Category Archives: Analisis

Analisis tentang startup, regulasi, dan ekosistem teknologi di Indonesia

TikTok Shop E-commerce Indonesia

Peluang TikTok Shop Kembali Berlayar dengan Kemitraan Lokal

Rumor TikTok Shop kembali ke pasar e-commerce Indonesia mencuat pekan lalu, tepatnya sejak MenkopUKM Teten Masduki mengungkapkan bahwa raksasa teknologi asal Tiongkok tersebut tengah bernegosiasi dengan pemain e-commerce lokal untuk konsolidasi. Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Lazada, dan Shopee adalah lima pemain yang dimaksud.

Ketika dikonfirmasi, perwakilan Tiktok maupun perusahaan e-commerce terkait memilih tidak memberikan komentar.

Di Indonesia, TikTok sebagai platftorm media sosial memiliki sekitar 125 juta pengguna. Data Compas Market Insight menyebutkan, di periode 1 September 2023 – 1 Oktober 2023 (sebelum ditutup), TikTok Shop mampu membukukan penjualan produk FMCG hingga Rp1,33 triliun. Diperkirakan platform tersebut telah berdampak kepada 7.000+ seller, 3900+ brand FMCG dan 118.000+ product listing pada kategori perawatan kecantikan, makanan minuman, ibu bayi, kesehatan, serta perlengkapan rumah.

Firma riset MomentumWorks dalam publikasinya menyebutkan, sampai tahun Oktober 2023 layanan TikTok Shop mampu mengakuisisi 13,2% dari total GMV e-commerce di Asia Tenggara. Ini menjadi terbesar ketiga setelah Shopee (46,5%), Lazada (17,7%), dan Tokopedia (13,9%).

Persentase GMV e-commerce Indonesia didasarkan pada sebaran pemain / MomentumWorks
Persentase GMV e-commerce Indonesia didasarkan pada sebaran pemain / MomentumWorks

Data tersebut menjadi indikasi capaian mengesankan, apalagi di Indonesia sendiri TikTok Shop baru beroperasi sejak Q2 2021. Upaya untuk kembali ke pasar ini jelas diperjuangkan. CEO TikTok Shou Zi Chew terus mengupayakan komunikasi intens dengan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemendag dan KemenkopUKM.

Apa yang membuat TikTok Shop unggul?

Pertumbuhan eksponensial TikTok Shop bukan sebuah keberuntungan belaka. Ada strategi matang yang telah diracik dan berhasil menyuguhkan proposisi nilai yang diapresiasi pasar. Strategi bisnis ritel mereka disebut “Infinite Loop“. Pendekatan ini berfokus untuk mempertemukan konsumen dengan berbagai tahap perjalanan/proses dalam belanja (online). Melalui kekuatan konten yang dipersonalisasi, mereka mendorong hubungan yang lebih bermakna antara brand dan konsumen.

Strategi menjadi platform infinity loop menjadikan TikTok Shop unggul / TikTok
Strategi menjadi platform infinity loop menjadikan TikTok Shop unggul / TikTok

Konsep tersebut membawa konsumen pada tiga tahapan penting, sebagai berikut:

  1. TikTok mempengaruhi setiap tahap perjalanan ritel—penemuan, pertimbangan, dan pembelian—lebih efektif.
  2. Pasca-pembelian, TikTok mempertahankan pengaruhnya melalui konten yang dihasilkan pengguna seperti video unboxing dan tutorial, yang mendorong loyalitas merek dan keterlibatan komunitas.
  3. TikTok menonjol dengan menciptakan pengalaman positif yang bergema dengan pengguna, mendorong mereka untuk mengaitkan kegembiraan dan euforia dengan pembelian mereka.

Hal ini didasari sebuah survei internal pada 2021 yang mengatakan bahwa 49% pengguna TikTok menggunakan media tersebut untuk menemukan hal baru, 35% untuk belajar hal baru, dan 29% mencari inspirasi. Menurut studi yang sama, pengguna TikTok memiliki kemungkinan 1,5x lebih besar untuk segera membeli sesuatu yang mereka temukan di platform tersebut dibandingkan dengan pengguna platform lain.

Hal ini hanya bisa dilakukan saat platform penjualan tersebut terintegrasi dengan layanan konten yang dimiliki TikTok – atau disebut sebagai social commerce. Menurut beleid terbaru yang diterbitkan di Indonesia, saat ini penyelenggara media sosial seperti TikTok ataupun Meta dilarang berjualan langsung menggunakan aplikasi yang sama – harus ada pemisahan antara aplikasi media sosial dengan layanan jual beli.

Studi lain menyebutkan, sejak diluncurkan tahun 2021, TikTok Shop telah merangkul 6 juta penjual di Indonesia. Tahun 2022 mereka menguasai sekitar 5% dari GMV e-commerce nasional yang mencapai $52 miliar.

Live commerce di pemain lokal

Menurut hasil penelitian SEA Ahead Wave 5, sebagian besar konsumen di Asia Tenggara mengakses live stream melalui platform media sosial (83%) seperti Facebook Live, Instagram Live, dan YouTube Live, platform e-commerce (64%) termasuk Shopee, Tokopedia, Lazada, dan lainnya, serta platform live stream atau aplikasi khusus untuk live streaming (11%) seperti Twitch dan Periscope.

Di pasar Indonesia, 78% konsumen telah mendengar dan mengetahui tentang alternatif belanja melalui live streaming, 71% di antaranya telah mengaksesnya, dan 56% mengakui telah membeli produk melalui live streaming selama pandemi.

Tren ini mendorong sejumlah platform untuk memantapkan fitur live commerce, dengan menonjolkan fitur tersebut di aplikasi e-commerce masing-masing. Di Tokopedia misalnya, di tampilan utama mereka “Feed” menjadi salah satu menu utama. Bahkan secara rutin mereka menghadirkan promo khusus melalui siaran live yang dilakukan oleh seller – juga dengan menggandeng selebriti nasional untuk turut tampil saat sesi jualan live.

Hal serupa juga dilakukan pemain lain seperti Shopee. Shopee dikabarkan sempat bertarung sengit dengan TikTok Shop untuk memimpin pasar live shopping di Indonesia. Sejumlah rekor pernah dipecahkan, misalnya saat Raffi Ahmad live di Shopee selama 12 jam berhasil meraup omzet penjualan Rp7 miliar.

Menu Feed di Tokopedia menyajikan fitur live shopping / Tokopedia
Menu Feed di Tokopedia menyajikan fitur live shopping / Tokopedia

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep yang dimiliki TikTok Shop sebenarnya sudah mulai diadopsi para pemain e-commerce lokal. Lantas pertanyaannya, jika TikTok berhasil konsolidasi dengan pemain tertentu, seperti apa integrasi yang akan dilakukan?

Peluang konsolidasi TikTok

Untuk bisa kembali hadir ke pasar e-commerce lokal, ada dua pilihan yang bisa diambil Tiktok: (1) membuat aplikasi TikTok Shop secara terpisah; (2) berkolaborasi dengan pemain lain.

Dengan rumor penjajakan di atas, opsi kedua sepertinya akan dipilih TikTok. Ini pilihan yang cukup masuk akal, mengingat ketika berbicara tentang bisnis e-commerce, dependensinya bukan hanya soal platform penjualan saja, melainkan juga terkait infrastruktur pendukung seperti fulfillment, logistic, payment, affiliate, hingga customer services.

Tentu tantangan selanjutnya adalah bagaimana integrasi TikTok dengan calon mitranya bisa dilakukan sehingga strategi infinity loop tersebut tetap bisa dilakukan.

Kami beranggapan ada beberapa skenario yang bisa dilakukan, yaitu:

  1. Embedded E-commerce; memungkinkan keranjang belanja di TikTok kembali aktif, memungkinkan pengguna secara langsung (tanpa pindah aplikasi) untuk melakukan transaksi pembelian. Namun yang berperan melakukan transaksi (di backend) adalah layanan e-commerce yang menjadi mitra. Sistem e-commerce terhubung secara mulus ke dalam layanan TikTok melalui sambungan API khusus antarsistem.
  2. Integrated Affiliation; memungkinkan TikTok menjadi medium promosi yang lebih terintegrasi. Setiap produk yang memungkinkan untuk dibeli akan memiliki tautan penjualan ke toko tertentu. Dan ketika toko tersebut dikunjungi, secara otomatis akan mengalihkan pengguna ke layanan e-commerce tertentu untuk menyelesaikan transaksi.
  3. Acquisition; TikTok mengakuisisi unit e-commerce tertentu untuk menyulapnya menjadi TikTok Shop generasi berikutnya.

Sebagai catatan, skenario tersebut adalah perkiraan dari kami – tidak didasari oleh pernyataan resmi pihak terkait. Tiga skenario di atas (jika dilakukan) setidaknya sudah mematuhi regulasi yang diatur pemerintah. Pada dasarnya ada dua unit bisnis yang dijalankan dalam dua entitas yang berbeda, kendati memiliki keterhubungan yang dekat satu dengan lainnya.

Dampak untuk pasar e-commerce lokal

Laporan terbaru e-Conomy SEA 2023 memproyeksikan sektor e-commerce di Indonesia akan mencapai $62 miliar di tahun ini dan bertumbuh hingga senilai $82 miliar di tahun 2025. Jelas ini bukan nilai industri yang kecil, sehingga semua pemain industri terus berusaha untuk menjadi yang terdepan.

Keberhasilan TikTok melakukan konsolidasi dengan salah satu pemain e-commerce lokal berpotensi mengubah lanskap persaingan. Dengan basis pengguna besar yang sudah dimiliki, TikTok dapat mendorong keputusan pembelian ke suatu produk dengan lebih baik. Kebiasaan baru yang disuguhkan lewat TikTok Shop juga berpotensi dihidupkan kembali untuk mengalirkan keran-keran yang sebelumnya terhenti akibat penghentian operasional TikTok Shop.

