Category Archives: Tips

Tips tentang cara mendirikan startup, cara mendapatkan pendanaan, dan cara mengelola startup yang baik dan benar

Fundraising Saat Tech Winter

VC Berikan Tips Penggalangan Dana di Masa Tech Winter

Tech winter yang terjadi beberapa waktu belakang [dan sampai saat ini] berdampak langsung pada ekosistem startup di Indonesia. Gejolak perekonomian global membuat aliran investasi ke venture capital melambat, akibatnya alokasi pendanaan ke startup pun menurun. Hal ini membuat founder harus bekerja ekstra keras saat melakukan fundraising atau penggalangan dana investasi.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pemodal ventura yang cukup aktif di Indonesia, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa proses seleksi (due-diligence) saat menilai startup menjadi lebih ketat akhir-akhir ini. Di sisi lain, para investor mulai berpikir lebih konservatif dengan mengutamakan metrik revenue atau profitabilitas sebagai milestone yang harus dicapai startup di tahap tertentu.

Kendati demikian, bukan berarti pendanaan ke startup menjadi mandek. Faktanya, tahun ini lebih dari 10 pemodal ventura mengumumkan dana kelolaan baru yang alokasinya akan banyak ke startup Indonesia. Artinya dananya tersedia, tinggal bagaimana strategi agar startup mendapatkan penilaian layak dari para analis di VC. Hal ini tergambar pada laporan yang baru diterbitkan DSInnovate, jumlah transaksi pendanaan awal masih tinggi [mendominasi] sampai Q3 tahun ini, bahkan pada kuartal ketiga terlihat adanya tren peningkatan dari sisi nilai yang cukup signifikan.

Tren pendanaan startup Indonesia selama periode Q1-Q3 2023 / DSInnovate
Tren pendanaan startup Indonesia selama periode Q1-Q3 2023 / DSInnovate

Artikel ini mencoba mengompilasi sejumlah tips yang diberikan oleh 4 pemodal ventura ternama dan teraktif di Indonesia untuk para founder startup tahap awal yang sedang merencanakan penggalangan dana untuk startupnya.

Berfokus pada kemampuan utama startup

Sebelum melakukan penggalangan dana, tim East Ventures menyarankan para founders untuk dapat berfokus pada kemampuan utamanya (core competency), agar dapat mencapai keberlangsungan secara finansial (financial sustain). Para founder juga perlu untuk benar-benar bijaksana (prudent) dalam mengatur penggunaan mereka dan menaruh perhatian lebih ke unit economic. Terlebih, era di mana ekspansi secara agresif dan melakukan uji coba produk baru sebaiknya lebih ditahan dulu.

“Pesan kami tetap sama, kami menyarankan para startup untuk tidak melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Hal ini senada dengan apa yang disarankan tim AC Ventures. Mereka berpendapat bahwa founder [startup tahap awal] selayaknya melakukan bootstrapping terlebih dulu dan lakukan fundraising saat startup sudah memiliki model bisnis yang terbukti [mencapai product-market fit]. Founder juga perlu lebih selektif memilih investor, pastikan bermitra dengan investor yang memiliki long term conviction di Indonesia.

“Kami memiliki preferensi untuk berinvestasi pada suatu bisnis yang sudah memiliki revenue, meskipun masih kecil,” imbuh VP of Investment AC Ventures Alvin Cahyadi.

Memiliki rencana yang jelas

Ada beberapa pendekatan dalam menyusun strategi penggalangan investasi, salah satu faktor terpentingnya adalah startup harus memiliki rencana bisnis yang jelas. Beberapa pertanyaan berikut ini bisa ditanyakan oleh founder ke dirinya, untuk menilai seberapa clear rencana dan proyeksi yang bisa dicapai:

  1. Apa yang ingin saya capai dalam X bulan mendatang dan sebanyak apa dana [investasi] yang dibutuhkan?
  2. Berapa banyak dana yang bisa saya kumpulkan dan apa yang bisa saya capai dengan itu?
  3. Dapatkan saya merinci penggunaan dana tersebut, seperti dengan memaparkan contoh atau studi kasus penggunaannya?

Pertanyaan pertama bertujuan untuk memberikan gambaran besar tentang capaian jangka pendek/menengah yang akan diraih oleh startup. Idealnya bisa memberikan rencana antara 12-18 bulan mendatang dengan memberikan proyeksi keuangan dan target penggalangan dana yang terperinci.

Sementara untuk pertanyaan kedua, founder bisa menjawab dengan mencoba memberikan penilaian bisnis yang sedang dijalankan saat ini dengan mempertimbangkan proyeksi selama 12-18 bulan berikutnya. Sertakan juga rentang dilusi yang menurut founder masuk akal, potensi investasi yang dapat dirampungkan, dan target realistis yang bisa dicapai dalam periode tersebut.

“Investasi dalam bisnis dengan ekonomi unit yang solid adalah praktik yang bijak. Penting untuk memahami bagaimana bisnis/startup dapat menghasilkan keuntungan dan mendukungnya dengan data. Menurut saya saat ini, sebagai investor, kita seharusnya memberikan lebih banyak perhatian pada validasi bisnis daripada narasi semata,” ujar Head of Investment MDI Ventures Gani Putra Lie.

Frugal living mindset; perkuat nilai kolaborasi

CIO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Dennis Pratistha juga memberikan pandangannya. Menurutnya sekarang investor memiliki ekspektasi startup early stage untuk menerapkan frugal living mindset; yakni cara berpikir yang menekan pengelolaan keuangan yang bijaksana dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Selain itu, investor ingin melihat kemampuan startup untuk menjaga pertumbuhan yang sehat, melakukan inisiatif yang berdampak positif pada bottom line, mengatur keuangan perusahaan dengan baik, dan melakukan fundraising di waktu yang tepat sehingga memiliki runway yang cukup.

“Hal yang tidak kalah penting bagi investor adalah akses untuk transparansi data agar investor dapat melakukan assessment, monitoring, dan memberikan dukungan jika diperlukan untuk founder,”  tambahnya.

Ia juga menyebutkan, sebagai sebuah CVC walaupun tesis investasi MCI agnostik, mereka memiliki strategi untuk berinvestasi kepada startups yang diyakini dapat memberikan value melalui pengembangan bisnis. MCI mencari founder yang kolaboratif dan memiliki produk yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat membawa inovasi baru untuk induk perusahaan.

Secara spesifik dari sisi kriteria, selain metrik yang biasa dinilai investor, MCI menekankan fokus pada beberapa hal berikut:

  • Pertumbuhan revenue yang sehat dengan memastikan adanya dampak positif pada bottom line.
  • Kecepatan cash conversion cycle atau account receivable turnover.
  • Kekuatan bisnis untuk mendekati operating cash flow yang positif.
  • Expenses startup sampai dengan burn rate relatif terhadap
  • Efektivitas dan efisiensi dari keseluruhan kegiatan operasional bisnis.

“MCI selalu membantu startup untuk mempercepat integrasi dan kolaborasi dengan ekosistem Mandiri Group sehingga startup dapat berkembang terutama dalam kondisi winter ini. Salah satu cara yang kami lakukan adalah melalui program Xponent yang merupakan acara business matchmaking semi-annual untuk mempertemukan startup dengan business units Mandiri Group. Selain itu, MCI memiliki program akselerator Zenith yang tujuannya untuk mempercepat proses integrasi ke dalam ekosistem Mandiri Group melalui mentoring, workshop, dan synergy creation,” ujar Dennis.

