Category Archives: Internet

Informasi menarik dan bermanfaat dari dunia internet

Netflix Uji Kids Clips, Format Video Pendek untuk Bantu Anak-Anak Temukan Konten Baru

Netflix sedang menguji fitur baru bernama Kids Clips. Sesuai namanya, fitur ini dirancang untuk menyuguhkan video-video pendek dari koleksi konten anak-anak milik Netflix, dengan harapan supaya anak-anak bisa lebih mudah menemukan konten baru yang menarik untuk ditonton.

Pada layanan yang memiliki koleksi konten begitu masif seperti Netflix, aspek discovery memang kerap menjadi problem. Tidak jarang, pengguna malah menghabiskan lebih banyak waktu memilih ketimbang menonton filmnya, dan sering kali algoritma rekomendasinya pun tidak mampu menolong.

Kenapa harus video pendek? Kemungkinan Netflix banyak belajar dari TikTok, yang bisa dibilang sangat sukses dalam hal discovery. Menurut Netflix, format video pendek bisa membantu konsumen mengeksplorasi katalog kontennya secara “menyenangkan, cepat, dan intuitif”.

Ini bukan pertama kalinya Netflix bereksperimen dengan format video pendek. Maret lalu, Netflix memperkenalkan fitur bernama Fast Laughs; ibaratnya TikTok tapi yang isinya potongan-potongan video dari koleksi konten komedi milik Netflix, dan yang bisa ditambahkan ke watch list dengan mudah ketimbang dibubuhi komentar. Fast Laughs bahkan juga ditampilkan dalam format vertikal seperti TikTok.

Kids Clips sejatinya juga didasarkan pada premis yang serupa, akan tetapi eksekusinya sedikit berbeda. Ketimbang menggunakan format vertikal, konten Kids Clips tetap disajikan dalam format horizontal. Netflix pun juga membatasi supaya anak-anak hanya bisa menonton sebanyak 10 sampai 20 klip dalam sekali duduk (ditandai dengan angka pada ujung kanan atas layar).

Berhubung masih diuji, Kids Clips baru tersedia di beberapa negara yang menggunakan Inggris, Spanyol, dan Portugis sebagai bahasa utamanya. Sejauh ini belum ada informasi kapan Kids Clips bakal merambah negara-negara lain, dan fitur ini pun untuk sementara hanya bisa diakses melalui aplikasi Netflix di perangkat iOS saja.

Sumber: Bloomberg dan TechCrunch.

Photopea

Aplikasi Edit Foto dan Desain Grafis Photopea Diperbarui Ke Versi 5.2

Photopea adalah aplikasi edit foto dan desain grafis berbasis web yang punya antarmuka dan fitur mirip dengan Adobe Photoshop. Kini Photopea telah merilis pembaruan versi 5.2 yang membawa sejumlah fitur baru seperti dukungan color profile, mode CMYK, filter noise reduction, dan banyak lagi.

Keberadaan Photopea bukan untuk menyaingi atau menggantikan Photoshop, tetapi sebagai alternatif ketika kita tidak mendapatkan akses ke Photoshop. Kelebihan Photopea ialah kemampuannya untuk berjalan pada hampir semua browser di perangkat PC dan tentu saja gratis digunakan.

Pembaruan Photopea ke versi 5.2 membuatnya semakin menarik berkat kemampuan untuk mendeteksi color space di dalam file (PSD, JPG, PNG, dll.), sehingga ia dapat merender gambar dalam color space yang benar. Sang kreator Photopea, programmer Ivan Kutskir dari Republik Ceko, menjelaskan bahwa color space dipertahankan selama pengeditan dan disimpan dalam gambar.

Selain itu, Photopea sekarang mendukung mode warna CMYK yang akan menunjukkan bagaimana gambar akan terlihat saat dicetak dengan printer warna. Mode CMYK ini menampilkan gambar menggunakan color space CMYK SWOP v2, yang mana tidak sepenuhnya akurat, tetapi setidaknya lebih dekat dengan tampilan gambar yang akan dicetak dibandingkan dengan sRGB atau monitor dengan color space tertentu.

