Category Archives: Game

Informasi seputar game, spesifikasi perangkat gaming, PC, concole, handheld, mobile. Lokal dan internasional

Netflix Mulai Uji Konten Game di Aplikasi Android-nya

Juli lalu, Netflix secara resmi mengumumkan niatannya untuk menyisipkan game ke katalog kontennya. Netflix rupanya tidak butuh waktu lama untuk mengeksekusi rencana tersebut. Baru sebulan berselang, mereka rupanya sudah siap menguji konten gaming-nya bersama publik.

Sejauh ini pengujiannya baru dilangsungkan di Polandia. Para pelanggan Netflix di sana sekarang sudah bisa menjajal dua game di perangkat Android-nya, yakni “Stranger Things: 1984” dan “Stranger Things 3”. Dalam beberapa bulan ke depan, pengujiannya akan meluas ke negara-negara lain, dan juga bakal mencakup platform iOS.

Semua ini sejalan dengan yang diberitakan bulan lalu, bahwa Netflix akan memulai di platform mobile terlebih dulu, dan game-nya dibuat berdasarkan sejumlah franchise Netflix yang sudah ada. Stranger Things sendiri memang merupakan salah satu franchise serial milik Netflix yang paling populer, dan season keempatnya sudah dijadwalkan hadir tahun depan.

Netflix tidak lupa menegaskan kembali bahwa deretan game-nya ini dapat dinikmati tanpa biaya tambahan. Pelanggan juga tidak akan menjumpai iklan maupun in-app purchase di dalam game-nya. Semua sudah termasuk dalam biaya berlangganan Netflix seperti biasanya.

Yang menarik, kalau film-film di Netflix kita stream dari cloud, rupanya konten game-nya tidak demikian. Jadi ketika mengklik “Install Game” di aplikasi Netflix, pelanggan akan dialihkan ke Google Play Store untuk mengunduh game-nya. Cara ini lebih mirip yang diterapkan Apple Arcade dan Google Play Pass ketimbang Stadia atau Xbox Cloud Gaming.

Kita sebenarnya bisa saja langsung mengunduh game-nya dari Google Play Store, tapi saat hendak bermain, kita perlu login menggunakan akun Netflix masing-masing. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Netflix bakal beralih ke metode streaming sepenuhnya, atau malah seterusnya menggunakan metode seperti ini.

Seandainya beralih ke metode streaming ala Stadia, Netflix tentu harus memikirkan pengalaman yang bakal didapat oleh para pelanggannya yang menggunakan perangkat iOS. Pasalnya, Apple memang hanya mengizinkan platform cloud gaming untuk beroperasi menggunakan web app ketimbang native app di iOS.

Sumber: Engadget.

Amazon Rombak Lumberyard Menjadi Game Engine Open-Source Bernama Open 3D Engine

Game engine yang dapat digunakan secara cuma-cuma oleh kalangan developer sudah sangat umum kita jumpai di tahun 2021 ini. Bahkan engine sekelas Unreal Engine 5 pun sekarang bisa dipakai secara gratis, dan developer baru diwajibkan membayar biaya royalti seandainya pemasukan yang didapat sudah mencapai angka 1 juta dolar.

Yang masih tergolong langka adalah game engine yang bersifat open-source, yang bebas dimodifikasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing developer. Itulah nilai jual utama yang hendak ditawarkan oleh Open 3D Engine (O3DE), game engine anyar yang terlahir Lumberyard, engine racikan Amazon yang dirilis sekitar lima tahun silam.

Lumberyard, bagi yang tidak tahu, awalnya diramu dengan menggunakan CryEngine sebagai basisnya. Guna menghindarkan developer dari masalah-masalah terkait lisensi atau pelanggaran kekayaan intelektual, Amazon pun memutuskan untuk membangun O3DE dari nol. Dengan kata lain, O3DE bukan sebatas Lumberyard yang telah menjalani re-branding dan dijadikan open-source begitu saja.