Gegap-gempita penutupan TikTok Shop bulan lalu juga menunjukkan seberapa signifikannya pengaruh TikTok Shop untuk pasar jual-beli online di Indonesia. Awalnya TikTok Shop (dan platform social commerce lainnya) “dituduh” menjadi salah satu penyebab utama sektor ritel tradisional tertentu sepi dan membukakan pintu untuk produk impor (yang mana berpotensi membunuh UMKM lokal). Nyatanya pasca-penutupan, Tanah Abang masih saja sepi peminat.

Isu tersebut memang sensitif, sehingga saat nanti TikTok Shop come back –dengan skenario apapun—diharapkan membuktikan bahwa mereka justru berpihak dengan UMKM Indonesia.

Teknologi telah mendemokratisasi sektor ritel Indonesia. Secara bersamaan ia juga berhasil membuka berbagai peluang baru untuk mengangkat harkat perekonomian banyak orang di penjuru nusantara. Hadirnya layanan inovatif diharapkan dapat mengakselerasi perputaran ekonomi, sembari menghadirkan layanan inklusif agar bisa turut memeratakan kesejahteraan di seluruh penjuru negeri.

Analisis Bisnis GoTo

Saham Anjlok, Sentimen Sesaat atau Lampu Kuning Bisnis GoTo?

Anjloknya saham GOTO dalam dua minggu terakhir membuat sentimen publik terhadap perusahaan publik di bidang teknologi (yang dulunya startup) menjadi kurang baik. Harga sahamnya sempat ambles ke level Rp54,- per lembar. Bukan tanpa sebab, investasi lewat private placement dan penjualan 0,03% saham yang dimiliki William Tanuwijaya dinilai menggiring sentimen miring tersebut.

CEO baru GoTo, Patrick Walujo pun sempat turun tangan merogoh kocek sekitar Rp10 miliar untuk memborong saham perseroan. Kepada media ia juga menegaskan, bahwa penjualan saham oleh founder tidak menunjukkan kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan dan prospek bisnisnya. Itu adalah keputusan pribadi yang bergantung pada kondisi masing-masing individu dan tidak terkait sama sekali dengan strategi, kinerja, atau komitmen GoTo kepada pemegang saham.

Pertanyaan selanjutnya tentu apakah sentimen negatif ini hanya sesaat karena founder menjual sebagian sahamnya? Lalu bagaimana prospek GoTo?

Kinerja dan rencana GoTo

Pada semester I 2023, GoTo melaporkan penurunan rugi bersih sebesar 49% (YoY) menjadi Rp7,2 triliun. Pendapatan bersih meningkat 102% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai Rp6,8 triliun, didorong oleh peningkatan monetisasi di seluruh lini bisnis dengan take rate keseluruhan mencapai 4,1%, naik 40 bps (YoY).

Meskipun adjusted EBITDA menyusut 69% menjadi -Rp2,8 triliun, GoTo tetap optimis mencapai profitabilitas pada kuartal IV 2023.

Performa keuangan GoTo di 1H 2023 / DailySocial.id
Performa keuangan GoTo di 1H 2023 / DailySocial.id

GoTo mengumumkan baru akan merilis laporan 3Q 2023 pada tanggal 30 Oktober nanti. Dari dua kuartal pertama di tahun ini, ada pertumbuhan tipis di sisi revenue dari Rp3,33 triliun di Q1 menjadi Rp3,55 triliun di Q2. Sementara untuk net income juga naik sedikit dari -Rp3.86 triliun menjadi -Rp3,30 triliun. Dibandingkan kuartal di tahun sebelumnya, rasio revenue dan net income di tahun ini tergolong lebih baik.

Strategi merealisasikan target

Untuk merealisasikan target profitabilitas di tahun ini GoTo gencarkan sejumlah strategi. Secara garis besar patokannya ke tiga aspek: mengurangi biaya transaksi, mengetatkan pengeluaran, dan ekspansi ke segmen menengah ke bawah. Dikatakan dua poin pertama telah terbukti dengan stabilnya GTV dan pengurangan rugi bersih pada 2Q 2023 kemarin.

Menurut analis, strategi ketiga juga berpotensi membawa GoTo bergerak lebih efisien dalam melakukan akuisisi pengguna. “Mode hemat” untuk kalangan yang dituju bisa dimaksimalkan pada lini on-demand yang dimiliki, dengan memanfaatkan teknologi (alih-alih promosi bakar uang). Memperbanyak segmen “bujet” ini juga akan direalisasikan di lini e-commerce dengan menambah lebih banyak katalog produk, dengan harapan bisa meningkatkan traksi layanan finansial seperti GoPaylater.

“Produk Mode Hemat dan layanan Gojek terus mencetak pengguna baru, serta membawa kembali pengguna nonaktif. Langkah ini sejalan dengan strategi pertumbuhan inti unit bisnis on-demand untuk memperluas total pasar potensial (TAM) dengan menyasar konsumen yang memprioritaskan harga,” tulis manajemen GoTo dalam keterangan resminya.

Samuel Sekuritas seperti diterbitkan Investor.id membuat proyeksi konservatif bahwa GoTo berpotensi membukukan margin kontribusi positif sebesar Rp2,1 triliun hingga akhir 2023. Hal ini didorong kenaikan gross dan net take rate masing-masing menjadi 3,8% dan 2,1%. Meski demikian, mereka menurunkan proyeksi GTV jadi Rp614 triliun.

Biaya operasional GoTo terus mengalami perbaikan (penurunan), dampak efisiensi dalam bisnis / DailySocial.id
Biaya operasional GoTo terus mengalami perbaikan (penurunan), dampak efisiensi dalam bisnis / DailySocial.id

Sebelumnya salah satu direktur GoTo, Catherine Hindra Sutjahyo, juga menyampaikan bahwa sebagai perusahaan teknologi bisnis mereka akan terus digenjot melalui inovasi teknologi, pengembangan produk, dan dukungan mitra. Upaya yang dilakukan tidak akan lagi jor-joran promo, melainkan fokus pada pembentukan model bisnis berkelanjutan. Optimasi teknologi seperti machine learning untuk rekomendasi dan personalisasi akan terus diperdalam, sehingga bisa menghasilkan penawaran layanan yang lebih hemat ke konsumen tanpa harus menggelontorkan banyak potongan.

Catherine banyak berkecimpung pada layanan on-demand transportasi dan pesan-antar. Tahun ini salah satu yang mereka prioritaskan adalah meningkatkan konektivitas layanan mobilitas, salah satunya dengan ekspansi GoTransit untuk memudahkan pengguna mendapatkan akses layanan transportasi multi-moda; serta memperbanyak variasi fitur transportasi seperti GoCar Luxe, GoRide XL, hingga GoSend Car.

Analisis lini bisnis

Secara garis besar, ada 4 lini bisnis utama yang kini dimainkan oleh grup GoTo, meliputi e-commerce, on-demand, finansial, dan logistik. Perseroan memilih untuk fokus ke area prioritas tersebut, termasuk dengan melepas unit-unit lain yang dirasa tidak terlalu berhubungan dengan model bisnis utamanya. Salah satu hasilnya spin-off layanan hiburan Goplay yang kini menjadi entitas perusahaan mandiri.

Lini e-commerce

Menurut laporan e-Conomy SEA, GMV industri e-commerce Indonesia telah mencapai $59 miliar atau setara Rp940,4 triliun pada tahun 2022. Dalam laporan 1H 2023, lini e-commerce GoTo yang dimotori Tokopedia dilaporkan membukukan GTV senilai Rp121,4 triliun Rupiah. Jika dibandingkan dengan angka GMV tersebut, capaian GoTo sudah setara 12,9% dari nilai pangsa pasar yang ada.

Sebagai catatan, ada perbedaan metriks dalam laporan tersebut. Sebagai gambaran, GMV mengukur total nilai semua transaksi dalam platform e-commerce, termasuk yang tidak menghasilkan pendapatan, sementara GTV hanya mencakup transaksi yang menghasilkan pendapatan.

Dibandingkan dengan pemain lokal yang menjadi penantang utama, yakni Bukalapak dan Blibli, capaian Tokopedia masih berada di atasnya.

Perbandingan 3 e-commerce Indonesia yang telah melantai di BEI / DailySocial.id
Perbandingan 3 e-commerce Indonesia yang telah melantai di BEI / DailySocial.id

Namun demikian, industri e-commerce lokal juga diramaikan oleh pemain regional. Di kancah lima besar, didasarkan pada statistik kunjungan web, Shopee dan Lazada menjadi penantang utama. Menurut laporan perusahaan induknya, pendapatan Shopee (di seluruh wilayah operasionalnya) meningkat 20% menjadi $2.1 miliar, dan EBITDA disesuaikan dari pasar Asia berbalik untung $204.1 juta.

Data trafik SimilarWeb untuk situs e-commerce terpopuler di Indonesia / DailySocial.id
Data trafik SimilarWeb untuk situs e-commerce terpopuler di Indonesia / DailySocial.id

Untuk menguatkan lini e-commerce, sejumlah strategi dilancarkan. Terbaru, GoTo berkomitmen untuk mempertajam model bisnis “Mitra” untuk mengoptimalkan penjualan produk digital. Ini akan menjadi lawan kuat Mitra Bukalapak – yang sedari awal perseoran memang akan memfokuskan optimasi layanan ini. Berdasarkan data Mitra Tokopedia kuartal pertama tahun ini, sejumlah produk digital tercatat mengalami pertumbuhan pesat pada kuartal I 2023, seperti biaya pendidikan, internet dan TV kabel, serta e-samsat. Rata-rata peningkatan transaksi mencapai hampir 4x lipat dibandingkan periode yang sama di 2022.

Lainnya, Tokopedia juga terus kembangkan infrastruktur dan produk. Di sisi infrastruktur, pusat pemenuhan (fulfillment) juga terus didirikan di berbagai titik distribusi starategis. Sementara di sisi fitur, layanan Tokoscore juga dirilis untuk meningkatkan penetrasi layanan kredit; juga PLUS by GoTo untuk meningkatkan loyalitas pelanggan lewat sistem keanggotaan premium.

Tokopedia dan Gojek juga mulai melakukan model cross-selling, sejak pertengahan 2022 diawali dengan kehadiran GoFood di aplikasi marketplace Tokopedia.

