Edge computing, barangkali hanya segelintir orang yang memahami atau bahkan sebatas mendengar istilah ini. Bagi orang awam, istilah edge computing memang bukan konsumsi biasa. Apalagi di tanah air adopsinya memang terbilang adem ayem.
Berbeda jika kita memposisikan diri di negara-negara maju, diskusi mengenai edge computing terdengar lebih riuh. Banyak pihak juga meyakini pendekatan baru ini akan menjadi tumpuan dalam mengimbangi adopsi IoT yang makin marak di seluruh dunia.
Dari data yang dirilis Statista, diperkirakan pada tahun 2024, pendapatan global di industri edge computing akan mencapai 250,6 miliar Dollar Amerika Serikat. Masih menurut Statista, sejumlah industri seperti manufaktur dan telekomunikasi juga sudah mulai menerapkan solusi edge computing dalam rencana bisnis mereka.
Apa Itu Edge Computing?
Disimpulkan dari berbagai sumber, edge computing adalah sebuah framework komputasi yang terdistribusi secara lokal sehingga lebih dekat ke pengguna.
Edge computing memungkinkan proses analisis data dilakukan secara lokal di titik yang lebih dekat dengan perangkat, alih-alih mengirimkan ke cloud yang membutuhkan waktu lebih lama.
Ketiadaan jarak antara data dan sumbernya memberikan manfaat yang besar seperti transfer data yang lebih cepat, konsumsi bandwidth yang lebih hemat dan tentu saja waktu respon yang lebih baik.
Menurut CEO PT Biznet Gio Nusantara Dondy Bappedyanto, “Sama seperti Cloud Computing, sebenarnya edge computing sendiri merupakan sebuah paradigma bukan teknologi yang baru. Pada dasarnya Edge Computing itu bekerja membawa konten lebih dekat kepada pengguna. Contoh paling mudah dari implementasi Edge sendiri adalah Content Distributed Network (CDN), dimana konten statis seperti video ataupun gambar disebar ke banyak tempat mendekati kepada pengaksesnya”.
Melihat apa yang ditawarkan oleh edge computing, ada beberapa sektor bisnis yang memperoleh keuntungan itu secara masif, yaitu bisnis yang berhubungan erat dengan penggunaan IoT yang belakangan berkembang demikian pesat. Adopsi jaringan 5G yang makin luas juga menjadi dorongan ekstra yang secara masif menghasilkan peningkatan volume data dan kuantitas perangkat yang terhubung.
Untuk saat ini, apa yang ditawarkan oleh edge computing adalah sebuah kabar gembira untuk banyak pihak, terutama mereka yang sudah bergerak di rel yang benar, yaitu merangkul modernisasi bisnis lewat pemanfaatan aplikasi dan platform.
Pemanfataan Edge Computing untuk Transformasi Digital UMKM
Ini adalah pertanyaan besar yang ada di benak saya, apakah solusi ini akan secara merata dapat dinikmati oleh semua strata, khususnya pelaku bisnis kecil, mikro dan menengah?
Sebab jika bicara transformasi digital di Indonesia, banyak mata akan tertuju pada sektor UMKM yang memang dalam satu dekade terakhir masih berjuang untuk mendekatkan diri ke teknologi.
Ada banyak inisiatif yang didorong, berbagai program pun dijalankan dan bukan satu dua platform yang secara agresif menyasar UMKM sebagai bidikan. Pertanyaanya, apakah edge computing akan membawa banyak perubahan pada arah digitalisasi yang digaungkan?
Ketika ditanya mengenai peran edge computing terhadap digitalisasi UMKM, Dondy mengatakan, “Sebenarnya tergantung dari bidang usaha masing-masing. Untuk UMKM sendiri mungkin edge computing tidak akan berdampak besar, berbeda dengan perusahaan yang membuat dan melakukan distribusi konten atau perusahaan yang bergerak pada bidang IoT misalnya, yang mungkin membutuhkan latency jaringan yang sangat kecil. Di sini edge computing akan banyak membantu perusahaan tersebut”.