Juga baru adalah komponen renderer-nya, yang diklaim lebih superior dan lebih photorealistic ketimbang milik Lumberyard. Amazon cukup percaya diri bahwa O3DE punya potensi untuk digunakan di luar industri video game.

Kendati demikian, daya tarik terbesar O3DE tentu adalah sifat terbukanya, dan ini bisa berujung pada setidaknya dua keuntungan. Yang pertama, layaknya proyek open-source lain, O3DE bakal terus disempurnakan seiring berjalannya waktu, sebab siapapun bisa ikut berkontribusi terhadap pengembangannya. Tidak main-main, pihak yang mengawasi pengembangan O3DE adalah Linux Foundation, yang kita tahu sudah punya pengalaman panjang perihal open-source development.

Sejumlah perusahaan ternama seperti Adobe, Huawei, Intel, maupun Niantic juga sudah mengumumkan komitmennya untuk berkontribusi terhadap pengembangan O3DE, dan mereka semua bakal berkolaborasi di bawah wadah bernama Open 3D Foundation. Bulan Oktober nanti, Open 3D Foundation sudah punya rencana untuk menggelar acara O3DECon dan mengundang komunitas developer untuk ikut berpartisipasi.

Keuntungan yang kedua adalah kemudahan O3DE untuk ‘dipecah-belah’ seandainya developer hanya perlu menggunakan beberapa fiturnya saja, lalu mengintegrasikannya ke engine lain yang mereka gunakan. Sebagai proyek yang terlahir dari lab Amazon, O3DE tentu menawarkan integrasi yang mudah ke infrastruktur cloud milik Amazon Web Services (AWS), dan ini semestinya bisa menjadi daya tarik tersendiri buat sejumlah developer.

O3DE saat ini sudah tersedia dalam bentuk developer preview. Versi finalnya ditargetkan bakal tersedia mendekati akhir tahun 2021. Selain untuk mengembangkan game PC, macOS, Linux, iOS, maupun Android; O3DE ke depannya juga dapat digunakan untuk menggarap game Xbox, PlayStation, Nintendo Switch, Oculus, dan bahkan AR headset Magic Leap.

Sumber: VentureBeat.

Microsoft Tengah Kembangkan Perangkat TV Stick untuk Cloud Gaming

Tren cloud gaming yang semakin populer belakangan ini menunjukkan bahwa agar bisa bermain video game, kita sebenarnya hanya membutuhkan sebuah layar, sebuah controller, dan koneksi internet yang cepat sekaligus stabil. Sejauh ini, layarnya bisa berupa smartphone atau laptop, tapi ke depannya, TV pun juga bakal termasuk.

Inilah yang tengah diupayakan oleh Microsoft. Lewat sebuah blog post, Microsoft menjabarkan rencana-rencana ke depan mereka untuk menyempurnakan ekosistem Xbox. Salah satu agendanya adalah bermitra dengan sejumlah produsen TV untuk mengintegrasikan “Xbox experience” langsung ke perangkat smart TV, sehingga sesi gaming bisa langsung dinikmati di TV tanpa bantuan hardware tambahan terkecuali sebuah controller.

Yang mereka maksud “Xbox experience” sudah pasti adalah fasilitas cloud gaming yang ditawarkan pada layanan berlangganan Xbox Game Pass Ultimate. Alternatifnya, tim Xbox juga sedang sibuk mengembangkan sebuah perangkat streaming yang bisa disambungkan ke TV atau monitor apapun untuk cloud gaming.

Microsoft memang belum menyingkap detail apapun mengenai perangkat tersebut, tapi kita semestinya sudah bisa membayangkan bahwa perangkat yang dimaksud bakal berfungsi layaknya sebuah Android TV stick. Entah TV-nya bisa terhubung ke internet atau tidak, cukup tancapkan perangkat streaming Xbox tersebut beserta sebuah controller, maka deretan game yang terdapat pada katalog Xbox Game Pass pun dapat langsung dimainkan di TV.