Lini on-demand

Peluncuran inisiatif GoTransit yang disaksikan Presiden Jokowi / Gojek
Peluncuran inisiatif GoTransit yang disaksikan Presiden Jokowi / Gojek

Pasar layanan on-demand di Indonesia diproyeksikan bernilai $2,67 miliar atau setara Rp42,5 triliun pada 2023 dan akan melampaui $4,66 miliar pada 2028, dengan pertumbuhan CAGR yang kuat sebesar 8,75% selama periode tersebut. Pada 1H 2023, GoTo melaporkan lini on-demand yang diprakarsai layanan Gojek telah berhasil membukukan GTV mencapai Rp26,9 triliun – setara 63,2% dari pangsa pasar yang diproyeksikan dengan lebih dari 2,7 juta mitra pengemudi di seluruh Indonesia.

Rival terkuat Gojek tentu saja Grab. Menurut laporan yang dirilis paruh pertama tahun ini, Grab telah membukukan GMV $5,2 miliar di seluruh wilayah operasionalnya. Bisnis ini juga mengakomodasi layanan pesan-antar makanan. Menurut laporan Momentum Works, pangsa pasar food delivery lokal per 2022 dipimpin Grab Food (49%), GoFood (44%), dan lainnya (7%).

Selain mendesain interoperabilitas layanan transportasi lewat GoTransit, strategi Gojek untuk sukseskan lini on-demand juga melalui regenerasi armada pengemudi ke kendaraan ramah lingkungan. Untuk kendaraan listrik, Gojek miliki perusahaan patungan produsen motor listrik Electrum; mereka juga berinvestasi ke Gogoro, penyedia infrastruktur baterai motor listrik.

Lini keuangan

Di Juni 2023, GTV lini fintech di bawah naungan GoTo senilai Rp182 miliar. Diketahui ada sejumlah produk finansial di bawahnya, termasuk layanan dompet digital, paylater, p2p lending, dan juga bank digital. Industri fintech di Indonesia sudah cukup terfragmentasi dengan banyaknya pemain di semua lini. Inovasi di sini juga cukup gencar, mengingat keterbukaan regulator dalam menerima inovasi produk.

Namun demikian, lini ini penting menjadi supporting system untuk semua bisnis yang ada di bawah naungan grup GoTo. Layanan seperti GoPay, GoPaylater, hingga kini Bank Jago menjadi infrastruktur utama dalam sistem transaksi bisnis mereka.

Guna membuat lini ini makin gesit, pertengahan tahun ini GoTo Financial mengumumkan peralihan unit multifinance yang menaungi layanan GoPay Later. Sebelumnya platform paylater tersebut digerakkan oleh PT Mapan Global reksa (Findaya), lalu kini telah diambil alih oleh PT Multifinance Anak Bangsa (MAB).

Head of Corporate Affairs GoTo Financial Audrey Petriny menceritakan, pada November 2021 GoTo Financial resmi mengakuisisi PT Rama Multi Finance, kemudian di-rebrand dengan nama PT Multifinance Anak Bangsa. Unit tersebut sebelumnya telah memegang lisensi multifinance yang berizin dan diawasi oleh OJK.

Struktur GoPay Later sendiri sejak awal memang sudah unik. Platform BNPL ini memiliki dua produk yang bernama GoPay Later dan GoPaylater Cicil. Kendati saat ini keduanya telah terintegrasi dan dikelola penuh oleh MAB.

Fintech memang menjadi salah satu lini bisnis yang terus ditingkatkan oleh GoTo, termasuk belum lama ini mereka berupaya memperluas jangkauan Gopay dengan merilis aplikasi khusus yang bisa digunakan terpisah dari layanan Gojek — kendati demikian fitur Gopay juga masih bisa digunakan melalui aplikasi Gojek. Gopay pun kini terintegrasi dengan Bank Jago, memudahkan pengguna mengonversi saldo yang dimiliki menjadi aset tabungan.

Lini logistik

Logistik juga menjadi support system utama untuk mendukung lini bisnis GoTo. Unit GoTo Logistic per 1H 2023 ini diklaim telah melayani sekitar satu perlima pengiriman di Tokopedia. Peningkatan penetrasi layanan ini diklaim akan menurunkan biaya logistik lebih jauh. Subsidi biaya pengiriman per pesanan telah mengalami penurunan sekitar 15% sejak awal tahun 2023.

Ke depan, GoTo Logistics akan berusaha untuk terus mengurangi biaya antar bagi konsumen dengan meningkatkan layanan pengiriman in-house dan kapasitas layanan fulfillment perseroan, serta menggunakan teknologi pengalokasian in-house untuk mengarahkan pengiriman kepada layanan pengantaran pihak ketiga jika diperlukan.

GoTo awal tahun ini mengumumkan penyertaan saham baru dalam rangka pengambilalihan PT Swift Logistics Solutions (SLS). Transaksi ini dilakukan melalui anak usaha GOTO, PT Paket Anak Bangsa (PAB) atau GoSend, yang membeli saham baru senilai Rp583,12 miliar. Dalam keterbukaan, perseroan juga menyampaikan alasan di balik transaksi ini adalah untuk melakukan reorganisasi dan konsolidasi struktur grup.

Suksesi kepemimpinan dan target profitabilitas

Di tahun 2023 ini, telah terjadi 2x suksesi kepemimpinan di grup GoTo. Pertama, diumumkan pada Februari 2023, Kevin Aluwi mundur dari jabatannya sebagai komisaris, tapi tetap sebagai pemegang saham dengan hak suara multipel di GoTo. Kemudian, Juni 2023 Patrick Walujo didapuk jadi CEO GoTo, mengganti Andre Soelistyo yang menjadi Komisaris dan Deputy Chairman.

Absennya mayoritas founder Gojek dan Tokopedia di jajaran eksekutif memang banyak menjadi perhatian publik. Kendati Patrick juga bukan nama baru, namun suksesi ini di sisi lain memberikan kesan adanya struktur kepemimpinan yang goyah.

Pada akhirnya di tengah industri teknologi yang bergejolak, pasar kini melakukan penilaian bisnis secara lebih konservatif. Tidak muluk-muluk, para pemegang saham menuntut GoTo yang lebih sehat secara bisnis. Sejak awal tahun para manajemen memang sudah menyampaikan target realisasi profitabilitas tahun ini dengan sangat optimis. Bahkan efisiensi pun telah dilakukan dengan mengurangi personil dan lebih fokus ke model bisnis utamanya.

Dari tren yang ada, GoTo dalam kuartal ke kuartal menunjukkan tren perbaikan kinerja keuangan menunjuk EBITDA positif.

Tren EBITDA GoTo yang terus membaik / DailySocial.id
Tren EBITDA GoTo yang terus membaik / DailySocial.id

Kepemimpinan terus dirombak dan diperkuat. Strategi bisnis terus diramu dan dimatangkan. Kini tinggal bagaimana langkah-langkah tersebut memberikan hasil pada performa bisnis. Di tengah sentimen kurang baik ini, menurut kami satu-satunya cara GoTo untuk mengembalikan kepercayaan publik adalah merealisasikan apa yang telah ditargetkan.

Faktanya memang industri teknologi sedang mendapatkan momentum yang kurang baik. Apalagi di hampir semua lini bisnis utama GoTo terdapat kompetisi yang sangat sengit. Berbekal tim lokal yang kuat dan kehadiran yang luas, Gojek, Tokopedia, dan unit bisnis lainnya di tubuh GoTo harus mampu menciptakan konsolidasi yang apik sehingga memberikan pengalaman pengguna yang lebih baik.

GoTo (Gojek dan Tokopedia) di sisi lain juga menjadi simbol penting dari perusahaan (publik) teknologi di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu kiblat ekosistem startup di Indonesia. Sukses/tidaknya GoTo memberikan persepsi luas terhadap cara pandang masyarakat terhadap potensi bisnis teknologi (startup) di Indonesia ke depannya. Terlebih beberapa startup besar juga sudah mulai ancang-ancang menjadi perusahaan publik selanjutnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Ada tren penurunan pendanaan startup, baik jumlah transaksi maupun nominal, di tahun 2022 ini / Pixabay

Di Q4 2022, Startup Indonesia Bukukan Pendanaan Lebih dari $580 Juta

Tahun 2022 bukanlah tahun yang mudah untuk startup global, termasuk ekosistem Indonesia. Meskipun demikian, terdapat sejumlah catatan menarik yang ditorehkan sepanjang Q4 2022. Di periode ini, startup Indonesia berhasil membukukan 52 transaksi pendanaan dengan nilai lebih dari $580 juta (lebih dari 9 triliun Rupiah).

Capaian ini membuat perolehan total pendanaan sepanjang tahun 2022 senilai $4,2 miliar berdasarkan 260 transaksi yang diumumkan ke publik. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, ada tren penurunan setara -38% dibanding total pendanaan $6,8 miliar di 2021.

Meskipun pendanaan masih kuat di Q1 2022, tren sepanjang tahun hingga Q4 memang menunjukkan perlambatan, baik dari jumlah transaksi maupun total nominal, seiring dengan perubahan konstelasi bisnis teknologi global.

Secara total, fintech masih menjadi sektor terfavorit dengan jumlah transaksi (27 transaksi) dan nominal ($1,7 miliar) terbanyak. Sementara SaaS (19 transaksi), agritech (17), food tech (15), dan logistik (14) juga menjadi sektor favorit investor di tahun 2022 ini.

Jika ditinjau dari perolehannya, 10 perusahaan ini mendapatkan setidaknya $100 juta pendanaan – sebagian gabungan dari equity dan debt funding.

Startup Perolehan Dana
DANA $450,000,000
Akulaku $310,000,000
Traveloka $300,000,000
Xendit $300,000,000
Modalku $144,000,000
Kredivo $140,000,000
Moladin $137,000,000
Sayurbox $120,000,000
PINTU $113,000,000
Fazz $100,000,000

Pendanaan tahap lanjutan ini mengokohkan status Akulaku dan DANA sebagai unicorn selanjutnya di Indonesia.

