress prime. Dalam game ini, pemain akan berperan sebagai agen yang bertugas untuk meretas portal-portal yang tersebar di sekitar pemain.

Game ini merupakan iterasi kedua dari game aslinya yang berjudul Ingress. Dalam sekuel sekaligus reboot ini, Niantic membuat game-nya lebih menarik bagi para pemain baru yang ingin mencari game seperti Pokemon GO namun lebih serius.

Jurassic World Alive

Memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dari Pokemon Go maupun Harry Potter: Wizard Unite, kali ini pemain akan menghadapi dinosaurus-dinosaurus yang berkeliaran di dunia nyata.

Uniknya pemain bahkan dapat membuat dinosaurus hibrida yang dapat ditingkatkan levelnya untuk nantinya dapat digunakan untuk bertarung melawan dinosaurus milik pemain lain.

Kings of Pool AR

Video game biliar memang bukan hal baru. Namun memungkinkan pemain untuk mengubah bidang datar apapun menjadi meja biliar mungkin masih jarang.

Game ini lebih terasa sebagai eksperimen dengan AR yang memberikan pengalaman bermain biliar cukup dengan ponsel Anda. Silakan lihat video di atas untuk lebih jelasnya.

Knightfall AR

Pada dasarnya, game ini merupakan sebuah board game yang ditampilkan lewat kamera. Karena masih merupakan konsep pengembangan, mekanisme dalam permainan dalam game ini mungkin masih kurang lancar.

Namun setidaknya pemain dapat memainkan board game dalam sebuah proyeksi AR. Sayangnya, durasi game yang sangat pendek akan membuat game ini lebih terasa seperti demo daripada game penuh.

The Walking Dead: Our World

Bagi para pecinta serial The Walking Dead, game AR ini kelihatannya wajib dicoba agar pemain dapat merasakan bagaimana menjelajah dan harus melawan para zombie.

Teorinya, game ini menawarkan sensasi ala game first person shooter (FPS) dengan background lokasi asli pemain. Selain itu para fans film serinya akan menyukai koneksi pada game ini yang bahkan menghadirkan karakter-karakter dari filmnya.

Zombies, Run!

Game yang satu ini cocok bagi mereka yang menyukai olahraga dan juga zombie. Pemain akan diminta untuk berjalan dan juga berlari untuk dapat melanjutkan progres cerita yang dimiliki.

Game ini juga memiliki beberapa tantangan untuk membuatnya lebih seru. Dan berita baiknya, game ini juga dapat bekerja di treadmill bagi pemain yang tidak suka keluar rumah.

Five Nights at Freddy’s AR: Special Delivery

Seri Five Night at Freddy menjadi sebuah seri game horor klasik yang memberikan teror baru bagi para gamer. Dan di sini pemain akan dituntut untuk bertahan dari gempuran robot animatronik yang akan muncul lewat kamera smartphone.

Game ini memiliki kontrol yang cukup sederhana namun tetap menantang karena latar dari game-nya adalah lokasi Anda dan jump scare khas dari serinya juga hadir di dalam game AR ini.

Angry Birds AR: Isle of Pigs

Menjadi salah satu game kasual paling sensasional, Angry Birds terus berkembang hingga sekarang. Game ini juga menjadi titik pencapaian baru yang memungkinkan pemain untuk memainkan game-nya dari sudut pandang berbeda dari biasanya.

Dalam game ini semua elemen game-nya akan ditampilkan dalam 3 dimensi. Terutama untuk benteng milik para babi yang akan menjadi target. Pemain kini akan melihat game-nya dari balik sang burung yang membuat pengalaman bermainnya berubah total.

Cosmic Frontline AR

Siapa yang tidak ingin menonton perang antar planet dari kamar tidur atau ruang tamunya. Game ini memungkinkan pemain untuk melihat secara lebih realistis bagaimana perang luar angkasa tersebut berlangsung.

Game strategi ini akan meminta Anda mempersiapkan pasukan luar angkasa untuk mengalahkan pasukan dari planet lainnya. Kerennya pemain bisa memantau pertempuran yang terjadi secara real-time dengan berkeliling langsung.

Sejarah Splinter Cell: Aksi Spionase Penuh Inovasi

Pengumuman remake untuk game original Splinter Cell beberapa waktu lalu mungkin menjadi kabar paling menggembirakan yang pernah diumumkan oleh Ubisoft akhir-akhir ini. Apalagi seri game spionase ikonik ini telah tertidur selama delapan tahun.

Bagi Anda yang masih asing dengan franchise yang satu ini, game yang berjudul lengkap Tom Clancy’s Splinter Cell ini merupakan salah satu judul klasik Ubisoft yang telah ada sejak tahun 2002 lalu. Game ini telah melewati banyak pengembangan dan juga perubahan selama perilisan serinya. Namun semua kembali ke awal tahun 2000-an ketika Ubisoft ingin membuat sebuah seri game baru.

Awal Mula Pengembangan Splinter Cell (2000)

Ubisoft E3 2002

Pada awal pengembangannya, game ini dikembangkan sebagai game agen rahasia bergaya James Bond dengan dunia fiksi ilmiah dengan kode nama “The Drift”. Dibuat dengan tujuan sebagai rival dari seri Metal Gear Solid milik Konami, Ubisoft perlahan meninggalkan tema fiksi ilmiahnya dan menggantinya dengan tema perang spionase yang lebih gelap dan serius.

Apalagi Ubisoft juga menjalin kerja sama dengan novelis militer dan spionase, Tom Clancy, meskipun Clancy tidak memberikan arahan apapun ke dalam game-nya. Ubisoft Montreal menjadi studio yang bertanggung jawab untuk membuat game pertama dari seri legendaris ini dengan mengambil inspirasi elemen stealth dari Metal Gear Solid dan Thief.

Tom Clancy’s Splinter Cell (2002)

Setelah masa pengembangan kurang lebih 2 tahun, Ubisoft akhirnya merilis game pertamanya pada 2002 secara eksklusif untuk Xbox. Baru di tahun 2003, mereka merilis versi port dari game-nya ke PC, PlayStation 2, GameCube, dan Mac OS X. Ada juga versi 2D-nya untuk Game Boy Advance dan Nokia N-Gage.