Dibandingkan layanan pesaing seperti Google Stadia atau Nvidia GeForce Now, kekuatan utama Xbox Game Pass Ultimate memang terletak pada katalog game-nya, yang dapat dinikmati secara menyeluruh tanpa memerlukan biaya tambahan. Xbox Game Pass Ultimate pada dasarnya adalah yang paling mendekati sebutan “Netflix-nya industri game“, dan itu mungkin bakal sulit terwujud seandainya Microsoft tidak agresif mengakuisisi studio game demi studio game.

Fokus Microsoft ke cloud gaming dan Xbox Game Pass ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan mengingat mereka selama ini memang tidak pernah berniat mengambil untung dari penjualan console Xbox. Sebaliknya, laba yang didapat justru berasal dari penjualan video game dan tarif subscription yang dibayarkan oleh jutaan pelanggannya.

Via: Engadget.

Nvidia Luncurkan Plugin DLSS untuk Unreal Engine

Diluncurkannya Radeon RX 6000 Series pada akhirnya menghadirkan kapabilitas ray-tracing ke kubu merah (AMD). Sebelum ini, jika gamer ingin menikmati efek ray-tracing yang begitu memukau, mereka tidak punya pilihan lain selain memercayakan kartu grafis dari kubu hijau (Nvidia).

Kendati demikian, AMD masih punya banyak pekerjaan rumah untuk mengejar ketertinggalannya dari Nvidia. Salah satunya adalah DLSS. Seperti yang kita tahu, AMD hingga kini masih belum punya alternatif terhadap teknologi Deep Learning Super Sampling tersebut. Di saat yang sama, Nvidia justru semakin gencar mempromosikan DLSS dan memastikan ketersediannya di lebih banyak game.

Baru-baru ini, mereka merilis plugin DLSS ke Unreal Marketplace, yang berarti semua developer yang menggunakan Unreal Engine 4 kini bisa mengintegrasikan DLSS dengan mudah ke dalam game garapannya. Ini berarti ke depannya kita bakal melihat semakin banyak lagi game yang mendukung fitur DLSS.

DLSS sendiri ada dua versi. Pada versi pertamanya, implementasinya tergolong sulit, sehingga pada akhirnya jumlah game yang mengintegrasikannya hanya ada delapan judul saja. Pada DLSS 2.0, selain kinerjanya memang semakin baik, implementasinya pun juga jauh lebih mudah.

Nvidia DLSS 2.0

Sejauh ini tercatat sudah ada 35 judul game yang mendukung fitur DLSS 2.0, dan jumlahnya pasti akan terus bertambah dengan hadirnya plugin untuk Unreal Engine tadi, sebab implementasinya pasti bakal jadi lebih simpel lagi.

DLSS sepintas mungkin terdengar kurang wah kalau dibandingkan dengan ray-tracing, tapi pada praktiknya fitur ini luar biasa bermanfaat. Dalam beberapa game, DLSS bahkan mampu meningkatkan framerate hingga dua kali lipat, tapi di saat yang sama penurunan kualitas visualnya nyaris tidak kentara (terkadang malah bisa lebih bagus).

Di game yang super-berat seperti Cyberpunk 2077 atau Watch Dogs Legion misalnya, DLSS sering kali menjadi ‘penyelamat’ agar permainan bisa berjalan stabil di 60 fps dengan efek ray-tracing dalam posisi aktif. Tanpa DLSS, tidak jarang kita harus mematikan ray-tracing agar bisa mencapai 60 fps (kecuali untuk yang menggunakan GPU kelas sultan seperti RTX 3090).

Sekadar mengingatkan, DLSS bekerja dengan me-render grafik dalam resolusi yang lebih rendah (alasan mengapa framerate bisa naik), sebelum akhirnya meng-upscale ke resolusi yang ditetapkan. Jadi kalau Anda menjalankan game di resolusi 4K dengan DLSS aktif, sebenarnya game tersebut di-render pada resolusi yang lebih rendah, namun tetap kelihatan setajam 4K berkat kepandaian AI-nya dalam hal upscaling.

