Masih ingat dengan Lightyear One, mobil listrik unik yang dibekali panel surya dari ujung depan sampai belakangnya? Mobil tersebut memang tidak jadi dikirimkan ke konsumen pada tahun ini seperti rencana awalnya, akan tetapi realisasinya terus mendekati kenyataan, terutama setelah pengujian terbaru yang dijalankan oleh tim pengembangnya.
Bertempat di sebuah sirkuit pengujian di Jerman, prototipe Lightyear One digeber tanpa henti dalam kecepatan 85 km/jam selama hampir sembilan jam. Selama itu, prototipenya berhasil mencatatkan jarak tempuh sejauh 710 km sebelum akhirnya baterainya kehabisan daya. Angka ini tidak terpaut terlalu jauh dari estimasi yang diberikan dua tahun lalu (725 km).
Istimewanya lagi, pencapaian ini bisa terwujudkan hanya dengan mengandalkan baterai berkapasitas 60 kWh, membuktikan bahwa Lightyear One benar-benar memiliki efisiensi yang sangat tinggi. Berdasarkan penghitungan tim Lightyear, prototipenya ini memiliki konsumsi energi hanya 85 Wh/km, atau kurang lebih sekitar 50 persen lebih rendah daripada mobil listrik paling efisien yang ada di pasaran saat ini.
Oke, mobil ini terbukti efisien, tapi bagaimana dengan kinerja panel suryanya, yang tidak lain merupakan salah satu nilai jual utamanya? Dari hasil pengujian ini, panel suryanya sukses menghasilkan total energi sebesar 3,45 kWh. Lightyear sendiri mengestimasikan bahwa panel suryanya mampu menyumbangkan 12 km jarak tempuh ekstra setiap jamnya pada kondisi ‘berjemur’ yang ideal.
Berhubung semua ini dicapai menggunakan prototipe, tim Lightyear antusias bahwa mereka masih bisa meningkatkan efisiensinya lebih jauh lagi. Mereka percaya efisiensi merupakan faktor terpenting dari sebuah mobil listrik, sebab baterai adalah komponen dengan ongkos produksi yang paling mahal. Kalau efisiensinya tinggi, berarti baterai yang disematkan tidak perlu terlalu besar kapasitasnya, sehingga pada akhirnya harga jualnya jadi bisa lebih terjangkau.
Lightyear sejauh ini masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, salah satunya uji tabrakan. Sebanyak 946 unit versi eksklusif Lightyear One bakal diproduksi mulai babak kedua tahun 2022, sedangkan penjualan massalnya dijadwalkan baru berlangsung di tahun 2024.
Nama Rimac memang tidak sepopuler Tesla di industri mobil listrik. Namun ke depannya perusahaan asal Kroasia tersebut bakal semakin disegani di industri otomotif secara luas. Pasalnya, Rimac baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengambil alih kepemilikan atas brand Bugatti dari Volkswagen.
Koalisi antara kedua produsen supercar ini bakal membentuk perusahaan baru bernama Bugatti Rimac, dengan markas baru yang akan dibangun di Kroasia. Kehadiran Bugatti Rimac pada dasarnya memungkinkan kedua perusahaan untuk saling berbagi sumber daya dan upaya R&D. Meski demikian, Bugatti dan Rimac masih akan tetap beroperasi sebagai brand yang terpisah.
Secara struktur, Rimac bakal menguasai 55 persen dari saham Bugatti Rimac, sedangkan 45 persen sisanya dipegang oleh Porsche (yang sendirinya masih merupakan bagian dari Volkswagen). Rimac sendiri sebenarnya juga memiliki beberapa investor (salah duanya Porsche dan Hyundai), akan tetapi pemegang keputusan finalnya tetap Mate Rimac, pendiri sekaligus CEO Rimac.
Yang mungkin jadi pertanyaan terpenting adalah, apakah ini berarti ke depannya kita bakal berjumpa dengan supercar elektrik dari Bugatti? Pastinya. Kepada Financial Times, Rimac mengatakan bahwa Bugatti bakal meluncurkan mobil listrik di dekade ini juga, namun mereka juga masih akan memproduksi model hybrid pada akhir periode tersebut.
Buat Rimac sendiri, mereka masih akan terus mengembangkan dan memproduksi supercar-nya sendiri. Tahun ini, Rimac berniat meluncurkan Nevera, supercar elektrik yang digadang-gadang bakal menjadi mobil tercepat yang boleh melintas di jalanan secara legal, titel yang sebelumnya dipegang oleh Bugatti Chiron.