Game ini mendapat respon yang sangat positif dan bahkan masuk ke dalam daftar game terbaik yang pernah dibuat. Hampir semua aspek dari game ini mendapat pujian dari para kritikus mulai dari grafis mengagumkan Unreal Engine 2, voice acting karakter Sam Fisher yang menjiwai dari Michael Ironside, hingga ke mekanisme stealth yang dianggap revolusioner untuk genre stealth-action. Game pertama Splinter Cell ini langsung menjadi pondasi yang kuat untuk seri Splinter Cell berkembang menjadi besar.

Tom Clancy’s Splinter Cell: Pandora Tomorrow (2004)

Kesuksesan seri original Splinter Cell tentunya langsung membuat Ubisoft mengunci sekuel dan bahkan game-game berikutnya. Ubisoft bahkan menugaskan dua studio lain mereka, yaitu Ubisoft Shanghai dan Ubisoft Milan untuk menggarap sekuel game ini. Sedangkan developer aslinya, Ubisoft Montreal tengah mengembangkan Chaos Theory yang akan jadi game ketiganya.

Dalam game keduanya, Ubisoft memberikan fokus lebih ke pengalaman naratif dan juga musuh yang lebih cerdas. Game ini juga memperkenalkan fitur pilihan aksi yang akan memengaruhi narasi game-nya. Dengan berbagai perkembangan tersebut, Ubisoft sekali lagi mendapat kesuksesan lewat sekuel Splinter Cell ini.

Tom Clancy’s Splinter Cell: Chaos Theory (2005)

Developer original Splinter Cell, Ubisoft Montreal kini dibantu oleh Ubisoft Milan untuk memastikan game ketiganya dapat menandingi Pandora Tomorrow. Game ini pun dibuat lebih gelap dengan gerakan pertarungan serta cara membunuh yang lebih bervariasi. Hasilnya game ini menjadi judul pertama yang mendapat rating M (dewasa) dari ESRB.

Membuat aksi Sam Fisher lebih sadis dengan NPC yang lebih cerdas sehingga setiap misinya jadi lebih menantang ternyata merupakan resep yang tepat untuk membuat Chaos Theory sukses. Apalagi cerita Sam Fisher juga semakin kompleks dengan menjadi Third Echelon yang harus menghalau berbagai rencana militer berbahaya dari seluruh dunia.

Tom Clancy’s Splinter Cell: Double Agent (2006)

Untuk seri keempatnya Ubisoft cukup ambisius dengan membuat dua versi dari game-nya. Hal tersebut dilakukan karena Ubisoft ingin memberikan pengalaman yang maksimal di setiap platform untuk game ini. Sehingga, Ubisoft Milan dan Shanghai mengembangkan game-nya untuk generasi next gen yaitu Xbox 360, PlayStation 3, dan PC Windows yang disebut versi 01. Sedangkan Ubisoft Montreal mengerjakan untuk konsol generasi sebelumnya yaitu Xbox, PlayStation 2, Nintendo GameCube, dan Wii yang disebut versi 02.

Keduanya memiliki premis cerita yang kurang lebih sama, namun kedua versi tersebut diinterpretasikan berbeda oleh kedua studio. Versi 01 yang dibangun di platform yang lebih kuat mendapat berbagai keuntungan untuk berinovasi mulai dari grafis hingga fitur gameplay. Sedangkan versi 02 harus memperhitungkan keterbatasan kekuatan dari platform lamanya.

Kedua versi dari game ini tetap mendapatkan respon yang cukup positif dari para gamer saat dirilis. Namun karena adanya perbedaan yang cukup membuat kedua game seperti dua game berbeda, fans pun mulai terpecah dengan sebagian menyukai pendekatan baru dari versi next-gen dan sebagian lainnya lebih menyukai versi old-gen yang lebih mendekati game original Splinter Cell.

Tom Clancy’s Splinter Cell: Essentials (2006)

Sekian lama menjadi franchise emas milik Xbox, Splinter Cell akhirnya menjadi game eksklusif dalam PSP lewat Splinter Cell: Essentials. Meskipun game ini memiliki kemiripan cover dengan Double Agent namun Essentials membawa latar waktu dan cerita yang benar-benar berbeda. Game ini akan membawa pemain menyelami masa lalu Sam Fisher sebelum game pertamanya.

Sayangnya, perjalanan pertama Splinter Cell ke PSP tidak berjalan mulus karena game-nya mendapat rating yang kurang bagus karena game-nya disebut dirasa terlalu terburu-buru, dan bahkan banyak kekurangan di beberapa aspek. Ditambah lagi, mekanisme kontrolnya yang sedikit berantakan saat dibawa ke PSP juga menjadi masalah besar untuk game ini.

Tom Clancy’s Splinter Cell: Conviction (2010)

Setelah menyadari bahwa praktik siklus pengembangan tahunan dengan melibatkan banyak studio membuat serinya menjadi kacau, Ubisoft akhirnya memutuskan untuk benar-benar mengambil arah yang berbeda untuk Splinter Cell: Conviction yang diperkenalkan pada 2007, namun mendapat beberapa kali penundaan bahkan resmi ditahan pada 2008 untuk dirombak ulang. Game ini akhirnya dirilis pada 2010 dengan tampilan dan gameplay yang benar-benar baru.

Dalam Conviction, Sam diceritakan telah keluar dari Third Echelon dan kini tengah menginvestigasi kematian anaknya yang diduga bukan sekadar kecelakaan. Dalam petualangannya, Sam digambarkan lebih brutal dan juga kuat yang membuat gameplay Conviction memiliki lebih banyak aspek meskipun elemen stealth tetap ada. Namun ternyata arah ini disukai oleh para gamer yang membuat Conviction mendapat respon cukup positif dan sukses. Meski begitu, tidak sedikit gamer lainnya juga menyayangkan kenapa game Splinter Cell jadi terasa seperti Max Payne di Conviction.

Tom Clancy’s Splinter Cell: Blacklist (2013)

Merasa berhasil melahirkan kembali seri Splinter Cell lewat Conviction, Ubisoft percaya diri untuk melanjutkan seri ini. Bahkan mereka memberikan proyek keenam ini kepada studio baru mereka Ubisoft Toronto. Ubisoft Toronto tersebut ingin mengembalikan aspek stealth serta ciri khas yang dimiliki oleh Splinter Cell sebelumnya.