Sumber: PC Gamer.

Epic Games Umumkan MetaHuman Creator, Tool Praktis untuk Ciptakan Karakter 3D yang Amat Realistis

Menciptakan karakter manusia 3D yang realistis bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terkadang, prosesnya bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu hanya untuk satu karakter, dan itu pun sudah dikerjakan oleh seorang seniman 3D yang cukup senior.

Namun kalau menurut Epic Games, ke depannya tidak harus serumit itu. Mereka baru saja memperkenalkan sebuah platform kreasi konten baru bernama MetaHuman Creator. Premisnya cukup sederhana: dengan hanya bermodalkan sebuah browser di komputer, kita sudah bisa menciptakan karakter 3D yang sangat realistis dalam hitungan menit.

Tanpa harus terkejut, MetaHuman Creator menggunakan Unreal Engine sebagai fondasi utamanya, tidak ketinggalan juga teknologi-teknologi animasi wajah rancangan 3Lateral dan Cubic Motion, dua perusahaan ahli yang sudah menjadi bagian dari keluarga besar Epic Games.

Kalau Anda pernah memainkan game RPG yang menawarkan fitur kustomisasi karakter, Anda semestinya bakal bisa mengoperasikan tool MetaHuman Creator ini. Pasalnya, prosesnya benar-benar mirip dan intuitif. Anda tinggal memilih bentuk wajah yang diinginkan, gaya rambutnya, tekstur kulitnya, sampai proporsi tubuhnya, dan preview sang manusia digital pun akan ditampilkan secara real-time.

MetaHuman Creator

Setelah puas dengan hasilnya, kita dapat mengunduh aset-asetnya melalui software Quixel Bridge. Selanjutnya, aset 3D tersebut bisa langsung digarap animasinya, termasuk dengan menggunakan metode motion capture berbasis iPhone. Lebih istimewa lagi, animasi yang telah selesai dibuat rupanya juga dapat diterapkan ke karakter lain yang turut diciptakan menggunakan MetaHuman Creator.

Tentu saja ini merupakan kabar baik bagi para game developer yang memang menggunakan platform Unreal Engine. Buat mereka, kehadiran tool seperti MetaHuman Creator tidak hanya dapat membantu mempersingkat waktu saja, tapi juga mungkin menghemat pengeluaran. Guna menarik perhatian para developer, Epic pun telah merilis sampel karakter manusia 3D yang bebas mereka modifikasi lebih jauh menggunakan Unreal Engine.

Selain di industri game, MetaHuman Creator tentu juga punya potensi besar di industri film, atau bahkan untuk kebutuhan yang lebih spesifik lagi, seperti VTuber misalnya. Belum diketahui kapan pastinya MetaHuman Creator bakal tersedia untuk publik, namun Epic Games sudah menargetkan jadwal perilisan di tahun ini juga. Epic juga berencana untuk membuka program early access dalam beberapa bulan ke depan.

Sumber: Epic Games.

Plex Arcade Adalah Layanan Streaming Khusus Game Retro

Berawal dari sebatas aplikasi media streamer untuk keperluan hiburan di rumah, Plex telah berkembang menjadi platform digital dengan banyak produk. Setelah meluncurkan layanan streaming film gratis di akhir 2019 lalu, yang terbaru mereka baru saja layanan streaming game bernama Plex Arcade.

Namun jangan bayangkan layanannya ini bakal seperti Google Stadia atau Microsoft xCloud. Yang ditawarkan justru sangatlah niche, yakni koleksi game retro, persisnya game yang dirilis untuk console Atari 2600 puluhan tahun silam.

