Category Archives: DS/Style-Report

Berkenalan dengan Octagon Studio, Startup AR dan VR Pemenang Penghargaan Internasional

Bicara soal augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), nama-nama yang tebersit di benak kita mungkin adalah Microsoft HoloLens, Oculus Rift, Google Cardboard, dan lain sebagainya. Namun siapa yang menyangka kalau di Indonesia, tepatnya di kota Bandung, berdiri sebuah startup yang bergerak di kedua bidang tersebut, dengan prestasi di kancah internasional?

Mereka adalah Octagon Studio, dan belum lama ini, mereka berhasil membawa pulang trofi Best App dan Rising Star Awards dari event Wearable Technology Show (WTS) 2016 yang dihelat di kota London pada tanggal 15 – 16 Maret lalu.

Kemenangan ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Octagon. Dalam kesempatan pertama mereka mengikuti ajang WTS 2015 tahun lalu, Octagon hanya terpilih sebagai nominator untuk kategori Best App, Rising Star dan Best AR/VR Company.

Lalu apa sebenarnya yang membuat Octagon Studio begitu istimewa, hingga akhirnya mereka bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan luar? Well, portofolio produk mereka begitu luas, mencakup ranah edukasi hingga industri.

Octagon Studio Animal 4D+ AR Flashcards

Salah satu produknya yang paling populer adalah seri kartu pengingat (flashcard) edukatif berbasis AR. Produk ini dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa Inggris, serta pengetahuan tentang dunia satwa, profesi, angkasa luar hingga makhluk-makhluk prasejarah. Berdasarkan keterangan yang diberikan CMO Octagon, Stella Setyiadi, sejauh ini mereka telah menjual lebih dari 200.000 unit AR flashcard ini baik di dalam maupun luar negeri.

Luar negeri? Ya benar, meski berbasis di tanah air, produk-produk besutan Octagon Studio rupanya telah dikenal cukup luas di mancanegara. Reseller produk-produknya sejauh ini sudah tersebar di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Hong Kong, Australia, Perancis, Irlandia, Inggris Raya, Amerika Serikat hingga Kanada.

Bagaimana sebenarnya cara kerja produk AR flashcard ini? Well, sepintas mereka hanyalah kartu biasa bergambar binatang, dinosaurus, planet dan lain sebagainya. Namun ketika dikombinasikan dengan aplikasi mobile, gambar-gambar tersebut akan ‘hidup’ dalam wujud tiga dimensi yang mendetail. Tak hanya itu, interaksinya pun beragam. Saat kartu bergambar sapi Anda dekatkan dengan kartu bergambar rumput misalnya, maka dari aplikasinya akan tampak seekor sapi yang tengah merumput.

Beralih ke VR, Octagon memiliki produk headset yang mereka juluki VR Luna. Headset ini dirancang dengan basis Google Cardboard, namun mengemas sejumlah penyempurnaan, di antaranya material yang lebih kokoh serta desain terbuka yang tidak mengisolasi kamera smartphone di dalam headset.

Octagon VR Luna

Dengan demikian, VR Luna sebenarnya juga bisa disinergikan dengan produk-produk AR flashcard tadi untuk menyajikan pengalaman mixed reality. Ketimbang hanya menyaksikan hewan-hewan tadi ‘hidup’ di layar smartphone, pengguna VR Luna bisa menikmatinya secara lebih immersive.

Ajang WTS 2016 kemarin turut dimanfaatkan Octagon untuk memperkenalkan produk terbaru mereka, yakni seri AR T-Shirt. Konsep AR flashcard mereka yang populer tersebut kini diusung ke pakaian kasual yang biasa dikenakan sehari-harinya.

Sama seperti AR flashcard, kaus-kaus ini sepintas tak terlihat berbeda dari kaus pada umumnya. Namun saat dilihat menggunakan aplikasi smartphone yang tersedia secara cuma-cuma, gambar hewan maupun makhluk prasejarah yang terpatri pada kaus tersebut akan ‘hidup’ seketika, seperti yang bisa Anda lihat pada video unggahan salah satu pengunjung acara berikut ini.

