“Connected e-Conomy” dan Alasan Berinvestasi di Indonesia

IMG_1114

Gagasan Connected eConomy digaungkan oleh IDByte yang merupakan konferensi digital kenamaan Indonesia. Dalam perhelatannya tahun ini, titik fokus pembahasan ditekankan pada permasalahan seputar pemanfaatan teknologi untuk menciptakan kondisi ekosistem yang jauh lebih baik di Indonesia. Para pemangku kepentingan yang beririsan pun memberikan komentarnya mengenai apa yang terjadi dan apa yang perlu diketahui untuk menyongsong masa depan industri ini di Indonesia.

Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sandiaga Uno menyetujui bahwa fenomena ini diinisiasi oleh penetrasi Internet yang sebesar 33% dari total populasi masyarakat Indonesia. Sebagaian besar didorong oleh pengadopsian dari masyarakat kelas menengah, kepemilikan perangkat pintar yang terjangkau, dan akses Internet yang semakin mudah didapatkan.

“Mari kita lakukan loncatan melalui teknologi. Kesempatan terbesar untuk merealisasikan Connected e-Conomy hadir dari aplikasi mobile dan industri e-commerce. Kita punya puluhan ribu UKM dan SMB yang bisa dimanfaatkan,” katanya siang tadi (2/10).

Mendukung gagasan tersebut, CEO Indosat Alexander (Alex) Rusli mengakui butuh peranan pemerintah untuk itu. Tapi ia menampik fakta bahwa pemerintah harus menjadi pemimpin dalam setiap manuver yang terjadi dalam industri, melainkan sektor swasta lah yang harus berperan.

“Siapa yang paling paham hal ini hingga ke masyarakat? Siapa yang memiliki akses teknologi untuk menyalurkannya? Tentu private sector,” klaim Alex.

Dalam sesi yang berbeda, VP Sequoia Capital Pieter Kemps memaparkan bahwa tren startup teknologi akan menghadirkan pihak-pihak yang semakin pintar, kuat, dan jeli dalam melihat bisnis di pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia. Pemain ini yang nantinya akan mengambil peran penting di ekosistem ekonomi digital.

Melengkapi argumen Pieter, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan Indonesia telah memiliki modal yakni market yang besar [berdasarkan populasi]. Pihaknya selaku pemodal cukup menilai sebuah kualitas dari tim dan kesiapannya menghadapi berbagai kondisi yang kemungkinan terjadi, produk bukan menjadi parameter tunggal sebuah startup dalam pendapatnya.

“Indonesia [jika dibandingkan dengan negara Singapura] memiliki berbagai skenario yang lebih buruk. Namun jika berbicara mengenai peluang bisnis, hal tersebut merupakan masalah-masalah yang tersedia untuk dipecahkan dan hal tersebut merupakan sesuatu yang baik,” paparnya.

East Ventures, dalam penuturan Willson, menciptakan ekosistem-ekosistem kecil yang bahkan bisa berangkat dari sebuah ide sederhana dan pihaknya siap mendanai secara penuh. Talenta teknis disebutkan kerap menjadi penghambat, tetapi dengan kolaborasi dari ekosistem yang mereka ciptakan pihaknya bisa menambal hal tersebut.

“Kami siap mendanai tetapi tidak bisa membantu meyakinkan sukses, karena kami sendiri tidak tahu kejutan yang diberikan industri teknologi yang dinamis ini. Yang kami tahu adalah bagaimana meramalkan dan mempersiapkan diri untuk menghindari kegagalan,” kata Willson.

Banyaknya kesempatan tersebut, akan memicu lebih banyak pemodal untuk turut serta menggali lahan potensial di Indonesia. Ketika ditanya perihal “unicorn” di antara startup Indonesia, Willson menjawab, “Melihat industrinya, akan ada unicorn sebentar lagi”.

Leave a Reply

Your email address will not be published.