Blibli melalui anak perusahaannya, PT Global Teknologi Niaga (GTN), mengumumkan kerja samanya dengan Samsung Electronics Indonesia (SEIN) untuk menghadirkan Samsung Exclusive Brand Shop secara serentak di 30 titik, yang terdiri dari 12 Samsung Experience Store dan 18 Samsung Excellent Partner yang tersebar di beberapa kota di Indonesia, dari Jakarta hingga Makassar.
Berlokasi di Cilandak Town Square, acara peluncurannya diresmikan pada tanggal 3 November 2021 kemarin dan dihadiri oleh para petinggi Blibli, GTN, sekaligus SEIN. Konsumen saat ini sudah bisa mengunjungi deretan Samsung Experience Store tersebut dan menikmati pengalaman baru dalam mendapatkan smartphone dan perangkat terbaru Samsung, sekaligus menikmati penawaran khusus berupa cashback hingga 3 juta rupiah untuk pembelian Galaxy Note20 Series dan Galaxy S21 Series selama periode 3-10 November 2021.
“Kami optimis bahwa kolaborasi ini akan memberikan nilai tambah bagi pelanggan sebagai hasil dari kombinasi antara produk dan layanan berkualitas dari Samsung dengan platform dan ekosistem yang dimiliki oleh GTN,” ucap Wisnu Iskandar selaku CEO GTN dalam sebuah siaran pers. “Kerja sama ini juga sejalan dengan visi Blibli sebagai induk perusahaan GTN yang ingin menghadirkan layanan belanja terbaik melalui strategi omnichannel untuk memberikan pengalaman belanja yang terintegrasi online-to-offline secara utuh bagi pelanggan,” imbuhnya.
Sentimen serupa juga diutarakan oleh Yoon Soo Kim selaku President SEIN: “Melalui kerja sama strategis antara SEIN dengan GTN, kami berharap dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam menjangkau produk teknologi Samsung di Samsung Experience Store guna meningkatkan pengalaman belanja konsumen yang lebih seamless melalui jaringan offline store yang luas dan tersebar di seluruh Indonesia, dari Jakarta hingga Makassar.”
Berbekal platform dan ekosistem GTN yang didukung oleh Blibli, Samsung Exclusive Brand Shop ingin memberikan pengalaman baru kepada konsumen, seperti misalnya layanan Click & Collect yang memungkinkan konsumen untuk langsung mengambil produk di Samsung Experience Store (SES), yang sebelumnya telah dibeli secara online. Konsumen pun bisa mendapatkan nilai tambah lainnya berkat ketersediaan pilihan pembayaran yang lengkap — termasuk cicilan — hingga layanan tukar tambah dan asuransi.
Ke depannya, GTN memastikan akan terus meningkatkan pengalaman pelanggan demi menciptakan kepuasan lebih di tiap kunjungannya ke SES. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat integrasi platform dan ekosistem GTN dengan kapabilitas yang dimiliki Samsung melalui SES tersebut.
“Akan ada lebih banyak lagi hal besar yang hadir sebagai hasil dari kolaborasi lanjutan antara GTN dengan Samsung. Kami harap, kolaborasi ini akan memberikan pengalaman retail yang lebih baik bagi pelanggan, sekaligus membantu industri untuk makin tumbuh secara berkelanjutan melalui penguatan penggabungan channel online dan offline, termasuk dalam mendorong akselerasi transformasi digital di sektor retail smartphone,” tutup Wisnu.
Kolaborasi Blibli dan Samsung ini menarik karena pada dasarnya bisa membuktikan bahwa channel penjualan online dan offline sebenarnya tidak perlu saling sikut-menyikut. Keduanya bisa berjalan bersama-sama demi memberikan pengalaman yang lebih baik bagi konsumen; pesan secara online, lalu ambil barangnya di toko terdekat tanpa ada risiko-risiko yang mungkin terjadi jika mengandalkan layanan pengiriman.
Tidak terasa sudah sekitar 1,5 tahun kita menjalani tren WFH (work from home). Dalam kondisi kurang ideal seperti ini, tentu saja kita punya banyak keluhan. Dari sekian banyak komplain, dua yang paling populer mungkin adalah rindu suasana kantor dan sering sakit punggung karena terlalu banyak duduk.
Keluhan yang pertama sulit ditangani, sebab bagaimanapun juga, bercengkerama via video call itu tidak akan pernah sama dengan bertemu langsung. Namun untuk keluhan yang kedua, kita bisa meminimalkan dampaknya dengan bantuan kursi yang tepat.
Membeli kursi kerja itu mirip seperti membeli kasur: kalau kita bakal menghabiskan banyak waktu di atasnya, alangkah bijaknya kita memilih yang mampu menopang postur tubuh dengan baik.
Dalam memilih kursi kerja, sebagian dari kita sering kali hanya berfokus pada kenyamanan dudukan, sandaran punggung, dan terkadang sandaran kepala. Padahal, atribut lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah sandaran lumbar alias punggung bawah.
Di artikel ini, saya telah merangkum 10 kursi kerja pilihan untuk WFH. Kriteria utama yang saya tetapkan adalah semua kursi wajib memiliki lumbar support, sebab sebagian besar kursi kerja yang paling basic memang tidak menawarkan fitur ini. Mengacu pada kriteria tersebut, berikut pilihan kursinya.
1. Sunon Winger
Namanya merujuk pada bentuk sandaran lumbarnya yang menyerupai sayap (wing). Oke, aman, syarat utamanya sudah terpenuhi meski harganya termasuk terjangkau di Rp2.399.200. Namun ternyata sandaran lumbarnya ini juga bisa dinaik-turunkan, sehingga dapat lebih disesuaikan dengan tinggi masing-masing pengguna.
Kursi ini turut menawarkan pengaturan sandaran tangan (armrest) yang cukup lengkap; bisa dinaik-turunkan, dimaju-mundurkan, dan dibelokkan ke kiri atau kanan demi mengakomodasi posisi duduk yang berbeda-beda.
Rp3.300.000 sepintas mungkin terdengar mahal untuk kursi dari brand yang belum begitu dikenal, tapi pendapat Anda mungkin bisa berubah setelah mengetahui kelengkapan fitur yang ditawarkan kursi ini; mulai dari pengaturan sandaran tangan, pengaturan sandaran lumbar, penguncian kemiringan sandaran punggung, sampai pengaturan sandaran kepala.
Desainnya pun cukup elegan, dan material-material yang digunakan bukan murahan, seperti misalnya kaki aluminium dan roda nilon.
Saat mencari informasi mengenai kursi ini, jujur hal pertama yang mencuri perhatian saya adalah perpaduan warna ungu, putih, dan birunya yang apik. Namun setelah ditelaah, fiturnya pun juga lengkap, dan yang paling penting, sandaran lumbarnya bisa diatur letak ketinggiannya sehingga mampu menopang punggung bawah secara optimal. Harganya? Rp3.699.000.