Tren pendanaan

Jika dilihat dari porsi pendanaannya, tahap awal masih mendominasi jumlah transaksi pendanaan. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa investor masih memiliki kepercayaan tinggi pada aspiring founder lokal dan memosisikan diri untuk membantu memvalidasi ide dan menemukan product-market fit.

Round Jumlah
Seed Funding 90
Pre-Seed 42
Series A 36
Pre-Series A 20
Series B 22
Venture Round 13
Series C 11
Corporate Round 10
Pre-Series B 7
Series D 6
Debt 3

Yang memang terlihat kesulitan adalah startup tahap berkembang yang hendak melakukan penggalangan dana di tahap lanjutan.

Sejumlah investor menilai, faktor guncangan perekonomian global menjadi penyebab perlambatan pendanaan. Ini dilandasi faktor ekonomi dunia yang mengantisipasi resesi dengan kenaikan suku bunga dan inflasi tinggi.

Termasuk faktor yang membuat kondisi semakin kompleks adalah pengaruh perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan gangguan supply chain, pengetatan peraturan startup di Tiongkok, dan penjualan besar-besaran saham-saham teknologi di Amerika Serikat. Walhasil valuasi startup menuju taraf “normalisasi”, demi ekosistem startup yang lebih sehat.

Allo Bank Right Issue 2021

Masuknya Bukalapak, Grab, dan Investor Strategis Baru Dinilai Dapat Percepat Misi Digitalisasi Allo Bank

Allo Bank (IDX: “BBHI”) secara resmi telah mengumumkan rencananya untuk melakukan penawaran umum terbatas atau rights issue senilai Rp4,8 triliun, melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI seharga Rp478 per saham. Dalam keterbukaan yang disampaikan, 6 perusahaan turut andil di dalamnya sebagai investor, meliputi Bukalapak, Abadi Investments, Indolife Investama Perkasa, H Holdings, Trusty Cars, dan CT Corpora.

Bukalapak sendiri mengakuisisi jumlah persentase saham terbanyak dalam aksi tersebut, yakni setara 11,49%. Abadi Investment sendiri merupakan entitas yang dimiliki Salim Group. Sementara H Holdings terindikasi lengan investasi yang terafiliasi dengan Grab.

Posisi kepemilikan saham Allo Bank setelah aksi korporasi ini / Allo Bank

Pertajam misi menjadi bank digital

Aksi korporasi ini dinilai akan mempertajam rencana Allo Bank untuk mentransformasikan layanannya menjadi sebuah bank digital. Terlebih dengan masuknya Bukalapak sebagai salah satu pencaplok saham bernilai signifikan. Diketahui, memang saat ini Bukalapak belum memiliki atau terafiliasi strategis dengan penyelenggara bank digital – sementara para kompetitornya telah memiliki, misalnya Tokopedia dengan Bank Jago atau Shopee dengan SeaBank.

Tepatnya sejak Juni 2021, saat ini Bank Harda Internasional resmi melakukan rebranding menjadi Allo Bank Indonesia. Semangatnya adalah memberikan solusi aplikasi terpadu lewat Allo Apps, untuk memenuhi kebutuhan pengguna mulai dari segi finansial hingga hiburan. Di fase awalnya, aplikasi Allo akan dihubungkan dengan berbagai merchant dan layanan di ekosistem CT Corpora. Namun sampai saat ini aplikasi tersebut belum secara resmi meluncur ke publik.

Pemain bank digital yang tengah bersiap meramaikan pasar / DSInnovate

Di sisi regulasi, pertengahan tahun lalu OJK mengeluarkan tiga aturan baru untuk mendukung industri perbankan agar lebih efisien, berdaya saing, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Salah satu poin menariknya, POJK Bank Umum mempertegas pengertian bank digital, yakni bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus bank digital menyeluruh (full digital banking).

Selain itu, POJK 12 tersebut juga meredefinisi pengelompokan bank berdasarkan modal inti (KBMI), tidak lagi menggunakan BUKU (bank umum kegiatan usaha). Redefinisi ini pada dasarnya tidak memengaruhi kinerja pemain existing, karena tidak mengurangi cakupan kegiatan usaha. Justru bagi bank kecil, KBMI ini menjadi pemulus rencana mereka yang ingin menjadi bank digital. Di aturan sebelumnya dalam BUKU 1, mereka tidak diperbolehkan masuk ke ranah digital. Asalkan mereka tetap menyesuaikan permodalan minimal Rp3 triliun untuk bank digital hasil konversi.

Pengelompokan Modal Inti
KBMI 1 ≤ Rp6 triliun
KBMI 2 Rp6 triliun s/d  ≤ Rp14 triliun
KBMI 3 Rp14 triliun s/d ≤ Rp70 triliun
KBMI 4 ≥ Rp70 triliun
Bank Digital Wajib punya minimum satu kantor pusat
Pendirian bank Modal disetor minimum Rp10 triliun

Sebelumnya, OJK mencatat ada beberapa bank dalam proses go-digital yakni BRI Agroniaga, Bank Capital, Bank Harda Internasional, dan Bank QNB Indonesia. Beberapa pemain lain seperti KEB Hana, BCA Digital, Neo Commerce dll sudah meresmikan layanannya sejak tahun lalu.

Kinerja Allo Bank

Per akhir Q3 2021, total aset Allo Bank mengalami peningkatan 166,70% di bandingkan tahun lalu, menjadi Rp6,89 triliun. Disokong peningkatan efek-efek (355,17%) dan kredit (63,24%).

Posisi keuangan Allo Bank, terkait aset, liabilitas, dan ekuitas / DailySocial.id

Dalam periode Q3 2021, perseroan membukukan laba tahun berjalan Rp85,7 miliar, meningkat 77,16% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.  Pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan laba sebelum beban pajak.

Adapun penghasilan yang didapat Allo Bank mencapai Rp191,5 triliun, meningkat 295,88% dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh keuntungan yang belum direalisasi  dari efek yang diukur pada penghasilan komprehensif lain (tersedia untuk dijual) sebesar Rp105,6 miliar.

Laporan pendapatan yang berhasil dibukukan hingga Q3 2021 / Allo Bank

EMTEK telah akuisisi Bank Fama

Di lain sisi, EMTEK (yang tidak bisa dilepaskan jika berbicara tentang Bukalapak dan Grab), terlebih dulu melakukan akuisisi ke Bank Fama. Melalui anak usahanya PT Elang Media Visitama (EMV), EMTEK akan mengambil alih sebanyak 93% atau setara 9.089.503.800 lembar saham milik Bank Fama. Sebelumnya memang santer tersiar kabar bahwa EMTEK dan Grab tengah mendirikan bank digital, upaya tersebut turut didukung dengan perekrutan eks Presdir Bank CIMB Niaga Tigor M Siahaan. Bank ini dikabarkan akan terintegrasi dengan berbagai ekosistem digital, mulai dari commerce, online-to-offline (O2O), dan pembayaran digital.

Dalam pernyataannya, aksi korporasi ini menjadi jalan masuk taipan milik Sariaatmadja tersebut untuk meningkatkan literasi keuangan dan perbankan ke sektor UMKM. Selain itu, Bank Fama juga dapat memanfaatkan kekuatan finansial, jaringan bisnis, produk, dan keahlian sektoral EMV.

Belum memulai mode “Growth”

Dibandingkan dengan bank lain yang berada di pengelompokan yang sama, yakni KBMI 2, dan berambisi menjadi bank digital terdepan, posisi keuangan Allo memang masih hijau. Misalnya dibandingkan dengan Neobank yang masih merugi Rp264,7 miliar dan Bank Jago Rp32,9 miliar pada Q3 2021 lalu. Keduanya memang tengah gencar mengejar pertumbuhan pesat (growth) di tengah pasar bank digital yang dinilai masih hijau.

Hal tersebut membawakan hasil. Menurut data-data yang dikumpulkan DSInnovate dalam laporan “The Rise of Digital Banking in Indonesia“, sepanjang periode Agustus-September 2021 kedua bank mendapatkan performa yang paling dominan di antara aplikasi bank digital lain yang sudah meluncur. Gaya “ala startup” diimplementasikan untuk meningkatkan adopsi sekaligus traksi ke layanan – terlebih segmen utama yang ditargetkan memang kalangan usia produktif (milenial).

Statistik pertumbuhan bank digital di Indonesia / DSInnovate

Tren yang dapat ditangkap, salah satu model bisnis yang diterapkan para pemain bank digital –selain menjadi consumer banking—adalah menjadi sebuah embedded services. Para pemain berlomba-lomba menghadirkan produk BaaS (Bank as a Services) dengan harapan dapat terintegrasi dengan aplikasi konsumer dengan basis pengguna besar. Tak ayal jika sekarang ini masing-masing pemilik aplikasi konsumer seperti memegang satu per satu bank digitalnya sendiri.

Masuknya Bukalapak dan Grab jelas meningkatkan proposisi nilai Allo Bank dalam konteks ini. Maka dari itu pekerjaan rumah berikutnya, bagaimana inovasi produk dapat diakselerasi sehingga fitur dan layanan yang dimiliki Allo Bank dapat segera dirilis dan diimplementasikan ke para mitra strategisnya. Percepatan pengembangan produk ini menjadi poin penting, karena faktanya pemain lain sudah satu-dua langkah lebih maju melakukan akuisisi pengguna dan integrasi layanan bersama ekosistem mitranya masing-masing.

Ketepatan strategi dan inovasi pada akhirnya akan menjadi kunci, apakah Allo Bank mampu mengimbangi performa pemain yang sudah ada. Atau justru sebaliknya, gagal memanfaatkan momentum pertumbuhan pasar yang tengah dieksplorasi banyak pihak.

Bisnis Advance Intelligence Group di Indonesia

Valuasi Advance Intelligence Group Capai $2 Miliar, Bagaimana Performa Unit Bisnisnya di Indonesia

Advance Intelligence Group pada Rabu (22/9) lalu mengumumkan perolehan pendanaan seri D senilai $400 juta. Putaran ini dipimpin oleh SoftBank Vision Fund 2 dan Warburg Pincus; dengan partisipasi Northstar, Vision Plus Capital, Gaorong Capital, dan EDBI. Investasi ini membawa valuasi perusahaan di kisaran $2 miliar.