Sebagai CVC, MDI juga memiliki pandangan yang sama soal kolaborasi. Gani mengatakan, “Tentang kolaborasi di antara portofolio, saya berpikir ini penting dalam bisnis apa pun. Berkolaborasi dan bermitra dengan pihak lain untuk mengisi kekurangan yang tidak dapat Anda isi sendiri adalah kunci kesuksesan. Di MDI Ventures, kami memiliki divisi ‘sinergi’ yang tujuannya adalah menciptakan kemitraan di antara para pemangku kepentingan kami, yang mencakup Telkom Group, BUMN, perusahaan lain, dan juga portofolio MDI Ventures.”

Utilisasi Data dalam Personalisasi Layanan

Tiga startup Indonesia, yakni Blibli, Cakap, dan Super, duduk bersama dan berbagi wawasan tentang pemanfaatan AI dalam penciptaan produk/layanan yang sangat personal (hyper-personalization) bagi bisnis mereka.

Berbeda dari acara tahun lalu, kali ini panel diskusi The Big Leap yang dihelat oleh e27 bersama CleverTap mengulas topik “Engagement Playbook Indonesia: Harnessing Automation and AI for Hyper Personalization”.

Sebagai pengantar, hyper-personalization umumnya dikenal sebagai teknik pemasaran yang sangat ditarget dan dipersonalisasi kepada pelanggan dengan memanfaatkan data secara real-time.

Strategi ini banyak digunakan untuk membangun hubungan dengan pelanggan lewat produk/layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Lewat strategi ini pemilik usaha dapat mendorong tingkat penjualan dan retensi pengguna.

Ketiga narasumber, yaitu VP of CLM Marketing Blibli Fanky Mulia, Chief Growth Officer Cakap Margarita Tan, dan Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo bicara tentang pemanfaatan data hingga pengembangan produk dalam lingkup bisnisnya yang berbeda-beda di sektor e-commerce, edtech, dan social commerce.

Simplifikasi dan utilisasi

Ada beberapa catatan penting yang diperoleh dari paparan panelis terkait automasi dan personalisasi, serta relevansinya dalam bisnis mereka masing-masing.

CEO Super Steven Wongsoredjo menyoroti pentingnya simplifikasi pada personalisasi layanan yang mereka kembangkan. Hal ini dikarenakan target pasarnya berada di area rural yang mana memiliki perilaku konsumen berbeda dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan.

Simplifikasi ini tercermin dari cara Super melakukan strategi akuisisi pengguna maupun upayanya mendorong penggunaan layanannya. Strategi ini dapat dieksekusi melalui data yang mereka kumpulkan, misalnya transaksi pembelian terakhir, produk yang dibeli, atau biaya yang dihabiskan untuk belanja.

“Salah satu tantangan kami adalah membangun strategi scalable yang applicable untuk mereka. Pengguna di area rural tidak menggunakan perangkat mobile yang mahal, paket data yang dibeli juga tidak besar. Ketika kami buat fitur, ini akan menyedot data mereka dengan cepat. They will drop, they will churn. Maka itu, simplifikasi sangat sulit, tetapi penting bagi kami. Once you make things simpler, kita dapat memahami mereka,” jelasnya.

Sementara, VP of CLM Marketing Blibli Fanky Mulia mengamati aspek personalisasi dari aspek teknologi. Automasi memang dapat membantu scale up, tetapi ia melihat teknologi hanya sebuah tool. Justru penting untuk fokus mengutilisasi data menjadi sebuah insight bernilai.

“Kalau insight yang dihasilkan salah, ini bakal mendorong keputusan yang salah. Terlalu filosofis dalam memanfaatkan AI juga tidak akan membawamu menuju target yang ingin dicapai. Personalisasi itu tentang mengutilisasi data yang sudah ada. Apabila data yang diutilisasi tidak mencapai ROI, misalnya, mungkin bakal jadi keputusan tepat untuk menutupnya. Personalization is not a magic potion,” papar Fanky.

Prioritas

Meningkatnya perilaku digital ikut memicu terjadinya ledakan data dalam beberapa tahun terakhir. Pelaku bisnis dituntut untuk memahami pelanggan lebih baik dengan memanfaatkan data yang mereka miliki. Namun, di tengah ledakan data ini, apakah relevan menyebut istilah “terlalu banyak data”?

Chief Growth Officer Cakap Margarita Tan menilai belajar adalah proses jangka panjang yang tidak akan berhenti. Selama proses itu masih berjalan, data akan tetap diperlukan untuk mengenal customer dan memberikan layanan yang sesuai kebutuhannya.

There’s no such thing as too much data selama ini tidak perlu mengeluarkan biaya. Ini masalah prioritas saja kapan data ini akan diutilisasi. Data ini dapat dimanfaatkan kembali untuk peluang lainnya. Setiap marketer dapat memilih mana yang dapat dikejar dan mana yang dapat kembali ditindaklanjuti,” ujarnya.

Sementara, Fanky justru memberikan sudut pandang berbeda dari sisi teknis. Menurutnya, semakin banyak data yang dimiliki tentu akan memengaruhi aspek biaya. Pasalnya, data memerlukan tempat penyimpanan (storage) yang besar. Di sini lah penting untuk dapat memilih data yang dapat bernilai.

Para panelis di acara OCBC NISP Business Forum 2023 “Finding the Next Unicorn”

Unicorn Bukan Fokus Utama, Startup Perlu Lebih Perhatikan Fundamental

Menurut APJII, penetrasi internet di Indonesia di tahun 2023 telah mencapai 78,19% atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Angka ini meningkat hampir 200% dari satu dekade lalu sebesar 71,9 juta, sekitar 34,9% dari total populasi saat itu.

Sejalan dengan itu, pertumbuhan perusahaan teknologi juga semakin pesat. Hingga saat ini terdapat setidaknya 14 unicorn atau startup bervaluasi lebih dari $1 miliar di Indonesia. Angka ini meningkat pesat dibanding periode 2016-2020 yang mencetak 5 perusahaan unicorn.

Melihat potensi perkembangan industri teknologi Indonesia, bank OCBC NISP menggelar “OCBC NISP Business Forum 2023” dengan salah satu tema utamanya bertajuk “Finding the Next Unicorn”. OCBC NISP sendiri turut mendukung pertumbuhan industri teknologi melalui perpanjangan tangan dalam bentuk investasi OCBC NISP Ventura.

Beberapa figur kenamaan di ekosistem investasi Indonesia hadir sebagai panelis, termasuk Willson Cuaca (East Ventures), Alexander Rusli (Digiasia), serta Darryl Ratulangi (OCBC NISP Ventura). Ketiganya berbagi pandangan tentang unicorn dalam industri teknologi, serta rekomendasi dan strategi perusahaan rintisan di tengah isu tech winter dan resesi.

Utamakan fundamental

Adalah mutlak bagi sebuah perusahaan rintisan untuk menciptakan solusi bagi permasalahan yang ada di pasar. Membangun produk yang baik membutuhkan proposisi nilai yang dapat dipertahankan. Untuk mencapai hal ini, startup perlu menetapkan posisi produk yang kuat, menemukan kecocokan pasar produk, dan memanfaatkan teknologi untuk mendobrak model bisnis tradisional.

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menegaskan, “Kami berinvestasi berdasarkan keyakinan, alih-alih mencari valuasi atau unicorn. Kami tidak pernah mencari unicorn, karena unicorn adalah produk sampingan saat Anda mampu menciptakan nilai. Apa yang kami cari adalah problem statement yang ingin diselesaikan, yang akan menentukan apakah solusinya adalah ‘penghilang rasa sakit’ atau hanya ‘vitamin’,”

Co-Founder & Co-CEO Digiasia Alexander Rusli mengamini hal ini. Menurutnya, perusahaan tidak seharusnya fokus pada misi untuk mencapai unicorn, melainkan mencurahkan pikiran sepenuhnya pada usaha untuk membangun bisnis yang baik. “Jika memang berjalan, valuasi akan mengikuti,” tegasnya.