Sejauh ini total ada sekitar 30 game yang lisensinya didapat langsung dari Atari, termasuk judul-judul legendaris seperti Adventure, Asteroids, maupun Centipede. Selain game Atari 2600, ada juga game Atari 7800 seperti Missile Command dan Ninja Golf. Daftar lengkapnya bisa Anda lihat sendiri di situs Plex, tapi kalau semua itu terdengar asing di telinga Anda, kemungkinan besar Anda memang masih terlalu muda atau bahkan belum lahir di masa kejayaan Atari dulu.

Plex Arcade

Ketimbang menggarap teknologi streaming-nya sendiri, Plex lebih memilih menggunakan platform yang sudah matang, yakni Parsec. Sayangnya Parsec sendiri memiliki satu kelemahan: sebelum bisa memainkan koleksi game-nya di TV atau perangkat mobile, Anda harus lebih dulu menyiapkan server Plex Arcade di perangkat yang menjalankan sistem operasi Windows atau macOS.

Tentu saja ini bukan solusi yang ideal bagi pengguna yang selama ini meng-install Plex Media Server-nya di perangkat NAS, tapi sekali lagi ini bukan salah Plex, melainkan limitasi Parsec itu sendiri. Kalau urusan server-nya sudah beres, Anda tinggal bermain menggunakan controller USB atau Bluetooth, atau dengan memanfaatkan on-screen control jika memakai smartphone atau tablet.

Plex Arcade

Kabar buruknya, Plex Arcade bukan layanan gratisan (meski ada free trial selama 7 hari). Plex mematok tarif berlangganan sebesar $5 per bulan, atau $3 per bulan jika Anda sudah berlangganan Plex Pass sebelumnya. Menariknya, Plex secara terang-terangan menyebutkan bahwa layanan ini bersifat eksperimental, dan mereka akan melihat respon konsumen ke depannya sebelum memutuskan apakah layanan ini bakal dilanjutkan atau tidak.

Plex sendiri sudah sejak lama rajin bereksperimen dengan fitur atau produk baru, dan mereka tidak segan memensiunkan proyek yang memang terbukti tidak solutif. Contohnya adalah layanan Plex Cloud, yang ditutup di tahun 2018 setelah beroperasi selama sekitar dua tahun.

Sumber: TechCrunch dan Plex.

Opera Akuisisi Pengembang Engine GameMaker dan Dirikan Divisi Opera Gaming

Pada pertengahan tahun 2019 lalu, Opera meluncurkan sebuah browser unik bernama Opera GX yang didedikasikan untuk para gamer. Per bulan Desember 2020 kemarin, Opera GX tercatat memiliki sekitar 7 juta pengguna aktif bulanan, naik 350% dibanding setahun sebelumnya.

Namun siapa yang menyangka kalau eksperimen ini pada akhirnya memicu ketertarikan ekstra terhadap industri gaming bagi Opera. Di tahun 2021 ini, Opera rupanya sudah siap untuk menceburkan kakinya lebih dalam lagi ke sektor gaming, dan langkah tersebut mereka awali dengan mengakuisisi YoYo Games, perusahaan asal Skotlandia yang dikenal sebagai developer dari GameMaker Studio 2.

GameMaker merupakan game engine 2D yang cukup populer di kalangan developer indie. Software ini sudah eksis selama lebih dari dua dekade, dan telah membantu melahirkan sejumlah game indie legendaris macam Spelunky maupun Hotline Miami. GameMaker juga banyak dipakai oleh orang-orang yang tertarik menciptakan video game, tapi tidak punya waktu untuk mendalami dunia programming secara intensif.

Permainan yang digarap menggunakan GameMaker bisa dijalankan di banyak platform, termasuk halnya di browser. Kendati demikian, Opera tidak punya niatan untuk menciptakan game eksklusif buat Opera GX. Tujuan yang hendak dicapai adalah menciptakan komunitas di kalangan pengguna Opera GX, sekaligus menawarkan software GameMaker Pro 2 ke kalangan developer.