Didirikan sejak tahun 2016, grup perusahaan ini membawahi beberapa brand layanan digital yang juga beroperasi di Indonesia. Pertama ada Advance.ai, produk yang disajikan membantu pemain digital lainnya (khususnya fintech) degan berbagai solusi seperti credit scoring, e-KYC, layanan rekognisi dll. Kedua, mereka mengoperasikan layanan paylater Atome, terintegrasi di aplikasi konsumer seperti JD.id, Zalore, Pomelo, dan sebagainya.

Ketiga, Advance Intelligence Group juga mengoperasikan platform fintech lending Kredit Pintar di Indonesia — menyasar pada kalangan konsumer. Terakhir, mereka memiliki layanan e-commerce enabler Ginee (sebelumnya bernama Genie), membantu pebisnis melakukan manajemen bisnis di berbagai platform online marketplace dalam satu dasbor. Kapabilitasnya termasuk di ranah fulfillment.

Ekosistem layanan Advance Intelligence Group

Performa bisnis fintech

Disampaikan oleh perusahaan, dana segar yang didapat akan difokuskan untuk mendorong pertumbuhan layanan paylater dan pinjaman digital ke seluruh Asia. Selain itu mereka juga akan memperdalam kemampuan AI dan analisis big data. Jelas berbagai langkah strategis harus segera disiapkan untuk memenangkan pasar. Pasalnya semua lini bisnis yang digeluti Advance, khususnya di Indonesia, dihadapkan pada kompetisi yang cukup sengit.

Mari diulas satu per satu, dimulai dari layanan paylater Atome. Secara potensi, model bisnis ini memiliki peluang besar di Indonesia, dibuktikan oleh beberapa survei terkait metode pembayaran. Salah satunya dilakukan Katadata Insight Center bersama Kredivo, saat ini paylater menjadi pembayaran populer nomor empat (27%), setelah e-wallet (65%), transfer bank (51%), dan Alfamart/Indomaret (29%). Pemahaman masyarakat juga sudah baik, sebanyak 86% orang menyatakan sudah mengetahui paylater dengan tingkat pengetahuan sedang.

Di Indonesia, konsep paylater populer terbagi dalam dua pendekatan. Pertama, layanan dari anak usaha platform konsumer – seperti TravelokaPaylater dari Traveloka, GopayPayater dari Gojek, dan SPaylater dari Shopee. Kedua, adalah layanan yang berdiri secara standalone dan terintegrasi di berbagai aplikasi konsumer. Atome masuk ke pendekatan kedua, bersaing dengan beberapa penyedia lain, sebagai berikut:

Aplikasi Unduhan (Playstore) Peringkat (Playstore)
Akulaku 10 juta+ 3 (Shopping)
Atome 1 juta+ 19 (Shopping)
Home Kredit 10 juta+ 33 (Finance)
Indodana 5 juta+ 30 (Finance)
Julo 5 juta+ 28 (Finance)
Kredivo 10 juta+ 10 (Finance)

Dari studi yang kami lakukan di akhir 2020 tentang pemain paylater, di banyak aspek Atome tidak lebih unggul dari pemain lainnya. Misalnya terkait integrasi di top 20 e-commerce di Indonesia, layanan lain seperti Kredivo, Akulaku, atau Home Credit memiliki opsi yang lebih banyak. Demikian juga terkait batas maksimal nilai kredit dan opsi tenor yang diberikan. Selengkapnya baca perbandingan layanan paylater melalui: Studi Layanan Paylater di Platform E-commerce Indonesia.

Jika paylater fokusnya pada pembiayaan pembelian barang, layanan fintech lending cashloan memberikan pinjaman kredit berupa uang tunai untuk konsumer. Dari grup Advance, mereka memiliki Kiredit Pintar. Melihat dari total nilai pinjaman dan peminjam yang ada sejak berdiri, platform mereka masuk ke dalam top 5 cashloan di Indonesia, bersaing dengan beberapa layanan lain seperti Asetku, Rupiah Cepat, UangMe, dan TunaiKita.

Fintech Cashloan Populer di Indonesia

Layanan skoring kredit masih punya peluang besar

Baik Atome dan Kredit Pintar turut memanfaatkan Advance.ai sebagai landasan skoring kredit, dalam menentukan kelayakan calon nasabahnya. Bisnis grup Advance sendiri sebenarnya juga dimulai dari layanan kecerdasan buatan yang mereka kembangkan untuk mendukung bisnis fintech. Beberapa perusahaan seperti Bank Mega, Dana Mart, bahkan Home Credit turut memanfaatkan layanannya.

Aturan tentang platform skoring kredit diakomodasi dalam POJK tentang Inovasi Keuangan Digital. Per Mei 2020, terdapat 12 perusahaan yang sudah terdaftar masuk ke dalamnya. Sementara, sejak saat itu hingga sekarang, pemain baru pun terus bermunculan. Mulai dari platform open finance Finantier yang juga mengembangkan layanan skoring, hingga raksasa online marketplace lokal Tokopedia yang membangun anak usaha Toko Score.

Nama Platform Nama Perusahaan Tanggal
Avatec PT AVATEC SERVICES INDONESIA Tercatat: 26 Maret 2019
Acura Labs PT ACURA LABS INDONESIA Tercatat: 26 Maret 2019
TSI PT TRUSTING SOCIAL INDONESIA Tercatat: 26 Maret 2019
Tongdun PT TONGDUN TECHNOLOGY INDONESIA Tercatat: 15 Juli 2019
BPS PT BANGUN PERCAYA SOSIAL Tercatat: 25 Oktober 2019
PYXIS PT DIGITAL SYNERGY TECHNOLOGY Tercatat: 25 Oktober 2019
CekSkor PT PUNCAK AKSES FINANSIAL Tercatat: 25 Oktober 2019
Fineoz PT FINEOZ INOVASI TEKNOLOGI Tercatat: 25 Oktober 2019
CredoLab PT CREDOLAB INDONESIA SCORING Tercatat: 23 Desember 2019
Izidata PT IZI DATA INDONESIA Tercatat: 10 Februari 2019
OLDI PT ORANYE LAYANAN DIGITAL INDONESIA Tercatat: 10 Februari 2019
SDB Score PT SEMANGAT DIGITAL BANGSA Tercatat: 10 Februari 2019

Potensi platform skoring kredit akan mengikuti pertumbuhan industri yang menggunakannya, tak lain digital lending. Menurut studi yang dilakukan Grand View Research, ukuran pasar platform digital lending akan mencapai $5,80 miliar di tahun ini. Diproyeksikan akan mencapai $26,08 miliar di tahun 2028 dengan CAGR 24% di periode tersebut.

E-commerce enabler di Indonesia

Ginee masuk ke Indonesia baru sekitar Maret 2021. Ekspansi mereka dilandasi nilai ekonomi signifikan yang dihasilkan dari bisnis e-commerce. Platform yang disajikan dimaksudkan untuk membantu pebisnis tradisional untuk melakukan on-boarding dan pengelolaan toko online multikanal. Lewat fitur Omnichannel, pengguna dapat melakukan manajemen stok dan penjualan di berbagai jenis online marketplace dalam satu dasbor saja.

Sementara di fitur Fulfillment membantu pebisnis mengatur pemenuhan pesanan, termasuk distribusi produk ke konsumen dan logistik Ada juga Ginee Chat, membantu pebisnis memiliki dasbor layanan pelanggan. Memudahkan mereka mengelola chat masuk yang datang dari berbagai sumber di satu aplikasi.

Di Indonesia, saat ini sudah ada beberapa layanan yang menyajikan proses bisnis serupa. Berikut daftarnya:

  • 8Commerce
  • aCommerce
  • Anchanto
  • Egogohub
  • GudangAda
  • IDMarco
  • Intrepid Group
  • iSeller
  • Jarvis Store
  • Jet Commerce
  • KlikDaily
  • PowerCommerce
  • SCI E-Commerce
  • Sirclo
  • Tokotalk

Sirclo menjadi salah satu pemain lokal yang memiliki posisi unik; tidak hanya menghadirkan layanan SaaS, mereka juga membantu di sisi logistik hingga pergudangan. Saat ini startup yang dinakhodai Brian Marshall tersebut sudah merangkul lebih dari 100 ribu brand, melayani 4 juta lebih konsumen akhir. Sementara Ginee saat ini membantu 75 ribu merchant dengan 131 juta pesanan yang berhasil ditangani.

Ukuran pasar yang dapat diraup oleh pemain industri ini juga berpotensi terus meningkat seiring dengan GMV fantastis yang dihasilkan e-commerce. Dari sisi bisnis, efisiensi yang diberikan juga mendorong mereka untuk secara lebih aktif terlibat langsung dalam perdagangan online. Sebelumnya, brand memanfaatkan rantai-pasok panjang untuk mendistribusikan produknya ke konsumen akhir; teknologi memungkinkan mereduksi alur panjang tersebut.

Adopsi layanan e-commerce enabler terus mengalami peningkatan seiring efisiensi yang diberikan / redseer

Secara umum, layanan e-commerce enabler menjangkau dua segmen sekaligus, yakni pemilik brand besar dan juga UMKM. Pada akhirnya, dengan kompetisi pasar yang sengit, added value seperti ekosistem layanan dan integrasi menjadi satu hal yang layak dijadikan proposisi nilai. Untuk itu, para pemain di atas pun berlomba-lomba menghadirkan fitur yang paling lengkap untuk mengakomodasi kebutuhan penjual online secara end-to-end; mulai dari pendataan produk, pengemasan, pengiriman, pelaporan, sampai sistem loyalitas pelanggan.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Tren Investasi Startup 2021

Validasi Hipotesis Investasi Dorong Pemodal Ventura Lakukan “Follow-on Funding”

Dibandingkan dua tahun sebelumnya, pada Q1 2021 pendanaan startup di Indonesia terpantau mengalami peningkatan, baik dari sisi jumlah transaksi maupun nominal yang dibukukan. Dari catatan tim riset kami, di periode tersebut terdapat 40 transaksi, membukukan dana [dari 24 transaksi yang nilainya diumumkan] senilai $554,7 miliar atau setara 8 triliun Rupiah.

Secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan. Menjadi menarik untuk diulas lebih dalam, melihat bagaimana tren terkini pendanaan startup, khususnya yang dilakukan pemodal ventura lokal yang notabenenya lebih dekat dengan ekosistem. Kami mencoba membedah data pendanaan mengambil sampel data transaksi pendanaan 2019-2020 terhadap pemodal ventura lokal yang paling aktif: East Ventures, Alpha JWC Ventures, dan AC Ventures.

Temuan menarik pertama yang kami tangkap, ada kecenderungan investor melakukan follow-on funding (pendanaan lanjutan) kepada startup yang sudah didanai di tahun sebelumnya. Ambil contoh yang dilakukan oleh AC Ventures, sepanjang di periode tersebut mereka terlibat dalam pendanaan seri A kepada 5 startup yang pada tahun sebelumnya juga diberi pendanaan seed. Secara total dari 18 transaksi, 8 di antaranya merupakan lanjutan dari 6 pendanaan yang diberikan sebelumnya.

Hal tersebut juga menjadi sebuah indikasi bahwa para pemodal sangat disiplin dengan hipotesis investasi yang telah didefinisikan.

Besaran tiket dan sektor potensial

Mengambil rata-rata dari transaksi yang dilakukan 3 pemodal ventura lokal teraktif, nilai yang diberikan untuk follow-on funding seri A dari setiap fund cukup beragam, di rentang $100 ribu s/d $1,5 juta. Beberapa memberikan nominal yang sama dengan perolehan di seed, lainnya meningkatkan beberapa kali lipat.

Pada tahapan seed nilai minimum yang diberikan berada di kisaran $65 ribu dan nilai tertinggi yang diberikan di kisaran $2 juta. Menariknya, nilai tertinggi pendanaan diberikan pada periode tahun 2021, baik di tahapan seed maupun Seri A.

Dilihat dari ticket size yang diberikan, beberapa sektor mendapatkan nilai yang signifikan. Dari nilai maksimum pendanaan seed yang diberikan, masing-masing pemodal ventura memiliki preferensi berbeda di sisi vertikal bisnis.

Sebagai catatan, ticket size ini selain diukur dari potensi market size suatu bisnis juga dipengaruhi berbagai faktor, termasuk dari internal startup.

Fintech, cloud kitchen, SaaS memiliki kecenderungan untuk mendapatkan nominal seed yang lebih tinggi dari lainnya; pun demikian dalam follow-on funding yang diberikan. Kendati demikian, pemodal ventura kebanyakan masih sektor agnostik. Contohnya yang dilakukan East Ventures yang tetap berinvestasi dalam berbagai vertikal di luar tiga tersebut, yakni ke loyalty, e-commerce, social commerce, wellness, dan beberapa lainnya.

Data akumulasi 2019-2021, SaaS mendapat perhatian lebih dari investor lokal mengantongi jumlah transaksi pendanaan terbanyak [13], lalu disusul fintech [12]. Sektor lainnya memiliki jumlah yang relatif lebih kecil, mulai dari edtech, logistik, on-demand, dan sebagainya.

Pendanaan lanjutan

Potensi founder lokal yang masih terus bisa digali membuat sebagian besar investor lokal masih memfokuskan pada pendanaan tahap awal. Namun demikian, mereka tetap memiliki alokasi khusus untuk memberikan pendanaan lanjutan. East Ventures sebelumnya memisahkan jenis pendanaan tersebut dengan mendirikan EV Growth, namun pada akhirnya dilebur kembali dalam satu entitas.

Dari tiga pemodal ventura lokal tersebut, sepanjang periode tercatat 16 transaksi pendanaan lanjutan (seri B ke atas). Jika dilihat lebih hampir semua merupakan follow-on funding dari investasi sebelumnya yang sudah diberikan. Nilai yang diberikan rata-rata di angka $3,8 juta untuk setiap partisipasi pemodal ventura, dengan nilai maksimal mencapai $9 juta.

Startup di bidang e-commerce, coworking space, SaaS, dan fintech yang mendapatkan fasilitas pendanaan lanjutan dari ketiga investor. Jika didalami, mereka adalah startup yang sudah mencapai tahap kematangan model bisnis dan tengah gencar melakukan ekspansi pasar, baik domestik maupun regional.

Indonesia VC investment trend 2021

Proyeksi 2021

Paruh pertama tahun ini hampir ditutup, sejauh ini transaksi pendanaan ke startup masih terus mengalir. Pemodal ventura juga masih terus mengeksplorasi peluang baru dengan berinvestasi pada founder. Di sisi lain, dukungan lanjutan untuk startup juga terus mengalir — terlebih saat ini ekosistem di Indonesia sudah mendapatkan perhatian lebih dari investor global.

Kemudian, tahun 2021 berpotensi membuka sejarah baru bagi ekosistem startup di Indonesia. Jika para unicorn berhasil melantai ke bursa, ada potensi exit besar bagi para pemodal ventura. Artinya ini memberi kesempatan dana-dana yang kembali bisa diputar untuk generasi pendiri berikutnya — mungkin dengan intensitas dan nominal yang jauh lebih besar.

Didasarkan tren yang ada sejauh ini, tahun 2021 diproyeksikan menjadi pembuka dekade yang baik. Pendanaan startup ditaksirkan mencatatkan nilai tertinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan hipotesis yang lebih matang, investasi pemodal ventura juga menjadi “seleksi alam” yang baik untuk melahirkan bisnis-bisnis digital yang lebih relevan dan tangkas.


Gambar Header: Depositphotos.com

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin saat potong tumpeng memperingati HUT ke-11 / Bukalapak

Putaran Seri G Bukalapak Dikabarkan Tembus 5,7 Triliun Rupiah Sebelum Realisasikan IPO

Kabar terkait pendanaan tahap akhir Bukalapak masih bergulir. UBS Group AG (bank investasi asal Swiss cabang London, Inggris) dan Resorts World (anak usaha Genting Berhad, Malaysia) turut terlibat di putaran Seri G tersebut. Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh DealStreetAsia. Diproyeksikan untuk putaran kali ini Bukalapak mengumpulkan dana lebih dari $400 juta atau setara 5,7 triliun Rupiah.

Pada April ini, sebelum kedua investor tersebut masuk, Bukalapak ditaksirkan berhasil mengumpulkan dana hingga $234 juta atau setara 3,3 triliun Rupiah dari sejumlah investor, termasuk Microsoft, GIC, Emtek, Naver, Mandiri Capital, dan BRI Ventures.

Kami sudah mencoba mengonfirmasi kabar tersebut ke eksekutif Bukalapak, namun pihak terkait masih enggan memberikan respons. Disinyalir putaran pendanaan kali ini adalah putaran privat terakhir sebelum perusahaan melakukan IPO tahun ini.

Menurut Forbes, UBS AG London kini mengantongi 2,5% dari total saham Bukalapak, meskipun bisa jadi UBS hanya proxy bagi pihak lain yang tidak ingin disebut. Diestimasikan valuasi pasar Bukalapak kini di angka $3,5 miliar.

Diversifikasi

Tak dimungkiri, berbicara tentang Bukalapak mau tidak mau harus membandingkannya dengan unicorn lokal lain yang bermain di segmen yang sama, yakni Tokopedia. Ditinjau dari statistik situs, sebagai salah satu matriks penggunaan, Bukalapak masih terpaut cukup jauh dengan Tokopedia. Pada Q1 2021, diketahui Tokopedia menempati puncak klasemen kunjungan situs, disusul Shopee dan Bukalapak.

Valuasi terbaru Tokopedia diproyeksikan mencapai $7,5 miliar. Belum lagi soal kabar merger-nya bersama Gojek Hal ini cukup menjadi perhatian tersendiri bagi para pesaingnya. Ada beberapa potensi inovasi gabungan yang dapat terlahir dari keduanya.

Kembali ke Bukalapak, kendati sama-sama menjajakan platform online marketplace, masing-masing memiliki proposisi nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang menurut kami unggul di sisi Bukapalak. Pertama terkait program kemitraan yang mereka miliki. Mitra Bukalapak adalah salah satu pionir program kemitraan e-commerce dengan warung (kendati saat ini semua platform juga memiliki program serupa).

Menurut data terbaru, sejak dirilis tahun 2016 Mitra Bukalapak telah merangkul lebih dari 7 juta UMKM di Indonesia. Mitra Bukalapak juga sudah menjadi unit perusahaan tersendiri yang pimpin Howard Gani. Program ini juga dinilai berperan aktif dalam menjaring merchant di luar kota tier-1. Perusahaan juga telah mencanangkan ekspansi merchant di kota tier-1 sebagai fokus bisnis tahun 2021.

Kedua, Bukalapak cukup serius menggarap lini finansial, terutama terkait investasi. Tahun lalu Buka Investasi Bersama (BIB) diumumkan sebagai anak perusahaan Bukalapak yang akan fokus mengembangkan layanan investasi untuk instrumen reksa dana. Ini menjadi unit bisnis kedua setelah PT Buka Pengadaan Indonesia (BukaPengadaan / unit B2B Commerce). Presiden Bukalapak Teddy Oetomo memiliki jabatan tambahan sebagai CEO BIB.

Memiliki lisensi APERD, BIB lebih leluasa dalam mengembangkan produk reksa dana menyesuaikan target konsumennya dan meracik produk bersama dengan Manajer Investasi (MI) untuk menyediakan produk reksa dana pasar uang (RDPU), pendapatan tetap (RDPT), dan beberapa produk reksa dana lainnya. Perusahaan memasang target dapat mengakuisisi investor baru dari pengguna Bukalapak sebanyak 500 ribu orang pada 2021.

Dalam sebuah kesempatan, CEO Rachmat Kaimuddin mengatakan, dalam periode tersebut 2018-2020 perusahaan mampu mencapai pertumbuhan EBITDA 80% sebagai hasil dari juga upaya mengurangi cashburn. Saat ini, Bukalapak telah mengantongi 100 juta pengguna. Tahun lalu Bukalapak juga mencatat pertumbuhan signifikan, terutama dari segmen B2C melalui BukaMall dengan pertumbuhan 17% setiap bulan di sepanjang 2020. Per Desember 2020, transaksi Bukamall tumbuh 3,1 kali dibandingkan tahun lalu.