Kembalinya Splinter Cell menjadi sebuah game yang lebih berfokus ke stealth memang disambut positif oleh para pemain. Namun campaign yang singkat ketimbang seri-seri sebelumnya dan juga absennya pengisi suara Sam, Michael Ironside, membuat para fans veteran merasa kecewa. Hasilnya, meskipun mendapat respon positif, penjualan dari Blacklist disebut gagal memenuhi ekspektasi Ubisoft yang sekaligus menjadi penutup untuk Splinter Cell kala itu

Tom Clancy’s Splinter Cell Remake (TBA)

8 tahun berselang setelah seri terakhirnya, Ubisoft memberikan kejutan bagi para fans dengan mengumumkan proyek remake dari game original Splinter Cell. Game ini akan dikembangkan oleh Ubisoft Toronto yang mengerjakan Blacklist dan akan memodernisasi pengalaman dari game originalnya,

Game ini akan menggunakan engine milik Ubisoft, Snowdrop Engine yang juga digunakan pada game Ubisoft lainnya seperti The Division. Ubisoft juga mengatakan bahwa versi remake ini tidak akan mengadopsi sistem open world dan akan linear seperti game originalnya.

10 Best Roblox Games in 2021

Over its 15 years journey, Roblox has amassed millions of loyal players around the world and, with it, a community of creative minds building game modes for others to enjoy. So yes, even though Roblox is defined as a game, it is more of a platform to deploy projects to you and the fans alike. Roblox, as a result of this paradigm, has also accumulated quite an expansive set of game modes for players to enjoy. “Expansive” might even be slightly misleading as there are over 40 million game modes currently playable in Roblox in 2021, and this figure will expectedly continue to increase as the game becomes more popular every day.

However, scrolling through 40 million possibilities of fun and entertainment is not a very feasible task, to say the least. Therefore, we have selected the 10 most popular (according to Statista) and best games considered by the community in the whole of the Roblox ecosystem.

Adopt Me!

Source: Roblox Wiki

One of, if not the most visited games in all of Roblox is an MMO called Adopt Me!. Developed by Uplift Games, Adopt Me! has already garnered over 5 million likes and 25 billion visits as of writing this article. The game is essentially a glorified version of Sims in Roblox, where players can either take the role of a pet-owner or caretaker. You can obtain pets from hatching eggs, purchasing them with Robux (and the in-game currency Bucks), or trading with other players. Each pet has its own distinct rarity, which also affects its costs or pricing.

However, Adopt Me! hasn’t always been about taking care of virtual pets. 2 years ago, the game focuses more about adopting and raising children. But as the game shifted and received updates that introduces adoptable pets, Adopt Me! quickly rose in popularity and became what it is today.

Tower of Hell

Source: Roblox Wiki

Obbies (or obstacle courses games) are often shunned upon by the Roblox community due to the fact most of them are made with low quality. However, Tower of Hell is a major exception. This game is the pinnacle of obbies in Roblox, has gathered near to 15 billion visits as of November, and even received nominations as the “Best Mobile Game” in the 7th annual Bloxy awards. Tower of Hell has all the features you want in an addicting and high-adrenaline obstacle course, such as randomly generated levels, multiplayer (up to 20 players), and the absence of checkpoints. So if you are looking for an intense parkour experience in Roblox, Tower of Hell will not disappoint.

MeepCity

Source: Roblox.com

MeepCity is one of the most popular games in the Town & City category, with over 10 billion visits at the current moment. It is an MMORPG that is all about socializing and hanging out in the virtual world of Roblox. If you want to feel what it’s like to go outside before the pandemic, then MeepCity will truly relive that experience. To maximize its social aspects, the servers in MeepCity even go one step further in expanding their capacity to accommodate up to 200 players (where 30 is usually the limit). There are also other additional features, such as customizable pets called Meeps and constructing your own home, so you won’t have any trouble getting bored.

Brookhaven RP

Source: Roblox Wiki

If you want to have a smaller-sized space for hanging out in Roblox, then Brookhaven RP is a great alternative in MeepCity. Other than its smaller server sizes, Brookhaven also emphasized living in a luxury and providing a chill environment to socialize or meet up with other like-minded players. There is a reason why this relatively new game created in 2020 was able to have its popularity skyrocket: it is the perfect place to relax, cool down, have a small chat, and possibly make long-lasting friendships.

Piggy

Source: Roblox Wiki

Piggy is a horror game that interestingly combines many elements from zombie apocalypses, mystery, survival, and a cute Peppa Pig. It is, in a lot of ways, similar to the indie horror game called Granny with the added episodic storytelling scheme that is highly interesting as you continue to uncover it in-game. Piggy also provides a free setup for private servers, so this is a definite go-to game when it comes to having a horrifying yet fun Roblox session with your friends. Of course, when I say horrifying, I mean it by Roblox’s standards.

Murder Mystery 2

Source: Roblox.com

Despite being placed in the horror category, Murder Mystery 2 is much more suited to be called a social deduction game. Simply put, it’s Among Us in Roblox. I am sure that we all experienced the boom of social deduction games in 2020, which is why it is not surprising that Murder Mystery 2 became exponentially popular recently. The gameplay of Murder Mystery is much more similar to Werewolf than it is with Among Us. Instead of all the innocents voting out the murderer (or impostor), there is one sheriff designated with this task. But of course, all the fun elements of discussion, lies, blames, and convictions are very much present in Murder Mystery 2.

Jailbreak

Source: Roblox Wiki

Jailbreak is another popular game in the Town & City category, but its gameplay diverges from the norm to a great extent. Jailbreak is essentially GTA Online, with all the gore and explicit materials removed. You have the option of being criminals executing heists all around town or becoming the cops that stop them in their tracks. So if you want a chill premise to socialize, Jailbreak is not the game for you. But if you are looking for an intense experience of fighting criminals or becoming one, then you are in for an awesome ride.

Today, it still remains as one of the most played games in Roblox, already accumulating over 5.2 billion visits. The game’s popularity also spawned several merchandise deals and led to its feature on Roblox’s Ready Player One event.

