Dengan Citizen Journalism, Semua Orang Bisa Jadi Wartawan

Penetrasi smartphone yang diterima luas oleh masyarakat Indonesia dengan baik, sekaligus meningkatnya ruang kebebasan mengungkapkan pikiran dan pandangan melalui blog mau pun sosial media, menimbulkan suatu fenomena baru: Citizen Journalism. Ya, saat ini dapat dikatakan siapa saja bisa menjadi jurnalis. Melaporkan banyak hal, kemacetan, kecelakaan di jalan raya, yang bisa dilakukan dengan tulisan maupun merekam video atau gambar dan meng-uploadnya. Mengabarkan pada seluruh dunia.

Citizen Journalism adalah wajah masa depan dari pemberitaan. Saat ini banyak orang yang memiliki ponsel dengan camera dan video rekaman di dalamnya. Ia bisa mengumpulkan informasi dan menyebarkan,” tutur Wishnutama, CEO Netmedia, kepada DailySocial saat acara Ideafest  2013, di Jakarta Convention Center, Sabtu (28/9).

Potensi citizen journalism menurut Wishnutama akan sangat besar, pertama karena mayoritas orang Indonesia memiliki camera phone, kedua sifat mereka yang suka berbagi. “Ini akan menjadi the future of news in Indonesia, saya yakin akan hal itu.”

Wishnutama sendiri mengatakan bahwa Net memberikan wadah bagi masyarakat yang berminat untuk melakukan pelaporan atau mengirimkan berita. “Kalau beritanya tayang ada kompensasinya, berita tayang lebih dari tiga kali diberikan kompensasi lebih besar.”

Konsep citizen jounalism pada dasarnya adalah warga yang turut memainkan peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, dan menyebarkan berita dan informasi. Belakangan ini sering disebut sebagai alternatif dan bentuk aktivitas news gathering yang berfungsi di luar institusi media mainstream.

Teknologi media baru, seperti jaringan sosial dan media – berbagi situs web, warga sering dapat melaporkan berita lebih cepat daripada wartawan media tradisional. Contoh nyata dari pelaporan citizen journalism dari peristiwa besar dunia adalah aksi protes di Turki, dan gempa Haiti 2010.

Tetapi memang citizen journalism ini tidak selamanya dipandang positif. Kritik dari fenomena yang muncul adalah bahwa tak ada aturan atau kode etik dalam pelaporan, terlalu subyektif, amatir dalam kualitas dan cakupan. Terutama, dalam jurnalisme media massa, ada kode etik bahwa berita harus berimbang, melakukan cek ricek terhadap data-data sensitif dan cover both side. Dan berita yang berasal dari masyarakat ini mayoritas adalah sepihak.

Menanggapi soal kualiatas dari pemberitaan awam, Wishnutama menanggapi. “Tentu saja tak asal menayangkan berita yang dikirimkan warga. Harus ada tim editorial yang menyeleksinya. Harus diberikan edukasi juga. Setiap berita yang kita terima diberikan komen dan pengarahan yang benar. Kita juga mengadakan workshop keliling.”

Intinya menurut Wishnutama, Net memberikan wadah, edukasi serta kesempatan pada warga untuk berkiprah di ranah media. Apakah itu berita ibukota, kriminal, politik, dan ekonomi.

Jika kualitas citizen journalism secara umum bisa ditingkatkan, maka fenomena ini juga bisa memperkuat peran media sebagai anjing penjaga (watch dog) terhadap berbagai penyimpangan serta ketidak adilan politik, demokrasi, ekonomi dan lain-lain.

Mengkritisi pemberitaan di televisi nasional yang isinya hanya Jabodetabek atau pulau Jawa saja, citizen journalism juga bisa memberikan suara pemberitaan di luar Jawa. Indonesia sendiri negara kepulauan yang luas, jika media bisa berintegrasi dengan warga dalam tukar menukar info pemberitaan akan lebih beragam dan diharapkan mewakili suara dari seluruh daerah.

[ilutrasi foto dari Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.