Beberapa fitur lain yang disertakan dalam pembaruan Photopea versi 5.2 termasuk dukungan stroke vector shape, text background, stroke setting, filter noise reduction, match color, dan beberapa perbaikan bug.

 

Bagi yang membutuhkan editor foto dan desain grafis dengan fitur dasar yang cukup lengkap, Photopea memang dapat diandalkan dan aplikasi ini juga ringan hanya butuh browser dan koneksi internet. Meski dapat diakses secara gratis, Photopea menyediakan versi premium yang akan menghapus iklan, menggandakan history cache, dan mendukung pengembangnya dengan harga US$3.33 per bulan atau US$40 untuk satu tahun.

Sumber: DPreview

Opensignal: Pengguna di Indonesia Nikmati Koneksi Internet yang Lebih Cepat via 4G Ketimbang Wi-FI

Januari 2021 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia berhasil menembus angka 200 juta orang berdasarkan hasil riset Hootsuite dan We Are Social. Berhubung Indonesia merupakan pasar yang mobile-first, 195,3 juta (96,4%) dari total pengguna tadi mengakses internet via ponsel, baik menggunakan jaringan seluler maupun jaringan Wi-Fi.

Secara umum, pengguna akan lebih memilih Wi-Fi karena sejumlah alasan. Yang paling utama biasanya adalah untuk menghemat kuota data, namun tidak jarang juga yang beralasan Wi-Fi menawarkan kecepatan download yang lebih tinggi daripada 4G.

Menariknya, riset terbaru yang dilakukan Opensignal menunjukkan hasil yang berbeda. Dalam skala nasional, rata-rata kecepatan download yang didapat pengguna via jaringan 4G mencapai 15,1 Mbps, atau sekitar 25% lebih tinggi daripada yang didapat menggunakan jaringan Wi-Fi — sekitar 12 Mbps, baik di jaringan publik maupun pribadi.

Seperti yang bisa dilihat pada grafik di atas, selisihnya malah lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan MiFi atau malah 3G, dan ini pada dasarnya menunjukkan betapa pentingnya ketersediaan jaringan 4G — atau malah 5G sekalian — di area-area yang belum tercakup.

Dalam skala regional, trennya pun tidak jauh berbeda. Di 12 kawasan utama di Indonesia, kecepatan download yang pengguna dapatkan ternyata memang lebih tinggi memakai 4G ketimbang Wi-Fi. Meski begitu, selisih kecepatannya berbeda-beda di tiap daerah.

Di Papua Barat misalnya, kecepatan download via 4G tercatat 58% lebih kencang daripada via Wi-Fi (14,6 Mbps dibanding 9,2 Mbps). Namun di kawasan seperti Jakarta, selisihnya tercatat cuma 4% saja (18,1 Mbps dibanding 17,5 Mbps). Tanpa perlu terkejut, di antara 12 kawasan tadi, kecepatan download yang pengguna dapatkan di Jakarta ini memang adalah yang tertinggi, baik untuk jaringan 4G maupun Wi-Fi.

Satu hal yang pasti, Opensignal menyimpulkan bahwa pengguna internet di Indonesia sekarang dapat menikmati koneksi internet yang lebih cepat ketimbang tiga tahun lalu. Dibandingkan hasil analisis serupa yang mereka lakukan di tahun 2018, kecepatan download rata-rata menggunakan Wi-Fi kini lebih kencang 50%, sementara kecepatan download menggunakan 4G malah sekitar 65% lebih tinggi.

Sumber: Opensignal. Gambar header: Mika Baumeister via Unsplash.

Layanan Subscription Apple Fitness+ Hadir di Indonesia Mulai 4 November 2021

Kabar baik bagi pengguna Apple Watch yang gemar berolahraga, layanan subscription Apple Fitness+ bakal segera hadir di tanah air secara resmi pada tanggal 4 November 2021. Sebelumnya cuma tersedia di 6 negara saja, Fitness+ kini telah berekspansi ke total 21 negara.