Namun membangun dan menjual supercar seharga jutaan dolar bukan satu-satunya bisnis yang dijalankan Rimac. Mereka selama ini juga konsisten menjadi pemasok teknologi elektrik buat sejumlah pabrikan otomotif, seperti misalnya Aston Martin dan Jaguar. Rimac bahkan sudah punya rencana untuk mengembangkan bisnis sampingannya ini lebih jauh lagi dengan mendirikan entitas terpisah bernama Rimac Technology.
Entitas baru ini sepenuhnya dikuasai oleh Rimac, dan bakal sepenuhnya berfokus pada pengembangan drivetrain, baterai, maupun komponen-komponen wajib lain dari sebuah mobil listrik. Jadi selain di mobil-mobil listrik besutan Bugatti dan Rimac sendiri, kita juga bakal menjumpai teknologi rancangan Rimac pada sejumlah merek lain.
Pasar mobil listrik tidak akan bisa berkembang tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Salah satu infrastruktur yang terpenting adalah stasiun pengisian daya. Di kawasan seperti Asia Pasifik yang ekosistem mobil listriknya bisa dibilang belum begitu matang, ini merupakan peluang yang tidak boleh disia-siakan bagi penyedia teknologi seperti Siemens.
Belum lama ini, perusahaan asal Jerman tersebut secara resmi meluncurkan SICHARGE D, sebuah mesin DC charging bertenaga tinggi, untuk region Asia Pasifik. Mengusung standar IEC (International Electrotechnical Commission), SICHARGE D diklaim sebagai salah satu mesin pengisi daya listrik dengan nilai efisiensi tertinggi yang ada di pasaran.
Menurut Siemens, SICHARGE D mampu memberikan nilai efisiensi konstan di atas 95,5 persen, yang berarti energi listrik yang terbuang sangatlah minimal, sehingga pada akhirnya dapat membantu menekan biaya operasional. Buat para penyedia stasiun pengisian daya listrik, hal ini tentu bisa menjadi daya tarik tersendiri
Aspek lain yang diunggulkan oleh SICHARGE D adalah perkara skalabilitas. Total output daya yang dihasilkan berada di rentang 160 kW sampai 300 kW, dan ini bebas ditentukan dari awal atau melalui upgrade secara plug-and-play. Lebih lanjut, SICHARGE D mendukung angka tegangan mulai 150 volt sampai 1.000 volt, serta arus maksimum 1.000 ampere di seluruh outlet DC-nya.
Satu unit SICHARGE D memiliki dua outlet DC dan satu outlet AC opsional, serta dapat disambungkan ke dua dispenser eksternal tambahan. Secara total, satu mesin ini sanggup mengisi ulang sebanyak lima kendaraan listrik sekaligus secara paralel, dan alokasi daya listrik yang dialirkan pun dapat diadaptasikan secara otomatis berdasarkan kapabilitas masing-masing kendaraan demi mengoptimalkan waktu charging.
Ilustrasi sederhananya adalah, pengunjung stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang mobilnya mendukung teknologi fast charging tidak perlu khawatir waktu charging-nya menjadi lama hanya karena ia harus berbagi jatah dengan pengunjung lain yang mobil listriknya mungkin sudah butut dengan charging rate yang rendah. Pasalnya, asupan daya listrik yang disalurkan bakal disesuaikan dengan sendirinya, sehingga tidak ada pihak tertentu yang dirugikan.
Siemens melihat potensi pengaplikasian SICHARGE D di banyak lokasi sekaligus, mulai dari area parkir umum dan pusat perbelanjaan, sampai SPKLU di area perkotaan maupun di jalan tol. Setiap unit SICHARGE D dilengkapi layar sentuh 24 inci, sehingga tiap mesin pada dasarnya juga bisa merangkap peran sebagai kios informasi digital seandainya diperlukan.
Film Blade Runner yang dirilis di tahun 1982 membayangkan bagaimana dunia masa depan dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit, mobil terbang, dan robot berwujud manusia. Setting yang digunakan oleh film tersebut adalah tahun 2019, namun seperti yang bisa kita lihat, kenyataannya peradaban manusia sejauh ini masih belum secanggih (dan sekelam) yang diimajinasikan oleh sutradara Ridley Scott.