Sandaran kepala? Ada. Sandaran lumbar? Ada. Sandaran kaki? Ada juga. Kursi ini adalah pilihan tepat bagi yang gemar bersantai di atas kursi kerjanya, entah selagi menonton film di laptop, atau selagi asyik push rank Mobile Legends. Juga cukup unik adalah, bahan jaring-jaringnya (mesh) bukan cuma di bagian punggung, melainkan juga di bagian dudukan. Siapkan bujet Rp3.999.000 untuk meminangnya.
Dalam memilih kursi kerja, salah satu faktor penting yang juga sering terlupakan adalah kedalaman dudukan kursi; terlalu pendek berarti bagian paha tidak bisa tertopang dengan baik, terlalu panjang berarti tidak ada sirkulasi udara di bagian belakang lutut. Masalahnya, panjang kaki setiap orang berbeda-beda, bahkan pada yang tinggi badannya sama sekalipun.
Solusinya, pilih kursi yang menawarkan pengaturan kedalaman dudukan, seperti misalnya kursi seharga Rp4.504.150 ini. Cukup dengan mengklik tombol, maka bagian dudukannya bisa dimajukan atau dimundurkan, sehingga dapat disesuaikan dengan panjang kaki pengguna. Tentu saja, sandaran lumbar yang adjustable juga tidak boleh kita lupakan, dan itu pun bisa kita temui di kursi ini.
Sebagian orang mungkin bakal mengernyitkan dahi ketika disarankan membeli kursi kerja dengan harga di atas 8 juta rupiah. Namun demi kesehatan punggung selama 8 jam sehari, 40 jam seminggu, tidak ada ruginya memilih kursi yang memang bisa membantu menjaga kesehatan punggung.
Kursi bernama Pofit ini diklaim mampu menopang tulang belakang secara lebih menyeluruh, plus memiliki sandaran lumbar yang dapat diatur posisinya secara merinci untuk mengakomodasi pengguna dengan tinggi 150 – 190 cm. Uniknya lagi, ia hadir bersama aplikasi smartphone yang dapat mengingatkan pengguna ketika postur duduknya kurang ideal. Tertarik? Sisihkan uang Rp8.499.000.
Selain estetik, Sayl juga dirancang untuk mempertahankan bentuk alami tulang belakang yang menyerupai huruf S. Secara default, Sayl memang tidak dilengkapi sandaran lumbar, tapi konsumen yang membutuhkan bisa membeli sandaran lumbar opsional seharga Rp341.000. Harga kursinya sendiri Rp10.136.500, dengan jaminan garansi selama 12 tahun.
Di rentang harga 10 juta ke atas, sudah sewajarnya sebuah kursi kerja menawarkan fitur pengaturan yang lengkap. Yang membuat kursi ini berbeda dari biasanya adalah betapa mudahnya pengguna dapat mengakses pengaturan-pengaturan tersebut.
Menggunakan satu tuas yang sama, pengguna bisa mengatur tiga bagian yang berbeda: tarik ke atas untuk mengatur tinggi kursi, tarik ke depan untuk mengatur kedalaman dudukan, tarik ke belakang untuk mengatur kemiringan sandarannya. Siapkan modal Rp10.799.100 untuk membeli kursi ini.
Jangan tertipu oleh penampilannya yang minimalis, sebab kursi ini dikenal sangat nyaman sekaligus kokoh. Hampir semua bagian dari kursi ini dapat diatur posisinya, dan pengoperasiannya pun mudah sekali dipahami.
Pada sisi kanannya, pengguna bisa menemukan dua buah kenop; yang belakang berfungsi untuk mengatur semua yang berhubungan dengan bagian sandaran, sementara yang depan dapat dipakai untuk mengatur semua yang berkaitan dengan bagian dudukan. Pengaturan armrest-nya pun juga sangat fleksibel (360°) sekaligus mudah dioperasikan.
Di Indonesia, produk-produk Steelcase didistribusikan oleh Vivere, dan Anda bisa membeli kursi ini seharga Rp22.000.000. Sayang sekali garansi yang ditawarkan di sini cuma 2 tahun, padahal di negara asalnya (Amerika Serikat), Steelcase menawarkan garansi sampai 12 tahun.
Pembahasan mengenai kursi kerja tidak akan lengkap tanpa menyinggung Herman Miller Aeron. Kursi ini sudah eksis sejak tahun 1994, dan hingga sekarang masih menjadi salah satu opsi terpopuler di AS. Desainnya nyaris tidak berubah dari yang pertama kali diproduksi hampir tiga dekade lalu, dan itu merupakan indikasi kuat akan betapa ergonomisnya kursi ini.
Seperti halnya kursi-kursi lain Herman Miller, build quality turut menjadi alasan utama mengapa Aeron laris dibeli, dan kabar baiknya, konsumen di Indonesia pun ikut kebagian jatah masa garansinya yang sangat panjang (12 tahun). Ini penting mengingat harganya jauh dari kata murah: Rp26.532.550.
Bagi yang tertarik membeli Aeron, perlu diketahui bahwa kursi ini sebenarnya hadir dalam tiga ukuran yang berbeda: Size A (kecil), Size B (sedang), dan Size C (Large). Masing-masing ditujukan untuk rentang tinggi badan dan bobot yang berbeda. Size B misalnya, cocok untuk yang memiliki tinggi badan antara 157 – 182 cm. Referensi lengkapnya soal ukuran Aeron bisa langsung diunduh dari situs Herman Miller.
Space tourism is real. Sembilan hari setelah Sir Richard Branson terbang ke luar angkasa, sekarang giliran miliarder lain yang mencatatkan pencapaian serupa. Bukan sembarang miliarder, melainkan orang terkaya nomor satu sejagat, yakni Jeff Bezos. Bersama saudara kandung dan dua orang lainnya, Jeff berhasil terbang melewati Garis Kármán dan kembali ke Bumi dengan selamat.
Peristiwa ini sekaligus menjadi debut perdana Blue Origin, perusahaan space tourism yang didirikan oleh Jeff di tahun 2000, dalam menerbangkan manusia ke luar angkasa setelah menjalani sederet pengujian penerbangan tanpa awak. Replay lengkapnya bisa ditonton langsung di kanal YouTube resmi Blue Origin.
Secara garis besar, pengalaman wisata luar angkasa yang Virgin Galactic dan Blue Origin tawarkan memang cukup mirip, tapi ada sejumlah perbedaan penting yang layak disoroti. Dari mulai jenis pesawat yang digunakan, kita sebenarnya sudah bisa menemukan perbedaan yang sangat signifikan.
