Cerita MailTarget dan Dicoding mengenai rekrutmen talenta

Cerita MailTarget dan Dicoding Soal Rekrutmen Talenta

Selalu ada hal menarik yang bisa dipelajari dari startup yang sedang berkembang. Dalam seri tips merekrut karyawan kali ini, DailySocial berkesempatan mendapatkan beberapa informasi dan tips dari dua startup yang tengah berkembang di Indonesia, yakni MailTarget (startup yang menyediakan solusi otomasi email marketing) dan Dicoding (platform untuk belajar pemrograman. Keduanya secara garis besar memiliki kesamaan perihal merekrut karyawan, tetapi memiliki pendekatan masing-masing.

MailTarget yang tengah berkembang dan merencanakan ekspansi  membutuhkan sumber daya yang tidak hanya banyak tetapi juga berkompetensi. Untuk itu tak heran jika Yopie Suryadi, Founder MailTarget, menyebutkan bahwa MailTarget is always hiring. Mereka selalu membuka kesempatan untuk menemukan talenta-talenta yang cocok dan melengkapi tim MailTarget saat ini.

Ada beberapa kondisi mengapa MailTarget terlihat agresif. Pertama untuk menggantikan mereka yang mengundurkan diri atau demi investasi untuk mengerjakan lini produk baru, perluasan dan percepatan bisnis, dan beban pekerjaan yang terus bertambah. Hal ini juga yang melatarbelakangi MailTarget tidak hanya membuka lowongan melalui situs pencari kerja dan email, tetapi mencari talenta dengan pendekatan personal, seperti pada saat event offline.

Pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan Dicoding. Dari penuturan Narenda Wicaksono, pendiri Dicoding, mereka biasanya mengumumkan lowongan melalui newsletter. Selanjutnya kandidat harus sudah pernah lulus di salah satu academy Dicoding. Hal ini dinilai sangat penting oleh Narenda karena bisa membuktikan kemampuan self learning dari kandidat.

“Lulusnya seseorang kandidat dari kelas academy online kami adalah indikasi dia memiliki kemampuan self learning yang bagus. Tentu kami hanya memanggil lulusan terbaik saja. Tahap kedua adalah magang dengan durasi maksimum satu tahun on the job training memberikan impact edukasi 80% dibandingkan teori. Jadi selama ini program magang cukup efektif memberikan edukasi kepada calon pegawai sambil melihat dia fit untuk role apa. Tahap ketiga adalah probation dengan durasi maksimum tiga bulan. Pada tahap ini kandidat sudah mendapatkan benefit maksimal sebagai karyawan,” terang Narenda.

Bagi MailTarget, mereka memiliki proses tersendiri untuk menyeleksi pelamar. Mulai dari memproses lamaran tidak lebih dari satu minggu, interview, tes psikologi  dan proses-proses lainnya.

“Jika ada email lamaran yang masuk, akan kami proses tidak lebih dari seminggu, setelah itu interview, tes psikologi, dan lain-lain yang diperlukan untuk mengetahui personality-nya, skill dan kompetensinya, dan kecocokannya pada tim, dan terahir ada tes yang dibawa pulang untuk dikerjakan tidak lebih dari 24 jam. Tidak kurang dari seminggu akan kami kabari lulus atau tidaknya di seleksi kami,” terang Yopie.

Sejauh ini Dicoding kurang lebih sudah 10 kali melakukan perekrutan karyawan. Sementara MailTarget sudah lebih dari 20 kali. Kedua startup tersebut tentu punya prioritas masing-masing dalam membangun tim mereka, seperti kedewasaan dalam bekerja bagi MailTarget dan kemampuan self learning bagi Dicoding.

Selain self learning, Narenda menjelaskan, saat ini mereka mencari kandidat yang memiliki kemampuan-kemampuan lain meliputi loyalitas dan seorang pejuang. Bahkan Dicoding bersedia mengembangkan bakat talenta mereka dengan memberikan pendidikan ke luar negeri.

“Kalau loyal dan pejuang, kami rela untuk mendidik mereka. Kami tidak segan untuk mengirimkan karyawan ke Singapura, Malaysia, India, hingga Amerika untuk menuntut ilmu,” lanjut Narenda.

Tips untuk merekrut karyawan baru

Selain berbagi mengenai bagaimana perjalanan dan kisah mengenai startup-nya, pihak MailTarget juga membagikan beberapa poin yang bisa dijadikan pertimbangan kapan seharusnya startup mempekerjakan anggota baru. Disampaikan Masas Dani, co-founder sekaligus CTO MailTarget berikut beberapa poin yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk menambah anggota tim:

  • Menambah orang akan menambah cost. Apakah value yang diberikan orang tersebut di team jauh lebih besar?
  • Merekrut anggota baru seperti membawa orang ke dalam kapal, artinya kita bertanggung jawab atas hidupnya di lautan. Seberapa besar kapal sekarang, untuk berapa orang kapal ini?
  • Apakah sanggup menampung kesejahteraannya sampai pensiun ?
  • Apakah siap ditinggal di tengah jalan ?

Sementara itu Narenda memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan startup yang memulai bisnisnya secara bootstrap seperti yang dilakukan Dicoding hingga saat ini. Menurutnya startup yang berstatus bootstrap tidak bisa berkompetisi dengan iming-iming uang.

“Bagi yang ingin mengambil jalur seperti kami, perlu diketahui bahwa kita tidak bisa berkompetisi mencari talenta dengan iming iming benefit uang. Biarkan para unicorn yang bertarung disana. Perlu diketahui ada banyak talenta bagus yang mencari benefit seperti keberkahan rezeki, bisa shalat di masjid tepat waktu, atau kedamaian dalam bekerja. Carilah talenta yang hidupnya “berjuang”. Biasanya mereka sangat menghargai setiap jerih payah yang dilakukan. Loyalitas dan kemampuan self learning seorang talenta adalah mandatory. Agar kita semua bisa mencapai puncak bukit dengan kecepatan yang sama tanpa perlu takut ada yang tertinggal,” tutur Narenda.

Narenda juga menceritakan di Dicoding mereka memiliki beberapa hal dalam membentuk tim yang meliputi:

  • Pertama, harus berusaha untuk mengerti personality setiap anggota. Apa yang mereka butuhkan, seperti keakraban dan kepastian.
  • Kedua, mempelajari teknik persuasif agar tim paham kenapa sebuah pekerjaan harus dikerjakan. Keinginan mereka untuk mengerjakan adalah indikasi teknik kita berhasil.
  • Ketiga, usahakan untuk tetap sopan (menjaga emosi) dan profesional. Jangan sampai menjatuhkan harga diri seseorang di depan anggota tim yang lain.
  • Keempat, harus sering mendelegasikan pekerjaan dan mempercayakan tim untuk mengerjakan task yang sulit.
  • Terakhir, kita sebagai composer tidak boleh takut tim kita salah salah. Musik dalam sebuah orkestra harus terus mengalir dan sejak awal harus memiliki ekspektasi bahwa nothing is perfect. Growing ke arah perfect adalah keniscayaan dan harus dirancang agar dapat berjalan secara kontinyu.