Kendati sudah bisa dibilang cukup sukses, perjalanan yang harus dilalui Octagon Studio sebenarnya masih panjang. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tren AR dan VR yang masih tergolong baru di tanah air. Pun begitu, Octagon optimis bahwa konsumen tanah air tak butuh waktu lama untuk menjadi familier dengan AR dan VR.

Untuk itu, mereka akan terus meningkatkan brand awareness dengan aktif mengikuti berbagai pameran, konferensi maupun melalui media sosial. Di saat yang sama, Stella juga menuturkan bahwa Octagon tak akan berhenti melakukan ekspansi, baik dari segi produk maupun jangkauan pasar.

Berbagai ide kreatif dari timnya akan terus digodok hingga menjadi produk final yang inovatif. Stella bahkan sempat menyebutkan bahwa timnya sudah mulai menggarap VR headset untuk PC ala Oculus Rift, meskipun masih dalam tahap pengembangan awal.

Soal jangkauan pasar, Octagon saat ini tengah melangsungkan diskusi bersama sejumlah lembaga pendidikan yang tertarik untuk menerapkan sejumlah produk Octagon dalam kurikulum belajar-mengajar mereka.

Octagon Studio Octaland 4D+ AR Flashcards

Dilihat dari kacamata konsumen, prestasi yang dicapai Octagon sejauh ini memang sangat fenomenal. Mereka dikenal di kancah internasional, padahal tren AR dan VR di negara asalnya masih belum begitu meluas.

Fokusnya yang berawal di bidang pendidikan juga menjadi bukti bahwa mereka tidak hanya mengejar keuntungan saja di ranah yang masih baru ini, tetapi juga untuk memberikan sarana belajar alternatif yang lebih menarik dan sesuai dengan kemajuan teknologi.

Update: Sedikit tentang profil perusahaan, Octagon Studio didirikan pada tahun 2013 oleh pria berkebangsaan Irlandia, Michael Healy, yang kini bertindak sebagai CEO. Beliau ditemani oleh sepasang co-founder yaitu Aurelia Vina (COO) dan Hasbi Asyadiq (CTO). Saat ini Octagon Studio beroperasi di bawah PT Transport System Solutions. Markas besarnya sendiri berada di Irlandia, akan tetapi semua sumber dayanya ditempatkan di kantor mereka di kota Bandung.

Android Kuasai 94 Persen Pasar Smartphone di Indonesia

Bulan Juni kemarin, kita sempat membahas tentang perkembangan pasar smartphone di Indonesia. Dari artikel itu sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa platform Android yang diwakili banyak merek sangatlah mendominasi, akan tetapi seberapa besar sebenarnya penguasaan pangsa pasar Android di tanah air dibandingkan platform lain seperti iOS misalnya? Continue reading Android Kuasai 94 Persen Pasar Smartphone di Indonesia

Berbincang Dengan Nixia, Gamer Girl Berprestasi dari Indonesia

Gamer. Julukan ini masih menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak orang, termasuk tokoh terkemuka, melihatnya sebagai buang-buang waktu. Tapi di sisi lain, Anda mungkin sudah menyaksikan bagaimana esport membuka jalan untuk berkarier. Dengan ketekunan, gaming dapat membawa seseorang menuju sukses dan masa depan yang cerah. Continue reading Berbincang Dengan Nixia, Gamer Girl Berprestasi dari Indonesia

Freemium dan Masa Depan Mobile Gaming, Menurut Gameloft

Candy Crush, Clash of Clans, Despicable Me: Minion Rush, ketiganya adalah game yang sangat populer di kalangan pengguna perangkat Android maupun iOS. Ketiganya pun bisa dimainkan secara cuma-cuma, sehingga tidak heran apabila jumlah user-nya begitu besar.

Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya: kalau seperti itu caranya, dari mana tim developer maupun publisher-nya mendapatkan pemasukan? Well, jawabannya adalah model bisnis freemium.