Pesawat New Shepard milik Blue Origin lebih menyerupai pesawat roket pada umumnya, dengan bagian ujung berbentuk kapsul yang akan lepas dan meluncur dengan sendirinya ketika sampai di titik ketinggian tertentu. Pesawat VSS Unity milik Virgin Galactic di sisi lain lebih menyerupai pesawat jet biasa yang dilengkapi mesin pendorongnya sendiri, meski pada awalnya ia juga lepas landas bersama sebuah pesawat induk.
New Shepard juga sepenuhnya autonomous dan bisa beroperasi tanpa kehadiran seorang pilot di kabinnya. VSS Unity di sisi lain membutuhkan dua kru kabin. Durasi total penerbangannya juga berbeda. Penerbangan menggunakan New Shepard memakan waktu sekitar 10 menit dari awal lepas landas sampai akhirnya mendarat, sedangkan penerbangan dengan VSS Unity berlangsung selama sekitar 60 menit.
Meski berbentuk seperti pesawat roket biasa, New Shepard sepenuhnya reusable, baik untuk bagian booster maupun kapsulnya. Bagian kapsulnya sendiri mendarat dengan mengandalkan parasut, dibantu oleh sistem retro-thruster untuk memberikan kendali yang lebih presisi. Blue Origin mengklaim New Shepard dapat digunakan sampai setidaknya 100 kali penerbangan. Pesawat yang dinaiki Jeff dkk misalnya, sebelumnya sudah sempat diterbangkan dua kali.
Namun perbedaan paling signifikan di antara New Shepard dan VSS Unity adalah titik ketinggian yang dicapai. New Shepard mencapai altitudo 107 km sebelum meluncur kembali ke Bumi, sedangkan VSS Unity hanya mencapai altitudo 86 km.
Terlepas dari perbedaan ketinggiannya, kru kedua pesawat sama-sama sempat mengalami microgravity selama beberapa menit dan melihat pemandangan Bumi dengan latar belakang ruang angkasa yang serba hitam. Inilah pengalaman wisata luar angkasa yang bakal bisa dinikmati masyarakat umum dalam beberapa tahun ke depan, dengan catatan mereka siap membayar mahal.
Blue Origin sejauh ini masih enggan membeberkan harga tiket penerbangan luar angkasanya. Untuk tahun 2021 ini, mereka sudah berencana mengadakan dua penerbangan lain tahun ini, dan demand konsumen disebut sangatlah kuat. Virgin Galactic di sisi lain menarik biaya $250.000 per tiket, sekitar dua kali lipat harga tiket tur bangkai kapal Titanic.
Mau ke luar atmosfer atau ke dasar laut, keduanya sama-sama mahal.
Wacana akan sebuah industri wisata luar angkasa alias space tourism kian mendekati kenyataan. Pada tanggal 11 Juli kemarin, Virgin Galactic berhasil menerbangkan pendirinya, Sir Richard Branson, bersama lima orang lainnya keluar dari lapisan mesosfer. Momen tersebut disiarkan secara langsung, dan Anda bisa menonton replay-nya di channel YouTube Virgin Galactic.
Sebelum melejit sendiri hingga menembus kecepatan Mach 3 (± 3.704 km/jam), pesawat roket VSS Unity yang ditumpangi Branson dkk lebih dulu digotong oleh pesawat induk VMS Eve. Saat mencapai ketinggian sekitar 46.000 kaki (± 14.020 meter), barulah VSS Unity dilepaskan dan terbang dengan sendirinya hingga mencapai ketinggian 86 kilometer.
Di titik itu, mesin roket VSS Unity dimatikan, dan penumpang mengalami microgravity — belum sampai zero gravity, tapi sudah bisa memberikan sensasi tanpa beban — selama beberapa menit selagi menikmati pemandangan panoramik Bumi, sebelum akhirnya pesawat kembali meluncur dan mendarat. Secara total, penerbangannya berlangsung selama sekitar satu jam.
Menurut Branson, momen pengujian perdana bersama satu kru kabin penuh (2 kru, 4 penumpang) itu sangat penting buat Virgin Galactic karena dapat memberikan gambaran seperti apa pengalaman wisata luar angkasa yang bakal ditawarkan kepada calon konsumennya. Dalam beberapa bulan ke depan, Virgin Galactic berencana menjalani dua pengujian lagi sebelum akhirnya memulai operasi komersialnya di tahun 2022.
Dikatakan bahwa sejauh ini sudah ada 600 orang yang bersedia membeli tiket penerbangan perdana Virgin Galactic tahun depan. Harganya jelas tidak murah — kurang lebih $250.000 per tiket — akan tetapi visi jangka panjangnya adalah menekan tarif tersebut sampai serendah $40.000 per tiket, serta mengeksekusi sekitar 400 penerbangan setiap tahunnya.
Namun Virgin Galactic bukanlah satu-satunya perusahaan yang sibuk mewujudkan wacana space tourism ini menjadi kenyataan. Blue Origin, perusahaan pesaing yang didirikan oleh Jeff Bezos, juga akan menjalankan pengujian penerbangan pada tanggal 20 Juli mendatang. Sama seperti Branson, Bezos selaku sang pendiri perusahaan juga bakal ikut menjadi penumpang.
Virgin Galactic di sisi lain menggunakan standar yang ditetapkan oleh NASA, yang menganggap siapapun yang berhasil menembus ketinggian 80 km sebagai seorang astronot. Terlepas dari soal ketinggian, pengalaman yang ditawarkan kedua perusahaan kurang lebih sama.
Bicara soal misi luar angkasa yang dijalankan perusahaan swasta, kita tentu tidak boleh melupakan SpaceX. September nanti, perusahaan yang didirikan oleh Elon Musk tersebut berniat menerbangkan empat orang menuju ke orbit (sekitar 540 km) selama beberapa hari. Menurut UBS, nilai industri space tourism diperkirakan bisa mencapai $3 miliar per tahunnya pada tahun 2030.
Peluncuran chip Apple M1 merupakan pukulan telak bagi Intel dan AMD. Dua produsen prosesor komputer itu pada dasarnya tengah ditantang untuk menciptakan prosesor seefisien Apple M1, yang kini juga sudah digunakan di perangkat iMac maupun iPad Pro. Namun sebelum Intel dan AMD bisa membalas, sepertinya kita bakal melihat respon dari Qualcomm lebih dulu.
Kepada Reuters, Cristiano Amon selaku CEO baru Qualcomm mengatakan bahwa salah satu agenda terdekat mereka adalah merilis chip laptop yang bakal bersaing langsung dengan Apple M1. Sebagai sebuah system-on-a-chip (SoC), produk tersebut bakal mengemas semua komponen esensial yang dibutuhkan di samping prosesor, termasuk halnya modem 5G.