Alex menilai bahwa banyak para pendiri yang memiliki mindset bahwa valuasi adalah segalanya dan berangkat dengan mimpi menjadi unicorn. Pandemi dan tech winter ini disebut sebagai pengingat serta proses pembentukan mental para pendiri. “Kita butuh orang-orang yang mengerti cara berjuang dan tidak menyerah ketika dihadapkan pada tantangan,” ujarnya.

Di samping itu, Darryl Ratulangi selaku Direktur OCBC NISP Ventura juga mengungkapkan pengaruh sentimen pasar terhadap keberlangsungan sebuah industri. “Perusahaan teknologi dengan fundamental yang baik tetapi memiliki sentimen buruk di masyarakat akan mengakibatkan valuasi tertekan,” ujarnya.

Maka dari itu dibutuhkan kerja sama dari seluruh ekosistem untuk bisa menciptakan pasar yang memiliki sentimen baik, sehingga ke depannya juga bisa membangun kepercayaan investor untuk bisa menanamkan modal di perusahaan.

Kejar profitabilitas

Dalam industri digital, atribut dari startup digital yang baik adalah disrupsi, menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, yang membutuhkan waktu dan sumber daya. Jadi, tujuan utama sebuah startup pada awalnya bukanlah untuk menghasilkan uang, tetapi untuk membangun produk yang kuat.

“Melihat ke belakang, tidak ada yang mengira bahwa ride-hailing atau OTA (online travel agent)menjadi solusi yang tepat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terminologi ‘burning money’ dapat diartikan sebagai upaya membeli waktu dan membangun kepercayaan. Proses masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, lalu mulai menggunakan, hingga semakin bergantung pada layanan-layanan tersebut,” papar Darryl.

Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat, ada beberapa model bisnis yang tidak bisa scale up sehingga pertumbuhannya akan mandek di satu titik. Dalam ranah aplikasi, sering disebut skalabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk terus tumbuh menyesuaikan dengan volume data. “Di sinilah teknologi berperan dalam mengakselerasi sebuah bisnis dan meningkatkan skalabilitasnya,”ujar Alex.

Ketika sudah sampai pada tahap ini, Willson mengungkapkan, “Kami tidak mendorong startup kami untuk ‘membakar uang’ untuk mendapatkan pelanggan, sebaliknya perusahaan perlu fokus untuk mencapai profitabilitasnya; karena akuisisi pelanggan lebih murah, dan pelanggan lebih cenderung mempertahankan produk.”

Terkait profitabilitas, Alex turut menambahkan,”Saya percaya setiap transaksi, unit economics-nya harus positif, hingga sampai pada skala tertentu di mana angka tersebut bisa menutupi biaya produksi, sehingga pada akhirnya menciptakan profit.”

Pasar yang potensial

Tahun 2022 sendiri menjadi tahun yang cukup berat bagi industri teknologi maupun investasi. Mulai dari tantangan yang ditimbulkan oleh resesi global, tech winter yang terjadi di industri teknologi, dan runtuhnya Silicon Valley Bank di Amerika Serikat, semua telah memengaruhi penilaian terhadap startup.

Meskipun begitu, East Ventures mengaku tetap berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia – pasar terbesar di Asia Tenggara. Di tahun 2022, East Ventures telah mencatat total 105 kesepakatan, 85 di antaranya merupakan portofolio baru, dengan total dana sekitar US$211 juta yang disalurkan kepada startup di tahap awal dan lanjut.

Sementara itu OCBC NISP Ventura sebagai modal ventura yang didukung oleh bank akan tetap fokus berinvestasi di sektor yang berkaitan dengan perbankan. Namun, melihat perkembangan teknologi di industri perbangkan serta banyaknya inovasi digital yang bermunculan, Darryl memiliki keyakinan bahwa “Semua perusahaan rintisan pada akhirnya akan menjadi perusahaan fintech!”

Sebagai seorang investor dan juga pemimpin perusahaan fintech as a service pertama di Indonesia, Alex percaya bahwa investasi mengalir ketika kepercayaan sudah terbentuk. Hal ini juga berlaku pada East Ventures yang dinakhodai Willson Cuaca.

“Di East Ventures, kami biasa menilai dengan rumus “3P” – People, Product, and Potential Market. Namun, produk bagus dibangun oleh orang baik yang menangani pasar besar. Jadi yang kami fokuskan sekarang adalah “2P”: People and Potential Market. Kami tidak menganggap diri kami sebagai investor digital, melainkan investor biasa yang berinvestasi pada pendiri yang memanfaatkan teknologi digital untuk mendisrupsi industri tradisional,” ungkap Willson.

The Big Leap Jakarta, The Indonesian Retention Pinnacle: Personalized Customer Journeys with Innovative Technology / e27

The Big Leap: Peran Teknologi Tingkatkan Retensi Pengguna Lewat Personalisasi

Isu tech winter masih hangat dibicarakan, mengingat terus mengalirnya pemberitaan layoff  dari startup teknologi. Perusahaan rintisan kini semakin mengencangkan ikat pinggang dan fokus pada strategi perusahaan untuk mendulang profit. Dimulai dari menjaga retensi pengguna yang sudah ada di platform.

Platform manajemen pelanggan CleverTap berkolaborasi dengan e27 mengadakan Roadshow The Big Leap di 6 kota di Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Acara yang bertajuk “The Indonesia Retention Pinnacle: Personalized Customer Journeys with Innovative Technology” ini bertujuan untuk membantu para pemain industri meningkatkan pertumbuhan dan retensi pelanggan.

Beberapa pemain industri yang turut hadir dalam acara ini adalah VP of Brand Communication Kitabisa.com Iqbal Hariadi, Co-Founder & CMO Sociolla Chrisanti Indiana, serta VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi. Mereka mewakili perusahaan rintisan di Indonesia yang juga tengah berjuang mempertahankan retensi pengguna.

Membangun relasi personal

Memberi pengalaman personal kepada pengguna merupakan salah satu strategi bisnis yang sangat penting, agar setiap pengguna merasa mereka dikenal secara personal dan merasa yakin dapat mengandalkan sebuah brand untuk setiap kebutuhan. Bila perusahaan bisa menangkap peluang itu, maka penjualan dan kesetiaan pelanggan secara otomatis akan mengikuti.

Startup retailer kecantikan Sociolla mengungkapkan bahwa mereka memiliki misi untuk menjadi user’s best friend atau sahabat pengguna. Setiap kampanye yang digalakkan juga selalu disesuaikan dengan preferensi para penggunanya. Hal ini sesuai dengan misinya ‘liberating self-care for everyone’, menjangkau semakin banyak beauty enthusiast di seluruh Indonesia.

Terkait pendekatan secara personal ini, Chrisanti angkat bicara, “Kami ingin menciptakan nilai dalam produk-produk yang kami salurkan melalui Sociolla. Kami ingin menjadi merek yang autentik. Hal ini memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tetapi kami merasa ini penting untuk bisa bertahan di industri.”

