Degradasi Kualitas Konten Digital Adalah Keniscayaan

Sponsorship adalah salah satu sumber pemasukan utama organisasi esports. Untuk menarik para sponsor, sebuah organisasi esports tidak hanya harus punya prestasi, tapi juga punya fanbase. Salah satu cara membesarkan dan menjaga fanbase adalah dengan aktif di media sosial, termasuk YouTube. Sayangnya, terkadang, tidak semua pelaku esports sabar membangun fanbase, apalagi di industri niche seperti competitive gaming. Ada pihak yang memilih untuk mengambil jalan pintas. Salah satu caranya dengan mengunggah konten eksploitatif, seperti video yang menjurus ke hal-hal tak senonoh, drama pribadi, ataupun konten picisan lainnya.

Sayangnya, membuat konten kontroversial tampaknya akan menjadi tren yang tak terelakkan di masa depan. Kenapa bisa begitu?

 

Semakin Banyak Orang yang Ingin Menjadi Kreator Konten

Di Indonesia, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi kreator konten. Buktinya, berdasarkan Google Trends 2020, “Cara menjadi YouTuber pemula” merupakan kata kunci paling populer kedua dalam kategori “Bagaimana cara”. Sementara itu, “Cara menjadi terkenal” ada di peringkat lima. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak masyarakat Indonesia yang tertarik untuk menjadi bintang di internet.

Tren pencarian di Google pada 2020. | Sumber: Google Trends

Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seseorang ingin menjadi kreator konten. Toh, besar pemasukan yang didapatkan seorang YouTuber cukup menggiurkan. Setiap bulan, seseorang bisa mendapatkan jutaan Rupiah per bulan “hanya” dengan mengunggah video ke YouTube. Sementara menurut Kompas, Deddy Corbuzier, yang masuk ke dalam daftar lima YouTuber paling sukses di Indonesia, diperkirakan punya pemasukan sekitar US$34-543,3 ribu (Rp495 juta-Rp7,9 miliar) per bulan. Dengan iming-iming penghasilan hingga miliaran Rupiah dan juga popularitas, siapa yang tidak tergiur?

Satu hal yang harus diingat, semakin banyak orang yang menjadi kreator konten, maka persaingan juga akan semakin ketat. Ibarat sebuah kue, semakin banyak orang yang ingin memakan kue itu, maka semakin sedikit pula porsi yang diterima oleh setiap orang. Tentu saja, di dunia nyata, tidak semua orang mendapatkan jatah yang sama. Ketika masyarakat berbondong-bondong untuk menjadi YouTuber, sebagian dari mereka mungkin akan sukses, sementara kebanyakan mungkin akan tumbang. Masalahnya, seberapa besar kesempatan seseorang bisa sukses sebagai kreator konten?

Berdasarkan data dari Social Blade, lima YouTuber dengan pemasukan terbesar di Indonesia antara lain Deddy Corbuzier, Ria Ricis, Baim Wong, Raffi Ahmad, dan Atta Halilintar. Dari lima orang itu, tiga di antaranya merupakan selebriti, yang sudah memiliki fans bahkan sebelum mereka mulai membuat konten di YouTube. Bagi orang yang bukan siapa-siapa, mereka harus bekerja lebih keras untuk bisa menggaet penonton. Sebagian orang bahkan rela untuk mempertaruhkan nyawanya demi konten. Dan pernyataan itu tidak hiperbolis. Salah satu bukti nyata, pada April 2021, seorang pemuda meninggal terlindas truk karena dia mencoba untuk menghadang truk yang sedang melintas. Kenapa dia melakukan hal itu? Karena dia dan teman-temannya sedang berusaha untuk membuat konten viral. Kejadian serupa terjadi para Maret 2021.

Kabar baiknya, para pemain esports kini mendapat status idola layaknya atlet profesional atau selebritas. Jadi, bagi pemain atau organisasi esports profesional, mereka bisa langsung menargetkan para fans competitive gaming. Masalahnya, jumlah penonton esports terbatas. Memang, audiens esports menunjukkan tren naik. Pada 2021, jumlah penonton esports di dunia diperkirakan mencapai 474 juta orang.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Newzoo

Hanya saja, jika dibandingkan dengan total pengguna internet — yang mencapai 4,72 miliar orang — tentu saja jumlah penonton esports masih jauh lebih sedikit. Jadi, tidak heran jika ada pelaku esports yang tergiur untuk “keluar jalur” dan menargetkan pengguna internet yang mungkin bukan fans esports. Dan ketika Anda melompat masuk ke kolam yang lebih besar, Anda juga harus siap dengan tantangan yang lebih sulit.

 

Seberapa Ketat Persaingan untuk Mendapatkan View?

Menurut hukum permintaan dan penawaran, nilai sebuah produk ditentukan oleh ketersediaan dan permintaan akan barang tersebut. Semakin banyak orang yang tertarik untuk membeli sebuah produk, semakin tinggi harganya. Sebaliknya, semakin banyak jumlah orang yang menyediakan produk itu, semakin turun harganya. Pada satu titik, keduanya akan saling bertemu.