Menariknya, Qualcomm berniat untuk mengeksekusi rencana ini tanpa bergantung pada ARM. Saat ini Qualcomm memang sudah punya sejumlah chip laptop, tapi semua itu dibangun di atas fondasi yang sama seperti lini chip Snapdragon, yang inti prosesornya menggunakan arsitektur rancangan ARM.
Sebagai gantinya, Qualcomm bakal memaksimalkan aset dan sumber daya baru yang mereka dapatkan dari Nuvia, startup yang mereka akuisisi pada bulan Januari kemarin dengan nilai $1,4 miliar. Nuvia didirikan oleh sekelompok eks engineer Apple yang sebelumnya sempat bekerja langsung di tim yang mengembangkan chip M1. Nuvia bahkan sempat dituntut oleh Apple, yang mengklaim bahwa pendiri Nuvia mencuri teknologi rancangan Apple.
Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Qualcomm semestinya siap memproduksi chip laptop baru ini mulai tahun 2022. Terlepas dari itu, Qualcomm tidak menutup kemungkinan untuk melisensikan teknologi dari ARM seandainya ARM berhasil menciptakan prosesor yang lebih baik dari racikan mereka sendiri.
Selain untuk mengembangkan chip laptop baru, teknologi rancangan Nuvia juga bakal Qualcomm lisensikan kepada perusahaan cloud computing yang tertarik menciptakan sendiri chip untuk digunakan di data center mereka masing-masing.
Bagi yang mengikuti banyak channel teknologi di YouTube seperti saya, Anda pasti sadar bahwa setiap channel sebenarnya mempunyai spesialisasi atau niche-nya masing-masing. Sebagian besar mungkin menaruh fokus ekstra pada kategori seperti smartphone atau laptop, namun ada juga sebagian lain yang mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda dengan membahas topik spesifik yang mungkin tidak begitu populer karena kurang menarik untuk dibicarakan panjang lebar.
Di kalangan YouTuber lokal, salah satu channel yang masuk kategori tersebut adalah GTiD. Sepintas channel ini mungkin terdengar seperti channel gadget pada umumnya, tapi kalau Anda amati, mayoritas dari video-video yang diunggahnya membahas mengenai monitor. Tidak jarang pembahasannya malah cukup panjang dengan durasi di atas 10 menit. Padahal, buat sebagian orang, monitor mungkin tidak semenarik itu untuk dibahas sampai begitu mendalam.
Saya pun pada awalnya juga punya pandangan yang serupa. Namun pada kenyataannya, sampai artikel ini ditulis, GTiD sudah mempunyai hampir 70 ribu subscriber. GTiD juga sudah memiliki komunitas Discord-nya sendiri yang cukup aktif, dan semua ini menurut saya sudah bisa menggambarkan kalau di luar sana rupanya tidak sedikit yang tertarik dengan pembahasan in-depth mengenai monitor.
Berhubung masih penasaran, saya pun memutuskan untuk menghubungi host sekaligus penggagas channel GTiD, Eldwin, untuk bercakap-cakap secara singkat. Berikut adalah hasil perbincangan kami yang sebagian besar telah disunting agar lebih jelas penyampaiannya.
Kenapa niche monitor? Bisa diceritakan awalnya kenapa GTiD fokus membahas tentang monitor?
Awalnya sebatas iseng mencoba, dan ternyata ada pasarnya yang belum difokuskan di market YouTube, dan itu berlanjut sampai hari ini.
Tidak banyak tech YouTuber Indonesia yang secara spesifik membahas tentang monitor sampai sedetail GTiD. Apa sih sebenarnya yang menarik dari monitor?
Seperti yang saya bilang sebelumnya, justru karena tidak ada yang melakukannya, saya pun berusaha untuk mengisi kekosongan itu sebaik mungkin. Dan sama seperti statement di pertanyaan ini, awalnya saya sendiri juga merasa segmen monitor itu kurang menarik. Namun setelah saya dalami dan pelajari, ternyata ada satu hal yang bisa membuat monitor jadi semakin penting ke depannya untuk semua orang, yaitu kehadiran USB-C.
Saya percaya ke depannya kita cukup punya smartphone dan menghubungkannya ke monitor via USB-C, maka kita bisa memakainya layaknya personal computer kita selama ini. Di sisi lain, kita juga sudah merasakan pentingnya monitor ketika pandemi COVID-19 melanda dan kita harus WFH. Agar WFH bisa berjalan dengan nyaman, kita tentu butuh monitor.
Menurut Eldwin, kenapa konsumen perlu menyimak ulasan merinci tentang sebuah monitor?
Banyak tim marketing brand monitor yang tidak menjelaskan secara merinci plus dan minus monitor mereka. Sebagian mungkin bahkan tidak tahu, tapi sekalipun mereka tahu, mereka terikat dengan etika perusahaan, sehingga tidak mungkin juga mereka menunjukkan kelemahan produk mereka sendiri.
Belum lagi ditambah banyaknya persepsi yang salah mengenai monitor di pasaran. Di sinilah GTiD hadir untuk membantu penonton mendapatkan monitor terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Apa saja sebenarnya miskonsepsi seputar monitor yang umum beredar di kalangan konsumen?
Color gamut tinggi berarti warna yang dihasilkan akurat, padahal keduanya sebenarnya punya makna yang berbeda.
Motion blur yang diklaim oleh brand monitor dianggap sudah tepat, padahal kenyataannya semua itu cuma sebatas angka yang tidak bisa menggambarkan keadaan sebenarnya.
“Mata manusia cuma bisa melihat 60 Hz, nggak guna lebih tinggi dari itu”, atau “144 Hz dan 240 Hz tidak ada bedanya.” Penjelasan panjang lebarnya pernah saya sampaikan di video review monitor ASUS PG259QN.
Gimmick-gimmick monitor apa saja yang Eldwin kurang suka?
Yang saya lihat, brand senang mempromosikan bahwa seakan-akan label “Pantone validated” atau “Callman certified” adalah sesuatu yang luar biasa untuk sebuah monitor profesional. Pada kenyataannya, monitor-monitor tersebut mungkin tidak sesempurna itu. Terkadang hasil warnanya bahkan bisa dikalahkan oleh monitor gaming yang dijual dengan harga lebih murah.
Motion blur sebuah panel sering misleading cara penyampaiannya. 1 ms di panel TN berbeda dari 1 ms di panel VA, demikian pula dengan 1 ms di panel IPS. Terkadang malah tulisan angka itu tidak ada artinya sama sekali karena tidak menjelaskan apa-apa terkait kejadian sebenarnya.
Selain ukuran dan resolusi, atribut-atribut apa saja yang harus konsumen perhatikan dalam membeli monitor, baik untuk monitor gaming ataupun monitor profesional?