Saat mengerjakan filmnya, sang sutradara memang sama sekali tidak bermaksud untuk memprediksi kondisi di masa depan. Kendati demikian, apa yang ia bayangkan sebenarnya tidak meleset terlalu jauh. Gedung pencakar langit kita punya banyak, robot humanoid pun kita juga punya meski sejauh ini lebih menyerupai robot ketimbang manusia, dan mobil terbang juga semakin dekat dengan realisasi.
Mobil terbang dengan teknologi VTOL (vertical take-off and landing) sejauh ini sudah digunakan di beberapa tempat untuk keperluan logistik, termasuk halnya untuk mengirimkan perlengkapan medis ke kawasan-kawasan terpencil. Namun sebelum mobil terbang bisa menjadi mainstream, dunia mungkin harus dibuat percaya dulu dengan kematangan teknologinya. Salah satu caranya, kalau menurut perusahaan asal Australia bernama Alauda Aeronautics, adalah dengan menggelar ajang balapan mobil terbang.
Alauda mengambil industri mobil konvensional sebagai inspirasinya. Pada kenyataannya, berbagai inovasi otomotif yang kita kenal sekarang memang terlahir dari dunia balap. Dari yang sepele seperti kaca spion, sampai teknologi-teknologi yang lebih advanced macam sistem penggerak empat roda dan transmisi dual-clutch, semuanya berawal dari mobil balap terlebih dulu sebelum akhirnya diimplementasikan ke mobil untuk konsumsi umum.
Matthew Pearson, pendiri Alauda Aeronautics, percaya prinsip yang sama juga dapat diterapkan untuk mobil terbang. Ia pun menggagaskan Airspeeder, sebuah ajang balap mobil terbang bermesin elektrik yang diharapkan bisa dimulai di tahun 2022. Namun ketimbang sebatas merencanakan begitu saja, Alauda juga merancang mobil terbang yang akan digunakan di kompetisi tersebut.
Sejauh ini rancangan mereka sudah masuk iterasi ketiga, yakni Airspeeder Mk3. Bentuknya mirip seperti moncong jet tempur yang dipotong dari badannya, dengan sepasang baling-baling di sisi depan dan belakang. Sasisnya terbuat dari bahan serat karbon, dengan bobot total sekitar 130 kg (tanpa sopir/pilot).
Tanpa sopir? Ya, Airspeeder Mk3 memang dirancang agar dapat dikendalikan layaknya sebuah mobil remote control. Tujuannya jelas supaya ia bisa diuji secara aman di sirkuit sebelum event balapan aslinya dimulai tahun depan. Alauda saat ini sedang sibuk menyiapkan 10 unit Airspeeder Mk3 untuk dipakai di ajang uji coba balapan secara remote pada tahun ini juga.
Sebagai sebuah kendaraan balap, performanya jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Output daya maksimum yang mampu dihasilkan berada di kisaran 320 kW, atau kurang lebih setara 430 tenaga kuda, sedangkan akselerasi 0-100 km/jam diklaim sanggup dicapai dalam waktu 2,8 detik saja.
Airspeeder Mk3 memiliki rasio dorong-berat sebesar 3,5, jauh melebihi rasio yang dicatatkan oleh jet tempur F-15E Strike Eagle. Dibandingkan pesawat atau helikopter tradisional, Airspeeder Mk3 bisa menikung dalam kecepatan yang sangat tinggi, krusial untuk sebuah kendaraan yang akan beradu di sirkuit layaknya mobil Formula 1. Tinggi maksimum yang bisa dicapai sendiri berada di kisaran 500 meter.
Inspirasi yang diambil dari mobil F1 tidak berhenti sampai di situ saja. Alauda turut menciptakan semacam mekanisme hot-swap untuk Airspeeder Mk3, sehingga modul baterainya dapat dilepas dan diganti dengan yang baru secara cepat ketika kendaraan mampir di pit stop. Berkat sistem penggantian baterai seperti ini, Airspeeder Mk3 diklaim hanya memerlukan waktu sekitar 14 detik saja di pit stop.
Seperti halnya kendaraan balap lain, Airspeeder Mk3 turut mengedepankan aspek keselamatan. Selama mengudara, setiap unitnya akan dimonitor dari darat menggunakan sistem telemetri yang komprehensif. Variasi terkecil dari faktor-faktor seperti aerodinamika maupun kinerja baling-baling pun bisa ikut dianalisis berkat data berjumlah masif yang datang dari sensor-sensor milik Airspeeder Mk3.