Sekadar mengingatkan, Fitness+ merupakan sebuah layanan berlangganan yang menawarkan beragam panduan latihan fisik sekaligus meditasi. Layanan ini sepenuhnya terintegrasi ke Apple Watch, sehingga pelanggan bisa menerima rekomendasi berdasarkan metrik dan preferensi yang direkam oleh Apple Watch-nya masing-masing.

Apple mengklaim program-program dalam Fitness+ dapat diikuti oleh konsumen dari semua kalangan, dari yang baru memulai sampai yang sudah masuk kategori fitness enthusiast. Tiap sesinya bisa diikuti via iPhone, iPad, atau Apple TV, dan akan dipandu oleh instruktur profesional dengan variasi durasi antara 5-45 menit (dapat ditentukan sendiri).

Pelanggan bisa memilih program dari kategori-kategori seperti High-Intensity Interval Training (HIIT), Strength, Yoga, Dance, Core, Cycling, Pilates, Meditation, Treadmill, Rowing, dan Mindful Cooldown. Beberapa program yang lebih spesifik, macam Workouts for Pregnancy, Workouts for Older Adults, Workouts for Beginners, maupun Meditations for Beginners, juga tersedia.

Fitness+ juga sepenuhnya terintegrasi dengan Apple Music, dan Anda tak harus jadi pelanggan layanan streaming musik tersebut untuk bisa menikmati integrasinya. Jadi tiap kali hendak memulai sesi latihan atau meditasi, pelanggan Fitness+ bisa memilih tipe musik yang bakal mengiringi. Buat pelanggan Apple Music, bedanya cuma mereka bisa menyimpan lagu-lagu yang diputar ke playlist pribadi mereka.

Fitness+ juga kompatibel dengan fitur SharePlay di iOS 15.1. Pelanggan bisa mengajak hingga 32 orang (yang juga merupakan pelanggan Fitness+) untuk mengikuti sesi latihan atau meditasi bersama yang tersinkronisasi via FaceTime. Kabar baiknya, Fitness+ mendukung fitur family sharing hingga enam anggota keluarga.

Apple Fitness+ menawarkan subtitle dari berbagai bahasa, tapi sejauh ini bahasa Indonesia masih belum termasuk / Apple

Perlu dicatat, Fitness+ memerlukan minimal Apple Watch Series 3 dengan sistem operasi watchOS 7.2 yang terhubung ke iPhone 6s atau yang lebih baru.

Untuk tarif berlangganannya, Fitness+ di Indonesia dihargai Rp69.000 per bulan, atau Rp399.000 per tahun. Alternatifnya, Fitness+ juga bisa didapatkan dengan berlangganan Apple One Premier (yang mencakup Apple Music, Apple TV+, Apple Arcade, dan iCloud+) seharga Rp275.000 per bulan. Apple One Premier ini pun juga bisa digunakan bersama di antara enam anggota keluarga.

Sumber: Apple.

Spotify Buka Akses Video Podcast ke Lebih Banyak Kreator

Video podcast bukanlah hal baru buat Spotify, dan jenis konten tersebut sebenarnya sudah eksis di platform streaming audio terbesar itu sejak tahun lalu. Kendati demikian, yang bisa mengunggah konten video podcast selama ini hanyalah para kreator terpilih saja.

Kabar baiknya, dalam waktu dekat ini Spotify bakal membuka aksesnya ke lebih banyak kreator melalui platform publikasi podcast-nya, Anchor. Prosesnya akan berlangsung secara bertahap, dan untuk sekarang Spotify lebih mengutamakan podcaster yang menawarkan konten video hanya sebagai pelengkap ketimbang sajian utama.

Kalau dalam kamus Spotify sendiri, konten videonya harus yang “easily backgroundable”. Artinya, kapanpun konsumen ingin berhenti menonton videonya, mereka bisa langsung melakukannya selagi masih mendengarkan audionya.

Ini krusial karena kalau berdasarkan hasil pengamatan Spotify selama ini, banyak pengguna yang menginginkan opsi untuk berganti antara audio saja atau video; tergantung di mana mereka berada, apa yang sedang mereka lakukan, dan konten apa yang sedang mereka nikmati. Selagi berada di dalam mobil misalnya, tentu akan lebih ideal jika podcast-nya dinikmati dalam bentuk audio saja.