Untuk monitor gaming:
Tipe panel
Motion blur
Refresh rate
Untuk monitor profesional:
Panel bit-depth
Akurasi warna
Color gamut
Brightness
Contrast
White point
List-nya masih lebih panjang lagi untuk monitor profesional, tapi faktor-faktor berikutnya lebih condong ke preferensi masing-masing konsumen, seperti misalnya ada tidaknya VESA mount, port USB-C, factory-calibrated atau tidak, desain bodi, dan lain sebagainya.
Kriteria monitor yang ideal buat Eldwin itu bagaimana? Monitor gaming bagaimana? Monitor profesional bagaimana?
Kriteria di bawah ini sudah termasuk cukup, tapi tidak bisa dikatakan sempurna karena kalangan sultan sebenarnya bisa membeli yang lebih bagus lagi:
Untuk gamer kompetitif: 25 inci, FHD, 240/360 Hz
Untuk gamer casual yang sering bermain bersama teman-temannya: 27 inci, QHD, 144 Hz
Untuk gamer single-player atau kreator konten: 4K, 60 Hz
Untuk editor profesional: spesifikasi monitor mengikuti seberapa profesional masing-masing pengguna, dengan budget yang mungkin tidak terbatas, dimulai dari Apple Pro XDR
Selain tentu saja perbedaan jenis kartu grafis yang didukung, adakah perbedaan lain antara Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync?
Bagi saya, kedua teknologi tersebut punya tujuan yang sama, yakni untuk menghilangkan tearing saat bermain game. Pada deretan game casual yang umumnya lebih mementingkan kualitas gambar dengan preset grafik High, Ultra, dan sebagainya, fitur ini mungkin bisa membantu memaksimalkan keindahan itu. Kan tidak enak kalau misalnya kualitas grafik sudah bagus, tapi tiba-tiba ada satu frame yang seperti terpotong di sepanjang layar.
Di sisi lain, kalau konteks yang dibicarakan adalah pro player game PC, banyak dari mereka yang tidak menyarankan untuk menyalakan fitur ini karena ada resiko meningkatnya latensi mouse dan keyboard, yang pada akhirnya bisa membuat kita kalah satu langkah dibanding lawan. Dan lagi ketika bermain di fps (frame per second) yang sangat tinggi, tearing juga hampir tidak terasa.
Pendapat Eldwin tentang Nvidia Reflex? Apakah tren teknologinya berada di jalur yang benar?
Nvidia Reflex keren. Konsepnya jelas dan memang tujuannya adalah untuk membantu para gamer. Namun saya rasa belum begitu relevan untuk pasar Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia lebih butuh internet yang stabil dan latensi rendah dari provider internet, yang sejauh ini masih belum merata sama sekali di Indonesia.
Menurut Eldwin, kondisi pasar monitor di Indonesia sekarang bagaimana? Apakah ada satu atau dua brand yang mendominasi, atau persaingannya sudah cukup merata?
Jelas sekali tidak seketat di pasar smartphone. Persaingannya juga masih belum merata, dan banyak brand yang masih menjual dengan harga sangat tinggi, melebihi value dari produk itu sendiri, karena kurangnya persaingan.
Menurut Eldwin, apa alasan penamaan model-model monitor yang selalu terkesan ngawur?
Saya rasa mereka sebatas ingin jadi berbeda saja dibanding brand lainnya. Saking ingin berbedanya, kadang jadi terkesan sangat ngawur saat memberi kode. Salah satu contohnya, ViewSonic VX2705-2KP-MHD (27 inci, QHD, 144 Hz). Kalau melihat dari spesifikasinya, sebenarnya bisa saja dibuat lebih simpel, seperti misalnya VX2705-2K.
Bisa diceritakan seperti apa suka-duka menjadi seorang reviewer monitor?
Suka:
Banyak yang terbantu, dan saya mendapat banyak DM positif tentang mereka yang bisa membeli monitor terbaik yang mereka butuhkan.
Review-nya tidak seribet produk elektronik lainnya, karena fungsi monitor cuma satu, yakni sebagai display dari sesuatu yang disambungkan sebagai input.
Duka:
Terkadang jumlah view tidak sebanyak orang yang mengulas tentang smartphone.
Dan itu berimbas pada pemasukan dari YouTube yang tidak terlalu besar.
Jujur saya suka dengan gaya penyampaian Eldwin yang frontal. Selama ini apakah ada pihak yang sempat protes dengan gaya Eldwin?
Dari pihak brand, sempat ada yang datang ke tim kami dan menyampaikan secara langsung bahwa intinya tim kami sudah di-blacklist oleh mereka. Ada kemungkinan juga kami di-blacklist secara diam-diam oleh sejumlah brand yang tidak suka dengan gaya review kami.
Buat saya itu bukan masalah, sebab tujuan GTiD sendiri memang adalah supaya bisa independen tanpa bergantung pada brand tertentu. Saya tidak tahu apakah kami bisa mencapainya atau tidak, tapi yang pasti saya ingin terus memberikan value kepada penonton yang sudah setia memberikan dukungan dari awal.
Kepada para penonton baru, saya berharap bahwa setiap kali mereka menonton review GTiD, mereka bisa menganggap saya sebagai seorang teman yang peduli terhadap uang mereka. Pasalnya, barang-barang yang kami review bukan barang yang murah, dan mungkin ada orang di luar sana yang menabung dalam jangka waktu lama untuk bisa mendapatkan barang tersebut. Jika saya tidak jujur mengenai kekurangan-kekurangan produk tersebut, saya yakin mereka bakal kecewa berat.
Mungkin tidak banyak orang yang bisa terima dengan gaya review saya yang ekspresif. Namun saya tidak ingin mengubahnya karena itu memang adalah saya yang sesungguhnya di dunia nyata, dengan gaya yang sama persis ketika ada seorang teman yang meminta saran soal barang yang ingin mereka beli.
Definisi YouTube buat seorang kreator konten tidak selalu sama. Ada kreator yang sudah sepenuhnya menganggap YouTube sebagai platform untuk mencari nafkah, ada pula yang baru sebatas memperlakukannya sebagai wadah untuk menyalurkan hobi.
Salah satu alasan terpopuler yang datang dari seseorang yang memutuskan untuk menjadi full-time YouTuber adalah supaya ia bisa lebih fokus berkreasi, sehingga pada akhirnya kualitas konten yang dihasilkan menjadi lebih baik. Namun tidak jarang juga ini dijadikan sebuah pembelaan diri, di mana ketika seorang YouTuber merasa belum sukses, alasannya adalah karena ia belum bisa memutuskan untuk full-time dan fokus sepenuhnya ke YouTube.