Kepemimpinan

Bukalapak juga dikabarkan menjadi unicorn lokal keempat yang menjajaki potensi IPO lewat SPAC. Mereka mulai menjajaki potensi go public di BEI (dengan sebagian kecil saham), lalu akan dilanjutkan melantai di bursa Amerika Serikat lewat mekanisme SPAC. Perusahaan dikatakan tengah dalam pembicaraan awal dengan beberapa perusahaan cek kosong dan sudah mulai menjalin eksplorasi dengan sejumlah investment bank.

Selain laju pertumbuhan bisnis, kepemimpinan perusahaan menjadi hal yang akan disoroti kala sebuah perusahaan berada di bursa saham. Bukalapak kini sudah “ditinggal” pada pendirinya [tidak lagi terlibat di posisi eksekutif], yakni Achmad Zaky (mundur dari posisinya sebagai CEO tahun 2020), Nugroho Herucahyono (2020, CTO), dan Fajrin Rasyid (2020, Presiden). Suksesi dilakukan dengan merekrut Rachmat dan mempromosikan Teddy.

Rachmat Kaimuddin Teddy Oetomo
Posisi CEO Bukalapak, Komisaris BIB President Bukalapak, CEO BIB
Perusahaan sebelumnya ·         KB Bukopin (Direktur Keuangan, Komisioner)

·         Bosowa Semen (Direktur)

·         Naring Priate Equity (Wakil Direktur)

·         Quvan Management (Principal)

·         Cardig Air Services (Direktur Keuangan)

·         IFC (Konsultan)

·         BCG (Konsultan)

·         Schroders (Head of Intermediary Business)

·         Credit Suisse (Direktur Riset Ekuitas)

·         Capital Markets (Analis)

Dari pekerjaan sebelumnya, Rachmat dan Teddy memiliki pengalaman yang cukup mumpuni di bidang manajemen keuangan dan investasi. Selain kedua sosok ini, Bukalapak juga masih memiliki Willix Halim yang menempati posisi sebagai COO.

Selain upaya terus mengurangi burn rate, dalam beberapa pernyataan para pemimpin Bukalapak juga mengungkapkan strategi bisnisnya untuk mengejar profitabilitas — termasuk dengan mengeksplorasi berbagai sektor di luar bisnis intinya sebagai layanan e-commerce.

Sempat diumumkan juga bahwa perusahaan tengah merekrut beberapa posisi strategis untuk sebuah unit bisnis baru di negara baru. Menurut spekulasi yang beredar, Bukalapak mencoba mengeksplorasi pasar Filipina. Terkait hal ini, kami juga sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak Bukalapak, namun mereka memilih tidak berkomentar.

Persaingan ketat platform e-commerce terus meruncing, namun besarnya pangsa pasar Indonesia masih menyisakan peluang untuk dieksplorasi. Masih banyak isu yang belum benar-benar tuntas untuk diselesaikan, mulai dari logistik sampai pendekatan yang lebih hyperlocal. Melenggangnya para unicorn ke bursa saham dianggap sebagai langkah naik kelas untuk menarik lebih banyak investor luar memahami pendekatan digital dengan kearifan lokal yang disajikannya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Mempertanyakan Status Unicorn Layanan Logistik J&T Express

Pada 2017, perusahaan jasa ekspedisi J&T Express (J&T) mencatat jumlah pengiriman barang sebanyak 300 ribu paket per hari. Tiga tahun kemudian, J&T mencatatkan rekor pengiriman tertingginya dengan 2 juta paket per hari atau hingga 20 juta paket di sepanjang 2020.

Dalam enam tahun perjalanannya sejak berdiri di 2015, J&T telah mencatatkan milestone yang signifikan di industri logistik. Perusahaan kini telah memiliki 100 gateway center, 4000 operating point, 30.000 pegawai, dan ribuan armada untuk menjangkau seluruh Indonesia.

Perusahaan yang didirikan Jet Lee dan Tony Chen, para petinggi perusahaan ponsel Oppo, telah melebarkan sayap bisnis ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah Indonesia, J&T sudah hadir di Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Tahun ini J&T disebut telah menyandang predikat unicorn menurut daftar CB Insights. Valuasinya pun fantastis, $7,8 miliar atau sebesar Rp113,5 triliun. J&T menempati urutan kedua unicorn dengan valuasi terbesar di Indonesia setelah Gojek dan diklaim sebagai startup logistik pertama di Indonesia.

Model bisnis dan pendanaan baru

Informasi ini cukup banyak memunculkan pertanyaan. Pasalnya, J&T dinilai menggunakan model bisnis tradisional, sama halnya seperti perusahaan logistik legacy seperti JNE. Perusahaan juga dianggap tidak termasuk dalam kategori bisnis smart logistics.

Jika patokannya adalah valuasi, nilai yang dirilis CB Insights wajar mengingat perusahaan sudah beroperasi di empat negara. Namun, jika kembali pada asas startup yang sifatnya disruptif, tidak diketahui apa saja inovasi atau teknologi yang dikembangkan perusahaan selama enam tahun berdiri.

Dari observasi dan informasi yang dikumpulkan DailySocial, satu-satunya hal yang dapat menghubungkan J&T dengan predikat unicorn tersebut adalah pengaruh besarnya dalam memberikan ongkos kirim jasa pengiriman yang murah dan gratis melalui kemitraannya dengan e-commerce.

Hal ini terlihat dari strategi kunci J&T dalam menggandeng marketplace besar sejak 2017, yaitu Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak. Saat itu, seperti dikutip dari Merdeka, CEO J&T Robin Lo menyebut bahwa jasa logistik dari bisnis e-commerce berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan perusahaan di 2017.

Di situasi pandemi Covid-19, kontribusi tersebut naik signifikan. Terlebih, riset e-Conomy SEA 2020 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan bahwa sektor e-commerce masih menjadi motor penggerak ekonomi digital dengan pertumbuhan 54% atau $32 miliar.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto bereaksi terhadap hal ini dan menilai bahwa informasi ini sepatutnya disuarakan ke publik. Apalagi J&T juga berencana untuk go public di bursa Amerika Serikat (AS). Menurutnya, jika ini semata untuk menaikkan valuasi, sudah seharusnya pemerintah mulai mengatur persaingan sehingga pemain asing tidak dapat menghancurkan pasar logistik.

“Kami mempertanyakan apa iya sebesar itu valuasinya? JNE saja mungkin [valuasinya] sudah Rp10 triliun, kenapa tidak disebut unicorn? JNE menggunakan mitra di daerah-daerah, sedangkan J&T ‘nempel’ di titik JNE dengan modal sendiri. Apakah model business process [J&T] bisa tidak tidak terbatas di Indonesia? Persaingannya harus di medan yang pas lah,” paparnya saat dihubungi DailySocial.

Dengan rencana IPO ini, J&T berencana menghimpun pendanaan sebesar U$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun usai mengantongi investasi sebesar $300 juta beberapa waktu lalu. “Penawaran ini bakal menaikkan valuasi J&T Express menjadi $5 miliar,” ungkap salah seorang sumber di perusahaan seperti diberitakan Bloomberg.

Mungkin saja, apabila IPO terealisasi, gebrakan inovasi teknologi J&T di smart logistics akan lebih banyak dilakukan tahun ini.

Smart logistics

Dalam beberapa tahun terakhir, investor menaruh investasi besar di vertikal smart logistics. Berdasarkan catatan kami, ada delapan deal investasi yang diperoleh startup logistik di sepanjang 2020.

Di awal tahun ini, SiCepat Ekspres (SiCepat), yang tidak bermula di bisnis smart logistics, juga telah menerima pendanaan signifikan dari VC. SiCepat memperoleh Rp2,4 triliun dari sejumlah investor, seperti Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (Lembaga Keuangan Pembangunan Jerman), MDI Ventures, hingga Pavilion Capital (anak perusahaan Temasek Holdings).

Hal yang membedakan SiCepat dan J&T adalah perusahaan mengambil strategi pengembangan inovasi dengan ekspansi horizontal yang masif. Perusahaan mencaplok kepemilikan 51% saham platform food delivery DigiResto yang berada di bawah naungan PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS). Kemudian induk SiCepat, Onstar Express Pte. Ltd., berinvestasi ke Logitek Digital Nusantara (LDN) yang merupakan anak usaha Telefast, bagian dari grup M Cash.

Ekspansi ini menjadi strategi kunci SiCepat, terutama melalui DigiResto yang disebut telah terintegrasi dengan tiga ekosistem utama, yakni multi delivery, multi merchant, dan multi payment.

Bicara inovasi smart logistics, Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menilai sebetulnya pengembangan di segmen ini dinilai lebih sulit dibandingkan dengan vertikal lain, seperti digital payment atau fintech. Smart logistics berkaitan dengan barang fisik sehingga peranan manusia masih sangat diperlukan untuk perpindahan barang. Berbeda dengan fintech yang bisa mengubah uang fisik menjadi non-tunai (cashless). Apalagi industri logistik di Indonesia dinilai belum punya standar jadi.

Alhasil, proses manual masih banyak dilakukan dan sulit untuk mendigitalisasinya. Sementara digitalisasi di sektor keuangan dinilai lebih mudah karena sudah distandarisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

“Contoh minor, standarisasi data. Misalnya, maksimum jumlah karakter untuk alamat dan format nomor telepon itu belum ada sehingga menyulitkan integrasi API antar-platform. Kalau smart logistics di luar negeri tinggal plug and play. Ini baru bicara standardisasi pra kondisi dari smart logistics,” ujarnya dihubungi DailySocial.

Dari situasi ini saja, sebetulnya ada peluang bagi pelaku startup logistik untuk masuk ke ranah pengembangan tools atau solusi yang belum terstandarisasi. Namun, lanjut Zaldy, pandemi Covid-19 menjadi momentum besar bagi sektor logistik untuk membantu mempercepat digitalisasi ke arah smart logistics. Konsumen mau tak mau “dipaksa” mengikuti proses berbasis digital.

