Dana kelolaan AC Ventures

AC Ventures Tutup Putaran Pertama Dana Kelolaan ke-5 Senilai 2,4 Triliun Rupiah

AC Ventures (ACV) dilaporkan telah menutup putaran pertama dana kelolaan kelima (Fund V). Dari target sebesar $250 juta atau setara 3,7 triliun Rupiah, ACV telah mengumpulkan 65% atau sekitar $162,5 juta atau setara 2,4 triliun Rupiah, yang sebagian besar berasal dari Limited Partner (LP) pada dana kelolaan sebelumnya.

“Kami berinvestasi pada digitalisasi di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara. Tahun lalu, PDB dari sektor digital Indonesia mencapai $70 miliar dan diproyeksi tumbuh lebih dari $350 miliar dalam lima tahun ke depan. Kami telah membangun ekspertis melalui pengalaman berinvestasi selama ini, terutama pada commerce, fintech, dan UMKM,” ujar Co-founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li sebagaimana diberitakan Techcrunch.

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial.id, ACV telah berinvestasi ke sebanyak 22 startup selama sembilan bulan terakhir di 2022 melalui Fund V, termasuk di antaranya SkorLife, KLAR, Esensi Solusi Buana (ESB), Atma, IDEAL, dan BRIK.

Menurut Adrian, meski ACV terbilang agnostik, Fund V akan difokuskan pada sektor baru, termasuk climate tech. Untuk startup tahap awal, ticket size yang dikucurkan berkisar $2 juta, dan sebagian besar dana akan disimpan untuk investasi lanjutan (follow-on investment).

Sebagai informasi, ACV terakhir menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $205 juta atau Rp3 triliun. Sebagian dari Fund III sudah diinvestasikan sejak penutupan pertama pada Maret 2020. Adapun, International Finance Group (IFC) milik Bank Duni dan Disrupt AD milik Abu Dhabi Developmental Holdings bergabung menjadi LP pada dana kelolaan ini.

Sementara, dana kelolaan keempat (Fund IV) dijalankan oleh tim berbeda dengan fokus pada Malaysia. Secara keseluruhan, total portofolio ACV di Indonesia dan Asia Tenggara telah mencapai 120, termasuk Xendit, Shipper, Aruna, Carsome, dan Stockbit.

Melanjutkan suksesi unicorn IPO

Menurut Adrian, investor global tertarik dengan Asia Tenggara karena menunjukkan pertumbuhan pasar yang semakin mature, ditandai dengan melantainya GoTo dan Bukalapak di bursa saham, serta meningkatnya investasi di tahap later-stage dan secondary exit. Adapun, LP pada Fund V berasal dari Asia Utara, Amerika Serikat, Eropa, hingga Timur Tengah.

Ia juga menyebut pihaknya memainkan strategis yang sukses untuk tetap fokus menjadi investor tahap awal. Artinya, ACV ingin mendukung startup hingga pada titik posisinya menjadi valuable dalam membantu founder membangun bisnis.

ACV umumnya berinvestasi ke 30-35 startup per fund dan menyimpan sebagian untuk investasi lanjutan dengan rasio 20:1 bagi startup yang dapat menciptakan value. Per tahunnya, ACV mengucurkan investasi ke 10-12 startup melalui fund miliknya, dan tren ini akan terus berlanjut meskipun iklim investasi di global melambat.

Adrian berujar bahwa ACV lebih fokus berinvestasi pada startup tahap awal karena sejumlah alasan. Pertama, ACV dapat terlibat dengan para founder untuk merekrut key talent dan berbagai pedoman operasional mereka. Seiring dengan pertumbuhan tim, ACV dapat membantu founder untuk membentuk fundamental pada budaya kerja, komunikasi, dan talent.

“Selain itu, kami berinisiatif untuk mendorong kemitraan dengan konglomerat dan para pemangku kepentingan di Indonesia untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis startup. Misalnya, kemitraan startup fintech dan bank untuk memperluas akses pinjaman,” ujarnya.

Fokus pada bisnis

Adrian juga memberikan sejumlah catatan penting terkait situasi ekonomi saat ini dan dampaknya terhadap startup. Ia melihat bagaimana valuasi startup di semua tahap (stage) sampai turun sebesar 30%-40%. Namun, di sisi lain ia juga melihat ada perkembangan kualitas pada para founder. 

Situasi ini justru menjadi momentum yang tepat bagi founder untuk lebih fokus terhadap kualitas metrik dan product-market fit sebelum memulai untuk meningkatkan skala bisnisnya. Ia menekankan pentingnya untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan dengan situasi pasar saat ini.

“Saya pikir ketika [mendapatkan] investasi menjadi hal mudah tahun lalu, sejumlah startup yang mengejar pertumbuhan topline justru meningkatkan skala bisnis terlalu cepat sebelum waktunya. Hal itu bukan cara efisien untuk menggunakan modal, tetapi mencoba meraih pangsa pasar dan mendapat [investasi] pada putaran berikutnya. Jadi, saat-saat seperti ini menjadi momentum baik bagi founder dan investor.” Tutupnya.