Dalam artikel ini, saya akan membahas seputar game freemium yang sudah menjadi tren di industri mobile gaming. Maka dari itu, saya pun tidak lupa meminta pendapat dari salah satu nama paling tenar di kancah mobile gaming, Gameloft. Lewat email, saya berbincang sedikit dengan Emeric Le Bail, Country Manager untuk Gameloft Indonesia.

Info menarik: Kumpulan Game Android Terbaru 13 – 27 Juli 2015

Apa itu freemium?

freemium
Copyright: Venimo/Shutterstock

Istilah freemium sebenarnya merupakan gabungan dari kata “free” dan “premium“. Istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli e-commerce bernama Jarid Lukin di tahun 2006. Melihat polanya, bisa dikatakan freemium merupakan evolusi dari istilah shareware, yang populer di kalangan pengguna PC, dimana software berjenis shareware biasanya bisa digunakan secara cuma-cuma, namun hanya dalam durasi tertentu.

Selain freemium, sebenarnya ada juga istilah serupa yang populer di kalangan gamer, yakni free-to-play. Kedua istilah ini sebenarnya sama, akan tetapi free-to-play secara khusus diasosiasikan dengan konten digital berupa video game ketimbang aplikasi secara umum.

Dalam sebuah game free-to-play, Anda tidak dikenai biaya apa-apa untuk bisa mengunduh dan memainkannya. Kendati demikian, ada sejumlah konten opsional yang baru bisa didapat jika Anda mau membayar.

Agar tidak membingungkan, selanjutnya saya akan menggunakan istilah freemium – yang pada dasarnya bisa mempersingkat panjang artikel ini ketimbang menggunakan istilah free-to-play.

Info menarik: Sambungkan Buah-Buahan Dalam Game Puzzle Fruits Connect

Alasan penerapan strategi freemium

despicable-me-minion-rush

Di industri gaming, freemium sendiri awalnya lebih diprioritaskan untuk mencegah menyebarnya pembajakan game. Emeric pun membenarkan, dimana ia memaparkan bahwa model freemium secara alami disandang untuk membatasi pembajakan. Kendati demikian, ini rupanya bukan motivasi utama dari penerapan model freemium – paling tidak buat Gameloft.

Seperti yang kita ketahui, smartphone dan tablet kini sudah menjadi perangkat massal yang ada di mana-mana. Terlepas dari latar belakang masing-masing, sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah gamer kasual. Tidak seperti gamer kelas hardcore – seperti Yoga Wisesagamer kasual lebih sering mencari hal-hal baru, dalam kasus ini hiburan beresiko rendah.

Emeric pun lanjut menjelaskan bahwa fokus Gameloft pada game freemium murni untuk menanggapi permintaan gamer kasual. Karena gratis, game freemium tentu saja lebih mudah diakses. Namun sebagai bonus, konsumen dibebaskan untuk bermain “dengan cara mereka sendiri”.

Anda tidak mau mengeluarkan uang? Silakan. Tapi kalau Anda mau mendapat pengalaman bermain yang lebih komplet, Anda bisa membayar untuk itu. Konsumen senang, publisher dan developer pun ikut senang.

Info menarik: Eternal Symphony, Game Ritme yang Menantang

Kontroversi freemium

league-of-legends-store

Meski pada prinsipnya freemium menguntungkan pihak gamer, kontroversi pun tetap tidak bisa dihindari. Seiring bertambah banyaknya game freemium, muncul istilah “pay-to-win“, yang sejatinya merupakan cemoohan untuk istilah free-to-play. Sesuai makna harafiahnya, istilah ini berarti Anda harus membayar kalau mau menang.