Sociolla sendiri saat ini tengah fokus pada solusi omnichannel dengan menggabungkan pengalaman online dan offline yang seamless. Dari situ, perusahaan dapat menghilangkan semua hambatan dan batasan bagi pelanggan untuk berbelanja sesuai keinginan mereka, di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, strategi omnichannel menjadi lebih relevan dengan perilaku pelanggan saat ini. Bertahannya preferensi digital dan omnichannel di antara konsumen Indonesia adalah salah satu dari lima tema konsumen baru yang diperkirakan akan terus berlanjut pasca-COVID 19.

Fokus pada solusi

Salah satu startup yang juga hadir dalam acara ini adalah Rukita, yang dikenal sebagai platform penyedia sewa hunian jangka panjang. Perusahaan dinilai memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup pesat dengan usia yang masih terbilang belia.

Rukita saat ini berfokus pada banyak hal. Salah satunya adalah tentang bagaimana pengembangan produk teknologi Rukita mampu meningkatkan pengalaman terhadap para pelaku ekonomi di dalam ekosistemnya, mulai dari konsumen (penyewa), agen properti, hingga rekan atau mitra.

Dalam memasarkan brand terkadang pemasar juga terlalu fokus pada kinerja perusahaan. “Fokus pada apa yang dapat dilakukan brand dalam menyediakan solusi bagi pengguna, daripada sekadar apa yang bisa dilakukan brand,” tegas VP of Marketing Rukita Lika Aprilia Samiadi.

Ke depannya, perusahaan memiliki long-term goal untuk bisa menyediakan tempat tinggal yang nyaman, terjangkau, dan assle-free di seluruh Indonesia. Beberapa waktu lalu, Rukita juga baru saja mengakuisisi Infokost yang merupakan startup yang bergerak di bidang online listing untuk sewa hunian seperti indekos dan sejenisnya.

Memanfaatkan data

Terlepas dari industrinya, pemanfaatan data telah diakui menjadi kunci pengambilan keputusan yang cerdas. Selain dapat mengukur tingkat retensi secara akurat dan memperbaiki metrik, data menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk mengukur kinerja serta mengidentifikasi strategi dan fitur yang memberikan dampak.

Kitabisa.com turut berbagi mengenai strategi perusahaan dalam menjaga retensi dan mendorong pertumbuhan penggunanya. Salah satunya adalah dengan mengembangkan donasi otomatis yang bisa dipersonalisasi sesuai preferensi pengguna. Dalam hal ini, Kitabisa fokus pada aplikasi mobile dan menggunakan teknologi pemasaran untuk mengingatkan pengguna memberikan donasi.

Saat ini kecerdasan artifisial (AI) juga menjadi salah satu teknologi yang ramai dikembangkan perusahaan teknologi. Melihat kesuksesan dari ChatGPT, tidak sedikit startup yang berusaha mengaplikasikan teknologi AI terhadap solusi yang ditawarkan perusahaan. Meskipun begitu, beberapa perusahaan masih yakin pada pendekatan personal untuk bisa menjangkau dan menjaga loyalitas pengguna.

Salah satu contohnya adalah chatbot yang sudah banyak digunakan sebagai pengganti customer service (cs). Untuk pertanyaan dasar, teknologi ini sangat membantu, namun untuk pertanyaan yang lebih spesifik, chatbot bukanlah sebuah solusi. “Para pengguna kalian adalah manusia, maka layani mereka layaknya seorang manusia,” tegas COO PT MNC OTT Network Roy Debashis.

“Mulai dari rasa empati untuk bisa lebih dekat dengan pengguna. Dari situ, kita akan mulai mendapatkan data, karena data adalah basis untuk menciptakan solusi. Ingatlah juga untuk berinvestasi pada customer service atau pelayanan pelanggan,” tambah Chrisanti.

Manajemen Talenta Startup

Pentingnya Manajemen Talenta di Tengah Gejolak Industri Teknologi

Industri teknologi Indonesia sedang mengalami gejolak, terlihat dari pemberitaan layoff oleh sejumlah startup. Hal ini sering dikaitkan dengan proyeksi resesi global yang akan terjadi di tahun 2023. Perusahaan gencar melakukan efisiensi dan restrukturisasi demi menghindari dampak yang lebih besar serta memperpanjang runway.

Dalam tindak efisiensi ini, karyawan kerap menjadi salah satu yang paling terdampak. Sementara itu, people atau karyawan  sendiri merupakan aset,  bagian esensial dari operasional bisnis dari sebuah perusahaan. Manajemen karyawan yang baik dapat menentukan bagaimana karier perusahaan ke depannya.

Pada awal bulan ini, Alpha JWC Ventures, bekerja sama dengan Kearney dan GRIT, meluncurkan sebuah laporan bertajuk “ASEAN Growth & Scale Talent Playbook”. Survei dilakukan selama Agustus hingga September 2022, melibatkan lebih dari 600 karyawan di 34 perusahaan dari Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina.

Laporan ini bertujuan untuk mengedukasi dan membantu para founder atau manajemen startup digital dalam menarik, mengelola, dan mengembangkan sumber daya manusia secara efektif dan berkelanjutan. Dengan persaingan yang ketat, pergeseran mindset, serta tantangan ekonomi yang berlangsung, penting bagi para pemangku kepentingan untuk memahami lanskap SDM ini.

Salah satu temuan yang menarik dari riset ini adalah, 9 dari 10 perusahaan teknologi mengalami kesulitan dalam merekrut karyawan berkualitas terutama yang memiliki kemampuan teknis dan non-teknis. Sebaliknya, 91% karyawan mengaku  terbuka untuk meninggalkan perusahaan mereka bila ada kesempatan baru.

Tantangan yang dihadapi

Laporan ini juga memaparkan beberapa alasan karyawan ingin meninggalkan perusahaan untuk mencari kesempatan baru. Sebanyak 32% responden mengungkapkan bahwa kompensasi, termasuk gaji dan benefit sangat mempengaruhi keputusan mereka. Disebutkan bahwa rata-rata karyawan mempertimbangkan pergi demi 15%-30% kenaikan gaji.

Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi perusahaan rintisan, utamanya startup berskala kecil, jika harus bersaing dengan giant tech companies yang sudah melakukan ekspansi global dan menawarkan kompensasi yang sangat bersaing. Maka dari itu, perusahaan harus bisa menarik minat para talenta dengan hal lain, seperti kultur perusahaan.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Sebanyak 25% responden mempertimbangkan keluar dari perusahaan karena ketidaksamaan visi dan ketidakcocokan budaya. Maka dari itu, kultur atau budaya kerja dalam sebuah perusahaan menjadi esensial ketika dikaitkan dengan loyalitas karyawannya. Di sisi lain, fleksibilitas juga menjadi salah satu aspek yang juga memengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau pergi.

Selain itu, 24% responden merasa adanya kebutuhan akan kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam sebuah perusahaan. Tanpa hal itu, mereka akan merasa stagnan atau tidak berkembang, yang mendorong mereka untuk mencari kesempatan yang lebih baik di luar untuk mendukung pengembangan kemampuan mereka sendiri.

Manajemen talenta yang ideal

ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook ini diluncurkan sebagai buku panduan untuk membantu para startup dalam menghadapi isu di bidang manajemen tenaga kerja. Dalam laporan ini juga disebutkan enam pilar penting yang dapat digunakan perusahaan untuk menarik, membangun, dan mempertahankan tenaga kerja digital.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Partner & President Director Kearney Shirley Santoso mengungkapkan, “Mengembangkan sumber daya manusia yang solid adalah salah satu prioritas terpenting dan kunci utama bagi perusahaan agar visi digital mereka dapat berhasil. Tentunya hal ini baru dapat dicapai dengan adanya usaha bersama antara pimpinan perusahaan dan jajaran lainnya dalam upaya yang berkelanjutan, juga mencakup seluruh tingkat organisasi.”

