Chatbot di Indonesia masih butuh "belajar" untuk memahami perbendaharaan bahasa

Cerita Chatbot di Indonesia

Lima tahun terakhir teknologi chatbot mencuri banyak perhatian. Tak heran jika akhirnya banyak perusahaan beramai-ramai mengimplementasi chatbot mereka sendiri lengkap dengan nama yang keren dan terkesan ramah. Namun banyak chatbot yang masih terkesan kaku, dan butuh banyak “latihan”. Terlebih chatbot yang ditempatkan pada posisi customer service.

Chatbot bekerja dengan cara menganalisis kata yang dikirimkan pengguna melalui kanal pesan. Kemudian kata-kata yang dikirimkan dan dicocokkan dengan sistem yang ada untuk kemudian memberikan respon yang sudah ditentukan.

Dalam beberapa kasus banyak chatbot yang tidak bisa mengenali kalimat yang dimaksud, hal ini terjadi karena kalimat tidak menggunakan bahasa/kata yang terdaftar dari sistem atau perbendaharaan kata di sistem tidak lengkap.

Chatbot bisa jadi solusi alternatif pengganti UI/UX. Alih-alih melakukan tap atau menghafal langkah untuk mencari sebuah info di aplikasi ataupun website, pengguna tinggal menuliskan apa yang mereka cari di platform percakapan. Chatbot dengan “ramah” akan mencarikan informasi yang dimaksud. Dalam kasus ini chatbot bisa menuntun pengguna jika tidak mendapati maksud dari kalimat yang diberikan.

Namun, untuk kasus customer service, chatbot harus bekerja “lebih keras dan ramah”. Pasalnya tidak semua pengguna puas dengan jawab template atau informasi umum. Bisa jadi pengguna yang menghubungi adalah mereka yang menunggu mengapa ada gangguan di akun mereka atau transaksi yang tak kunjung rampung.

Seringkali komplain tidak dituliskan dengan kalimat yang lengkap dan runtut. Bahkan lebih sering ditulis dengan menggebu dan emosi sehingga kadang kalimat bisa jadi tidak runtut. Selain harus memahami, chatbot harus juga dilatih untuk bisa lebih sopan. Jadi, kendala terbesarnya ada pada pemahaman bahasa dan database solusi yang disediakan.

Jika chatbot dilengkapi dengan mesin pembelajar yang memungkinkan chatbot bisa dilatih maka banyak chatbot di Indonesia masih butuh banyak dilatih untuk bisa memahami lebih banyak pilihan kata, susunan kalimat, dan yang paling penting database solusi.  Itu mengapa banyak chatbot di posisi customer service masih sering didampingi agen pelayanan pengguna demi tetap memberikan sentuhan manusia.

Berbagai macam inovasi chatbot di Indonesia

Di Indonesia perusahaan teknologi yang bergerak di bidang chatbot dan AI tidak banyak. Dua nama yang konsisten dalam pengembangan bisnis dan inovasi adalah Kata.ai dan Botika. Keduanya saling susul dalam hal inovasi.

Kata.ai yang digawangi Irzan Raditya mulai memperkenalkan Kata Platform Conversational. Sebuah platform yang didesain untuk memberikan solusi lengkap bagi pengguna Kata.ai. Di dalamnya ada berabgai macam fitur, di antaranya Kata Omnichat, Kata Assist, Kata Voice, dan beberapa fitur lainnya.

Kata.ai mulai merajut asa untuk menjadi “super app” dalam hal chatbot dan AI dengan mulai menawarkan beragam solusi. Di tahun 2020 sinergi dan kemitraan diharapkan bisa memperkuat Kata.ai dan solusi yang dibangunnya.

“Kami percaya kolaborasi dengan penyedia jasa dan platform lain adalah kunci strategi pertumbuhan kami, seperti halnya yang sudah kami lakukan di dua tahun terakhir dengan tech startup lainnya, seperti Qiscus dan Halosis, ataupun juga mitra system integrator seperti Accenture, Medlinx, Sprint, Telkom Infomedia, dan lain-lainnya. Kami sangat terbuka dalam menyambut lebih banyak lagi sinergi dan kemitraan yang bisa dihasilkan di tahun 2020,” terang Irzan beberapa waktu lalu.

Botika juga melakukan hal yang sama, inovasi. Ada dua layanan baru dari Botika, yakni Voicebot dan Omnibotika. Voicebot merupakan asisten virtual yang bisa diperintah melalui pesan suara, sedangkan Ominbotika merupakan dashboard yang mampu mengontrol berbagai macam saluran komunikasi mulai dari WhatsApp, Line, Telegram, WeChat, email, hingga telepon.

Di tahun 2019 kemarin, kurang lebih ada 20 juta lalu lintas pesan yang melalui sistem Botika. Lebih dari 1500 download untuk aplikasi Chatbotika untuk online shop dan menangani lebih dari 2000 perusahaan sebagi klien. CEO Ditto Anindita Botika menyebutkan di tahun 2020 ini pihaknya akan mengembangkan kemampuan Voicebot dan menambah jumlah saluran komunikasi untuk dintegrasikan dengan sistem Botika.

“Botika melakukan konsorsium dengan beberapa perusahaan dan membuat Smart Speaker yaitu Widyawicara direncanakan akan diluncurkan tahun 2020 ini. Melalui anak perusahaan kami, ARSA technology, kami melakukan inovasi AI Chip, yang memungkinkan komputasi machine learning bisa dilakukan pada sisi hardware IOT secara mandiri [edge computing]. Ini akan menaikan kecepatan proses komputasi dan menurunkan beban server,” terang Ditto.

Tugas berat chatbot memuaskan pelanggan Indonesia

Meski sudah banyak diimplementasi di Indonesia, nyatanya chatbot masih punya banyak pekerjaan rumah, terutama terkait pemahaman pesan yang terkendala bahasa di Indonesia yang beragam dan kemampuan AI di dalamnya menyediakan solusi yang sesuai–tidak hanya memberikan tautan artikel FAQ.

Kendati merupakan salah satu teknologi canggih, chatbot menyimpan peluang untuk gagal. Terlebih jika data-data yang digunakan sebagai “latihan” kurang atau tidak akurat, tidak bisa memahami percakapan dengan baik, dan yang tak kalah pentingnya, melindungi data pribadi.

Meski bukan sesuatu yang baru, chatbot masih menyimpan pontensi untuk berkembang. Tugas utama chatbot adalah memuaskan pelanggan dengan membuat dirinya seolah-olah manusia sebenarnya.