Dalam industri pembuatan konten, kreator konten merupakan penyedia produk. Sementara penonton adalah pembeli. Untuk memperkirakan penawaran dan permintaan konten, ada beberapa tolok ukur yang bisa kita gunakan. Jumlah channel YouTube atau jumlah video atau artikel digital bisa menunjukkan sisi penawaran, sementara jumlah pengguna internet dan durasi menonton bisa menjadi cerminan dari permintaan pasar akan konten.

Pertama, mari kita melihat data tentang jumlah pengguna internet di dunia. Menurut Statista, pada 2021, tingkat penetrasi internet di dunia mencapai 53,7%. Hal itu berarti, jumlah pengguna internet mencapai 4,2 miliar orang. Jika dibandingkan dengan tingkat penetrasi pada 2020, tingkat penetrasi pada 2021 menunjukkan kenaikan, meski tidak besar, hanya 1,3%. Dari tahun 2014, tingkat penetrasi internet di dunia memang terus menunjukkan kenaikan. Bagi kreator konten atau orang yang ingin menjadi kreator konten, hal ini adalah kabar baik karena jumlah audiens mereka terus bertambah dari tahun ke tahun.

Persentase pengguna internet di dunia dari tahun ke tahun. | Sumber data: Statista

Namun, jika Anda mengamati garis merah pada grafik di atas, Anda akan melihat pada pertumbuhan tingkat penetrasi pengguna internet di dunia menunjukkan tren menurun sejak 2017. Artinya, jumlah pertumbuhan pengguna internet mengalami perlambatan.

Di Indonesia, tren jumlah pengguna internet juga menunjukkan pola yang sama seperti tingkat penetrasi internet di dunia. Pertumbuhan jumlah pengguna internet Indonesia diperkirakan akan memuncak pada 2019, sebelum mengalami penurunan dalam beberapa tahun ke depan. Berikut grafik berdasarkan data dari Statista.

Jumlah pengguna internet di Indonesia dan laju pertumbuhannya. | Sumber data: Statista

Sekarang, mari kita meninjau data terkait YouTube. Pada 2020, ada 37 juta channels YouTube secara global. Angka ini naik 23% dari tahun 2019, berdasarkan data dari Social Blade. Sementara itu, setiap menit, 500 juta jam video diunggah ke YouTube. Berikut grafik yang menunjukkan pertumbuhan jumlah channel YouTube dari tahun 2017 sampai 2020.

Pertumbuhan jumlah channel YouTube. | Sumber: Social Blade, tubics

Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah pengguna internet, pertumbuhan jumlah channel YouTube jauh lebih tinggi. Dan hal ini bisa menjadi masalah bagi kreator konten. Alasannya, ketika tingkat pertumbuhan channel YouTube lebih tinggi dari pertumbuhan jumlah pengguna internet, maka suplai konten akan naik drastis, sementara jumlah penonton atau konsumen cenderung stagnan. Jika persediaan produk naik tapi permintaan tetap, maka hal ini akan membuat harga turun dan jumlah produk yang berlebihan.

Jumlah pengguna internet bukan satu-satunya metrik yang bisa digunakan untuk menunjukkan tren konsumsi video. Kita juga bisa melihat hal ini dari jumlah pengguna YouTube. Menurut Hootsuit, YouTube memiliki 2 miliar pengguna aktif bulanan. Mengingat Anda tetap bisa menonton YouTube tanpa harus login, maka kemungkinan, jumlah penonton YouTube lebih besar dari itu. Sementara penonton dewasa — yang berumur setidaknya 18 tahun — menghabiskan 41,9 menit untuk menonton YouTube setiap harinya. Jadi, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penonton YouTube per minggu adalah 4,9 jam atau 255 jam per tahun. Secara total, pengguna YouTube mengonsumsi lebih dari 1 miliar jam video setiap hari.

Angka ini memang terlihat besar. Namun, setiap menit, ada 500 juta jam video baru yang diunggah ke YouTube. Hal itu berarti, dalam sehari, total durasi konten baru yang diunggah ke platform video tersebut akan menembus 720 miliar jam, jauh lebih besar dari total durasi konten yang dikonsumsi setiap hari.

Semua data di atas menunjukkan betapa ketatnya persaingan untuk mendapatkan view di YouTube. Jadi, jangan heran jika ada kreator konten baru, termasuk pelaku dunia esports, yang tergiur untuk mengambil jalan pintas ke popularitas dengan membuat konten yang berbau drama atau bersifat kontroversial.

Pertanyaannya…

 

Apa yang Membuat Konten Kontroversial Begitu Menarik?

Setiap orang punya standar “konten kontroversial” masing-masing. Apa yang saya anggap sebagai kontroversial, mungkin tidak aneh bagi sebagian orang. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, dalam artikel ini, saya akan membatasi definisi konten kontroversial menjadi konten yang menampilkan drama atau menjurus ke konten kurang senonoh.