Turut hadir dalam diskusi panel peluncuran laporan ini, Co-founder dan CEO Bobobox Indra Gunawan. Ia mengungkapkan bahwa value perusahaan adalah sesuatu yang esensial untuk menjamin keberlangsungan bisnis. Di Bobobox sendiri, ada tiga value yang selalu dipegang erat, yaitu attitude, obsessive curiousity, serta overcommunicate. Menurutnya, tiga nilai ini  dapat menciptakan resistensi perusahaan terhadap berbagai pengaruh negatif yang mengancam.

Co-founder dan CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut ikut membagikan opininya. Ia mengaku masih berjibaku untuk bisa mendapatkan talenta berkualitas, bahkan ia harus merekrut teman atau relasi yang sudah dipercaya untuk membantu di masa awal perusahaan.

Tidak mudah menemukan orang yang memiliki visi yang sama dengan perusahaan yang menjual produk bercita rasa ‘sehat’ dengan harga yang relatif lebih mahal. Hingga kini, perusahaan telah memutuskan untuk mempertahankan jumlah yang relatif kecil sampai beberapa putaran pendanaan ke depan.

Dengan total karyawan sekitar 250 orang, strategi ini terbukti menguntungkan baik bagi perusahaan maupun karyawan. “Kami ingin menjaga agar jumlah kami tetap kecil sehingga setiap keuntungan atau apapun yang dihasilkan perusahaan, semuanya kembali ke sejumlah kecil orang dan kami dapat memberi [karyawan] lebih baik,” ujarnya.

Kiat Cosmart Rebut Perhatian Pasar Di Tengah Tantangan Ekonomi

Kiat Cosmart Rebut Perhatian Pasar di Tengah Tantangan Ekonomi

Awal bulan ini startup e-commerce membership “Cosmart” meresmikan kehadirannya di Indonesia lewat pendanaan tahap awal sebesar $5 juta. Cosmart baru berdiri pada kuartal kedua tahun ini, namun kehadirannya memantik sejumlah perhatian karena beririsan dengan dunia e-commerce dan e-grocery.

Pasalnya, startup digital pada umumnya dihadapi dengan tantangan ekonomi makro yang memaksa mereka harus melakukan sejumlah efisiensi. Belum lagi, pemain e-grocery belakangan juga harus kembali beradaptasi, terutama yang bergerak di layanan quick commerce, dengan melakukan pivot agar tetap bertahan karena gagal menemukan unit ekonomi.

Sebagai catatan, Cosmart memosisikan diri sebagai one stop solution untuk konsumen yang ingin membeli kebutuhan bulanan. Dengan membayar biaya keanggotaan, konsumen bisa mendapatkan akses ke produk berkualitas tinggi dengan harga lebih murah, diklaim tidak bisa ditemukan produk di platform e-commerce lain, dan berkesempatan mencoba produk sampel dari merek baru.

Lalu bagaimana strategi Cosmart agar tetap menonjol di tengah tantangan tersebut? Dalam membahas topik ini lebih jauh, edisi #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder & CEO Cosmart Alvin Kumarga sebagai pembicara.

Punya solusi untuk masalah yang valid

Alvin menjelaskan, di tengah tantangan ini selalu ada dua sisi yang bisa dilihat. Dari sisi positifnya, ada peluang yang bisa diselesaikan oleh startup. Khusus untuk Cosmart, kebutuhan belanja rutin untuk rumah tangga itu selalu ada dari dahulu dan harus selalu dipenuhi karena fungsinya yang penting.

Ide awal dirinya merintis Cosmart datang dari pengalaman pribadinya saat harus belanja sehari-hari di platform e-commerce. Tiap toko tidak punya barang yang lengkap sehingga ia harus mencari di lebih dari satu toko. Belum lagi promo diskon dan ongkos kirim yang ditawarkan tiap toko berbeda, yang harus dioptimalkan secara manual.

Ia pun melakukan riset lebih mendalam terkait industri ini di Indonesia. Ditemukan bahwa pemain e-commerce yang ada sekarang tidak memiliki solusi yang spesifik untuk produk consumer goods. Bila pun ada, solusinya masih tergolong tahap awal.

Pun dari sejenis pemain e-grocery, mayoritas berfokus pada sisi kenyamanan, mulai dari sisi pengiriman yang instan dan seleksi barang yang baik. Bicara potensinya saja, tentu pembelanjaan barang sehari di platform online masih begitu minim dari total belanja ritel secara nasional.

“Tapi harga dari convenience tersebut adalah harga barang yang lebih mahal. Sejauh ini tidak ada yang bermain di value brand, padahal orang Indonesia itu sangat senang dengan harga yang murah. Kami percaya bisa tackle pasar itu dan akhirnya lahirlah Cosmart,” ujarnya.

Dari target konsumen Cosmart juga berbeda, sambung Alvin, yakni keluarga yang memiliki anggota di rumahnya lebih dari tiga orang. Makanya, faktor harga jadi begitu esensial bagi kelompok tersebut. Semakin besar penghematan, maka dana bisa dialokasikan untuk kebutuhan lainnya.

Dengan membayar keanggotaan, pengguna dapat menghemat lebih banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan bulanan yang sudah pasti harus dipenuhi. Makanya, isu di konsumen di segmen seperti ini bukan soal pengiriman yang cepat, tapi seberapa besar mereka bisa berhemat.

Namun, bagi Alvin, bayar keanggotaan itu bukanlah alat untuk menyelesaikan masalah yang ingin diselesaikan Cosmart, melainkan untuk sumber pendapatan utama perusahaan. “Revenue dari penjualan barang biasanya margin tidak besar, tapi karena kita pass on cost saving yang kita dapatkan buat konsumen [kerja sama dengan prinsipal], maka revenue yang kita dapatkan itu dari membership.”

Belanja offline tetap dibutuhkan

Kendati begitu, Alvin tidak menampik tetap dibutuhkannya belanja offline di tengah digitalisasi ini. Pengalaman yang ditawarkan dari belanja offline lebih kaya karena konsumen dapat langsung melihat dan meraba produk-produk yang memang mengutamakan hal tersebut, seperti beli sayur dan buah-buahan. Kedua cara belanja ini diprediksi akan terus saling melengkapi.

“Yang kita targetkan bukan memindahkan dari purchase offline ke online karena saya percaya belanja offline ada benefit-nya buat cuci mata. Tapi apakah belanja sampo yang rutin tetap menyenangkan? Mungkin enggak, makanya kami bantu coba bantu untuk belanja yang rutin-rutin ini.”

Dengan hipotesis tersebut dan dibuktikan dengan tes awal di pasar, pihaknya berhasil membuat para investor untuk yakin dengan model bisnis Cosmart. Bahwa ada masalah yang nyata dan model bisnis melalui keanggotan untuk memastikan Cosmart tetap bertumbuh.

“Mau tech winter atau tidak, harus ada market needs dan pain point yang clear, begitu juga business model yang jelas. Ketika semua sudah ada kita bisa pitching ke investor.”

Di tengah ekspektasi ekonomi makro global yang tidak menentu, membuat para investor jadi lebih ketat dan disiplin saat menanamkan dananya. Bagi startup ini menjadi tantangan untuk membuktikan hipotesisnya benar atau tidak. “Kami dengan tim ini fokus pada solving consumer problem dan apabila model bisnis ini berhasil, pasti bisa di-tackle,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Co-Founder & CEO eFisery Gibran Huzaifah dan Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo saat di acara Techinasia Conference

Cerita CEO eFishery dan Super dalam Memikat Investor, Kendati Bisnisnya di “Niche Market”

Dalam sesi acara “TechinAsia Conference 2022“, Co-Founder & CEO eFisery Gibran Huzaifah dan Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo mengungkapkan, ketika keadaan sulit saat ini penting bagi perusahaan kembali kepada fundamental dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan produk yang relevan untuk pengguna.