Pabrikan-pabrikan otomotif seperti Audi, Bentley, atau Renault bisa besar namanya berkat partisipasinya di dunia balapan. Bahkan Enzo Ferrari pun memulai karirnya sebagai pembalap tim Alfa Romeo sebelum akhirnya memutuskan untuk menciptakan mobilnya sendiri. Alauda dan Airspeeder tampaknya ingin mengulangi peristiwa-peristiwa historis tersebut di kategori mobil terbang.
Setelah lama dinantikan, Spotify akhirnya meluncurkan hardware perdananya, yakni sebuah pemutar audio untuk mobil bernama Car Thing. Rumor mengenai ketertarikan Spotify untuk menggarap hardware-nya sendiri sebenarnya sudah beredar sejak tahun 2017, namun baru di tahun 2019 mereka mengonfirmasinya sekaligus menyingkap wujudnya.
Versi yang diluncurkan hari ini jauh berbeda dari prototipenya. Ketimbang hanya mengemas layar kecil yang membulat, versi final Spotify Car Thing justru dibekali layar sentuh dengan bentang diagonal 4 inci. Di sebelah kanannya ada kenop besar yang dapat diputar maupun disentuh, diikuti oleh sebuah tombol kecil di bawahnya yang berfungsi sebagai tombol back.
Pada sisi atasnya, ada lima buah tombol fisik. Empat di antaranya berfungsi sebagai tombol preset yang dapat diprogram, sedangkan yang berada di paling kanan berfungsi untuk mengakses menu pengaturan maupun sebagai tombol mute. Spotify tidak menjelaskan bahan yang mereka pakai untuk rangkanya, tapi yang pasti sudah berstruktur unibody dan dilapisi karet yang bertekstur.
Berbekal setup seperti itu, ditambah lagi dukungan perintah suara yang dapat diaktifkan menggunakan frasa “Hey Spotify”, perangkat ini benar-benar sangat fleksibel dalam hal pengoperasian. Meski begitu, cara menggunakannya rupanya tidak semudah yang dibayangkan.
Untuk bisa memutar musik atau podcast, Car Thing perlu disambungkan terlebih dulu ke smartphone via Bluetooth. Setelahnya, smartphone juga harus dihubungkan ke sistem infotainment bawaan mobil, entah via Bluetooth, via kabel USB, atau via kabel AUX (3,5 mm). Berhubung Car Thing tidak punya baterai, otomatis ia juga harus selalu terhubung ke mobil, baik via USB atau via colokan pemantik api.
Melihat skenario penggunaannya, tidak salah apabila saya menganggap Car Thing sebagai sebatas remote control untuk aplikasi Spotify di smartphone. Ia tidak dapat bekerja secara mandiri, hanya saja cara mengoperasikannya jauh lebih lengkap dan lebih intuitif ketimbang mengoperasikan Spotify langsung dari smartphone.
Terkait kemampuannya mengenali instruksi lisan dari pengguna misalnya, Spotify membekali Car Thing dengan empat unit mikrofon, lengkap beserta teknologi untuk mengeliminasi suara-suara yang tidak relevan di sekitar. Alhasil, Car Thing diklaim mampu memahami perintah suara pengguna dengan jelas meski musik sedang diputar atau ketika jendela mobil sedang dibuka.
Car Thing juga cukup fleksibel soal mounting. Selain dipasangkan ke dashboard dengan bantuan sebuah mount, ia juga dapat digantungkan ke ventilasi AC maupun ke slot CD milik head unit. Car Thing sendiri menempel ke aksesori mounting-nya secara magnetis. Tampilannya secara keseluruhan cukup sleek dan semestinya cukup mudah membaur dengan dashboard.
Untuk sekarang, Spotify Car Thing baru akan diluncurkan secara sangat terbatas di Amerika Serikat saja. Belum diketahui kapan Spotify bakal membawanya ke negara-negara lain, akan tetapi harga jualnya diestimasikan berada di kisaran $80. Untuk bisa menggunakan Car Thing, konsumen tentu harus berlangganan Spotify Premium.
Ketika membicarakan mengenai mobil listrik, saya selalu mempunyai ekspektasi bahwa yang lebih modern bukan cuma sistem penggeraknya saja, melainkan juga sistem hiburan yang tertanam di dalam kabinnya. Kalau perlu contoh, kita bisa melihat Tesla Model S dan Model X versi terbaru yang sistem infotainment-nya mempunyai daya komputasi setara console next-gen.
Kedua mobil tersebut juga turut mengemas sistem audio yang sangat mumpuni, dengan 22 speaker dan total daya 960 watt, tidak ketinggalan pula teknologi active noise cancellation. Namun tentu saja Tesla bukan satu-satunya produsen mobil listrik yang serius perihal sistem hiburan. Contoh lainnya bisa kita lihat dari Lucid Motors.