Spelunky, salah satu game indie populer yang dikerjakan menggunakan GameMaker / Steam
Spelunky, salah satu game indie populer yang dikerjakan menggunakan GameMaker / Steam

Pada kenyataannya, akuisisi senilai $10 juta atas YoYo Games ini menjadi basis atas dibentuknya divisi baru Opera Gaming, yang akan berfokus mengembangkan kapabilitas sekaligus peluang monetisasi Opera di ranah gaming. Singkat cerita, Opera melihat peluang yang menjanjikan di sektor gaming, dan mereka tidak segan menginvestasikan sumber daya yang lebih banyak lagi di sini.

Sejauh ini Opera memang belum menyingkap rencana konkretnya mengenai Opera Gaming. Menyinergikan Opera GX dan GameMaker semestinya menjadi salah satu agenda mereka, tapi spesifiknya seperti apa masih belum diketahui. Apakah nantinya Opera GX bakal dilengkapi akses cepat ke forum GameMaker, sehingga para developer bisa saling berbagi insight dengan mudah?

Semuanya memang masih sebatas spekulasi, tapi pastinya akan sangat menarik melihat upaya Opera mendiversifikasi bisnisnya ke ranah gaming.

Sumber: VentureBeat dan PR Newswire.

Microsoft Flight Simulator Dapat Dimainkan Menggunakan VR Headset dalam Waktu Dekat

Dengan game serealistis Microsoft Flight Simulator, memainkannya menggunakan mouse dan keyboard mungkin bakal terasa aneh dan kurang nyaman. Idealnya, permainan simulasi penerbangan seperti ini harus dinikmati dengan menggunakan periferal khusus supaya pengalaman yang didapat secara keseluruhan bisa terasa lebih immersive.

Bicara soal faktor immersive, tentu saja kita otomatis bakal teringat dengan virtual reality (VR). Pertanyaannya, apakah Microsoft Flight Simulator juga dapat dimainkan dalam medium VR? Bisa, per 22 Desember nanti. Berdasarkan keterangan langsung dari pengembangnya, Asobo Studio, dukungan VR untuk Microsoft Flight Simulator bakal hadir secara resmi menjelang hari Natal nanti usai menjalani fase beta sejak Oktober.

Menariknya, Asobo tidak mau pilih-pilih soal platform VR-nya. Sebelum ini Asobo sempat bilang bahwa dukungan VR hanya akan tersedia untuk headset HP Reverb G2, namun sekarang mereka memastikan bahwa keluarga headset Oculus dan HTC Vive pun juga akan kebagian jatah yang sama.

Asobo juga tidak akan menarik biaya tambahan. Dukungan VR ini bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh semua pemain Microsoft Flight Simulator. Sebuah kabar yang menggembirakan mengingat dukungan VR sudah menjadi salah satu request terbanyak yang dilontarkan para pemain semenjak game ini dirilis pada bulan Agustus lalu.

Microsoft Flight Simulator

Asobo menjanjikan pengalaman VR yang seamless buat seluruh pemain. Seamless dalam artian tampilan menu sebelum lepas landas pun juga dapat dinavigasikan melalui VR. Dengan kata lain, usai mengklik icon Microsoft Flight Simulator di tampilan desktop, pemain sama sekali tidak perlu melepaskan VR headset-nya.

Dukungan VR ini akan hadir sebagai bagian dari Sim Update 2 untuk Microsoft Flight Simulator. Setelahnya, Asobo bakal merilis World Update 3 pada tanggal 28 Januari 2021 yang membawa segudang update terhadap lokasi-lokasi di dataran Inggris Raya.

Lebih jauh lagi, Asobo juga telah merencanakan sejumlah fitur baru yang akan hadir pada Microsoft Flight Simulator, seperti misalnya fitur replay. Buat yang lebih nyaman menggunakan setup multi-monitor ketimbang VR, Asobo bilang dukungannya akan hadir suatu waktu dalam dua tahun ke depan. Memasuki 2022, Microsoft Flight Simulator kabarnya juga bakal kedatangan jenis kendaraan baru, yakni helikopter.

Sumber: PC Gamer dan Polygon.