Secara default, konten video di Spotify bakal aktif pada podcast yang menyediakannya. Namun pengguna juga dapat mengaktifkan opsi di menu data saver supaya yang dijalankan secara default hanyalah audionya saja.

Selagi podcast diputar, videonya bisa ditutup dan dibuka kapan saja pengguna mau. Sejauh yang saya coba, ini berlaku baik di aplikasi mobile maupun desktop Spotify. Di ponsel, kalau aplikasinya kita tutup, maka video juga otomatis akan berhenti di-stream, tapi audionya tetap akan berjalan seperti biasa.

Videonya tentu bisa ditampilkan secara full-screen jika perlu. Spotify turut menyediakan subtitle yang di-generate secara otomatis, mirip seperti yang biasa kita dapati di YouTube.

Selain membuat podcast jadi makin interaktif, video juga bisa dijadikan salah satu opsi monetisasi bagi para kreator. Jadi seandainya kreator mau, mereka bisa saja menjadikan video podcast sebagai konten eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh para subscriber-nya. Seperti yang kita tahu, Spotify memang sudah menyiapkan program subscription dengan sistem bagi hasil yang sangat menarik bagi para kreator.

Sumber: Spotify.

Layanan Subscription Scroll Bakal Berhenti Beroperasi dan Sepenuhnya Menjadi Bagian dari Twitter Blue

Scroll, layanan subscription untuk membaca artikel tanpa iklan, bakal berhenti beroperasi dalam waktu sekitar 30 hari sejak artikel ini ditayangkan. Buat yang tidak tahu, Scroll sudah diakuisisi oleh Twitter sejak Mei lalu, dan pasca penutupannya ini, Scroll akan menjadi bagian dari layanan subscription Twitter Blue.

Sejak pengumuman akuisisinya, Scroll memang sudah berhenti menerima pelanggan baru sembari timnya sibuk mengintegrasikan layanannya ke Twitter. Sebagai informasi, pelanggan Scroll selama ini membayar tarif $5 per bulan untuk membaca artikel dari berbagai media seperti The Verge, BuzzFeed News, The Atlantic, dan lain sebagainya, tanpa diganggu oleh iklan.

Menurut The Verge, dari $5 itu, $1,5 masuk ke kantong Scroll, sementara $3,5 sisanya dibagi ke media-media berdasarkan seberapa banyak artikelnya masing-masing dibaca oleh pelanggan Scroll (gambar atas). Pelanggan diuntungkan berkat pengalaman membaca yang nyaman, dan media pun tetap punya pemasukan meski sederet iklannya dipangkas.

Mekanisme yang diterapkan Scroll tersebut nantinya bakal dipindah ke Twitter. Jadi selain Undo Tweet, Bookmark Folders, dan Reader Mode, para pelanggan Twitter Blue nantinya juga bisa menikmati fasilitas baru bernama “Ad-Free Articles”.

Sejauh ini belum ada kepastian kapan fitur tersebut bakal tersedia di Twitter Blue. Twitter juga tidak bilang apakah tarif berlangganan Twitter Blue bakal dinaikkan seandainya fitur tersebut sudah tersedia. Sekadar mengingatkan, Twitter Blue — yang saat ini baru tersedia di Kanada dan Australia — memasang tarif 3,49 CAD atau 4,49 AUD per bulan, dan rumornya, mereka bakal memasang tarif $2,99 per bulan di Amerika Serikat.

Juga perlu dicatat adalah, Ad-Free Articles berbeda dari Reader Mode yang sudah ada. Sederhananya, Reader Mode berfungsi untuk merapikan tampilan utas (thread), sementara Ad-Free Articles berfungsi untuk merapikan tampilan artikel yang dipublikasikan oleh beragam situs.