Dalam game yang mengandung aspek kompetisi, model freemium memang berpotensi menjurus ke arah pay-to-win. Agar lebih mudah dipahami, saya akan memberikan contoh di luar mobile game, yakni Dota 2 dan League of Legends, yang memang sangat kompetitif. Keduanya bisa dimainkan secara gratis, dan menyimpan konten-konten opsional yang bisa dibeli. Bedanya, di Dota 2, konten opsional tersebut hampir tidak mempengaruhi hasil permainan, sedangkan di League of Legends sebaliknya.

Namun dalam konteks mobile game, saya kira freemium tidak bisa dicap sebagai pay-to-win secara mutlak. Memang ada sejumlah mobile game yang menjurus ke arah pay-to-win, akan tetapi kalau melihat mayoritas konsumennya yang merupakan gamer kasual, mereka bisa dengan mudah mencari game lain ketika mereka tidak puas dengan konsep freemium yang ditawarkan.

Info menarik: Panduan Memilih Casual Game dari Gameloft

Masa depan industri mobile gaming

siegefall

Ketika saya menanyakan apakah ke depannya semua mobile game akan mengadopsi model freemium, Emeric tampaknya enggan mengiyakan. Mungkin tidak semua, akan tetapi jumlah game freemium saya perkirakan akan bertambah banyak, bukan dari Gameloft saja, tetapi juga dari banyak publisher dan developer lain.

Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan industri gaming secara keseluruhan yang luar biasa, dan salah satu kontributornya adalah model freemium itu sendiri. Dalam kasus Gameloft, perusahaan asal Perancis ini berhasil menduduki posisi kedua publisher terbesar di tahun 2014 menurut App Annie, dilihat dari jumlah unduhan game di Google Play maupun Apple Store. Semuanya berkat model bisnis freemium.

Melihat pencapaian semacam itu, Emeric pun menyebutkan bahwa komitmen Gameloft di pasar freemium kini lebih kuat ketimbang sebelumnya, dan ke depannya mereka berencana untuk tetap seperti itu. Mengapa? Karena konsep micro-transaction di dalam game dirasa jauh lebih alami, dimana pemain hanya membayar untuk apa yang mereka konsumsi, tidak lebih.

Sekali lagi, model bisnis freemium terbukti dapat menguntungkan kedua pihak sekaligus, baik produsen (publisher dan developer) maupun konsumen.

Info menarik: GarudaPoint Coba Hadirkan Marketplace dan eCommerce Platform Game di Indonesia

Visi Gameloft ke depannya

asphalt-8

Melihat prestasi dan pertumbuhan Gameloft sejauh ini, saya pun tertarik mengetahui apakah mereka berminat merambah platform lain selain perangkat mobile. Emeric menegaskan bahwa visi mereka tidak terbatas pada perangkat mobile saja, meski itu sejatinya merupakan DNA mereka.

Untuk saat ini, mobile masih menduduki posisi teratas terkait jumlah game yang diunduh setiap harinya, bahkan saya kira jauh melebihi console maupun PC. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama Gameloft. Selama mobile masih memimpin, mereka akan terus fokus di situ. Namun kalau ke depannya console maupun PC kembali ‘meledak-ledak’, bukan tidak mungkin Gameloft akan turut meramaikannya.

Bagaimana dengan VR, alias virtual reality? Saya pun juga penasaran, namun Emeric berpendapat bahwa itu masih terlalu dini untuk dibicarakan. Saya cukup yakin ada sentilan-sentilan kecil di tim internal Gameloft seputar keinginan mengembangkan game VR, tapi tidak dalam waktu dekat.

Masih didukung rasa penasaran, saya lanjut menanyakan soal crowdfunded game. Sejauh ini Gameloft belum mempunyai rencana untuk memperkenalkan sebuah game lewat kampanye crowdfunding, mungkin suatu hari ketika benar-benar ada permintaan besar dari konsumen.

Gambar header: Mobile gaming via Shutterstock.