Welcome to Bloxburg

Source: Roblox Wiki

The Town and City category is filled with games that try to replicate the pinnacle of life-sim games, The Sims. However, only one game came close to being defined as the Sims copy in Roblox, and that game is Welcome to Bloxburg. Welcome to Bloxburg has all the features you expect in a Sims game, a character you fully control, choices for work, leisure, and adventuring. One major selling point of Welcome to Bloxburg is build mode, a feature that allows you to build your homes to your liking. Unfortunately, unlike all the games in this list, you have to purchase access to Welcome to Bloxburg. However, despite its 25 Robux paywalls, it still has over 4.8 billion visits as of today, which is a pretty amazing feat considering the entry barrier to the game.

Theme Park Tycoon 2

Source: Roblox Wiki

This game is all about building the best and most creative theme parks to attract as many guests as possible. Theme Park Tycoon closely mimics the RollerCoaster Tycoon franchise, perhaps the most popular coaster sim game. So if you are a fan of coaster sims, Theme Park Tycoon will certainly be the game for you. Despite being over 9 years old already, Theme Park Tycoon never gets boring with constant new updates being released. The game is truly a blank slate for you all with creative minds to pour out your ideas and construct what you have always envisioned to be the dream theme park.

Anime Fighting Simulator

Source: Roblox Wiki

Anime Fighting Simulator is exactly what it sounds like: a game where you can pick favorite characters from various animes and battle against other players. The game is perfect for avid anime fans who want to see and control their beloved characters from popular shows. For those who don’t watch anime, the game is still very much playable. However, just take note that you might not see the true picture of the characters’ capabilities, since you know… it’s Roblox after all. Fortunately, Anime Fighting Simulator is not only about mindlessly combating other players. There are quite a few additional game modes such as Tournament mode of story mode that you can try out as well.

 

Featured Image: Gamer Roof

Sejarah Forza Horizon: Spin-off yang Malah Jadi Favorit Utama Para Gamer

Forza Horizon 5 memang jadi salah satu primadona di tahun 2021 ini. Pasalnya, tidak banyak game balap yang bisa mendapat perhatian besar dari para gamer di seluruh dunia. Bahkan game ini tidak hanya dimainkan oleh para pecinta game balap, namun para gamer kasual pun ternyata banyak yang ikut menjelajahi alam Meksiko yang luas dengan beragam jenis mobil yang disediakan.

Forza Horizon sebenarnya merupakan spin-off dari seri Forza milik Microsoft. Namun berbeda dengan seri utamanya yang lebih mengedepankan sisi sim-cade (simulation-arcade) untuk melawan kedigdayaan Gran Turismo milik Sony, seri Horizon lebih mengedepankan kesenangan, mulai dari lifestyle hingga ke eksplorasi dunia terbuka.

Lalu bagaimana kisah Forza Horizon yang awalnya hanyalah seri spin-off hingga kini menjadi favorit banyak gamer? Semuanya kembali ke tahun 2010 saat Microsoft melihat bahwa mereka merasa butuh untuk membuat gebrakan untuk seri Forza.

Pembentukan Playground Games dan Ideasi Awal Forza Horizon (2010)

Image Credit: Playground Games

Melanjutkan kisah sebelumnya, Microsoft yang ingin membuat gebrakan untuk seri Forza membentuk sebuah developer baru yang diberi nama Playground Games. Developer yang berbasis di Inggris ini bisa dibilang merupakan sebuah all-star-developer karena berisikan para developer veteran yang sebelumnya sudah mengerjakan judul-judul game balap legendaris seperti Project Gotham Racing, Driver, Colin McRae: Dirt, Colin McRae Rally, Race Driver: Grid, dan bahkan Burnout.

Dengan bekal yang matang tersebut, Microsoft langsung memberikan tugas pertama yang berat untuk membuat hal baru namun masih berada di dalam lingkup seri Forza.

Dalam beberapa bulan, akhirnya Playground Games mengajukan konsep awal dari Forza Horizon. Konsep festival musik dan dunia terbuka tersebut ternyata disetujui oleh Microsoft dan Playground Games memiliki waktu dua tahun untuk menyelesaikan game pertamanya.

Forza Horizon (2012)

Image Credit: Playground Games

Setelah masa pengembangan yang berat, Playground Games akhirnya dapat merampungkan game pertama Forza Horizon. Game balap open-world ini mengambil latar Colorado, Amerika Serikat, yang menjadi taman bermain bagi para pemain.

Horizon Festival menjadi atraksi utama dari game ini yang menjadi pusat semua aktivitas dari pemain. Seri pertama ini masih menggunakan cerita klise anak baru yang datang dan mengalahkan nama-nama besar dalam festival.

Dirilis secara eksklusif untuk Xbox 360, Forza Horizon langsung menjadi hits bagi mereka para pecinta game balap maupun otomotif secara umum. Implementasi game engine Forza Tech yang dimiliki oleh seri utamanya memberikan beberapa benefit kepada Playground Games dalam mengembangkan game ini. Salah satunya adalah menghadirkan mobil yang terasa realistis baik secara visual, audio, dan bahkan kendalinya yang membuat banyak pecinta otomotif menyukainya.

Forza Horizon 2 (2014)

Image Credit: Playground Games

Kesuksesan Horizon pertama membuat Microsoft yakin untuk menunjuk kembali Playground Games membuat sekuel dari game-nya. Sang pengembang sekali lagi menggunakan seri utamanya yaitu Forza Motorsport 5 sebagai landasan game-nya. Kini, mereka membawa pemain dari Amerika Serikat menuju ke Eropa Selatan.

Kehadiran konsol baru, Xbox One, membuat Playground Games memiliki ruang lebih untuk membuat Horizon 2 lebih bebas lewat kemampuan mengemudi off-road dan juga hadirnya cuaca dinamis dalam game-nya.

Sama seperti game pertamanya, sekuel dari Forza Horizon ini juga mendapatkan respon dan penilaian yang positif. Dunia yang lebih luas dan bebas, variasi balapan yang bertambah, dan juga grafis yang semakin memanjakan mata bahkan membuat game ini disebut sebagai surga untuk game balap. Kesuksesan Forza Horizon 2 ini bahkan membuat Microsoft merilis dua ekspansi yaitu Storm Island dan Forza Horizon 2 Presents Fast & Furious.