Namun pernahkah terpikirkan bahwa fokus itu sebenarnya bisa datang dengan sendirinya selama kita melakukan hal yang kita sukai? Sentimen seperti itulah yang saya dapatkan setelah berbincang-bincang singkat dengan Joshua Timothy, tech YouTuber lokal yang belakangan mulai cukup naik daun.
Pemuda introvert yang lebih sering dipanggil Ocha dan mengidolakan PewDiePie ini adalah salah satu contoh kreator yang konsisten menghasilkan konten-konten menarik tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya. Di saat sedang tidak membuat video YouTube, Ocha adalah seorang fotografer profesional untuk sebuah agensi media sosial.
Topik bahasan yang diangkat pada channel-nya cukup bervariasi, mulai dari hobi di dunia mechanical keyboard; ulasan smartphone, headphone, dan beragam gadget lain; sampai tips merakit PC sekaligus menata meja kerja, serta tentu saja tips fotografi dan videografi.
Berikut adalah hasil obrolan kami yang sudah disunting agar lebih jelas.
Di posisi Ocha sekarang, apakah memungkinkan untuk menjadikan YouTube sebagai pekerjaan full-time?
Untuk sekarang masih belum memungkinkan, dan saya juga belum ada pikiran untuk menjadikan YouTube sebagai pekerjaan full-time. Pasalnya, selain mengulas gadget, saya juga sangat mengapresiasi pekerjaan sebagai fotografer dan masih belum mau melepaskannya.
Saya juga masih belum menganggap YouTube sebagai pekerjaan atau tanggung jawab yang harus saya lakukan, melainkan sebagai komunitas kecil di mana saya bisa sharing pengalaman saya mengenai gadget dan lifestyle yang saya suka di hidup saya.
Kapan Ocha menyadari bahwa prospek di YouTube bagus dan memutuskan untuk mulai lebih fokus?
Sebenarnya sudah sadar dari sebelum memulai YouTube, hanya saja saya belum pernah melakukannya. Ketika pandemi melanda, barulah saya sadar ini mungkin boleh dicoba karena kebetulan ada banyak waktu kosong selagi seharian di rumah saja.
Untungnya saya memang suka dengan kegiatannya, jadi tidak perlu difokuskan karena otomatis bakal fokus sendiri ketika mengerjakan hal yang saya senangi.
Adakah YouTuber lokal yang menjadi inspirasi Ocha? Kalau ada, siapa saja?
Walaupun saya lebih terekspos oleh YouTuber dari luar Indonesia, tapi setelah mencoba YouTube sendiri, saya mulai melihat bahwa ada banyak YouTuber lokal yang sangat bertalenta sekaligus menginspirasi. Salah satunya adalah Malvin dari Bestindotech, yang menjadi salah satu alasan kenapa channel YouTube saya bisa jadi seperti ini.
Malvin sering membantu saya untuk menaikkan eksposur saya di luar sana. Walaupun saya masih terhitung YouTuber yang sangat kecil, tapi dia tetap mau membantu saya. Suatu saat saya berharap saya juga bisa seperti dia, di mana saya bisa membantu YouTuber lain yang baru mulai untuk bisa menaikkan eksposur mereka, sama seperti yang Malvin lakukan kepada saya.
Kalau tidak keberatan, bisa diberikan gambaran persentase pendapatan yang diperoleh dari YouTube?
AdSense 46%, affiliate 34%, dan sponsorship 20%.
Bisa diceritakan pengalaman mencari sponsor video? Apakah Ocha yang approach sendiri, atau sebaliknya, brand yang langsung memberikan penawaran?
Sejauh ini, sebagian besar brand-lah yang mencari saya dan memberikan penawaran sponsorship, baik melalui email maupun DM Instagram, dan saya merasa beruntung sekali ada brand–brand di luar sana yang mau bekerja sama dengan saya dan percaya dengan karya yang saya buat.
Sebelum saya memulai YouTube, tidak pernah sekalipun terpikirkan bakal ada brand yang mau bekerja sama dengan saya, jadi saya sangat berterima kasih.
Beberapa penonton sudah menganggap Ocha sebagai reviewer gadget. Bisa diceritakan bagaimana Ocha menyeimbangkan antara memberikan ulasan yang jujur kepada penonton, dan ‘menyenangkan’ brand?
Saya tidak tahu apakah saya memenuhi kualifikasi sebagai reviewer. Saya lebih merasa sebagai orang yang hanya sharing pengalaman menggunakan barang atau produk tersebut. Makanya kalau diperhatikan, kebanyakan video saya tidak membicarakan spesifikasi secara mendetail, tapi lebih ke user experience-nya saja.
Saya juga akan selalu jujur dengan pengalaman saya, baik untuk produk dari sebuah brand atau produk yang saya beli sendiri. Kalau saya tidak suka dengan sebuah produk, atau pengalaman saya menggunakan produk tersebut tidak memuaskan, saya akan bilang apa adanya.
Selain YouTube, adakah platform sosial lain yang Ocha gunakan yang sejauh ini sudah bisa mendatangkan pendapatan?
Sejauh ini masih belum ada, tapi suatu saat ingin mencoba Twitch untuk konten live gaming, supaya sekalian dapat berinteraksi dengan penonton secara live. Saya merasa itu juga bisa menjadi hal yang seru bagi penonton.
Sebagai seorang fotografer dan YouTuber, seberapa bergantung Ocha terhadap ekosistem aplikasi Adobe?
Ya, betul sekali, tanpa Adobe sepertinya saya tidak bisa apa-apa. Saya sudah terlalu nyaman dengan ekosistem Adobe walaupun tidak sempurna (sering crash dan lain-lain), tapi sejauh ini Adobe-lah yang membuat saya bisa berkarya di bidang fotografi dan YouTube.
Seandainya Adobe tiba-tiba bangkrut dan semua produknya sirna, software alternatif apa saja yang bakal Ocha pakai, dan kenapa alasannya?
Saking nyamannya dengan ekosistem Adobe, saya sampai belum pernah melihat-lihat lagi software alternatif lain. Mungkin dalam video editing ada Final Cut Pro dari Apple, atau juga DaVinci Resolve, tapi sayangnya saya belum pernah mencoba menggunakan software–software tersebut.
Bisa diceritakan seperti apa suka duka menjadi seorang tech YouTuber?
Buat saya pribadi keluh kesahnya hanya di pembagian waktu antara pekerjaan utama, YouTube, dan personal. Sejauh ini saya hanya bisa memberikan konten baru seminggu sekali, atau maksimum dua kali dalam seminggu, sedangkan banyak tech YouTuber lain yang bisa mengunggah empat sampai lima video dalam seminggu.