Mengenang Perjalanan Maestro Gaming Satoru Iwata Bersama Nintendo

Cuma beberapa minggu selepas kegembiraan E3 2015 usai, khalayak gaming harus menghadapi satu kabar pahit. Lewat press release singkat, sebuah berita belasungkawa terdengar dari tim Nintendo. Sang presiden sekaligus pahlawan di balik kesuksesan Nintendo DS dan Wii, Satoru Iwata, wafat di usia 55 tahun setelah berjuang melawan tumor saluran empedu. Continue reading Mengenang Perjalanan Maestro Gaming Satoru Iwata Bersama Nintendo

Apa Kabar 4G/LTE di Indonesia?

4G/LTE, bagaimana kabarnya di Indonesia? Seperti yang kita ketahui, teknologi jaringan seluler berkecepatan tinggi ini masih belum lama hijrah di tanah air, dan cakupannya pun masih belum seluas jaringan 3G. Namun apakah pertumbuhannya akan terus berjalan lambat seperti itu?

Sama sekali tidak. Buat yang sudah lebih dulu pesimis, ketahuilah bahwa seminggu ini saja ada begitu banyak kabar seputar perkembangan jaringan 4G/LTE di Indonesia. Tanpa perlu berbasa-basi, simak ringkasan yang kami ambil dari beberapa sumber berikut ini.

4G/LTE 1800 MHz menggantikan 900 MHz

Mulai awal bulan Juli kemarin, sejumlah operator telah melangsungkan uji coba jaringan 4G/LTE di frekuensi 1800 MHz. Menkominfo Rudiantara sendiri menegaskan bahwa ekosistem di band (pita) 1800 MHz ini lebih optimal ketimbang 900 MHz. Pada kesempatan lain, perwakilan XL Axiata juga sempat memaparkan bahwa implementasi jaringan 4G/LTE di frekuensi 1800 MHz ini memungkinkan pelanggan untuk mencapai kecepatan akses data hingga 100 Mbps.

Pertanyaan yang terpenting, kapan kita bisa menikmatinya? Sang Menkominfo sendiri memastikan bahwa pembangunan infrastruktur 4G/LTE 1800 MHz akan selesai akhir tahun ini juga. Dengan kata lain, awal tahun 2016 semua kawasan Indonesia sudah bisa dijangkau oleh jaringan 4G/LTE dalam frekuensi tersebut.

Selagi membahas soal implementasi teknologi 4G/LTE, silakan Anda simak survei pendapat masyarakat terkait hal tersebut. Versi singkatnya: hampir semua responden melihat implementasi 4G/LTE sebagai hal yang positif, meski baru seperempat dari mereka yang sudah menjajalnya.

Info menarik: Perkembangan Pasar Smartphone di Indonesia: Samsung Masih Memimpin, Android One ‘Loyo’

Gerak cepat tiga besar operator GSM

Sumber: Telkomsel
Sumber: Telkomsel

Menyambung soal jaringan 4G/LTE 1800 MHz di atas, rupanya ada keputusan menarik yang diambil Telkomsel dan XL. Keduanya memilih menguji layanannya di kawasan Indonesia Timur; Telkomsel di Makassar, sedangkan XL di Lombok. Tentu saja ada pertimbangan khusus terkait tingkat penggunaan dan semacamnya, namun saya melihat langkah ini bisa jadi merupakan cara mereka menunjukkan bahwa tidak cuma Indonesia bagian barat saja yang ‘diperlakukan seperti raja,’ mengingat performanya di bagian barat sudah cukup oke, seperti yang sempat TRL coba langsung awal bulan Juni kemarin.

Di saat yang sama, XL rupanya juga punya ‘jurus’ untuk menggaet lebih banyak konsumen layanan 4G/LTE-nya. Di kawasan-kawasan yang masih didominasi perangkat 2G, XL menawarkan program bundling handset 4G. Intinya, mengarahkan konsumen agar beralih dari 2G langsung ke 4G LTE.

Bagaimana dengan Indosat? Selain berupaya untuk terus memperluas jaringan 4G/LTE-nya, Indosat juga punya cara tersendiri untuk menarik minat konsumen. Caranya adalah dengan menyediakan berbagai macam konten yang bisa di-stream dengan maksimal menggunakan layanan 4G/LTE. Konten-konten tersebut dikemas dalam tiga fasilitas khusus yang mereka namai Arena Musik, Arena Video dan Arena Game.

