CS:GO Jadi Free-to-Play dan Pengaruhnya terhadap Esports

6 Desember 2018, Valve mengumumkan bahwa Counter Strike: Global Offensive (CS:GO) berubah jadi game Free-to-Play (FTP). Kabar ini memang menggemparkan dunia persilatan meski memang bukan yang pertama kali dilakukan oleh Valve. Sebelumnya, Team Fortress 2 (TF2) juga menerapkan sistem bisnis yang serupa. 23 Juni 2011, TF2 berubah menjadi FTP setelah sebelumnya berbayar.

Lalu bagaimana dengan para pemain yang telah membeli CS:GO sebelumnya? Buat mereka yang telah membeli, para pemain tersebut akan secara otomatis mendapatkan Upgrade Prime Status. Para pemain dengan Prime Status akan ditandingkan (matchmaking) dengan pemain yang sama berstatus Prime. Mereka juga berhak untuk menerima in-game items yang eksklusif.

Keputusan CS:GO jadi FTP tentu mengundang perdebatan di antara komunitasnya karena memang ada dampak positif dan negatifnya. Lalu bagaimanakah perubahan sistem bisnis ini akan berpengaruh terhadap scene esports CS:GO?

Richard Permana (kanan). Sumber: Richard "nxl> frgd[ibtJ]" Permana
Richard Permana (kanan). Sumber: Richard “nxl> frgd[ibtJ]” Permana
Saya pun menghubungi 2 orang yang termasuk dalam ikon esports CS:GO Indonesia untuk menanyakan pendapatnya. Pertama adalah Richard Permana, yang mungkin bisa dibilang sebagai salah satu orang paling berjasa dalam perkembangan esports CS:GO Indonesia ataupun esports secara luas. Ia adalah pemain sekaligus CEO dari TEAMnxl> yang merupakan salah satu organisasi esports Indonesia yang masih eksis dari 2006 sampai sekarang.

Sedangkan yang kedua adalah Kevin “xccurate” Susanto yang merupakan satu dari 2 pemain CS:GO profesional kebanggaan Indonesia yang bermain di tim luar negeri. Ia bersama Hansel “BnTeT” Ferdinand bermain untuk tim Tiongkok bernama TyLoo. Keduanya tak hanya bisa dibilang pemain CS:GO terbaik asal Indonesia, tapi juga Asia Tenggara.

Kevin Susanto. Sumber: HLTV
Kevin Susanto. Sumber: HLTV

Dampak Positif dan Negatif Free-to-Play

Baik Richard dan Kevin sama-sama setuju bahwa berubahnya CS:GO jadi FTP merupakan kabar baik buat game FPS yang dirilis di 22 Agustus 2012. “Lebih bagus soalnya jadi lebih banyak orang yang tertarik untuk bermain CS:GO.” Ujar Kevin.

Richard juga menambahkan bahwa Valve sebenarnya tidak butuh pendapatan dari user yang membeli game ini karena mereka bisa mencari revenue dari in-game item. Dengan jadi gratis, CS:GO juga mungkin akan lebih menarik bagi pasar Indonesia yang suka game-game gratisan.

“Harusnya dari dulu (jadi gratis)… Hahaha.” Kata Richard sambil tertawa.

Penambahan jumlah pemain ini juga terbukti dengan data yang kami lihat di SteamCharts ataupun SteamDB. Dari SteamCharts, jumlah pemain tertinggi di November 2018 mencapai 546.031 sedangkan, di Desember 2018, angka tersebut naik ke 692.891 pemain. Sedangkan di SteamDB, terlihat tren yang serupa. Ada kenaikan jumlah pemain di bulan Desember 2018.

Namun begitu, kenaikan jumlah pemainnya memang tidak signifikan (setidaknya sampai artikel ini ditulis). Bahkan di kedua situs tadi, data dari 7 hari terakhir bukan merupakan periode dengan jumlah pemain tertinggi. Namun demikian, angka ini masih bisa saja berubah mengingat baru satu hari CS:GO digratiskan.