Saya pribadi berharap Twitter bisa menjalin kerja sama dengan banyak media lokal, sehingga artikel-artikel yang bisa dibaca secara nyaman (tanpa ditutupi iklan di sana-sini) nantinya bukan cuma yang berbahasa Inggris saja. Semoga saja saat Twitter Blue sudah tersedia di sini, fitur Ad-Free Articles-nya sudah berlaku untuk beberapa media dalam negeri.

Sumber: TechCrunch.

Akhir 2021, Google Bakal Aktifkan 2-Step Verification pada 150 Juta Akun Secara Otomatis

Mei lalu, Google mengumumkan rencananya untuk mengaktifkan two-step verification (2SV) secara default, sebuah fitur yang sudah mereka hadirkan dan promosikan sejak lama demi membantu meningkatkan keamanan akun masing-masing penggunanya.

2SV selama ini bersifat opsional, namun Google secara perlahan ingin menjadikannya sebagai fitur wajib. Menjelang akhir tahun nanti, Google berniat untuk mengaktifkan fitur 2SV pada 150 juta akun pengguna. Menurutnya, proteksi terkuat bisa didapat dengan menandemkan “sesuatu yang kita tahu” (seperti kata sandi) dan “sesuatu yang kita punya” (macam ponsel atau security key).

Lebih lanjut, mulai 1 November 2021, Google juga akan mewajibkan aktivasi 2SV bagi 2 juta kreator yang tergabung dalam YouTube Partner Program. Kalau 2SV belum diaktifkan, maka mereka tidak bisa mengakses YouTube Studio.

Google tidak lupa mengingatkan bahwa mereka juga punya fitur password manager yang terintegrasi ke Chrome. Jadi ketimbang membuat kata sandi yang kelewat simpel agar mudah diingat, kita bisa memanfaatkan fitur ini untuk meracik kata sandi yang kompleks, lalu menyimpannya secara aman.

Password manager bawaan Chrome ini juga tersedia di iOS, dan pengguna dapat memakainya untuk menginput kata sandi yang tersimpan (autofill) di berbagai aplikasi lain. Dalam waktu dekat, pengguna perangkat iOS juga bisa memakai fitur ini untuk meracikkan kata sandi buat berbagai aplikasi, persis seperti cara kerjanya di perangkat Android.

Terakhir, Google turut menyoroti fitur bernama Inactive Account Manager, yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 2013. Fitur ini pada dasarnya berguna untuk menentukan nasib dari akun-akun Google yang sudah tidak kita gunakan lagi.

Anda bebas menentukan berapa lama jeda waktu sebelum akhirnya Google menandai akun Anda nonaktif; apakah 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, atau 18 bulan. Setelahnya, Anda bisa memilih hingga 10 orang untuk dinotifikasi ketika akun Google milik Anda sudah nonaktif, dan kalau perlu, mereka juga dapat diberi akses ke sejumlah data yang tersimpan di akun Anda.

Langkah yang terakhir adalah menentukan apakah akun Google yang nonaktif tersebut perlu dihapus secara permanen atau dibiarkan begitu saja. Penghapusan baru akan berlangsung tiga bulan setelah akun ditandai sebagai nonaktif, jadi kontak yang sudah dipilih tadi masih punya waktu untuk mengunduh konten yang tersimpan.

Sumber: 1, 2, 3. Gambar header: Solen Feyissa via Unsplash.

YouTube Music Bakal Hadirkan Fitur Background Playback untuk Pengguna Gratisan

Di antara sederet layanan streaming musik yang tersedia, YouTube Music mungkin adalah yang paling aneh. Aneh karena ketika pengguna keluar dari aplikasinya dan berpindah ke aplikasi lain, musiknya otomatis akan berhenti. Well, kecuali Anda berlangganan YouTube Premium atau YouTube Music Premium.

Sekadar mengingatkan, background playback memang merupakan salah satu fasilitas yang diunggulkan oleh kedua layanan subscription dari YouTube tersebut. Jadi kalau mau video atau audionya tetap berjalan selama membuka WhatsApp maupun aplikasi lainnya, kita wajib membayar biaya berlangganan terlebih dulu.