Forza Horizon 3 (2016)

Image Credit: Playground Games

Dengan formula yang mulai terbentuk, Microsoft akhirnya membawa seri ketiga dari Forza Horizon menjadi game pertama yang ikut menyambangi platform PC. Playground Games menyambut antusias pembuatan game ini lewat map yang berlatar di area selatan Australia. Kemampuan next-gen yang dimiliki oleh Xbox One juga membuat Playground Games dapat menaikkan berbagai standar di dalam game-nya.

Mulai dari geografis alam yang semakin bervariasi, pilihan mobil yang semakin masif, mobil dapat dimodifikasi, hingga ke langit dan awan yang ditangkap langsung menggunakan kamera HDR, hal-hal tersebut membuat atmosfer game-nya terasa semakin realistis.

Dengan berbagai peningkatan dan juga kebebasan yang ditawarkan Forza Horizon 3, game ini sekali lagi mendapatkan penilaian dan respon yang positif. Para gamer PC juga menyambut gembira kehadiran perdana dari seri balapan ini. Apalagi Playground Games juga memasok konten update untuk game ini seperti koleksi mobil baru, hingga ekspansi map Blizzard Mountain, dan bahkan ekspansi Hot Wheels yang membuat seri ini mencapai titik kolaborasi yang baru.

Forza Horizon 4 (2018)

Image Credit: Playground Games

Setelah berkeliling dunia pada tiga game awalnya, Playground Games akhirnya membawa Forza Horizon ke tanah kelahiran mereka yaitu Inggris. Playground Games tetap mempertahankan formula Horizon sebelumnya yang telah cukup matang, namun menyuntikkan beberapa hal baru mulai sistem 4 musim yang akan berganti setiap satu minggu. Game ini juga memiliki map yang sedikit lebih luas daripada seri sebelumnya dan juga ketinggian yang lebih bervariasi dengan adanya pegunungan di dalamnya.

Koleksi mobil dalam game ini juga bertambah hingga mencapai lebih dari 740 mobil. Serta beragam mode baru seperti battle royale The Eliminator, Super 7, treasure hunt, dan lain-lain. Dengan popularitas yang semakin meningkat, Forza Horizon 4 benar-benar mendapat spotlight bagi para pecinta game balap. Hasilnya, game ini berhasil memenangkan berbagai penghargaan dan dimainkan hingga lebih dari 24 juta pemain sejak dirilis.

Forza Horizon 5 (2021)

Image Credit: Playground Games

Instalasi terbaru dan terbesar dari seri balap ini baru saja dirilis pada bulan lalu, dan dengan kehadiran konsol next-gen terbaru yaitu Xbox Series X|S Playground kembali mencoba membuat lompatan pada seri Forza Horizon 5.

Ukuran mapnya kini bertambah hingga 50% lebih luas dari Horizon 4. Game ini juga memiliki variasi geografis yang jauh lebih kaya dari seri sebelumnya. Berlatar di Meksiko, game ini memiliki gunung api aktif, pantai, padang pasir, perkotaaan padat, hingga hutan hujan dengan peninggalan suku Maya di dalamnya.

Hebatnya, meskipun mendapat peningkatan yang signifikan di berbagai aspek Forza Horizon 5 tetap hadir di konsol Xbox One dengan performa yang cukup baik. Playground Games telah berhasil mendorong engine Forza Tech hingga ke titik maksimal untuk menghadirkan pengalaman terbaik dari game ini untuk semua platform. Maka tidak mengejutkan bila Forza Horizon 5 menjadi game Microsoft dengan peluncuran terbesar.

Masa Depan Forza Horizon

Berkaca dari game-game sebelumnya, sudah dapat dipastikan bahwa Microsoft akan membuat Forza Horizon 5 memiliki umur panjang untuk beberapa tahun ke depan. Apalagi seri utama mereka, Forza Motorsport 8 juga ditunda dan tiba paling cepat pada bulan November tahun 2022 mendatang.

Baru setelah seri Forza Motorsport terbaru dirilis, seri Horizon terbaru nantinya akan dikembangkan menggunakan basis dari game utamanya. Yang berarti paling cepat Playground Games akan mengumumkan Forza Horizon 6 pada 2024.

Untuk sekarang, Playground Games akan berfokus pada penyempurnaan Forza Horizon 5 sembari mempersiapkan fitur-fitur baru. Salah satunya adalah fitur aksesibilitas termasuk akan hadirnya bahasa isyarat untuk memudahkan para gamer dengan gangguan pendengaran. Selain itu mereka juga akan disibukkan dengan persiapan konten masa depan seperti map ekspansi maupun koleksi kendaraan baru yang akan tiba secara berkala.

Kompilasi Review Battlefield 2042: Comeback yang Terkendala Masalah Teknis

Menyebut nama Battlefield tentunya membawa ingatan para gamer untuk kembali ke medan perang masif dengan berbagai artileri dan kendaraan tempur serta medan perang yang penuh dengan kekacauan.

Tahun ini harusnya menjadi comeback bagi seri Battlefield yang sudah absen selama kurang lebih 3 tahun. Dan dengan mengusung kembali konsep modern dengan kemasan lebih masif, EA mempersiapkan Battlefield 2042 sebagai surat cinta bagi para fans yang sudah rindu untuk kembali bertempur.

Sayangnya, penantian yang cukup lama tersebut kelihatannya tidak memenuhi ekspektasi para fans. Apalagi bagi mereka para fans hardcore yang telah rela membeli versi “mahal” untuk dapat mengakses game-nya terlebih dahulu.

Mulai dari masalah teknis yang tidak juga terselesaikan bahkan setelah game-nya dirilis resmi, hingga ke perubahan gameplay yang tidak disambut dengan tangan terbuka oleh para fans. Peter Dragula dari SECTOR.sk bahkan menyebut bahwa masa depan dari seri Battlefield terlihat sangat-sangat buruk.

Tidak ada cerita, tidak masalah

Battlefield 2042 menjadi game pertama dari serinya yang akhirnya secara penuh meninggalkan story campaign yang sebelumnya selalu hadir sejak Battlefield 3. Namun keputusan tersebut sepertinya tidak mempengaruhi game-nya karena sejak awal campaign bukanlah kekuatan utama dari Battlefield.

David Martinez dari HobbyConsolas bahkan memuji keputusan Battlefield 2042 untuk menghilangkan campaign dan fokus pada hal terbaik yang mereka lakukan, yaitu mode multiplayer yang mendalam dan menyenangkan.