Kedua founder tersebut juga bercerita sempat mengalami kesulitan saat awal membangun bisnis dan meyakinkan investor untuk memberikan pendanaan kepada startup mereka.

Kesulitan meyakinkan investor di awal

Sebagai entrepreneur Gibran menyadari benar bahwa ketika membangun bisnis yang harus diperhatikan adalah mendapatkan keuntungan. Sebagai platform yang menyasar sektor aquaculture, masih sulit bagi perusahaan untuk mendapatkan investasi dari pemodal ventura.

Ketika layanan e-commerce dan on-demand dulunya sempat menjadi primadona, tidak demikian dengan produk yang dikembangkan eFishery.

“Kami cukup beruntung tidak harus bersaing dengan sektor yang terbilang seksi dan paling banyak diminati oleh investor. Dengan demikian kami mengandalkan semua yang ada untuk fokus kepada produk dan memberikan layanan yang baik kepada target pengguna,” kata Gibran.

Hal serupa juga dialami oleh Steven, sewaktu awal membangun Super sudah fokus dengan misi awal mereka yaitu menyasar kepada kawasan pedesaan (rural). Meskipun dirinya yakin dengan peluang yang ada menyasar kawasan pedesaan, namun tidak demikian dengan kalangan investor.

“Sejak awal saya selalu memiliki keyakinan bahwa kawasan pedesaan memiliki peluang yang besar,” kata Steven.

Mengklaim sebagai underdog, Steven kemudian memanfaatkan dana yang mereka miliki sebaik mungkin. Kegiatan penggalangan dana juga tidak menjadi fokus dari Steven dan tim, sehingga mereka tidak terlalu sering fundraising. Kegiatan tersebut mereka lakukan ketika perusahaan sudah mencapai milestone.

Tercatat saat ini Super sudah mengantongi pendanaan seri C sebesar $70 juta (lebih dari 1 triliun Rupiah) yang dipimpin New Enterprise Associates (NEA), VC berbasis di Silicon Valley. Jajaran investor lain yang turut berpartisipasi meliputi Insignia Ventures Partners, SoftBank Ventures Asia, DST Global Partners, Amasia, B Capital, dan TNB Aura.

Serupa dengan Super, eFishery juga sudah dalam tahapan seri C. Dana segar tersebut diperoleh oleh mereka awal tahun ini senilai $90 juta (lebih dari 1,2 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, dengan partisipasi investor sebelumnya, yaitu Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, dan Wavemaker Partners.

“Sejak awal kami konsisten dengan misi perusahaan. Kami memanfaatkan waktu untuk melihat fundamental bisnis, fokus kepada produk yang bisa kita berikan kepada target pengguna yang loyal, buat kami itu adalah cara terbaik untuk bertahan,” kata Gibran.

Fokus kepada bisnis dan target pengguna

Istilah “Tech Winter” makin kencang digaungkan oleh para penggiat startup. Kondisi ini juga diartikan sulitnya untuk mendapatkan kapital dari investor. Jika sebelumnya banyak dari kalangan investor memberikan investasi dengan mudah dan fokus kepada growth, kini kondisi sudah berubah.

Investor juga mulai memikirkan kepada profitablitas. Jika dulunya growth dan kegiatan membakar uang menjadi fokus, kini ketika berbicara dengan kalangan investor, apa strategi startup untuk mendapatkan revenue atau profit yang kemudian menjadi prioritas mereka.

Hal tersebut dirasakan benar oleh Gibran dan Steven. Dulu ketika mereka masih melakukan penggalangan dana di tahap awal, kebanyakan investor ingin agar startup fokus kepada growth. Bahkan bersedia untuk menambahkan pendanaan mereka, demi pertumbuhan. Kini mereka pun mulai melihat growth tidak lagi menjadi fokus investor namun lebih kepada profitabilitas.

Agar startup bisa bertahan saat keadaan sulit ini, Gibran memberikan saran agar fokus kepada bisnis dan target pengguna. Sementara bagi Steven cara terbaik untuk bisa bertahan ketika kapital sulit didapatkan adalah, membangun fundamental sebelum akhirnya bisa berada dalam siklus untuk melakukan penggalangan dana.

“Saya melihat investor saat ini semakin hati-hati untuk memberikan investasi. Namun demikian saya melihat perusahaan terbaik akan bisa lahir dari ekosistem yang ada saat ini,” kata Steven.

Co-Founder & CEO majoo Adi W. Rahadi dalam #SelasaStartup

Menyimak Strategi majoo Melakukan Penggalangan Dana di Tengah “Tech Winter”

Persoalan “Tech Winter” masih menjadi fokus para penggiat startup saat ini. Sulitnya untuk menggalang dana, mengharuskan founder untuk mengencangkan ikat kepala sambil mencari inovasi baru untuk menambah revenue stream.

Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial.id bersama Co-Founder & CEO majoo Adi W. Rahadi membahas strategi yang ideal untuk startup saat melakukan kegiatan penggalangan dana, meskipun kondisi masih sulit dan tidak banyak investor yang ingin memberikan dana segar kepada startup.

Hemat pengeluaran dan menjaga runway

Salah satu cara untuk startup bisa tetap bertahan saat kondisi sulit adalah, harus bisa untuk melakukan penghematan pengeluaran secara esktrem agar runway tetap terjaga. Di sisi lain startup juga harus bisa melahirkan inovasi baru yang relevan untuk target pasar, tanpa mengorbankan pengeluaran.

Dalam hal ini apa yang terjadi pada majoo bisa menjadi pelajaran. Ketika sukses mendapatkan pendanaan dari angel investor tahun 2019 lalu, mereka mengalami pertumbuhan bisnis, lalu terhambat karena pandemi awal tahun 2020 .

Untuk bisa terus bertahan dan membuktikan kepada investor bahwa bisnis mereka masih relevan, perusahaan menunda kegiatan penggalangan dana tahun 2020 untuk fokus kepada pengembangan fitur yang kemudian dibutuhkan oleh pengguna.

Setelah bisnis kembali tumbuh, majoo kemudian mendapatkan pendapatan yang stabil dari pengguna mereka dengan kehadiran fitur baru yang bisa diintegrasikan kepada platform marketplace.

“Pandemi untungnya menjadi katalis dan mempercepat adopsi para pelaku ritel untuk kemudian mulai go digital. Bukan cuma healthtech dan edtech saja, namun bisnis ritel juga mengalami perubahan tersebut, dan dengan fitur yang kami tawarkan ternyata menjadi sangat dibutuhkan oleh mereka,” kata Adi.

Meskipun menyadari bahwa tahun 2021 dan 2022 akan menjadi tahun yang sangat sulit bagi startup untuk mendapatkan investasi, namun tim majoo percaya jika bisnis startup memiliki fokus yang jelas dan memiliki strategi yang kuat untuk bisa profitable, dipercaya investor akan bersedia untuk memberikan dana segar kepada startup.

Dalam hal ini kesulitan tersebut bukan hanya dialami oleh startup yang masih berada dalam tahap awal saja, namun menurut Adi startup yang sudah masuk ke tahapan lanjutan atau later stage juga kesulitan untuk mendapatkan dana segar.