Kendati pemanfaatan edge computing saat ini secara umum terlihat lebih didominasi oleh perusahaan yang berhubungan dengan IoT, namun menurut Gerry Julian Santoso, Country Manager Stratus Indonesia, edge computing dapat secara fleksibel dirangkul oleh industri dengan skala yang berbeda. Di Indonesia, sudah ada banyak perusahaan dari berbagai industri yang menggunakan solusi inovatif ini. Penggunanya antara lain dari sektor transportasi, keuangan, energi, hingga kesehatan. Selain itu, edge computing tidak semata untuk industri besar, tetapi juga diadopsi industri kelas menengah ke bawah.
Sebagai sebuah paradigma baru di teknologi jaringan, edge computing perlu kita sikapi sebagaimana sikap kita terhadap inisiatif baru di sektor teknologi lainnya. Apalagi, saat ini ada banyak pihak dan entitas yang belum tersentuh olehnya. Artinya, ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Saya percaya akan ada banyak ruang yang terbuka ketika pemanfaatan edge computing sudah semakin luas. Di saat produk-produk IoT baru yang memberikan akses kepada UMKM bermunculan ke permukaan.
Kesiapan UMKM Menjadi Kunci
Semenjak pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia, banyak pelaku bisnis dan UMKM yang terpukul, tidak sedikit yang dipaksa gulung tikar.
Mereka yang tidak mampu bertahan cenderung lemah dalam pemanfaatan teknologi. Sebaliknya, mereka yang lebih siap, relatif mampu bertahan dengan perubahan masif yang terjadi.
Menurut laporan yang dirilis oleh Dailysocial, Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Wabah ini dikhawatirkan menyebabkan ekonomi Indonesia mengalami krisis lagi, bahkan mungkin lebih parah dibandingkan krisis keuangan Asia 1997-1998.
Lebih jauh dikatakan, kontribusi UMKM terhadap PDB tahun 2020 turun sekitar 23%, dari 60,3% di 2019 dan 37,3% di 2020. Jumlah itu diprediksi turun 4% di 2021. Sutrisno Iwantono, Peneliti Senior dari Institut Pengembangan Kewirausahaan, menyatakan hal itu.
Masih dari laporan yang sama, hampir semua UMKM di semua segmen mengalami penurunan penjualan. 56% pemilik bisnis mengalami penurunan penjualan 50% selama pandemi, sementara 28% bisnis kecil dan 22% pemilik usaha mikro terkena dampaknya.
Misalnya, pemanfaatan industri manufaktur yang sebelumnya mencapai 76,3% sebelum pandemi, turun menjadi hanya 55,3% dari Januari hingga September 2020 menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Itu juga menyebabkan pekerja industri manufaktur kehilangan 3.700 jam kerja dalam 10 minggu, yang berdampak pada penurunan daya beli hingga Rp74 triliun.
Berbagai kebijakan yang membatasi ruang gerak penduduk juga memberikan dampak buruk yang sulit untuk dihindari. Situasi ini kemudian melahirkan dua kelompok. Pertama, kelompok pelaku usaha yang memanfaatkan digitalisasi untuk mendorong pendapatan mereka. Kelompok kedua, pelaku usaha yang terlambat dalam mengadopsi perkembangan teknologi.
Bentuk paling sederhana dalam kegiatan digitalisasi bisnis adalah dengan memasarkan produk atau layanan via media sosial, mencari follower media sosial, mencari informasi guna pengembangan usaha, memesan dan mencari bahan baku, memasang produk di marketplace, melakukan live untuk berjualan produk, berkirim email kerjasama, dan lain sebagainya.
Sebagian besar dari aktivitas tersebut membutuhkan skill dan pemahaman teknologi yang digunakan. Seberapa baik pemahaman pelaku usaha terhadap teknologi dan platform yang diadopsi, menentukan keberhasilan kampanye yang dilakukan.
Umumnya yang terjadi, pelaku usaha dengan usia yang lebih tua mengalami kesulitan untuk menggunakan aplikasi atau platform. Hal ini juga dilaporkan oleh KataData dalam laporannya yang menunjukkan bahwa generasi yang semakin tua memiliki indeks kesiapan digital yang lebih rendah dibandingkan dengan generasi yang lebih muda.
Kemudian sebagian dari pelaku usaha juga mengalami kendala untuk go-digital karena belum mampu menggunakan internet.
