Pada hari Kamis lalu (28 Februari 2013) Badan Pengawas Periklanan (BPP) P3I bekerjasama dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) mengundang beberapa penggiat dan praktisi Media Sosial dalam sarasehan yang membahas topik Etika Beriklan di Media Sosial. Walaupun sarasehan tersebut memang membahas etika yang kaitannya dengan beriklan namun pembahasan yang berlangsung akhirnya juga menyinggung hal-hal yang kaitannya dengan etika di sosial media secara keseluruhan.
Mengingat memang media sosial adalah “barang baru” yang mulai banyak diperhitungkan untuk kepentingan banyak hal juga maka memang saya pribadi pembahasannya akan sedikit meluas ya. Dan juga hal tersebut mendorong saya untuk membuat tulisan ini.
Sebagai media baru, media sosial memang mengundang banyak oportunis yang berusaha mengeksplor media sosial agar bisa dimanfaatkan untuk segala hal, terutama yang bisa “menghasilkan”. Salah satunya adalah praktek follower farming di Twitter oleh orang-orang yang ingin menjual akun Twitter yang memiliki followers banyak.
Kita mengenal jual beli followers yang didorong munculnya kebutuhan akan banyaknya follower pada sebuah akun Twitter dengan alasan antara lain dipaparkan pada artikel ini. Namun jual beli akun Twitter yang sudah memiliki followers untuk kepentingan marketing & promosi adalah sebuah turunan baru dari kebutuhan yang juga belum lama muncul.
Mekanismenya adalah seseorang atau sebuah perusahaan membuat sebuah akun Twitter dengan nama yang diperkirakan bakal menyedot minat orang banyak lalu dibantu oleh akun-akun yang memang sudah terkenal dan sejenis, mereka mulai “mengajak” follower-follower baru yang memang punya minat terhadap segala sesuatu yang disebarkan oleh akun Twitter tersebut. Setelah jumlah follower akun Twitter tersebut mencapai jumlah yang cukup tinggi, (tergantung permintaan) maka akun tersebut mulai ditawarkan. Begitu ada yang membeli, maka si pembeli akan dapat mengubah nama dan bio akun tersebut sesuai dengan tujuan penggunaan akun tersebut. Lalu apa yang terjadi dengan para follower akun tersebut? Ya mereka akan menjadi penerima pesan-pesan pemilik baru akun tersebut.
Saya sempat berdiskusi dengan beberapa rekan untuk hal ini, terutama yang kaitannya dengan etika dan bisnis. Dari sudut pandang bisnis hampir semua mengatakan ini adalah pola bisnis yang bagus. Ada demand dan supply yang jelas, dan begitu kedua hal ini terpenuhi secara tujuan bisnis secara ekonomi bisa tercapai.
Masalah yang saya lihat adalah bila kita melihat dari sudut pandang follower maka isu etika akan muncul secara jelas. Walaupun memang ada mekanisme unfollow pada Twitter tapi kenyataan bahwa orang-orang ini “menggiring” dan “menjebak” para follower ke sebuah akun yang mereka pikir memenuhi minat mereka adalah sebuah tindakan yang sangat tidak etis. Resiko jatuhnya nama baik pun tidak akan mengenai langsung para oportunis ini namun kepada klien-klien mereka yang notabene tergiur akan tawaran akun dengan jumlah follower tinggi ini.
Mungkin memang istilah follower farming kurang bisa menggambarkan secara tepat kondisi yang saya gambarkan diatas, namun secara perilaku, para oportunis tersebut memang melakukan proses farming (berternak) dengan follower sebagai “ternak” mereka.
Pada akhirnya kesinambungan sebuah bisnis sangat tergantung dari kesimbangan antara etika dan bisnis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa memisahkan etika dengan bisnis pada prakteknya. Kecuali jika memang Anda ingin berbisnis tanpa etika ya, yang tentu saja akan berhadapan langsung dengan sanksi sosial.
Bagaimana menurut Anda?
Abang Edwin adalah seorang praktisi online community management sejak tahun 1998 jauh sebelum istilah social media/social network muncul di dunia internet. Sampai saat ini ia pun masih memberikan konsultasi-konsultasi mengenal karakter dan membina komunitas online bagi brand/agency maupun perseorangan. Untuk mendapatkan update terbaru, Anda bisa mengikuti @bangwinissimo di Twitter, atau membaca blognya di bangwin.net.