Di tengah pandemi, kenaikan nilai Bitcoin yang fenomenal menjadi buah bibir. Di balik itu, DeFi jadi fenomena yang tak kalah ramai

Mengenal DeFi, Tren Baru dari Komunitas Blockchain dan Industri Keuangan

Jika ada satu tren dari komunitas blockchain terbesar dalam beberapa waktu terakhir, decentralization finance atau biasa disebut DeFi adalah jawabannya. DeFi menjadi cukup populer karena memadukan nilai-nilai utama blockchain ke dalam bisnis keuangan yang sudah ada selama ini.

DeFi umumnya berjalan dengan smart contract di atas platform Ethereum (ETH), salah satu aset kripto terpopuler selain Bitcoin (BTC). Smart contract tersebut memungkinkan DeFi berjalan secara otomatis tanpa kehadiran middleman atau pihak ketiga. Smart contract sendiri adalah bahas pemrograman. Inilah pembeda utama DeFi dengan institusi keuangan tradisional seperti perbankan yakni disintermediasi.

Pandu Sastrowardoyo dari Blocksphere menjelaskan bahwa konsep yang diusung DeFi sejatinya tidak baru-baru amat. Pandu melanjutkan pada dasarnya DeFi mengusung sistem keuangan terbuka yang artinya tidak ada kendali atau otoritas tertinggi yang biasanya dipegang oleh bank dalam produk keuangan tradisional.

“Jadi kekuatan dari DeFi adalah tidak ada institusi yang mengelola dan enggak ada pegawai karena ini ditentukan oleh smart contract dengan coding. Ini transparan bisa dilihat semua orang. Kalau di perbankan kita percaya pada perusahaan, brand, atau orangnya, di DeFi kita percaya dengan smart contract,” jelas Pandu.

Produk DeFi yang ada saat ini rata-rata menyasar bisnis lending. Beberapa produk DeFi yang sudah cukup terkenal di dunia di antaranya adalah Compound, MakerDAO, dan Synthetic. Namun sesungguhnya potensi DeFi bisa menyapu semua jenis bisnis di industri keuangan. Tabungan, pinjaman, trading, hingga asuransi menurut Pandu dapat ditawarkan dengan protokol DeFi.

Meski potensi DeFi cukup luas, lending menjadi sektor yang paling digemari para penyelenggara protokol DeFi. Pada dasarnya cara kerja DeFi ditentukan dua hal penting, yakni smart contract dan token. Kedua hal ini yang menggantikan seluruh proses yang dijalankan oleh middleman/pihak ketiga di centralized finance (CeFi).

Di DeFi yang menghasilkan produk lending, borrower dapat memperoleh dananya dengan menjaminkan aset kripto yang ada. Bunga yang dipasang juga bersifat dinamis. Model yang digunakan dalam sistem DeFi memungkinkan borrower membayar lebih murah jika permintaan pinjaman yang ada lebih sedikit. Sebaliknya, jika permintaan sedang tinggi, lender atau investor bisa memperoleh bunga yang lebih tinggi.

Sebelum 2020, produk DeFi sebenarnya sudah bermunculan. Namun keberadaannya baru menjadi sensasi sejak tahun lalu. Ini bisa dilihat dari total nilai yang terkunci di dalam ETH pada 2020 mencapai $14,74 miliar atau sekitar Rp206 triliun, meningkat pesat dari total nilai 2018 dan 2019 yang hanya ratusan juta dolar saja.

Selain nilai bitcoin yang terus melejit dan diminati pasar, kenaikan drastis DeFi juga disebabkan penerimaan regulator. Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission), misalnya, membuat keputusan besar dengan menyetujui dana kelolaan berbasis ethereum pada Juli lalu. Di samping itu, pemain-pemain besar industri keuangan, seperti JP Morgan dan ANZ, mulai memakai blockchain untuk diintegrasikan ke sistem mereka.

Semarak DeFi pun sudah mulai berlangsung di Tanah Air. Meski produk-produk DeFi di sini masih bisa dihitung dengan jari, perbincangannya di komunitas kripto dan keuangan cukup ramai. VynDAO, UNYdex, dan Tadpole Finance merupakan contoh DeFi buatan dalam negeri. Pengecualian untuk Tadpole, DeFi rintisan Indodax tersebut justru sudah melantai di Bithumb Global, sebuah bursa di Korea Selatan yang memperdagangkan fiat dan kripto.

Terlepas dari segala keunggulannya, DeFi juga punya sejumlah tantangan. Pertama, blockchain tidak sepenuhnya bebas dari ancaman keamanan. Berikutnya nilai jaminan yang masih terlampau tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari nilai pinjamannya sendiri. Pandu juga menambahkan ada faktor ancaman penipuan yang memanfaatkan hype DeFi.

“Ini bisa terjadi karena bikin DeFi itu gampang banget. Bikin sekarang aja pun bisa,” ucap Pandu.

Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) Oham Dunggio mengatakan kemunculan DeFi yang cukup sensasional sejak tahun lalu menjadi berkah tersendiri. Meski secara konsep yang dibawa tidak baru-baru sekali, namun Oham menilai DeFi sanggup menggerakkan entitas-entitas bisnis berinovasi lebih jauh di atas jaringan blockchain. Oham meyakini perusahaan-perusahaan di Indonesia segera mengadopsi inovasi anyar tersebut meski hanya sekadar eksperimen saja.

Hype dari DeFi ini lebih banyak positifnya ketimbang hype yang dibawa ICO (initial coin offering) dulu. Sebab DeFi ini lebih fokus ke produk, tidak seperti ICO yang lebih fokus menghimpun uang,” pungkas Oham.