Lebih besar, lebih luas, lebih melelahkan

Image credit: EA

Absennya konten campaign dan single-player memberikan ruang gerak lebih sekaligus kewajiban untuk menyediakan konten online yang sebanding. Digital Trends menyebut bahwa Battlefield 2042 berhasil memenuhi harapan tersebut, dan bahkan melampauinya.

Salah satu peningkatan yang ditawarkan EA dan DICE pada Battlefield 2042 ini adalah pertempuran dengan skala yang lebih masif. 128 pemain yang terbagi dalam dua kelompok dan saling berperang di dalam map berukuran masif memang terlihat bagus secara konsep.

Namun nyatanya, hal tersebut berbanding terbalik dalam prakteknya. Stella Chung dari IGN bahkan menyebut game-nya malah membuat frustasi bahkan sejak di lobi karena banyaknya pemain yang ada di dalamnya. Banyak yang mengeluhkan bahwa selama permainan mereka hanya dihabiskan untuk berjalan dari titik kemunculan dan mati oleh sniper di perjalanan untuk menuju peperangan.

Mode sampingan yang malah mencuri perhatian

Selain pertempuran masif klasiknya, Battlefield 2042 juga memberikan dua mode baru untuk dicoba para pemain yaitu Hazard Zone dan Portal. Keduanya memang memberikan pengalaman baru bagi para pemain, meskipun bukan pengalaman yang benar-benar solid.

Hazard Zone merupakan mode yang membuat pemain bermain dalam squad melawan empat squad lain untuk mengumpulkan objektif berupa data drive yang tersebar di seluruh map. Sedangkan Portal merupakan mode yang memungkinkan pemain memainkan map-map dari game-game Battlefield sebelumnya dengan kualitas Battlefield 2042.

Kedua mode tambahan ini, terutama Portal disebut-sebut sebagai mode terbaik yang dimiliki oleh game ini. Toby Berger dari Press Start Australia menyebut bahwa Hazard Zone merupakan mode yang menyenangkan, namun Battlefield Portal jelas mencuri perhatian dalam game ini.

Spesialis yang berujung tidak spesial

Image credit: EA

Fitur baru yang cukup banyak dipermasalahkan oleh para fans adalah hadirnya sistem Spesialist yang menggantikan sistem kelas yang sebelumnya selalu digunakan dalam seri Battlefield. Sistem kelas yang sebelumnya ada empat dengan kemampuan dan tugas spesifiknya masing-masing kini digantikan dengan 10 tipe spesialist dengan kemampuan khusus dan gadget uniknya.

Sayangnya, kemampuan-kemampuan baru dari para Specialist ini tidak mampu membawa perubahan yang berarti dalam permainannya seperti yang diungkapkan Josh West dari Gamesradar. Apalagi para Specialist ini tidak memiliki tugas spesifik, sehingga tipe Specialist apapun yang digunakan tetap bisa diubah menjadi kelas yang diinginkan lewat modifikasi loadout dan senjata yang dapat dilakukan.

Pada akhirnya pilihan Specialist ini hanya sekadar skin karakter dengan secuil gadget unik yang memberikan pengalaman berbeda bagi para pemain. Phil Hornshaw dari Gamespot bahkan menyebut beberapa Specialist dalam game-nya terasa tidak berguna.

Pencarian identitas baru yang tidak diperlukan

Selain skala permainan yang diperbesar, EA dan DICE juga memberikan perubahan pada sistem permainannya. Mulai dari tampilan antarmuka dan sistem loadout yang membingungkan para pemain, hingga ke sistem kelas pemain yang telah dibahas sebelumnya.

Secara garis beras, DICE seperti ingin mencari identitas baru untuk Battlefield 2042. Namun sayangnya usaha untuk memasukkan elemen-elemen modern yang diambil dari game-game shooter lainnya tersebut malah mengacaukan pengalaman bermainnya secara keseluruhan.

Chris Jarrard dari Shacknews bahkan mengutarakan Battlefield 2042 membutuhkan lebih banyak waktu dalam pengembangannya untuk mematangkan apa yang membuat seri Battlefield dicintai ketimbang menjadi game yang berusaha untuk memiliki banyak hal untuk beragam pemain namun terasa setengah jadi.

Kualitas grafis yang harus dikorbankan

Selama bertahun-tahun EA berhasil membuat Battlefield sebagai salah satu tolak ukur perkembangan grafis untuk game-game shooter. Namun sayangnya hal tersebut harus absen pada Battlefield 2042. Dengan menitikberatkan game-nya pada performa teknis untuk menampung 128 pemain dalam map yang jauh lebih luas, grafis yang dihadirkan tidak mengalami lompatan inovasi dan bahkan mundur di beberapa aspek dari game sebelumnya.

YouTuber Nick930 memberikan perbandingan detail mengenai perbandingan grafis antara Battlefield 2042 dengan Battlefield V. Ternyata di luar dukungan tekstur yang lebih tajam, hampir semua aspek dalam Battlefield 2042 lebih inferior dari sebelumnya.

Aspek-aspek grafis yang memberikan sensasi next-gen seperti efek pencahayaan, ledakan, refleksi hingga beragam efek dirasa kurang maksimal. Namun memang pengorbanan tersebut dilakukan agar Battlefield 2042 dapat mendapatkan stabilitas performa yang dibutuhkan.

Masih butuh banyak penyempurnaan

Image Credit: EA

Game-game yang dirilis pada tahun 2021 ini kebanyakan memiliki masalah utama pada game yang tidak optimal dan Battlefield menjadi salah satunya. Sejak perilisan early-access-nya, Battlefield 2042 menderita beragam masalah. Mulai dari game yang sering crash, susahnya untuk tersambung ke server game hingga bug, dan glitch yang kerap terjadi di dalam game-nya.

Alex dari GameInformer bahkan mengatakan bahwa beragam bug yang ia alami meskipun minor menghilangkan kesenangan yang ia miliki saat bermain. Hal ini bahkan membuat para pemain early-access berbondong-bondong melakukan refund untuk game-nya bahkan sebelum Battlefield 2042 dirilis secara resmi pada 19 November lalu.

DICE memang tidak tinggal diam dan terus berusaha memperbaiki berbagai masalah yang ada dengan mengeluarkan patch perbaikan secara berkala. Hingga artikel ini dibuat, game ini dikabarkan akan mendapatkan perbaikan besar-besaran dalam beberapa minggu.