Namun saya selalu mencoba untuk tidak membandingkan saya dengan orang lain dan tetap berjalan dengan tempo saya sendiri. Walaupun pada dasarnya manusia itu akan selalu saling membandingkan, tapi saya akan selalu berusaha untuk tidak seperti itu. Saya memang orang yang cukup kompetitif, dan saya paham jika saya selalu membandingkan diri dengan orang lain, maka saya akan merasa insecure dan kehilangan kepercayaan diri.
Di dunia kreasi konten seperti YouTube, di mana ada ribuan orang yang melakukan hal yang sama seperti saya, terkadang memang cukup susah untuk tidak membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Namun saya selalu mengingatkan diri sendiri bahwa tidak ada hal baik yang didapat dari sana, dan untuk tetap fokus saja dengan diri saya sendiri.
Teknologi memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks bisnis, teknologi juga bisa menentukan seberapa jauh korporasi dapat berkembang. Agar tidak kehilangan momentum, para eksekutif bisnis perlu menaruh perhatian khusus pada sejumlah tren teknologi yang paling berpengaruh ke depannya. Kira-kira begitulah kesimpulan yang bisa ditarik dari riset terbaru yang dilakukan oleh McKinsey & Company.
Dari 10 tren teratas yang dibahas, 7 di antaranya masuk ke ranah digital. Tren yang dibahas juga bukan sekadar yang berpotensi mendisrupsi banyak sektor industri sekaligus, melainkan juga yang tergolong niche seperti revolusi bioteknologi maupun kemajuan tren nanopartikel dan nanomaterial.
McKinsey memprediksi bahwa ke depannya teknologi robotik, Industrial Internet of Things (IIoT), digital twins, dan additive manufacturing (3D atau 4D printing) bakal digabungkan untuk mempersingkat pekerjaan-pekerjaan rutin, meningkatkan efisiensi operasional, dan mempercepat waktu penetrasi pasar. McKinsey mendeskripsikan tren ini dengan istilah “next-level process automation and virtualization“.
McKinsey mengestimasikan bahwa di tahun 2025, lebih dari 50 miliar perangkat bakal terhubung dengan jaringan IIoT dan menghasilkan data sebesar 79,4 zettabyte setiap tahunnya. Sebagai konteks, 1 zettabyte itu setara dengan 1 miliar terabyte. Lalu di tahun 2030, 10% dari seluruh proses manufaktur bakal digantikan oleh teknologi 3D atau 4D printing.
Tren yang berikutnya menggabungkan kemajuan infrastruktur 5G dengan IoT guna mewujudkan sederet layanan maupun model bisnis baru. McKinsey menemukan ada sekitar 1.000 kasus penggunaan di berbagai sektor industri yang berkaitan erat dengan tren konektivitas ini, yang diperkirakan bisa berkontribusi terhadap angka GDP di tahun 2030 hingga sebesar 5-8 triliun dolar Amerika Serikat.
Tanpa harus terkejut, AI tentu juga termasuk sebagai salah satu tren dengan implikasi terbesar di dunia bisnis. McKinsey bahkan memprediksi bahwa kemajuan di bidang AI dan machine learning bakal mewujudkan konsep “Software 2.0”, konsep di mana profesi pengembang software telah digantikan oleh AI. Meski demikian, untuk bisa memaksimalkan tren automated programming ini, perusahaan harus meningkatkan kapabilitas DataOps maupun MLOps-nya terlebih dulu.
Di masa yang akan datang, demokratisasi infrastruktur IT juga bakal semakin dipercepat dengan semakin meningkatnya pengadopsian teknologi cloud computing. Menurut McKinsey, angka pengadopsiannya bisa meningkat hingga mendekati 50% di tahun 2025, dan bukan tidak mungkin menembus angka 80% jika tren yang ada sekarang masih terus berlanjut sampai ke depannya.
Quantum computing dan neuromorphic computing diperkirakan juga bakal terus bertambah mainstream. Tren komputasi generasi baru ini diprediksi bakal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini belum bisa terjawab di dunia sains. Masa pengembangan industri farmasi dan bahan kimia bakal dipangkas secara drastis, demikian pula industri mobil kemudi otomatis yang bakal diakselerasi. Bukan cuma itu, next-gen computing juga diprediksi bakal mendisrupsi bidang cybersecurity secara signifikan.
Lebih lengkapnya mengenai tren-tren teknologi terpenting di dunia bisnis dapat langsung dibaca di situs McKinsey.
Dalam kurun waktu hanya sekitar empat tahun, HMD Global telah berevolusi menjadi sebuah startup unicorn yang mewakili Nokia di segmen consumer, sekaligus melebarkan bisnisnya ke segmen enterprise. Belum lama ini, perusahaan asal Finlandia tersebut menjabarkan sejumlah rencananya untuk semakin memperkuat posisinya di pasar enterprise.
Yang pertama adalah kerja sama strategis yang dijalin bersama Nokia, di mana HMD kini memanfaatkan infrastruktur Nokia WING (Worldwide IoT Network Grid) sebagai fondasi teknologi atas solusi konektivitas enterprise yang ditawarkannya. Dijelaskan bahwa Nokia WING memungkinkan HMD untuk melayani konsumen enterprise-nya dengan manajemen dan konektivitas IoT dalam skala global yang kompatibel dengan semua jaringan dan kasus penggunaan.
Salah satu solusi enterprise yang dimaksud adalah HMD Connect Pro, yang memungkinkan perusahaan pelanggan untuk mengelola hingga puluhan ribu perangkat yang terhubung melalui suatu portal manajemen yang mudah digunakan. Lewat integrasi ini, perusahaan bakal mendapat visibilitas real-time ke status perangkat dan aset IoT, mengelola siklus aktif kartu SIM, dan memastikan semuanya aman setiap saat.
Dalam presentasinya, Janne Lehtosalo selaku VP Services HMD Global menjelaskan bahwa kemudahan penggunaan selama ini memang menjadi salah satu nilai plus HMD Connect Pro bagi para pelanggannya. Keterlibatan infrastruktur Nokia WING sekarang pada dasarnya bakal menjadi jaminan masa depan bagi pelanggan seiring skala perusahaan masing-masing terus bertambah besar.
Langkah yang kedua adalah kolaborasi strategis dengan firma konsultasi global CGI, sehingga HMD dapat menawarkan layanan HMD Connect Pro, HMD Enable Pro, maupun perangkat smartphone sebagai bagian dari portofolio layanan end-to-end CGI kepada deretan kliennya. CGI sendiri menawarkan insight mendalam kepada kliennya mengenai integrasi dan pemberdayaan sistem, lengkap dengan analisis data dan infrastruktur cloud.