Lain halnya dengan Tri. Operator bermaskot robot tersebut hingga kini belum menawarkan layanan 4G/LTE. Kendati demikian, petinggi Tri menjelaskan bahwa mereka lebih memilih menunggu proses penataan frekuensi 1800 MHz rampung secara menyeluruh di akhir tahun 2015. Barulah setelah itu, mereka akan segera menjalankan komersialisasi layanan 4G/LTE secara bertahap di sejumlah kota.

Beralih ke pemain yang dulunya menjalankan layanan CDMA, Smartfren akan beralih dari CDMA dengan menghadirkan layanan 4G/LTE, memanfaatkan dua frekuensi yaitu 2300 MHz dan 850 MHz. Pelanggan CDMA akan tetap dilayani sampai beralih ke 4G/LTE. Meski berbeda sendiri, performanya tidak kalah, terbukti dari hasil pengujian TRL beberapa minggu yang lalu. Menurut rencana layanan 4G/LTE Smartfren ini akan rilis komersil pada semester 2 2015 di 22 kota.

Info menarik: [Weekly Info] Kumpulan Berita Hangat Dalam Sepekan, 29 Juni – 5 Juli 2015

Bangkitnya operator non-mainstream

berca-hinet
Sumber: Berca

Nama-nama besar operator di atas memang selangkah lebih awal, tapi bukan berarti monopoli pasar bisa diterapkan begitu saja. Sekedar mengingatkan, layanan 4G/LTE pertama di Indonesia justru berasal dari operator non-mainstream, yakni Bolt, pada akhir tahun 2013 kemarin.

Nah, kesuksesan Bolt ini mungkin saja memicu sosok-sosok baru lain untuk mengikuti jejaknya. Yang terbaru adalah PT Berca Hardayaperkasa. Mereka baru saja memperkenalkan layanan 4G/LTE yang mereka beri nama Hinet. Sebelum ini, perusahaan yang sama telah memiliki layanan berteknologi WiMAX, akan tetapi pada akhirnya mereka harus mengikuti tren dan mengadopsi teknologi 4G/LTE yang memang dinilai jauh lebih baik ketimbang WiMAX.

Hinet sendiri memanfaatkan teknologi 4G/LTE berbasis time-division duplex (TDD) di frekuensi 2,3 GHz, lain daripada yang lain. Terlepas dari itu, Hinet menawarkan kecepatan internet maksimum 125 Mbps dalam harga yang kompetitif. Satu catatan tambahan, Hinet hanya menawarkan layanan 4G/LTE dalam bentuk data saja, tanpa fungsi seluler, sama seperti yang diterapkan Bolt.

Kalau Hinet menyasar konsumen perangkat mobile, tidak demikian dengan MyRepublic. Perusahaan asal Singapura ini sudah resmi beroperasi di tanah air dan menawarkan layanan internet rumahan dengan harga yang amat sangat berani. Yang paling murah, ada paket 10 Mbps dengan harga Rp 200 ribu – tidak terlalu istimewa – namun Anda akan terkejut melihat paket termahalnya, yaitu 300 Mbps seharga Rp 900 ribu saja!

Info menarik: Daftar Promo Gadget Jelang Lebaran, Diskon Hingga 71%

Regulasi TKDN disahkan

Diwacanakan pada awal tahun ini, regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) akhirnya disahkan. Apa artinya? Gampangnya, mulai 1 Januari 2017, smartphone 4G/LTE berbasis frequency-division duplex (FDD) yang ingin masuk ke pasar Indonesia haruslah memiliki nilai TKDN sebesar 30%.

Masih bingung? Well, pada dasarnya, smartphonesmartphone tersebut haruslah mengemas komponen-komponen buatan dalam negeri. Meski demikian, komponen-komponen yang dimaksud tidak harus berupa hardware, tetapi juga software. Dengan demikian, langkah yang diambil vendor pun bisa bermacam-macam.