Namun tidak selamanya harus seperti itu. Mulai tanggal 3 November 2021, diawali dengan kawasan Kanada terlebih dulu, background playback bakal tersedia buat seluruh pengguna YouTube Music, termasuk yang merupakan para pengguna gratisan. Jadi walaupun tidak membayar, mereka tetap bisa mendengarkan koleksi konten di YouTube Music sembari membuka aplikasi lain, atau selagi layar ponselnya mati.

Kebijakan baru ini otomatis bakal membuat YouTube Music jadi lebih bisa bersaing dengan kompetitor-kompetitornya. Sebagai perbandingan, layanan yang menawarkan paket gratisan seperti Spotify, Deezer, Joox, maupun Resso sudah sejak lama menyediakan background playback kepada seluruh penggunanya tanpa terkecuali. Itulah kenapa saya tadi bilang YouTube Music aneh.

Kapan tepatnya pengguna YouTube Music di negara-negara selain Kanada bisa menikmati fitur background playback masih belum disebutkan. Namun seandainya nanti sudah ada, yang mungkin jadi pertanyaan adalah apakah kita masih perlu berlangganan YouTube Premium atau YouTube Music Premium.

Seperti biasa, jawabannya tergantung kebutuhan. Kalau Anda rutin mendengarkan konten podcast di YouTube, atau Anda suka menonton video selagi menyambi melakukan hal lain di smartphone, Anda tentu butuh berlangganan YouTube Premium. Pasalnya, fitur background playback buat pengguna gratisan tadi hanya berlaku untuk konten musik di YouTube Music saja.

Manfaat lain seperti pengalaman bebas iklan, offline download, maupun fungsi untuk berganti dari konten audio reguler ke video klip juga tetap hanya bisa dinikmati oleh para pelanggan berbayar saja. Singkat cerita, paket berlangganan YouTube masih punya daya tarik tersendiri terlepas dari kebijakan baru yang diterapkan tadi.

Sumber: Gizmodo dan Google. Gambar header: Alvaro Reyes via Unsplash.

Jumlah Pelanggan YouTube Premium dan YouTube Music Premium Tembus 50 Juta Orang

YouTube mengumumkan pencapaian terbaru terkait dua layanan subscription-nya, YouTube Premium dan YouTube Music Premium. Dikatakan bahwa jumlah pelanggan kedua layanan tersebut telah menembus angka 50 juta orang. Pertumbuhannya tergolong cukup pesat, sebab pada bulan Desember 2020, Google sempat melaporkan bahwa kedua layanan tersebut sudah memiliki 30 juta pelanggan.

Berhubung YouTube tidak menjabarkan datanya, kita tidak bisa mengetahui berapa banyak yang berlangganan YouTube Premium, dan berapa banyak yang cuma berlangganan YouTube Music Premium. Sebagai informasi, keduanya memang ditawarkan sebagai dua layanan yang terpisah.

Di Indonesia, YouTube Premium dihargai Rp59.000 per bulan, sementara YouTube Music Premium dihargai Rp49.000 per bulan. Bagi yang berlangganan YouTube Premium, mereka otomatis juga mendapatkan akses ke YouTube Music Premium. Jadi tidak peduli Anda berlangganan yang mana, secara teknis Anda dapat disebut sebagai pelanggan YouTube Music Premium.

Pelanggan YouTube Premium otomatis juga merupakan pelanggan YouTube Music Premium / YouTube

Dari situ kita pun bisa membandingkan YouTube dengan dua layanan streaming musik terpopuler yang ada saat ini, yakni Spotify dan Apple Music. Per 30 Juni 2021, Spotify tercatat memiliki pelanggan berbayar sebanyak 165 juta orang. Sementara Apple Music diestimasikan memiliki 78 juta pelanggan.

Alhasil, angka 50 juta yang YouTube catatkan mungkin bakal terasa kecil. Meski demikian, hasil riset Midia menunjukkan bahwa YouTube adalah layanan streaming musik dengan pertumbuhan tercepat (60%) di tahun 2020 kemarin. Menurut YouTube sendiri, mereka melihat pertumbuhan yang besar di negara-negara seperti Brasil, India, Jepang, Korea Selatan, dan Rusia.