Dari sisi sebaliknya, kemitraan ini juga akan mengintegrasikan penawaran-penawaran CGI ke portofolio produk enterprise HMD Global. Ini penting mengingat pelanggan enterprise HMD bukan cuma perusahaan besar seperti Intech Medical atau Blue Bird saja, melainkan juga mencakup startup lokal seperti Saebo Technology.
Dari sisi hardware, HMD menjelaskan bahwa pelanggan enterprise-nya memilih smartphone Nokia bukan semata karena faktor keamanan dan privasi yang menjadi prioritas, tetapi juga karena fasilitas-fasilitas ekstra seperti misalnya asuransi terhadap perangkat maupun masa garansi yang lebih panjang dari biasanya, sehingga pada akhirnya lifecycle perangkat pun bisa diperpanjang.
Pandemi, seperti yang kita tahu, telah berhasil mengubah cara kita bekerja dan belajar sehari-harinya. Tren work from home (WFH) dan school from home (SFH) yang kita jalani jelas belum sempurna dan memiliki sejumlah tantangannya tersendiri, tapi di saat yang sama juga membuka peluang bagi kita untuk memaksimalkan teknologi lebih lagi.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Fiona Lee, Managing Director HP Indonesia, dalam pembukaan acara virtual bertajuk “HP Gagas Pendidikan” yang dihelat pada tanggal 31 Mei 2021. Buat HP, pendidikan merupakan bidang yang selalu menjadi prioritas, dan itu mereka buktikan lewat sejumlah inisiatif yang telah dijalankan dalam beberapa tahun terakhir.
Alasan HP untuk berfokus di bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya cukup sederhana. Frans Adiredja, Business Personal System Category Head HP Indonesia, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan sektor pendidikan terbesar ke-4 di dunia. Berdasarkan data dari Kemendikbudristek, Indonesia memiliki 3,3 juta guru, serta 53,1 juta murid yang duduk di kelas 1 hingga 12.
Dalam setahun terakhir ini, sebagian besar dari mereka mau tidak mau harus menjalani kegiatan belajar-mengajar dari kediamannya masing-masing, dan sudah bukan rahasia apabila pemanfaatan teknologinya mungkin masih terkesan kurang maksimal. Sebagai penyedia teknologi, HP percaya mereka bisa menjembatani kesenjangan teknologi di bidang pendidikan. Bukan semata dengan berjualan alat-alat pendukungnya, tapi juga dengan menggelar program-program yang sangat bermanfaat.
Semangat Guru Virtual Learning Series
Semangat Guru adalah program yang dirancang untuk mendukung para guru mendidik generasi penerus Indonesia menggunakan konsep 3E: Educate, Engage and Entertain (Mendidik, Melibatkan, dan Menghibur). Program ini bakal membantu para guru mendalami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk pembelajaran campuran (blended learning) dan diadaptasi untuk berbagai gaya belajar.
Setiap kelas dalam program Semangat Guru dapat diakses oleh 1.000 hingga 5.000 guru sekaligus. Materi pembelajaran nantinya akan disampaikan dalam enam episode, masing-masing dipandu oleh pembicara inspirasional untuk membangun beragam soft skill, mulai dari keahlian dalam penggunaan teknologi sampai komunikasi. Pembicaranya di antara lain adalah Iwan Syahril, Ph.D selaku Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek, serta Vivit Kavi dan Vena Annisa selaku pendiri V&V Communications.
Bicara soal pemanfaatan teknologi, kita mungkin akan berasumsi bahwa guru-guru wajib menggunakan deretan gadget canggih. Namun kalau menurut Vena Annisa, salah satu modul yang akan diajarkan dalam program Semangat Guru adalah bagaimana memaksimalkan teknologi yang sudah ada, sehingga para guru bisa menyusun konten pembelajaran digital yang menarik dan efektif menggunakan perangkat teknologi sederhana.
Program ini akan dimulai pada bulan Juni, serta diintegrasikan ke platform Guru Belajar & Berbagi milik Kemendikbudristek, yang berarti program ini bisa diikuti oleh semua guru dari berbagai bidang dan jenjang yang tergabung dalam platform tersebut. Kalau ditotal, saat ini ada lebih dari satu juta guru yang terdaftar di platform tersebut menurut Prof. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek.
HP LIFE dalam Bahasa Indonesia
HP LIFE merupakan program gratis untuk membantu meningkatkan keterampilan para wirausahawan, pemilik usaha, dan siapapun yang ingin belajar keterampilan baru demi masa depan yang lebih cerah. Modul-modul HP LIFE sekarang sudah tersedia dalam Bahasa Indonesia dan mencakup lebih dari 30 topik yang berbeda, seperti misalnya komunikasi, keuangan, pemasaran, operasional, teknologi informasi, dan masih banyak lagi.
Sejauh ini, HP mengklaim bahwa HP LIFE telah diakses oleh lebih dari 418.000 pengguna aktif yang berasal dari lebih dari 200 negara dan wilayah, dengan lebih dari 1,3 juta kelas yang telah diselesaikan. HP sendiri menargetkan untuk menarik satu juta pengguna HP LIFE di tahun 2025, dan dukungan Bahasa Indonesia tentu bakal membantu mereka memenuhi target tersebut.
Komitmen HP terhadap pendidikan di Indonesia
Dua program terbaru yang diumumkan itu merupakan bagian dari visi lebih luas HP terkait konsep Fluid Learning, di mana HP percaya bahwa pembelajaran semestinya tidak berhenti begitu saja ketika kita sudah menamatkan jenjang sekolah atau universitas, tapi juga terus berlangsung seumur hidup.
Berkaca pada konsep tersebut, HP berkomitmen untuk meningkatkan hasil pembelajaran bagi 100 juta orang di tahun 2025. Di Indonesia, HP telah menyediakan teknologi dan pelatihan kewirausahaan bagi 5.000 pelajar Indonesia di komunitas kurang mampu dengan mendirikan sejumlah Tech Hubs di Lombok dan Jakarta.
Inisiatif lainnya mencakup program Sahabat Pendidikan, di mana relawan dari HP berkunjung ke sekolah-sekolah untuk menyampaikan materi pembelajaran, serta EduXtion yang merupakan program donasi produk-produk PC sekaligus printer. Program-program ini merupakan hasil kolaborasi HP bersama LSM Prestasi Junior Indonesia.
“Kami di HP percaya bahwa pendidikan adalah hak dasar manusia, dan kami berkomitmen untuk memastikan kesetaraan pembelajaran dan digital di Indonesia untuk mendukung program pemerintah. Teknologi dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang hebat bila disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas dan individu di dalamnya. HP memberikan dukungan, tidak hanya kepada komunitas kurang mampu melalui Tech Hubs, tapi juga kepada para guru melalui Semangat Guru Virtual Learning Series, serta para pelaku UKM dan wirausahawan melalui program global HP LIFE,” ungkap Fiona Lee.