Jadi, kalau memang membangun pabrik perakitan di sini tidak memungkinkan, suatu vendor bisa saja berfokus pada pengembangan software dengan cara menanamkan investasi atau menuntun dan membimbing para developer lokal sehingga ekosistem aplikasi buatan dalam negeri bisa semakin berkembang.

Smartphone 4G/LTE tidak lagi mahal

Bolt! Powerphone E1

Kalau beberapa tahun yang lalu 4G/LTE adalah salah satu fitur unggulan smartphone kelas atas, sekarang anggapan itu sudah tidak berlaku lagi. Tidak percaya? Coba lihat Bolt Powerphone E1. Spesifikasinya lumayan, dan sistem operasi Android yang dijalankan pun sudah merupakan versi terbaru. Namun yang terpenting, dukungan 4G/LTE ia kemas dalam harga hanya Rp 1 juta.

Oke, Bolt mungkin bisa melakukannya karena memiliki layanan internet sendiri, bagaimana dengan vendor lainnya? Well, Anda bisa melirik Himax, yang baru saja menggebrak pasar dengan smartphone 4G/LTE berharga amat terjangkau. Himax Pure 3S namanya, dan pemasarannya baru saja dimulai pada tanggal 8 Juli 2015 ini. Berapa harganya? Rp 1,4 juta, dan saya yakin Anda akan sedikit tidak percaya melihat spesifikasi hebatnya.

Gambar header: LTE via Shutterstock.

Update: Ada koreksi untuk penjelasan layanan 4G/LTE dari Smartfren. 

Perkembangan Pasar Smartphone di Indonesia: Samsung Masih Memimpin, Android One ‘Loyo’

Tahukah Anda, lebih dari separuh jumlah handset yang terjual di Indonesia selama kuartal pertama 2015 adalah smartphone? Data ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, terutama jika melihat semakin banyaknya ‘pemain’ lokal yang menjajakan smartphone dengan harga yang begitu berani. Continue reading Perkembangan Pasar Smartphone di Indonesia: Samsung Masih Memimpin, Android One ‘Loyo’

Menjajal Jaringan Telkomsel (Layanan 4G LTE) dari Jakarta – Surabaya – Banyuwangi – Denpasar

Bersamaan dengan perjalanan rombongan Drive Test Telkomsel 2015 yang menggelar uji jaringan dari Jakarta – Surabaya – Banyuwangi – Denpasar, Trenologi juga tidak ketinggalan melakukan uji khusus dengan perangkat sendiri untuk mengetahui berepa kecepatan dari jaringan Telkomsel, terutama untuk penggunaan data.

Uji kali ini sebenarnya ingin menjajal kecepatan 4G Telkomsel karena telah tersedia di Jakarta, Surabaya dan Denpasar. Namun untuk di beberapa wilayah seperti di Banyuwangi (yang belum masuk 4G), pelabuhan Gilimanuk serta tol laut Bali (bagian tengah laut) test mendapatkan jaringan non 4G, rata-rata mendapatkan H+ saat test dilakukan.

Pengujian sendiri memang cukup sederhana, hanya menggunakan perangkat smartphone dan aplikasi tertentu. Perangkat BlackBerry Q10 yang telah mendukung 4G LTE Telkomsel digunakan untuk uji kali ini, aplikasi SpeedTest serta pencatatan secara manual melihat keterangan jaringan yang ada di smartphone.

Uji tidak dilakukan untuk panggilan telepon serta SMS serta tidak pula melihat berapa tampilan bar jaringan yang tersedia saat diuji. Paket yang digunakan selama uji adalah paket LTE dari Telkomsel seharga 80 ribu dengan fasilitas 2GB + SVOD 3 movie gratis + 1 TVOD (selama promosi) untuk 30 hari.