Peran YouTube di industri musik pun juga besar. Juni lalu, YouTube melaporkan bahwa mereka telah membayar $4 miliar ke industri musik selama 12 bulan terakhir.

Hal lain yang perlu kita catat adalah, angka 50 juta tadi rupanya juga termasuk pelanggan yang masih dalam masa free trial. Seperti yang kita tahu, beberapa perangkat memang dibundel bersama free trial YouTube Premium sebagai salah satu cara untuk memikat konsumen, seperti misalnya tablet Samsung Galaxy Tab S7 FE 5G yang menawarkan free trial YouTube Premium selama empat bulan.

Belum lama ini, YouTube juga mulai menguji layanan baru bernama YouTube Premium Lite yang tarifnya bahkan lebih murah daripada YouTube Music Premium.

Sumber: The Verge dan YouTube. Gambar header: Charles Deluvio via Unsplash.

67% dari Populasi Dunia Punya Ponsel & Harga Rata-rata Global untuk 1GB Data Seluler $4,07

Meski pandemi Covid-19 menyebabkan pasar smartphone mengalami penurunan, namun jumlah pengguna ponsel terus bertambah tanpa tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Menurut data yang dikeluarkan oleh Stock Apps, jumlah orang yang menggunakan ponsel mencapai 5,3 miliar pada bulan Juli 2021 atau sekitar 67% dari populasi dunia.

Laporan Hootsuite dan We Are Social Digital 2021 menunjukkan lebih dari 117 juta orang mulai menggunakan ponsel pada tahun lalu, dengan jumlah total pengguna meningkat 2,3% pada periode ini. Eropa sejauh ini memiliki jumlah penduduk tertinggi yang menggunakan ponsel. Tahun lalu, 86% orang Eropa memiliki ponsel, namun untuk 2025 tingkat penetrasi di pasar Eropa diperkirakan hanya akan meningkat menjadi 87%.

 

Amerika Utara berada di peringkat kedua, di mana sekitar 85% warganya menggunakan ponsel. Kemudian gabungan China, Hong Kong, Makau, dan Taiwan, sekitar 83% populasi penduduknya memiliki ponsel. Pasar dengan pangsa kepemilikan ponsel terkecil adalah Afrika sub-Sahara, di mana kurang dari setengah penduduknya memiliki ponsel.

Data Hootsuite mengkonfirmasi mayoritas orang menggunakan smartphone untuk mengakses jaringan seluler dan internet seluler. Pada Juli, smartphone menyumbang 6,4 miliar atau 79% dari semua koneksi seluler secara global. Di sisi lain, router, tablet, PC portabel hanya memiliki pangsa pasar 3,8% dengan 310 juta perangkat.

Pertumbuhan jumlah pengguna smartphone yang mengesankan dan pandemi menyebabkan lonjakan lalu lintas data seluler. Pada kuartal pertama 2021, lalu lintas data seluler global rata-rata bulanan, termasuk unggahan dan unduhan, berjumlah sekitar 66 exabytes atau miliaran gigabyte (66 juta terabyte), meningkat sebesar 68% dari tahun ke tahun. Perangkat berbasis sistem operasi Android menyumbang 73% dari total lalu lintas data, sedangkan perangkat iOS menyumbang 26,3%.

Survei tersebut juga mengungkapkan perbedaan yang signifikan dalam biaya data seluler per negara. Rata-rata global untuk 1 GB data seluler adalah $4,07. Namun orang Yunani membayar lebih mahal, dua kali lipat dari rata-rata atau $8,16. Sementara, di UEA dan Selandia Baru tidak jauh lebih baik dengan masing-masing $7,62 dan $6,99 per GB. Pengguna smartphone di AS dan Inggris rata-rata membayar $3,33 dan $1,42. Israel sejauh ini memiliki data termurah dengan biaya 1 GB hanya $0,05, diikuti oleh Italia $0,27 dan Rusia $0,29.

Sumber: GSMArena, Stock Apps