Penutup

Image Credit: EA

Anthony Shelton dari GamingTrend menyebut bahwa Battlefield 2042 merupakan game yang ambisius namun tidak dapat mencapai ambisinya. Usaha EA dan DICE untuk memasukkan beragam hal baru ke dalam game-nya membuat Battlefield 2042 malah terasa sedang mengalami krisis identitas.

DICE memang masih memiliki banyak ruang dan waktu untuk membenahi Battlefield 2042 seperti yang diungkapkan Martin Robinson dari GameInformer. Apalagi melihat EA ingin membuat game ini memiliki umur panjang dengan membawanya sebagai game-as-service. Namun bagaimanapun juga, tidak semua pemain memiliki tingkat kesabaran yang sama bila masalah-masalah besar pada game ini tidak segera diperbaiki.

8 Keyboard Mechanical Murah Meriah Terbaik, Cocok Buat Mahasiswa!

Jika berbicara tentang keyboard mechanical, kita kerap tertuju ke harganya yang relatif lebih mahal dari keyboard membran. Tentu saja, hal ini disebabkan karena keyboard mechanical memiliki lebih banyak komponen serta memiliki lifespan yang lebih lama daripada keyboard membrane. Tidak hanya itu, salah satu aspek mahalnya keyboard mechanical adalah switch-nya.

Dulu, switch keyboard mechanical dikuasai oleh satu pabrikan — yaitu CherryMX. Pasalnya, mereka memiliki paten atas desain switch pada keyboard mechanical. CherryMX mematenkan desain switch mereka pada tahun 1984 dan kini, paten tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak tahun 2014 silam.

Image Credit: CherryMX

Tidak berlakunya paten dari CherryMX ini menyebabkan banyak pabrikan lain seperti Outemu, Gateron, Kailh, dan lainnya mengadopsi desain tersebut dan menjualnya dengan harga yang lebih murah. Karena itu, kini terdapat banyak keyboard mechanical di pasaran yang harganya lebih ramah di dompet. Namun, dengan harga yang lebih murah pastinya ada beberapa kekurangan. Salah satunya adalah switch Outemu yang dikenal memiliki lifespan yang cukup pendek.

Source: Rexus

“Ada harga ada kualitas.” Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk mendefinisikan pernyataan di atas. Namun, tidak untuk beberapa keyboard mechanical yang akan kita bahas berikut ini. Pasalnya, meskipun harganya yang terbilang murah — beberapa keyboard di bawah ini juga memiliki kualitas dan fitur yang patut diacungkan jempol.

Tanpa basa-basi lebih lanjut, mari kita masuk ke rekomendasi keyboard mechanical murah meriah terbaik.

1. VortexSeries VX5 Pro – Rp 420 ribu

Image Credit: VortexSeries

Keyboard mechanical dari brand lokal satu ini menjadi salah satu keyboard entry-level terbaik. Pasalnya, VX5 Pro dari VortexSeries ini memiliki segudang fitur serta build quality yang lumayan bagus dengan harga hanya Rp420 ribu. Dari segi eksterior, VX5 Pro menggunakan plastik ABS sebagai bahan material casing dan keycaps. RGB milik keyboard ini juga dapat diatur sedemikian rupa pada software bawaannya. VX5 Pro juga dilengkapi dengan kabel braided yang akan menambah kesan premium.

Salah satu fitur yang menurut saya wajib di semua keyboard mechanical adalah hotswap 3/5 pin universal. Dengan fitur ini, Anda dapat mengganti switch keyboard ini dari Outemu menjadi Gateron, Kailh, Akko, atau lainnya secara plug and play. Fitur ini sebenarnya jarang ditemukan pada keyboard mechanical dengan kisaran harga Rp400 ribuan. Jadi, ini adalah satu nilai plus untuk Vortex. Selain itu, Vortex juga menyematkan foam di dalam casing VX5 Pro untuk mengurangi suara kopong dari casing.

VortexSeries VX5 Pro menyediakan dua pilihan warna (hitam dan putih) serta tiga pilihan switch, yaitu Outemu Blue (clicky), Outemu Red (linear), dan Outemu Brown (tactile).

2. Fantech Maxfit61 – Rp459 ribu

Image Credit: Fantech

Menempati urutan kedua, ada keyboard mechanical dari brand Fantech. Keyboard bernama Maxfit61 ini tersedia dalam dua pilihan warna (hitam dan putih) dan dibanderol dengan harga Rp459 ribu saja.

Untuk bagian eksterior, keyboard ini dilengkapi dengan RGB yang dapat diatur 16 mode, double-injection keycaps, serta menggunakan material plastik ABS untuk casing-nya. Keyboard ini juga mengusung layout 60% yang membuatnya super kompak untuk dibawa-bawa. Meskipun kompak dan imut, sebelum mengganti keyboard menjadi layout kompak seperti ini, mungkin Anda harus mempertimbangkan beberapa hal ini.

Mari masuk ke jeroannya, keyboard besutan Fantech ini memilki dua pilihan switch, yaitu Outemu Blue (clicky) dan Outemu Red (linear). Sama seperti VortexSeries VX5 Pro di atas, Maxfit61 ini juga memiliki fitur hotswap 3/5 pin universal.  Jika Anda tertarik dengan keyboard ini, Anda dapat melihat lebih lengkapnya di website resmi mereka.

3. Rexus Daiva RX-D68 – Rp429 ribu

Image Credit: Rexus

Siapa yang tidak kenal dengan brand Rexus? Pabrikan gaming peripherals yang terkenal akan harga produknya yang murah meriah ini tidak bisa diremehkan jika berbicara soal kualitasnya. Salah satu produk mereka yang baru diluncurkan bulan kemarin, Rexus Daiva, sempat membuat geger para penggemar keyboard. Pasalnya, keyboard mechanical terbaru Rexus ini dilengkapi dengan berbagai fitur namun dibanderol dengan harga Rp429 ribu saja.

Keyboard dengan layout 65% termurah ini memiliki full RGB backlight yang bisa memancarkan 16,8 juta warna, double-shot ABS keycaps, serta hotswap 3/5 pin. Sayangnya, meskipun sudah 5 pin, fitur hotswap dari Daiva ini bersifat Outemu only — artinya hanya bisa dipasangkan switch Outemu dan sejenisnya (Content, Gazzew, Akko CS, KTT, dan sebagainya).