Memanfaatkan teknologi di era kekinian memang sebuah keharusan bagi pelaku usaha, namun di sisi lain ini juga sebuah lompatan besar yang membutuhkan kesiapan dari segala lini. Dari sumber daya manusianya, kemampuan finansial dan juga kebutuhan akan teknologinya itu sendiri.
Dondy Bappedyanto mengatakan, “Terjun ke era digital, tidak bisa lagi harus menunggu-nunggu untuk masuk. Tetapi juga harus diingat dari sisi kemampuan finansial UMKM tersebut. UMKM harus memilih teknologi dan proses mana yang tepat guna untuk bisnisnya, tidak bisa latah untuk ikut-ikutan menerapkan sesuatu teknologi tetapi kontribusi kepada bisnis minim.
Pemanfaatan edge computing sendiri menurut Dondy bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh pelaku bisnis di skala yang beragam. Apalagi, dalam adopsinya tidak diperlukan biaya tambahan pembelian perangkat kecuali UMKM tersebut megimplementasikan instalasi IoT yang memang melibatkan sensor-sensor ekstra yang memungkinkan ia untuk beroperasi.
Isu Keamanan Edge Computing
Membahas soal isu keamanan, seringkali menempatkan kita di posisi yang sulit, memilih antara kecepatan atau mendahulukan perlindungan. Menerapkan keamanan berlapis dengan menambahkan kunci memang membuat rumah lebih aman, 100% setuju. Tetapi implementasi ini menimbulkan konsekuensi lain dengan mengorbankan kecepatan, karena membuat Anda membutuhkan waktu ekstra untuk membuka kunci-kunci itu satu per satu.
Di satu sisi jika kita mendorong agar bisnis bergerak dengan kecepatan ekstra, kerap kali kita harus mengorbankan sektor keamanan, menimbulkan resiko kerentanan yang serius dalam jangka panjang.
Dari perspektif ini, di balik manfaat besar yang ditawarkan oleh edge computing muncul kekhawatiran lain dalam hal keamanan.
Perangkat IoT yang mengadopsi edge computing, dalam implementasinya berada di posisi yang berjauhan atau di luar dari infrastruktur pusat data. Dari kacamata keamanan digital, cara ini dinilai lebih sulit untuk dipantau. Terlebih, seringkali perangkat yang terhubung ke edge computing tidak dioperasikan oleh orang yang punya pengetahuan keamanan jaringan yang memadai.
Menjawab pertanyaan mengenai isu keamanan ini, Dondy secara singkat menjelaskan bahwa, “Dari sisi keamanan selalu ada dua sisi dari pedang. Kebocoran data kebanyakan bukan diakibatkan oleh proses deployment seperti di edge, tetapi lebih ke arah konfigurasi dan programming.”
Cloud dan kecerdasan buatan membawa harapan akan implementasi otomasi pada banyak industri, mempercepat laju inovasi yang kemudian menopang pendekatan data-minded. Namun di era yang serba terhubung dengan skala yang sulit dikendalikan, maka data yang diproses kini jauh lebih kompleks.
Seiring waktu, tentu skala kebutuhan dan kompleksitas data yang diproses akan terus bertumbuh, memunculkan kekhawatiran kita akan tiba di satu titik melampaui kemampuan infrastuktur jaringan konvensional yang ada saat ini.
Di saat bersamaan, situasi itu memberikan konsekuensi lain yang patut dikhawatirkan, yaitu ledakan bandwidth dan latensi.
Cloud computing adalah penyelamat kita saat ini, tidak diragukan lagi. Bekerja secara efisien – untuk saat ini – dan dapat dijangkau oleh hampir seluruh pelaku bisnis di skala yang berbeda. Namun edge computing adalah masa depan.
Edge computing menghadirkan alternatif yang lebih efisien. Dapat memroses data di titik yang lebih dekat dari sumbernya. Jika biasanya data ditransfer dan diproses di cloud terlebih dahulu kemudian dikirimkan kembali ke perangkat, edge computing menjadi penengah dan meniadakan proses itu. Imbasnya, masalah latensi dan bandwidth akan diminimalisir secara signfikan.
Pada akhirnya, diyakini akan menghadirkan pengalaman pengguna yang lebih baik, pelayanan pelanggan yang lebih cepat, dan waktu respon yang singkat.