Fave diakuisisi penuh oleh Pine Labs, startup unicorn POS dari India, senilai $45 juta seluruh investor exit, termasuk Venturra Capital dan dapat uang tunai / Fave

Mencermati Dampak Akuisisi Fave oleh Pine Labs Terhadap Operasional di Indonesia

Kabar akuisisi penuh Fave oleh Pine Labs, startup unicorn POS dari India, senilai $45 juta (lebih dari 650 juta Rupiah) membuat kami tertarik untuk menelusuri lebih dalam perkembangan Fave sejauh ini di Indonesia dan apakah ada potensi ke depannya setelah kehadiran induk usaha.

Seperti diketahui, Fave adalah platform penjualan e-voucher diskon untuk merchant offline. Proses pembayaran e-voucher sepenuhnya dengan digital, saat ini untuk di Indonesia saja telah terhubung dengan OVO, CIMB Clicks, Indomaret, KlikBCA, BCA Klikpay, dan ATM/Bank Transfer. Ketika transaksi berhasil, secara otomatis konsumen akan menerima cashback atau poin loyalitas dari Fave yang dapat ditukar untuk transaksi berikutnya. Dari model bisnis seperti ini, Fave mampu menarik konsumen untuk berbelanja di merchant rekanan.

Diklaim, di tiga negara Fave beroperasi (Singapura, Malaysia, dan Indonesia), telah menggaet lebih dari 6 juta konsumen terhubung dengan 40 ribu merchant mencatatkan volume pembayaran kotor $400 juta.

Di Indonesia, Fave masuk melalui sister company KFit pasca akuisisi Groupon Indonesia pada 2016. Lalu rebrand menjadi Fave hingga kini beroperasi di lima kota di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya, dan Medan. Dibandingkan dua negara lainnya, titik kehadiran Fave terbesar datang dari Malaysia yang hadir di 26 kota.

Berdasarkan keterangan resmi, dampak dari akuisisi tersebut adalah Fave akan ekspansi ke India dengan brand yang sama melayani merchant yang telah bekerja sama dengan Pine Labs. Totalnya ada lebih dari 500 ribu merchant di 3700 kota di seantero India.

Selanjutnya, seluruh investor Fave exit dan menerima pembayaran tunai, sementara founder dan karyawan Fave akan menerima sejumlah uang tunai dan saham di Pine Labs. Jajaran investor Fave ada Sequioa Capital India, SIG Asia Investments, dan VC lokal Venturra Capital.

Pine Labs sendiri adalah pemain POS yang memiliki layanan yang luas untuk UKM seperti manajemen inventaris dan CRM. Agar menjadi super app di segmennya, Pine Labs menyediakan tambahan layanan gift card yang disediakan Qwikcilver, yang turut diakuisisi oleh perusahaan karena punya jaringan luas dengan 250 brand dan peritel, dan 1500 konsumen korporasi.

Kerja sama Pine Labs dan Fave dimulai saat Pine Labs berinvestasi strategis pada Juli 2020, untuk perluasan solusi pembayaran non-tunai ke UKM dengan mengintegrasikan kode QR dari Fave dengan mesin POS Pine Labs.

Akan operasikan UPI

Di India, akan ada banyak rencana Fave. Salah satu yang menarik adalah menjadi operator untuk UPI (Unified Payments Interface). Sistem Fave yang bisa menarik transaksi dari berbagai metode pembayaran, bisa menjadi pertimbangan utama Pine Labs untuk mengakuisisi Fave.

UPI termasuk inovasi fintech yang revolusioner di India. Bank sentral setempat ingin permudah proses pembayaran di berbagai aplikasi dan terhubung dengan rekening bank dengan mudah, tanpa mengorbankan sistem keamanan. UPI menghilangkan kebutuhan untuk memasukkan detail bank atau informasi sensitif lainnya setiap kali pelanggan memulai transaksi.

UPI memungkinkan pemegang rekening di seluruh bank untuk mengirim dan menerima uang dari smartphone mereka hanya dengan menggunakan nomor identitas unik Aadhaar (sebutan E-KTP di India), nomor ponsel, atau alamat pembayaran virtual tanpa memasukkan detail rekening bank.

Oleh karenanya, kini konsumen tidak perlu lagi menggunakan aplikasi tertentu untuk mengirim dan menerima uang. Misalnya, saat menggunakan layanan taksi, di akhir perjalanan konsumen hanya perlu memberikan alamat virtual dan sopir akan meminta uang darinya. Konsumen akan mendapatkan pesan di ponsel Anda yang meminta autentikasi.

Setelah konsumen mengautentikasi transaksi dengan memasukkan kata sandi, transaksi akan selesai. Proses ini tidak mengharuskan pengemudi atau konsumen untuk membagikan detail bank. Karena UPI berjalan pada IMPS (Immediate Payments Service), layanan akan tersedia secara real time dan 24×7 jam.

Sejak UPI dirintis pada 2016, transaksi yang dikontribusikan terus melonjak. Pada Maret 2021, UPI telah memproses 2,7 miliar transaksi pada Maret 2021. Pine Labs juga mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 171% dalam transaksi UPI selama dua kuartal terakhir.

Dampak buat Indonesia

Masuknya Pine Labs tentunya membuat langkah Fave ke depannya semakin meyakinkan untuk lebih ekspansif. Diharapkan produk-produk inovatif dari Pine Labs dapat diboyong Fave untuk menawarkan sesuatu yang baru di industri. Dari pantauan DailySocial, Fave lebih fokus pada pengembangan di Malaysia sebagai pasar utamanya lewat berbagai pengembangan fitur dan kerja sama.

Di bisnis penjualan e-voucher dan loyalitas yang beroperasi di Indonesia, belum ada pemain di segmen ini yang dominan alias kesempatannya masih sangat luas. Sejumlah pemain lainnya ada Traveloka Eats, TADA, Cashbac, Qraved, dan Chope. Di luar itu, kebanyakan program loyalitas hadir untuk pembelanjaan online yang disediakan oleh masing-masing platform e-commerce atau aplikasi untuk menarik kesetiaan para pengguna.

Tanpa dimungkiri, segmen ini ikut sempat “batuk-batuk” akibat pandemi sejak tahun lalu. Masa pemulihan untuk kembali ke kondisi normal butuh waktu, namun masih menyimpan optimisme yang tinggi berkat berbagai inisiasi positif dari pemerintah. Kesempatan tersebut dapat diambil oleh Fave untuk memimpin pasar.

Application Information Will Show Up Here
Grab PIPE Konglomerat Indonesia

Memaknai Bergabungnya Beberapa Konglomerat Lokal di Pra-IPO Grab

Grab telah resmi mengumumkan rencananya untuk go public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan SPAC bekerja sama dengan Altimeter Growth Corp ($AGC). Kendati belum ada kepastian kapan proses persiapan akan selesai, sejauh ini pasar menyambut cukup baik inisiatif ini.

Salah satunya dibuktikan dengan minat beberapa konglomerat di Indonesia untuk berpartisipasi dalam penawaran pra-IPO. Ada tiga pihak dari Indonesia yang tertarik berpartisipasi melalui PIPE (Private Investment in Public Equity), yakni Grup Djarum, Keluarga Sariaatmadja (Grup EMTEK), dan Grup Sinar Mas. Secara total ada 14 investor yang terlibat dalam PIPE.

Grab menargetkan valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE senilai $4 miliar. Senilai $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

Masuknya tiga konglomerat lokal tersebut layak menjadi perhatian, pasalnya mereka juga telah terafiliasi pada berbagai bisnis digital di ekosistem. Kami mencoba memetakannya melalui mind map berikut ini:

Peta di atas menunjukkan hubungan (tidak langsung) yang menarik. Masing-masing bisa dikatakan terafiliasi dengan pemimpin bisnis digital yang ada di Indonesia saat ini – kendati juga bersaing di pangsa pasar yang sama.

Selain mengoperasikan layanannya sendiri, Grab di Indonesia terafiliasi dengan Ovo (didukung konglomerat Grup Lippo) – unicorn lokal Tokopedia juga memiliki saham di platform pembayaran tersebut. Terkait pembayaran, Grab juga terlibat dalam pendanaan LinkAja, yang mana Gojek juga melakukan hal yang sama. Implikasinya di kedua superapp tersebut kini ada opsi pembayaran dari layanan yang dulunya bernama TCash tersebut.

Baru-baru ini Grab (via H Holdings) juga dikabarkan masuk ke dalam kepemilikan saham Emtek melalui PMTHMETD, bersama dengan Naver. Membuat rumor rencana merger antara Ovo dan Dana makin kencang – terlebih berdasarkan keterbukaan saat ini Emtek bukan lagi jadi pengendali induk Dana. Sejak 2019 lalu Grab memang menjadi salah satu pihak yang mendorong penggabungan bisnis kedua platform pembayaran tersebut.

Bersama tiga konglomerat Indonesia yang masuk ke PIPE, Grab memiliki beberapa keterikatan strategis dalam mendukung startup yang beroperasi di Indonesia. Di lain sisi, dengan para kompetitornya [termasuk rencana gabungan Gojek-Tokopedia] sebenarnya masih ada irisan sama di barisan investor.

Masuknya Djarum, Emtek, dan Sinar Mas di IPO Grab sejauh ini dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, adanya geliat pada korporasi untuk ikut andil lebih dalam lagi menggarap ekonomi digital di Asia Tenggara. Kemudian yang kedua, bukan tidak mungkin jika konsolidasi antarpemain yang lebih besar lagi akan terjadi di kemudian hari – sebelumnya memang sudah beredar kabar Grab-Gojek akan merger sebelum IPO.

Antusias pasar terhadap IPO Grab juga dapat menjadi preseden baik untuk inisiatif exit serupa bagi unicorn lainnya dan membawa ekosistem digital – khususnya di Indonesia – beranjak ke tingkatan selanjutnya. Keberhasilan exit mereka [unicorn] dapat diartikan sebagai kematangan bisnis dan terbukanya peluang untuk regenerasi calon unicorn selanjutnya.


Gambar Header: Depositphotos.com