Kantongi pendanaan lanjutan

Dengan strategi untuk berhemat dan fokus kepada pengembangan fitur, tahun 2021 akhirnya majoo mendapatkan pendanaan Pra-Seri A senilai senilai $4 juta atau setara 56,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin AC Ventures, dengan keterlibatan BRI Ventures dan Xendit. Pendanaan ini kemudian menjadi prestasi sendiri bagi perusahaan, dilihat dari jajaran investor yang terlibat dalam pendanaan ini.

Kemudian pada tahun 2022, majoo kembali merampungkan penggalangan dana Seri A senilai $10 juta atau sekitar 149 miliar Rupiah. Tanpa menyebut namanya, putaran ini dipimpin investor ekuitas asal London yang berfokus pada fintech. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan di antaranya BRI Ventures, AC Ventures, Quona Capital, dan Xendit.

Menurut Adi agar startup bisa menarik perhatian investor untuk kemudian berinvestasi kepada mereka, ada beberapa cara strategis yang harus dilakukan. Di antaranya adalah tidak menggantungkan pertumbuhan at all cost. Investor saat ini lebih tertarik mendanai startup yang berkualitas dan memiliki strategi yang jelas untuk menuju profitabilitas. Founder yang peduli kepada metrik pertumbuhan bisnis dan metrik biaya untuk jangka panjang juga menjadi perhatian dari investor.

“Kepercayaan yang sudah diberikan kepada majoo dalam dua tahun terakhir tentunya menjadi pembuktian kepada ekosistem startup di Indonesia bahwa masih ada investor yang optimis dan bersedia untuk memberikan investasi, jika mereka bisa menjaga dan mengatur runway dengan cerdas dan teliti menggunakan pendanaan yang sudah diperoleh sebelumnya,” kata Adi.

majoo didirikan oleh tiga founder, meliputi Adi W. Rahadi (CEO), Audia R. Harahap (COO), dan Bayu Indriarko (VP Engineering). Sebelumnya ketiga para pendiri tersebut merupakan pelaku bisnis ritel yang juga melayani pelanggan UKM, sehingga mereka cukup memahami berbagai kesulitan yang ditemui di lapangan.

Layanan majoo dimulai dari sebuah point of sales (POS) alias aplikasi kasir. Saat ini terus diperluas mencakup pengelolaan karyawan, inventori, aplikasi CRM, hingga pemesanan online. Secara statistik, majoo mengklaim telah tumbuh 85% YoY dan telah mengakuisisi lebih dari 20 ribu pengguna aktif dengan tingkat retensi yang dinilai baik.

Application Information Will Show Up Here
CEO DROP Ridhwan Basamalah / DROP

Strategi D-Laundry Gairahkan Bisnis On-Demand

Bisnis laundry merupakan industri yang sudah lama diperhitungkan di Indonesia karena potensi bisnisnya menjanjikan, banyak dicari oleh berbagai lapisan masyarakat. Persebarannya juga tidak melulu di area perumahan saja tapi juga indekos yang memiliki populasi mahasiswa.

Namun pada 2016, sebelum D-Laundry hadir, industri ini sepenuhnya masih berjalan secara konvensional. D-Laundry yang merupakan produk dari PT Drop Global Tech (DROP) ini berusaha mendigitalkan bisnis laundry dengan pendekatan on-demand.

Dari perjalanannya hingga kini, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dalam sesi #SelasaStartup kali ini mengundang CEO DROP Ridhwan Basamalah sebagai pembicara. Ia banyak memberikan pandangannya tentang bisnis laundry on-demand, prospek, dan tantangannya terutama selama pandemi ini.

Industri on-demand dulu dan sekarang

Ridhwan menuturkan, dibandingkan saat D-Laundry baru dirintis dengan sekarang, kondisi saat ini jauh lebih kondusif. Saat itu, perkembangan ekonomi digital baru didorong oleh kehadiran pemain e-commerce, ditandai hadirnya Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak, juga bisnis on-demand seperti Gojek, Grab, hingga Uber.

“Mereka mulai bertumbuh-tumbuhnya. Di satu sisi, perkembangan tersebut mempermudah startup lainnya untuk ikut tumbuh. On-demand itu sendiri industrinya mana kepikiran naik ojek bisa pesan pakai app. Ini bentuk kemajuan teknologi yang merupakan suatu keniscayaan,”

Dia melanjutkan, “Bertepatan dengan itu DROP lahir di Depok karena kami lihat di sana banyak mahasiswa dan jasa laundry belum tersentuh. Industri laundry ini besar tapi belum ada yang jadikan sebagai business on-demand.”

Sebagai bisnis konvensional, tentunya memperkenalkan konsep on-demand kepada para pengusaha laundry bukanlah hal mudah. Maka dari itu, langkah awal yang mereka lakukan adalah menyasar pengusaha laundry yang sudah memiliki jasa kurir. Lalu mengedukasi mereka dengan konsep on-demand yang mana permudah mereka mendapat order secara online.

“Konsepnya on-demand mau bisnis mana pun sama, setiap ada demand, di mana pun lokasinya akan diantar. Bedanya dengan kompetitor, kami buat app untuk konsumer untuk order, apa saja yang mau dicuci dan pilih rekanan laundry yang sesuai preferensi dan lokasi terdekat. Nanti kurir laundry yang dipilih akan dijemput ke titik penjemputan.”

Persebaran jasa laundry di Indonesia itu sendiri ada di kota lapis dua dan tiga, bukan di kota utama. Ridhwan bilang, industri ini unik karena jasa laundry punya segmentasi masing-masing, di kota yang punya banyak universitas pasti menjadi lahan empuk untuk para pengusaha karena di sana dihuni oleh mahasiswa yang hidup di indekos. “Kalau dilihat juga, pemain laundry konvensional terbesar di Indonesia yang sudah punya ratusan cabang itu, justru pertama kali hadirnya di Yogya.”

Kembangkan bisnis

Ridhwan melanjutkan, sejak 2016 beroperasi hingga akhirnya D-Laundry dapat pendanaan tahap awal di 2021, perusahaan sepenuhnya berjalan dengan dana sendiri (bootstrap). Satu tips yang paling penting dilakukan sejak awal adalah selalu memvalidasi bisnis apakah berjalan atau tidak.

Cara terdekat untuk melihatnya adalah apa yang masih menjadi masalah di lapangan. Di balik masalah ada kesempatan yang bisa digarap dan lebih mudah untuk penetrasi ke pasar. “Jadi masuk ke market-nya tidak susah karena solusi yang ditawarkan bisa menyelesaikan masalah.”

Berbekal dengan strategi di atas, lamban-laun D-Laundry berinovasi dari awalnya platform yang menghubungkan konsumen dengan penyedia jasa laundry terdekat. Lalu mulai fokus ke masalah di merchant dengan menyediakan aplikasi khusus dilengkapi dengan fitur manajemen laundry, di antaranya kasir POS, manajemen produksi, pencatatan keuangan, akuntansi, manajemen pegawai, insights, pembayaran digital, hingga nota digital.

Berbeda dengan POS untuk industri F&B kebanyakan, di bisnis laundry punya keunikan. Misalnya, tempo pembayaran yang bisa di awal layanan dan juga di akhir, menyesuaikan keinginan pelanggan untuk pencatatan dan pembukuan. “Ini tantangan kami saat develop fitur pencatatan. Sekarang semua mitra kami bisa pakai fitur POS di aplikasi merchant.”