Di ajang SXSW yang berlangsung secara online tahun ini, Lucid mengumumkan bahwa mobil perdananya, Lucid Air, bakal jadi mobil pertama yang dilengkapi sistem audio Dolby Atmos. Lucid menamai sistemnya dengan istilah Surreal Sound, dan nama tersebut merujuk pada pengalaman audio immersive yang mampu dihasilkan oleh 21 unit speaker yang tertanam di dalam kabin milik sedan mewah tersebut.
Integrasi teknologi Dolby Atmos berarti separasi suara tak hanya bisa dilakukan dari poros horizontal saja (depan ke belakang, atau kiri ke kanan), melainkan juga dari poros vertikal (atas ke bawah). Ini berarti distribusi suara bisa diarahkan lebih tinggi atau lebih rendah, baik itu musik maupun bunyi indikator dari beragam fungsi yang diaktifkan.
Dalam pengembangannya, tim engineering Lucid berkolaborasi langsung dengan Dolby guna memaksimalkan implementasi teknologi Atmos. Dengan begitu, Lucid pun mampu memikirkan skenario-skenario penggunaan yang spesifik, seperti misalnya ketika ada seorang penumpang yang duduk di belakang yang lupa mengenakan sabuk pengaman.
Berkat Atmos, bunyi peringatan yang terdengar bukan berasal dari dashboard, melainkan langsung dari tempat sang penumpang itu duduk di baris belakang. Skenario lainnya adalah ketika menyalakan mobil, di mana suara akan terdengar dari semua sudut ketimbang hanya dari depan sang pengemudi. Bahkan suara yang sesimpel bunyi indikator lampu sein pun juga akan terdengar berasal dari arah yang sesuai.
Seperti yang kita tahu, mobil listrik sangatlah hening jika dibandingkan dengan mobil bermesin bensin. Saking heningnya, sering kali suara yang terdengar di dalam kabin hanyalah suara gesekan ban dengan aspal saja. Mungkin itulah yang akhirnya mendorong produsen mobil listrik untuk berinvestasi lebih di bidang audio.
Saya berani berargumen seperti itu karena pada kenyataannya bukan cuma Lucid yang bermitra dengan perusahaan audio ternama dalam menggarap sound system untuk mobilnya. Belum lama ini, Audi dilaporkan telah bekerja sama dengan Sonos untuk mengembangkan sistem audio buat mobil listrik terbarunya, Q4 e-tron, yang akan menjalani debutnya pada bulan April mendatang.
Petunjuk navigasi berbasis augmented reality (AR) adalah masa depan dunia otomotif. Tidak percaya? Silakan lihat salah satu fitur opsional yang diunggulkan oleh mobil listrik terbaru Audi, Q4 e-tron. Dashboard bernuansa futuristisnya tidak hanya dilengkapi heads-up display (HUD), melainkan yang bekerja sesuai dengan prinsip AR.
HUD sendiri bukanlah barang baru di industri otomotif, sebab sudah banyak mobil di jalanan yang menggunakan teknologi. Umumnya, HUD di mobil melibatkan sebuah panel kaca kecil yang berada persis di belakang kaca depan, lalu ada proyektor yang ‘menembakkan’ informasi ke panel tersebut.
Lain halnya dengan augmented reality heads-up display (AR HUD) seperti yang Audi kembangkan ini. Ketimbang memproyeksikan informasi ke sebuah panel kecil, justru kaca depan Q4 e-tron yang dijadikan bidangnya secara langsung. Menurut Audi, sistem AR HUD ciptaannya mampu meng-cover porsi kaca depan seluas 70 inci secara diagonal.
Ada dua macam informasi yang dapat ditampilkan. Yang pertama adalah indikator umum seperti kecepatan mobil maupun batas kecepatan untuk ruas jalan yang tengah dilalui. Pengemudi akan melihat informasi statis ini seperti sedang berada sekitar 3 meter di depannya.
Yang kedua adalah informasi dinamis yang bisa muncul di mana saja dalam cakupan 70 inci secara diagonal itu tadi. Yang paling relevan tentu adalah petunjuk arah, dan pengemudi bakal melihatnya seperti berada sekitar 10 meter di depan hidung mobil. Selain petunjuk arah, sistemnya juga dapat menampilkan indikator untuk memperjelas marka jalan.