Menurut Psych Central, ada beberapa alasan mengapa seseorang suka menonton konten berupa drama atau konflik. Salah satu alasannya adalah karena masalah yang dihadapi oleh orang lain bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah yang tengah ia hadapi. Jadi, menonton konten merupakan bentuk pelarian dari kenyataan. Alasan lainnya adalah karena bagi sebgian orang, konflik yang berujung pada drama adalah hal yang wajar, yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, orang-orang yang punya pikiran seperti ini tumbuh besar di keluarga yang kurang akur, sehingga mereka terbiasa melihat konflik.

Menariknya, faktor biologis juga punya peran dalam membuat seseorang senang menonton konten berupa drama konflik. Pasalnya, ketika Anda menonton konten berisi konflik, hal ini bisa memicu rasa marah Anda. Dan rasa marah tersebut bisa membuat tubuh mengeluarkan endorfin, hormon yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan memberikan perasaan positif. Alhasil, orang-orang menjadi “kecanduan” menonton konten dramatis demi mendapatkan endorfin.

Dalam studi berjudul “Social Transmission, Emotion, and the Virality of Online Content”, Jonah Berger dan Katherine L. Milkman mencoba untuk mencari tahu akan karakteristik konten viral. Mereka menemukan emotional engagement merupakan kunci penting untuk membuat sebuah konten viral. Salah satu tipe konten yang punya potensi menjadi viral adalah konten yang menginspirasi atau lucu. Uniknya, konten yang memicu rasa marah juga berpotensi viral.

Studi yang dilakukan oleh University of Indiana juga menunjukkan hal yang sama: konten yang memicu rasa marah punya kesempatan lebih besar untuk viral. Namun, rasa marah yang dimaksud di sini bukanlah rasa marah yang membuat seseorang ingin melakukan kekerasan, tapi rasa marah yang mendorong seseorang untuk berdebat. Misalnya, jika seorang kreator konten membuat video yang menyebutkan, PUBG Mobile merupakan game esports yang lebih baik dari Free Fire — atau sebaliknya — video tersebut kemungkinan akan dibanjiri komentar dari fans kedua game tersebut. Hanya saja, tolong ingat kalau netizen Indonesia mendapatkan gelar “paling tidak sopan” se-Asia Tenggara. Jadi, kreator konten yang membuat konten kontroversial dan mengundang debat harus siap mental menghadapi netizen.

Menariknya, kreator konten bukan satu-satunya pihak yang mencoba untuk merangsang emosi pengguna demi mendapatkan penonton, studio film pun melakukan hal yang sama. Hal ini terlihat dari perubahan tren villain pada film-film Hollywood. Pada tahun 1950-an, kebanyakan film mengangkat tema “kita vs mereka”. Dalam film-film itu, seorang villain digambarkan sebagai penjahat yang menjadi jahat karena memang terlahir sebagai penjahat. Ada garis jelas yang memisahkan antara sang villain dan protagonis.

Sementara sekarang, kebanyakan villain justru bisa menarik simpati penonton. Misalnya, Killmonger dari Black Panther atau Thanos dari Avengers: End Game. Kedua villain itu berusaha untuk memecahkan masalah di status quo demi menciptakan dunia yang lebih baik. Hanya saja, mereka menggunakan cara yang terlalu radikal, sehingga mereka dicap sebagai villain dan bukannya pahlawan.

 

Kesimpulan

Belakangan, esports semakin disorot. Bahkan pemerintah pun menunjukkan ketertarikan dengan esports. Hal ini membuat semakin banyak orang tertarik untuk masuk ke esports. Di satu sisi, meningkatnya jumlah pelaku di dunia esports adalah kabar baik. Di sisi lain, hal itu membuat persaingan menjadi ketat, termasuk dalam memenangkan hati fans. Tak berhenti sampai di situ, ketika sebuah tim atau seorang atlet esports sukses mendapatkan fanbase, mereka juga harus bersaing dengan konten-konten non-esports, seperti konten musik, dokumenter, vlog, dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga, setiap manusia hanya punya waktu 24 jam sehari. Waktu yang digunakan untuk menonton konten gaming dan esports juga waktu yang sama yang bisa digunakan untuk bekerja, tidur, ataupun hiburan lainnya seperti musik, film, ataupun yang lainnya.

Persaingan yang ketat mungkin akan memicu sebagian orang untuk menjadi lebih semangat. Hanya saja, kompetisi juga justru membuat orang-orang memilih untuk mengambil jalan pintas. Dalam pembuatan konten, salah satu jalan pintas yang bisa seseorang ambil adalah membuat konten yang kontroversial. Misalnya, membuat pernyataan yang mengundang perdebatan, membahas drama pribadi, atau bahkan membuat konten yang menjurus ke ranah pornografi.

Sayangnya, hal ini tidak hanya merugikan pelaku, tapi juga ekosistem esports secara keseluruhan. Pasalnya, ada berbagai stigma negatif yang sudah melekat di industri game dan esports; stigma yang sampai sekarang belum hilang sepenuhnya. Sayangnya, baik di ranah esports, gaming, ataupun kebanyakan ranah lainnya, degradasi kualitas konten adalah sebuah keniscayaan.