Saat pandemi, perusahaan memutuskan untuk membuat pusat inovasi dan pengembangan (R&D) berbentuk usaha laundry yang dikembangkan sendiri. Namanya, Swash Clean yang berlokasi di Tebet, Jakarta. Inisiasi awalnya adalah pihaknya ingin mengetahui lebih mendalam bisnis laundry dengan langsung terjun langsung ke bisnisnya dan mengembangkan solusi yang tepat guna agar dapat disebarluaskan.

Namun langkah tersebut membuat munculnya para pengusaha baru yang tertarik untuk terjun tapi belum ada keahlian. D-Laundry perluas solusi sebagai konsultan, memberikan rekomendasi terbaik, termasuk install peralatan hingga pelatihan. “Kemudian di 2022 ini kondisi ekonomi berangsur pulih, yang awalnya hanya konsultan sekarang jual all-in, kita tawarkan paket laundry Swash Clean dengan model franchise untuk dorong orang mau jadi laundry-preneur.”

Tak berhenti di situ perusahaan berencana untuk mengembangkan teknologi IoT ke dalam sistem mereka, mengingat saat ini sudah banyak peralatan rumah tangga yang dapat terhubung dengan jaringan internet. Baru mulai tahun ini perusahaan mulai ekspansi ke area non-Jabodetabek.

Application Information Will Show Up Here
Startup Tech Winter

Kiat Startup Bertahan di Tengah “Tech Winter”

Sebagai salah satu VC yang menduduki posisi teratas dalam hal investasi kepada startup di Indonesia, AC Ventures memiliki fokus khusus untuk mendukung pertumbuhan portofolio mereka. Memasuki masa sulit startup yang juga kerap disebut “Tech Winter”, AC Ventures memiliki beberapa catatan penting yang wajib di perhatikan oleh penggiat startup di tanah air.

Mulai dari strategi penggalangan dana yang tepat, potensi untuk melakukan M&A, hingga saat ini menjadi waktu yang tepat untuk merekrut talenta digital terbaik ke dalam tim. Hal ini seusai yang disampaikan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir dalam sesi webinar yang diadakan Rabu (03/8) lalu.

Efisiensi penggunaan kapital

Masih berlangsungnya perang antara Ukraina dan Rusia, ditambah dengan aturan Zero-Covid Policy yang diterapkan oleh Tingkok, mengakibatkan tertundanya aktivitas bisnis dan penutupan pabrik yang mempengaruhi kepada supply chain di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ditambah lagi dengan inflasi dan meninggkatnya harga berbagai barang dan kebutuhan masyarakat. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan bisnis kebanyakan startup. Untuk bisa bertahan dan mendapatkan profit, idealnya startup sudah mulai melakukan efisensi dalam hal penggunaan kapital atau modal yang ada saat ini.

Idealnya ketika dana segar sudah didapatkan oleh startup, bisa untuk menggunakan runway tersebut untuk waktu sekitar 36-48 bulan ke depan. Diprediksi pendanaan atau penawaran untuk berinvestasi dari VC akan lebih sulit diberikan. Investasi yang tahun ini kemudian final biasanya sudah dijajaki sejak tahun lalu.

“Jika saat ini Anda mencari nilai valuasi, rata-rata jumlah tersebut sudah menurun sekitar 30% di private market. Di sisi lain untuk public market, nilainya bisa mencapai sekitar 50 hingga 80% berdasarkan di negara perusahaan tersebut beroperasi,” kata Pandu.

Strategi lain yang kemudian juga bisa dilancarkan oleh startup adalah fokus mengembangkan unique value proposition untuk mendapatkan growth. Perhatikan pula unit ekonomi dan hedge risk. Untuk bisa mendapatkan market share, gunakan berbagai macam kanal, salah satunya adalah melakukan merger and acquisition (M&A). Hal ini dinilai lebih efektif dibandingkan jika perusahaan mengambil jalan melalui kanal yang organik. M&A bisa melahirkan keuntungan yang positif bagi startup, jika dieksekusi dengan tepat.

Kondisi sulit saat ini juga mewajibkan startup untuk terus menghadirkan inovasi dengan keterbatasan yang ada. Dengan melakukan cara ini diharapkan menjadikan perusahaan lebih siap ke depannya. Namun yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh startup saat ini adalah, untuk bisa membangun tim yang berkualitas, dengan merekrut tenaga kerja terbaik.

“Saat ini adalah waktu terbaik untuk fokus merampingkan tim. Jika telah memiliki tim dengan nilai B hingga B+, saat ini kemudian menjadi yang tepat untuk kemudian merekrut talenta dengan nilai A+. Satu orang dengan nilai A+ bisa lebih baik didapatkan dibandingkan dengan menambah tim berjumlah 6 orang dengan nilai B+,” kata Pandu.

Perubahan investasi VC saat tech winter

Menurut Pandu jika startup telah memiliki produk yang tepat dan digunakan oleh orang banyak, maka bisa menciptakan less price sensitive. Untuk itu pastikan produk yang dimiliki telah melalui proses product market fit yang tepat. Mindset ini yang baiknya diterapkan oleh semua entrepeneur.

Sementara itu menurut Director Head of Research Credit Suisse, investor saat ini lebih fokus kepada apakah startup telah memiliki revenue model atau tidak. Mereka juga akan memprioritaskan kepada startup yang bisa merekrut target pengguna mereka dengan tepat dan pada akhirnya harus memiliki strategi monetisasi yang jelas.

Jika sebelumnya proses penggalangan dana terbilang cepat waktunya, namun saat ini ketika sudah mulai banyak investor yang melakukan kalkulasi dan due diligence secara ketat, proses penggalangan dana bisa berjalan lebih lama dari biasanya. Untuk mereka yang saat ini sudah berada di tahapan Seri A ke atas, juga harus melalui proses penyaringan yang ketat. Mulai dari latar belakang pendirinya hingga unit ekonomi yang dimiliki startup.

Untuk ukuran investasi juga bakal mengalami perubahan. Tidak lagi menawarkan jumlah yang besar, saat ini investor mulai mengurangi investasi mereka dengan nilai yang lebih kecil dari biasanya. Salah satu alasan adalah, mulai banyaknya Limited Partner (LP) yang melakukan evaluasi saat proses underwriting dilakukan.

Dilihat dari jumlah investor yang masuk ke Asia Tenggara khususnya Indonesia, negara seperti Tiongkok hingga Korea Selatan juga sudah melirik banyak startup di Asia Tenggara.

Melansir dari DealStreetAsia, saat ini sudah mulai banyak VC asal Tingkok yang mendirikan kantor perwakilan mereka di Singapura. Tujuannya adalah untuk memberikan investasi kepada startup di Asia Tenggara. VC besar asal Tiongkok seperti Shunwei Capital, Source Code Capital dan Plus Capital, dikabarkan telah dalam proses melakukan ekspansi membuka kantor perwakilan mereka di Singapura.

Disinggung seperti apa dinamika IPO startup Indonesia ke depannya, Pandu menegaskan IPO yang dilakukan oleh GoTo merupakan salah satu yang terbilang sukses. Namun untuk mempercepat pertumbuhan startup jika memang bisa dilakukan kolaborasi dengan konglomerasi hingga M&A dengan kompetitor, menjadi lebih ideal dilakukan untuk mendapatkan growth yang positif.

Kondisi politik Indonesia yang akan diwarnai oleh Pemilu tahun 2024 mendatang juga diprediksi akan menunda terjadinya aktivitas investasi di tanah air. Namun saat Pemilu sudah selesai digelar, dipastikan kegiatan tersebut akan kembali berjalan normal. Untuk itu manfaatkan 9 bulan waktu sebelum Pemilu untuk kemudian startup mulai aktif melakukan kegiatan penggalangan dana.