Rahasia dari teknologi AR HUD ini terletak pada sebuah komponen bernama picture generation unit (PGU) yang Audi tanamkan ke dashboard Q4 e-tron. Hardware khusus tersebut juga hadir bersama software spesifik bernama AR Creator yang bertugas me-render semua informasi digital tersebut dalam kecepatan 60 fps, sekaligus memastikan posisinya tetap sinkron selagi mobil bergerak.
Dari kacamata sederhana, AR Creator bekerja dengan mengalkulasikan pergerakan mobil sekaligus memprediksi di mana letak objek-objek di sekitar mobil secara terus menerus berdasarkan informasi yang diterima dari beragam sensor eksternal. Informasi ini kemudian dipakai untuk mengubah peletakan grafik AR secara dinamis, mencegahnya agar tidak lompat ke sana-sini selagi posisi mobil berubah setiap sepersekian detik.
Kalau ditanya apa tujuan dari penerapan AR HUD, jawabannya sudah pasti adalah untuk membantu pengemudi tetap fokus ke jalanan. Agar misi ini lebih mudah tercapai, Audi pun tidak lupa melengkapi sistem infotainment Q4 e-tron dengan dukungan perintah suara sehingga kedua tangan pengemudi bisa terus berada di setir.
Tesla Model S memang bukan mobil listrik pertama bikinan Tesla, akan tetapi sedan premium itulah yang berhasil melambungkan nama Tesla sampai ke titik ini. Meski sudah dipasarkan sejak tahun 2012, wujud luar dan dalamnya tidak begitu banyak berubah. Namun Tesla rupanya sudah menyiapkan kejutan secara diam-diam.
Mereka baru saja menyingkap versi anyar Model S yang siap mengaspal mulai bulan Maret, dengan sejumlah perombakan di eksterior, dapur pacu, sekaligus interiornya. Perubahan di tampilan luarnya memang tidak terlalu kentara jika tidak benar-benar diamati dan dibandingkan langsung dengan versi sebelumnya. Yang mungkin agak mencuri perhatian adalah klaim bahwa Model S merupakan mobil produksi yang paling aerodinamis yang ada sekarang.
Untuk dapur pacunya, Model S kini hadir dalam varian “Plaid” yang dibekali tiga buah motor elektrik dengan sistem penggerak empat roda. Total output daya yang dihasilkan bisa mencapai angka 1.020 tenaga kuda, dan akselerasi 0 – 100 km/jam mampu dicatatkan dalam waktu 1,99 detik saja. Kalau Anda menilai Model S sudah sangat kencang, maka varian barunya ini bakal lebih ngebut lagi.
Cepat sekaligus efisien sudah menjadi pegangan Tesla selama ini, dan varian anyar Model S ini pun tidak luput dari arahan tersebut. Varian termahalnya, “Plaid+” yang dihargai mulai $139.000, bisa menempuh jarak sejauh 836 km sebelum baterainya perlu diisi ulang. Bahkan varian termurahnya yang dibanderol mulai $79.990 pun sudah bisa menempuh jarak 663 km dalam sekali charge.
Interior baru dan kapabilitas gaming yang lebih mumpuni
Namun semua itu kalah menarik jika dibandingkan dengan perubahan yang Tesla terapkan pada interiornya. Nuansa kabin Model S versi anyar ini jauh lebih minimalis ketimbang sebelumnya. Memang tidak sampai sesimpel interior milik Model 3, tapi kita bisa melihat filosofi desain yang sama di sini.
Perubahan yang paling mencolok bisa dilihat pada layar dashboard-nya, yang kini diposisikan dalam orientasi landscape ketimbang portrait. Layar ini jauh lebih besar daripada iPad Pro sekalipun, dengan bentang diagonal 17 inci dan resolusi 2200 x 1330 pixel. Tidak seperti Model 3, Model S masih mempunyai satu layar ekstra di depan lingkar kemudinya.
Seperti yang bisa kita lihat, setirnya pun juga sudah diperbarui dengan bentuk yang menyerupai setir milik KITT, mobil canggih dari serial TV lawas Knight Rider. Tidak ada lagi tuas di sebelah kiri maupun kanannya, dan semua kontrolnya kini mengandalkan tombol-tombol pada setir.
Juga sangat menarik adalah penambahan layar 8 inci di kabin belakangnya. Mengingat Tesla memang menyediakan sejumlah video game pada sistem infotainment-nya, keputusan ini jelas tidak terdengar mengejutkan. Lalu, supaya penumpang di belakang bisa bermain dengan nyaman, Tesla pun memastikan bahwa sistemnya kompatibel dengan controller nirkabel.