Fluktuasi pemain CS:GO. Sumber: SteamCharts
Fluktuasi pemain CS:GO. Sumber: SteamCharts

Kevin berharap bahwa dengan perubahan sistem bisnis ini, CS:GO bisa booming kembali seperti saat CS:GO jadi satu-satunya game FPS kompetitif. “Saya sih berharap seperti itu (booming lagi). Apalagi ada mode baru juga, Battle Royale Danger Zone. Sebenarnya, CS:GO itu seru banget (tapi) mungkin karena dulu berbayar orang-orang jadi malas untuk bermain. Apalagi CS:GO itu tidak terlalu mudah jadi harus benar-benar sering bermain untuk jadi pro (player).” Ungkap Kevin.

Sedangkan Richard sendiri sedikit pesimis bahwa CS:GO akan kembali ke puncak kejayaannya. Ia beranggapan bahwa, di Indonesia, CS:GO tetap tidak akan seramai game mobile karena bermain CS:GO butuh perangkat yang tidak murah – setidaknya dibandingkan perangkat mobile.

Penambahan jumlah pemain memang bisa dibilang sebagai dampak positif dari gratisnya CS:GO yang mungkin kehilangan popularitasnya gara-gara Fortnite ataupun PUBG di PC ataupun maraknya game-game kompetitif di platform mobile.

Namun demikian, dengan berubah jadi gratis, jumlah cheaters ataupun trolls (orang-orang yang sekadar ingin mengganggu jalannya permainan) di CS:GO juga kemungkinan besar akan bertambah besar. “Yup! Bener (cheater dan trolls akan semakin banyak). Siap-siap aja.” Kata Richard.

Patch CS:GO 7 Desember 2018. Sumber: Counter-Strike.net
Patch CS:GO 7 Desember 2018. Sumber: Counter-Strike.net

Ia juga menambahkan semoga Valve terus meningkatkan sistem keamanan game mereka (VAC) untuk menekan hal tersebut. Jumlah orang-orang yang tidak serius bermain memang tak dapat dihindari dan komunitas CS:GO di Reddit sendiri sudah merasakannya. Mereka pun meminta sebuah fitur dari Valve agar para pemain gratisan bisa diblok di Community Server dan Valve mengabulkan fitur tersebut (di patch 7 Desember 2018).

Saya pribadi, yang telah berkecimpung di industri game dari 2008, memang tak melihat CS:GO akan kembali ke puncak kejayaannya jika tak ada peningkatan dari dukungan ekosistemnya, seperti esports-nya.

Dampaknya terhadap Esports Scenes?

Dampak kenaikan jumlah pemain mungkin memang juga akan berdampak positif terhadap dunia esports CS:GO. Sampai hari ini, ajang kompetitif CS:GO memang bisa dibilang lebih buruk dari pada saudaranya, Dota 2 yang sama-sama besutan Valve.

Kenapa? Karena para pemain profesional Dota 2 punya tujuan akhir The International (TI) yang merupakan piala dunianya game tersebut. Sedangkan CS:GO tak punya kompetisi semacam itu. Baik Dota 2 dan CS:GO sama-sama punya jenjang kompetisi Major dan Minor namun hanya Dota 2 yang punya jenjang di atas Major.

Sumber: Counter-Strike.net
Sumber: Counter-Strike.net

Apakah dengan naiknya popularitas CS:GO yang jadi gratis ini akan membuka peluang agar Valve membuat turnamen yang setara TI? Richard dan Kevin setuju bahwa bertambahnya jumlah pemain bisa berpengaruh pada munculnya turnamen CS:GO setingkat TI. Sayangnya, keduanya juga mengaku belum mendapatkan kepastian soal hal tersebut.

