Pada hari terakhir Java Jazz Festival, saya bertemu dengan salah seorang teman lama yang kini menjadi aktifis komunitas pengguna Android, mas Agus Hamonangan. Dalam obrolan kami, ia menanyakan satu pertanyaan yang memang sudah lama ada dalam pengamatan saya, yaitu berkaitan dengan munculnya aktivitas sebagai dampak dari naiknya tren social media, buzzer dan juga fenomena Tweet berbayar, yang di Indonesia berdampak pada tren jual-beli follower terutama di Twitter.
Mas Agus bertanya tentang pendapat saya apakah fenomena buzzer ini akan bisa berlanjut dengan seiring perkembangan dunia social media? Jawaban saya singkat saja, selama kebutuhan itu ada maka apapun yang bisa memenuhi kebutuhan tersebut pasti akan berlanjut, it’s a simple economic principle.
Sepengamatan saya, permasalahan yang lebih dalam adalah hampir semua pengguna Twitter yang saya follow yang akhirnya menjadi buzzer tidak memiliki kemampuan menjaga nama mereka sebagai brand.
Saya ambil ilustrasi seperti ini sebagai contoh: Apa yang Anda harapkan dengan mem-follow akun Twitter dengan nama Raditya Dika? Saya bisa pastikan bahwa Anda ingin mendapatkan berbagai Tweet kocak, jenaka dan celotehan-celotehan khas ala Radit (panggilan dari Raditya). Lalu apa yang Anda rasakan jika tiba-tiba berbagai Tweet dari akun Raditya Dika ini misalnya mulai sering berbau iklan, dengan hashtag-hashtag tertentu? Ya, mungkin Anda merasa tidak masalah, tapi banyak juga yang merasa kecewa.
Sebagai seorang buzzer Radit tidaklah salah, para follower yang kecewa tersebut juga tidak salah, hanya mungkin yang terjadi adalah ketidakcocokan lagi, yang bisa jadi mengakibatkan para follower mulai meng-unfollow si buzzer. Alasannya? Ya kalau saya pribadi, mem-follow seseorang tentunya mengharapkan saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan dari orang tersebut, sehingga jika kehadiran saya di situ lalu dijadikan sasaran iklan, tentu saja saya tidak senang.
Memang menjadi buzzer itu sangat menggiurkan, menurut salah satu sumber, bayangkan saja ada seorang buzzer yang tiap Tweet-nya dihargai 5 juta rupiah untuk sekali Tweet, tergantung dari jumlah follower yang ia miliki. Masalahnya, kadang buzzer dengan jumlah bayaran yang bisa ia dapatkan dengan ‘menggunakan’ kehadiran para follower, tidak sadar bahwa follower tersebut haruslah dibina, dipelihara, selayaknya sebuah komunitas.
Sekali lagi saya menggunakan analogi yang selalu saya gunakan untuk menggambarkan sebuah komunitas, yaitu taman, dan si pengelola taman adalah mereka yang seharusnya membina dan memelihara taman tersebut agar pengunjung mau tetap datang. Pengelola taman juga seharusnya bisa lebih jauh memelihara pengunjungnya agar bisa merasa nyaman dan tetap kembali berkunjung.
Menurut saya, seorang buzzer ada baiknya berlaku seperti pengelola taman, menjaga agar follower tetap nyaman sekaligus menjaga follower sebagai asset yang berharga. Tweet yang murni datang dari dalam kepala dibandingkan dengan Tweet pesanan itu jelas berbeda. Oleh karena itu dalam menjalankan fungsi sebagai seorang buzzer, hemat saya tidak boleh hanya men-tweet sesuatu ditambah hashtag pesanan lalu menganggapnya selesai. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
- Skenario rangkaian Tweet. Kebanyakan buzzer hanya menerima order berapa kali Tweet dalam jangka waktu tertentu, tapi jarang sekali seorang buzzer masuk dalam skenario rangkaian Tweet yang dikembangkan dari brief pihak agency/brand.
- Ajak pihak pemberi pekerjaan (agency/brand/personal) ikut bersama-sama merancang strategi penyebaran pesan. Jika ini tidak memungkinkan, datanglah dengan usulan lalu minta pihak pemberi pekerjaan untuk approval.
- Kemampuan berkomunikasi singkat dan efektif sangatlah dibutuhkan.
- Hard sale is a big no-no, kecuali memang dari awal di akun Twitter tersebut memang ditujukan untuk hard sale. Contoh akun @iklanbaris tentunya memang ditujukan untuk beriklan.
- Ada baiknya follower tetap jadi prioritas utama.
- Dengarkan baik-baik apa yang disampaikan oleh follower, karena input dari follower bisa jadi menyuarakan apa yang dirasakan oleh seluruh follower juga.
Poin-poin di atas tentunya akan bisa berkembang seiring dengan perubahan dan kasus-kasus baru yang terjadi di dunia social media, namun setidaknya bisa dijadikan informasi dasar, bahwa menjadi buzzer itu tidak hanya sekedar menerima pesanan Tweet dan menjadikan follower sebagai target pesan-pesan berbayar.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda siap menjadi seorang buzzer?
Abang Edwin adalah seorang praktisi online community management sejak tahun 1998 jauh sebelum istilah social media/social network muncul di dunia internet. Ia memulai perjalanan eksperimentasinya dengan beberapa komunitas online yang akhirnya berkembang sukses pada saat itu, sampai saat ini ia pun masih memberikan konsultasi-konsultasi mengenal karakter dan membina komunitas online bagi brand/agency maupun perseorangan.
Ia sempat bekerja di Yahoo! selama lebih dari 4 tahun sebagai community manager. Dan kini posisi terakhir yang dijabatnya adalah Country Manager – Indonesia untuk Thoughtbuzz.net, sebuah perusahaan social media monitoring.
Ya, setuju sama yang dikatakan oleh bang erwin. Meneruskan follow-up setelah tweet iklan mungkin ide yang cerdas! Tp, mungkin akan membuat harga semakin besar lagi.