Bicara soal game, ada satu pemandangan yang sangat menarik menurut saya. Coba Anda lihat baik-baik layar dashboard-nya, di situ terpampang jelas ada The Witcher 3 yang ditawarkan sebagai salah satu game-nya. Kedengarannya mungkin konyol, tapi apakah ini berarti penumpang Model S nantinya bisa memainkan salah satu RPG terbaik karya CD Projekt Red tersebut?
Baik Tesla maupun CD Projekt Red belum mau berkomentar soal ini, tapi saya yakin Tesla tidak sembarangan mencantumkan detail seperti ini kalau memang maksudnya hanya bercanda. Satu informasi penting yang Tesla beberkan adalah, sistem infotainment yang terintegrasi di kabin Model S ini punya daya komputasi sebesar 10 teraflop, setara dengan yang ditawarkan oleh console next-gen.
Sebagai referensi, PlayStation 5 tercatat mempunyai daya sebesar 10,28 teraflop, sedangkan Xbox Series sebesar 12 teraflop. Meski memang ini tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan, setidaknya ini bisa memberikan sedikit gambaran bahwa sistem bawaannya memang cukup kuat untuk menjalankan game sekelas The Witcher 3, yang bisa dibilang tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan game AAA yang dirilis dalam satu atau dua tahun terakhir.
Apakah gaming di dalam mobil merupakan masa depan industri otomotif, terutama jika melihat visi akan mobil yang bisa menyetir sendiri sepenuhnya (sehingga kita sebagai penumpang bisa memanfaatkan waktu selama perjalanan untuk bermain game)? Bisa jadi begitu. Kalau perlu bukti lain, coba lihat Sony: salah satu tujuan mereka menciptakan prototipe mobil elektrik adalah untuk bereksperimen dengan konsep “PlayStation untuk mobil”.
Demi menyuguhkan pengalaman hiburan yang terbaik, Tesla pun tidak lupa soal audio. Total ada 22 speaker yang tertanam di kabin Model S yang membentuk sebuah sistem audio berdaya 960 watt, dan Tesla juga melengkapi semuanya dengan teknologi active noise cancellation.
Buat yang lebih suka dengan model SUV ketimbang sedan, tentu mereka bisa memilih Model X yang dibangun di atas platform yang identik, dan yang kebetulan juga sudah diperbarui interiornya dengan arahan yang sama.
Mungkin bakal lucu kedengarannya jika ada yang mengulas kedua mobil ini, lalu menyebutnya sebagai mobil terbaik buat para gamer. Lucu untuk sekarang, tapi bisa saja bakal terdengar biasa di masa yang akan datang.
Sony mengejutkan banyak orang di ajang CES 2020 dengan menyingkap sebuah prototipe mobil listrik bernama Vision-S. Wujudnya yang begitu keren – lebih keren daripada Tesla Model S kalau menurut saya pribadi – membuat sebagian dari kita bertanya-tanya: “Kapan Sony bisa memproduksinya secara massal?”
Sayangnya tidak. Di bulan Agustus 2020, Sony menegaskan bahwa mereka tidak berniat memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik, terlepas dari keputusan mereka untuk mengujinya di jalanan umum, sekaligus menyiapkan prototipe mobil yang kedua. Tujuan dari pengujian tersebut tidak lebih dari sebatas pengumpulan data, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang Sony buat.
Namun di event CES 2021 kemarin, Vision-S kembali muncul, kali ini bersama drone pertama Sony yang bernama Airpeak. Sony pun lagi-lagi harus meluruskan kabar yang simpang siur mengenai Vision-S. Kepada Car & Driver, juru bicara Sony memastikan bahwa untuk sekarang mereka sama sekali tidak punya rencana untuk memproduksi ataupun menjual Vision-S.
Vision-S tidak lebih dari sebatas test bed yang dapat Sony manfaatkan untuk bereksperimen. Lewat mobil ini, Sony pada dasarnya sedang mengeksplorasi bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap era kemudi otomatis nantinya. Salah satunya tentu dengan menyediakan beragam sensor kamera.
Pada kenyataannya, Vision-S datang membawa sebanyak 40 sensor di tubuhnya, dan 18 di antaranya merupakan kamera. Namun selain soal keselamatan dan reliabilitas sistem kemudi otomatis, Sony juga ingin punya kontribusi terhadap industri otomotif dari sisi hiburan.