Info menarikUji Jaringan Telkomsel 2015: Video Call di Atas Kapal Feri, Lancar

Secara keseluruhan, pengalaman menggunakan Telkomsel dengan perangkat 4G untuk data sendiri cukup memuaskan. Hampir tidak ada kendala untuk mengakses jejaring sosial, aplikasi berbasis data atau menjelajah internet dengan peramban mobile. Saya juga mengaktifkan notifikasi untuk email serta notifikasi aplikasi lainnya.

Untuk area yang tercakup 4G LTE seperti Jakarta (bandara), Surabaya (bandara) serta Denpasar (di berbagai wilayah) hampir selalu mendapatkan jaringan ini dengan kecepatan, yang meski terkadang mendapatkan di bawah 8 Mbps, tetapi hampir selalu di atas 4.78 Mbps sebagai kecepatan paling rendah untuk 4G yang saya dapatkan pada uji kemarin.

Beberapa wilayah yang mendapatkan jaringan 3G atau H+ juga tetap memuaskan untuk mengakses data, bahwa di beberapa wilayah kecepatannya mengalahkan 4G LTE, hal ini bisa jadi dikarenakan lalu lintas data yang mungkin lebih padat di area 4G.

Sebagai keterangan tambahan, selama uji ini saya hampir selalu bersama romobongan Telkomsel, baik itu di lokasi acara peresmian, konferensi pers serta bus rombongan dan kapal feri.

Info menarikFacebook Lite Resmi Diumumkan, Lebih Ringan dan Cepat untuk Jaringan 2G

Pada saat konferensi pers, TRL sempat menanyakan tentang bagaimana kesiapan uji momen liburan dari Telkomsel ini untuk layanan 4G, karena meski belum tersedia di semua wilayah mudik, namun layanan 4G telah hadir di kota-kota tujuan liburan seperti Surabaya dan Bali. Tentunya akan menarik untuk melihat seperti apa pemakaian 500 ribu pengguna 4G LTE Telkomsel pada momen liburan kali ini. Pihak telkomsel sendiri menyiapkan diri dengan progam true broadband experience yang telah ditingkatkan untuk menyambut lebaran serta juga setelah momen mudik ini.

Selain itu, kecepatan yang didapatkan selama uji ini adalah kecepatan ‘normal’ bukan hanya untuk optimasi momen lebaran, jadi setelah lebaran kecepatan inilah rata-rata yang akan bisa dinikmati, meski tentunya lagi-lagi kecepatan akan dipengaruhi pula dengan kesibukan lalu lintas data.

Layanan 4G LTE yang telah ada memang belum maksimal, Telkomsel sendiri menyebutkan bahwa saat ini jaringan 4G LTE yang ada masih menggunakan 900 MHz dengan pita sebesar 5MHz, yang juga masih terbatas. Kecepatan dan performa jaringan akan bisa terdongkrak ketika nanti menggunakan 1800 MHz dengan bandwith yang lebih maksimal puta, ini tentunya bisa dinikmati setelah peraturan baru yang diperkirakan akan bisa dinikmati akhir tahun ini.

Penasaran dengan uji yang dilakukan TRL, berikut rangkumannya.

(Catatan tambahan: saya menggunakan akun Twitter pribadi saya sesaat setelah test sebagai catatan dengan untuk membagikan screenshot hasil Speedtest, jadi di artikel ini saya akan meng-embed twit-twit tersebut, mohon maaf pula jika ada typo atau kesalahan nama bandara).

 

 

 

 

 

 

 

 

Update: Ada perubahan judul yang dilakukan, tanpa mengubah maksud dan tujuan tulisan awal. 

Cubeacon, Kubus Bluetooth Mini dengan Segudang Potensi

Bayangkan skenario seperti berikut: Anda berkunjung ke suatu supermarket. Setibanya di pintu masuk, smartphone Anda berdering singkat, lalu tampak notifikasi yang yang berbunyi “Khusus hari ini, durian monthong diskon 50%!” Continue reading Cubeacon, Kubus Bluetooth Mini dengan Segudang Potensi