Rexus Daiva RX-D68 memiliki dua pilihan warna (hitam dan putih) serta diberikan tiga pilihan switch, Outemu Blue (clicky), Red (linear), dan Brown (tactile).

4. Koodo Gecko – Rp450 ribu

Dokumentasi: Hybrid

Keyboard mechanical satu ini merupakan keyboard mechanical wireless termurah di pasaran. Dengan harga hanya Rp450 ribu, keyboard dari brand lokal ini menyuguhkan fitur yang menggiurkan. Kombinasi kompaknya layout 60% dengan fitur wireless membuat Koodo Gecko sangat praktis untuk dibawa ke manapun.

Selain wireless Bluetooth 5.0, keyboard ini juga memiliki backlight RGB 16.8 juta warna, keycaps double-shot berbahan ABS, 1000hz polling rate, serta hotswap 3 pin Outemu Only. Untuk review lengkap serta kekurangannya, Anda bisa membaca artikel yang kami buat beberapa waktu lalu di sini.

Koodo Gecko menawarkan hanya satu pilihan warna (putih) dan tiga pilihan switch, Outemu Blue, Red, dan Brown.

5. Rexus Legionare MX9 – Rp380 ribu

Image Credit: Rexus

Selain keyboard dengan layout kompak, Rexus juga mengeluarkan keyboard dengan layout yang “normal”. Mengusung layout TKL, Rexus Legionare MX9 memiliki empat pilihan warna yang unik — yaitu hitam, putih, biru muda, dan merah muda.

Dengan harga Rp380 ribu, Anda akan mendapatkan fitur-fitur seperti backlight RGB dengan 16.8 juta warna, 1000Hz polling rate, software bawaan, serta memori on-board. Untuk materialnya, Rexus Legionare MX9 menggunakan plastik ABS dan kabelnya sudah braided. 

Rexus Legionare MX9 memiliki dua pilihan switch, yaitu Outemu Blue dan Red. Keyboard ini juga hotswapable meskipun masih Outemu Only.

6. VortexSeries VX9 PRO – Rp650 ribu

Image Credit: VortexSeries

Keyboard dari VortexSeries lagi, namun kali ini layout-nya sedikit unik. VX9 PRO ini mengusung layout 1800 Compact atau 96% (98 keys). Jadi, keyboard ini masih memiliki F-rows, arrow keys, dan numpad. Tetapi, tombol seperti Print Screen, Page Up, Page Down, dan lainnya (yang berada di atas tombol arrow) dihilangkan di layout seperti ini. Nah, keyboard ini sangat cocok untuk Anda yang masih membutuhkan numpad namun ingin keyboard yang lebih kompak dari full size.

Dibanderol dengan harga Rp650 ribu, VX9 PRO memiliki fitur-fitur jempolan — seperti hotswap 3/5 pin universal, software bawaan, backlight RGB yang bisa diatur, EVA foam pada case dan plate, serta kabel USB to Type C braided. VX9 PRO dibuat menggunakan plastik ABS dari bodi hingga keycaps-nya.

Vortex VX9 Pro menawarkan dua pilihan warna (hitam dan putih) serta tiga pilihan switch Outemu dengan warna Blue, Red, dan Brown.

7. GEEK GK61 – Rp799 ribu

Meskipun harganya lebih tinggi, keyboard mechanical 60% dari GEEK ini memiliki fitur dan switch yang lebih premium. Dijual dengan harga Rp799 ribu, GK61 memakai optical switch dari Gateron. Jadi, tidak lagi menggunakan pin — optical switch ini menggunakan sinar inframerah untuk menggantikan fungsi pin yang bertugas mengirim signal ke PCB. Optical switch ini diklaim lebih tahan lama dari switch konvensional.

Kerennya, GK61 juga memiliki fitur hotswap — artinya, switch-nya dapat diganti dengan switch optical lainnya. Selain itu, keyboard dari GEEK ini juga memiliki backlight RGB 16.8 juta warna, software bawaan, full anti-ghost keys, kabel Type-C braided, dan banyak lagi. Keyboard GK61 ini juga tahan air dengan rating IP68.

GEEK GK61 tersedia dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Serta memiliki 5 pilihan warna switch dari Gateron, yaitu Black, Red, Yellow, Blue, dan Brown.

8. Rexus Daxa M71 Pro – Rp699 ribu

Image Credit: Rexus

Keyboard dari Rexus lagi, kali ini merupakan keyboard yang menurut saya sangat worth it untuk dibeli, yaitu Daxa M71 Pro. Dengan label harga Rp699 ribu, keyboard dengan 71 tombol ini terbilang sangat premium dan memiliki fitur-fitur yang oke.

Pertama, keyboard ini mengusung switch dari Gateron yang terkenal memiliki feel dan daya tahan lebih baik dari Outemu. Daxa M71 Pro ini juga dilengkapi dengan fitur wireless menggunakan Bluetooth 5.0. Fitur-fitur lain dari keyboard ini meliputi backlight RGB 16.8 juta warna, two-tone keycap, magnetic keyboard stand, serta software bawaan untuk mengatur RGB dan macro. Tidak hanya di belakang keycaps, RGB dari Daxa M71 Pro ini juga terdapat di bagian kiri dan kanan bawah dari keyboard.

Image Credit: Rexus

Rexus Daxa M71 Pro menyediakan dua pilihan warna, yaitu hitam (keycaps two-tone berwarna hitam dan putih) serta putih (keycaps two-tone berwarna oranye dan putih). Keyboard ini juga memiliki 3 pilihan switch, yaitu Gateron Blue, Brown, Red, dan Yellow.

Saat peluncurannya, keyboard dari Rexus ini sangat laris sampai mereka membuat versi lebih besarnya bernama Daxa M84 Pro. Kami juga telah membuat review dari Daxa M84 Pro yang bisa Anda baca di sini.

Penutup

Itulah tadi beberapa rekomendasi keyboard mechanical murah meriah terbaik. Bagi Anda yang ingin mencoba keyboard mechanical, pastinya salah satu dari keyboard di atas tidak akan membuat dompet Anda makin tipis wkwkwk…