Itulah mengapa mereka menyematkan teknologi 360 Reality Audio pada kabin Vision-S. Namun yang lebih menarik mungkin adalah tujuan jangka panjangnya, yakni mengintegrasikan PlayStation ke dalam kabin, lengkap bersama konektivitas 5G.
Eksekusi dari konsep “PlayStation untuk mobil” ini tentu bisa bermacam-macam. Apakah yang Sony maksud dengan PlayStation di sini adalah hardware console itu sendiri, atau cuma sebatas layanan cloud gaming yang bisa diakses dari sistem infotainment bawaan mobil? Sejauh ini semuanya baru sebatas spekulasi, dan Sony juga belum menyingkap rencana konkretnya.
Terlepas dari itu, ide akan sebuah game console yang terintegrasi ke mobil tentu kedengaran sangat menarik. Di saat mobil-mobil dengan sistem kemudi otomatis Level 4 atau Level 5 sudah siap untuk turun ke jalanan, itu artinya kita tidak perlu lagi siaga di depan lingkar kemudi, dan waktu selama perjalanan bisa kita habiskan dengan bermain Gran Turismo 12 (sekarang baru akan ada Gran Turismo 7).
Nyatanya, sekarang saja kita sudah bisa bermain video game di dashboard Tesla Model 3, dan saya kira tidak berlebihan seandainya ide ini akan terus dikembangkan ke depannya. Untuk sekarang, game–game tersebut memang hanya bisa dimainkan ketika mobilnya berhenti, tapi bagaimana seandainya nanti mobilnya sudah bisa menyetir sendiri tanpa memerlukan sedikitpun input dari kita?
Well, di titik itu mungkin persaingan antara PlayStation dan Xbox bakal berpindah dari ruang keluarga menuju kabin mobil.
Berawal dari sebuah kampanye crowdfunding di tahun 2015, NIU dengan cepat telah berubah menjadi produsen sepeda motor elektrik yang sukses memasarkan produknya di banyak negara. Sejak September 2018, NIU bahkan sudah terdaftar secara resmi di NASDAQ, dan sejauh ini jaringan operasinya sudah tersebar di sekitar 45 negara, termasuk halnya di Indonesia.
Baru-baru ini, NIU malah sudah membuka toko premium perdananya di Jakarta, tepatnya di dalam mal Grand Indonesia. Toko ini merupakan hasil kolaborasi mereka dengan PT Moove Motors Asia selaku authorized dealer NIU di Indonesia, dan tujuannya tidak lain dari menampilkan rangkaian lengkap produk NIU yang ditargetkan untuk pasar Asia.
Mulai dari NIU seri U yang paling terjangkau dengan kisaran harga 20 jutaan rupiah, sampai seri N yang berada di kisaran 50 jutaan rupiah, tidak ketinggalan pula sepeda listrik EUB-01, semuanya bisa langsung pengunjung jumpai di lokasi. Pengunjung bahkan juga dapat mencoba langsung bagaimana mulusnya sepeda motor listrik NIU di dalam mal.
Namun yang mungkin lebih penting adalah kemudahan bagi para calon konsumen untuk berkenalan dengan aplikasi cerdas NIU yang interaktif. Pasalnya, salah satu kekuatan utama sepeda motor listrik NIU terletak pada arsitektur cloud yang dimilikinya, yang memungkinkan konsumen untuk terhubung dengan kendaraannya selama 24 jam nonstop melalui aplikasi di smartphone.
Lewat aplikasi tersebut, konsumen bisa memeriksa status baterai, riwayat perjalanan, memantau lokasi kendaraan, sampai diberi peringatan apabila ada pergerakan mencurigakan pada sepeda motornya.
“Jakarta merupakan kota di mana mengendarai kendaraan beroda dua itu perlu, selagi menjaga lingkungan yang akan memberikan manfaat pada masyarakat,” ucap Vincent Yap, CEO Moove Motors Asia. “Karena cuaca, kemacetan, dan protokol kesehatan yang ketat, di sini kami menyediakan lingkungan yang paling nyaman bagi pelanggan untuk merasakan teknologi kendaraan listrik yang luar biasa sebagai transportasi alternatif, atau bahkan sebagai utama.”
Ya, Jakarta yang dikenal super macet dan memiliki tingkat polusi tinggi memang merupakan target pasar yang ideal buat NIU. Yang mungkin agak mengkhawatirkan adalah jika konsumen tinggal di area yang langganan banjir – tapi toh sepeda motor bermesin bensin pun juga tidak akan selamat dari itu.