Di satu sisi, munculnya ajang kompetitif berskala besar memang dipengaruhi oleh jumlah pemain di game tersebut mengingat butuh dana yang tidak kecil juga untuk menggelar turnamen berskala internasional. Namun demikian, jumlah pemain juga bukan jadi satu-satunya faktor penentu. Keseriusan developer atau publisher game menggarap esports scene game itu juga berpengaruh besar terhadap ekosistemnya.

Coba saja kita bandingkan dengan TF2 yang saya sebutkan di awal artikel. TF2 yang berubah dari berbayar jadi gratis tidak serta merta membuat ekosistem esports-nya hidup. Jika memang Valve ataupun stakeholders lainnya tak ada keinginan untuk membesarkan ekosistem esports CS:GO, jumlah pemain yang bertambah tak akan berdampak apapun.

Hubungan antara ekosistem esports dan popularitas sebuah game memang saling terkait erat. Ajang esports memang dapat berfungsi sebagai alat pemasaran bagi game tersebut namun para stakeholders esports juga kecil kemungkinannya akan menggelontorkan dana besar jika game tersebut tak punya angka pemain yang masif. Perdebatan ini memang seperti perdebatan mana yang lebih dulu antara ayam dan telur.

C9. Sumber: VPEsports
C9. Sumber: VPEsports

Selain soal skala, ada perbedaan besar juga antara dunia persilatan ajang kompetitif CS:GO dan Dota 2. Juara-juara TI berasal dari regional yang berbeda-beda, dari mulai Amerika Utara, Eropa, ataupun Asia (Tiongkok). Namun pemerataan juara ini tak terjadi di CS:GO. Sampai artikel ini ditulis, Amerika Utara baru 1x menang kejuaraan setingkat Major. Selebihnya, kejuaraan setingkat Major hanya dimenangkan oleh tim-tim Eropa.

Apakah hal ini akan berubah dengan berubahnya CS:GO jadi FTP, mengingat pemainnya sekarang bisa berasal dari berbagai kalangan seperti Dota 2? Richard beranggapan CS:GO masih akan didominasi oleh para pemain Eropa meski sudah jadi FTP. “Region lain benar-benar harus jadi sebuah tim yang benar-benar bisa perform, dengan work rate yang tinggi.”

Soal dominasi ini, menurut saya, bisa jadi akan sedikit merata setelah CS:GO berubah jadi FTP. Namun, berhubung butuh waktu yang lama untuk benar-benar berada di puncak ajang kompetitif, mungkin tim-tim baru tidak akan serta merta tampil memukau dalam waktu dekat.

Lain waktu, mungkin kita akan berbincang-bincang lebih detail dengan Kevin untuk cari tahu kenapa dominasi tim-tim Eropa begitu kuat di CS:GO karena ia bersama timnya yang benar-benar sudah merasakan panasnya panggung CS:GO kelas internasional.

Danger Zone: Battle Royale CS:GO

Selain perubahan sistem bisnisnya, ada satu update lagi yang tak kalah penting kemarin yaitu mode Battle Royale di CS:GO. Genre Battle Royale sendiri memang sedang berada di puncak popularitasnya berkat Fortnite dan PUBG. Valve nampaknya benar-benar ingin menaikkan popularitas CS:GO di kalangan yang lebih luas dengan update kali ini.

Namun bagaimana pendapat Richard dan Kevin soal mode ini? Richard mengaku cukup positif dengan mode tersebut karena ia melihat Valve berani mengikuti tren dan keinginan komunitas tertentu. Hal ini ia anggap positif karena, menurutnya, CS sudah seperti mother of FPS esports.

Sedangkan Kevin juga setuju bahwa mode ini memang positif namun ia berharap ke depannya ada patch-patch baru untuk membuat Battle Royal CS:GO lebih mantab.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda setuju dengan semua pendapat yang ada di sini? Apakah sistem FTP dan mode BR akan membuat CS:GO kembali ke puncak kejayaannya lagi? Kita tunggu saja ya!