“Jika sebatang pohon tumbang di dalam hutan, tanpa ada manusia yang mendengarnya, apakah pohon itu tetap mengeluarkan suara?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan filosofis tentang apakah persepsi dan observasi manusia memengaruhi realitas. Namun, bukan filosofi yang akan saya bahas di sini. Artikel ini akan fokus pada pertanyaan yang jauh lebih duniawi: jika developer membuat game yang berkualitas, tapi tidak ada orang yang tahu soal game itu, apakah game tersebut masih akan laku?
Menurut Peter Drucker, seorang konsultan manajemen, perusahaan memiliki dua tugas utama, yaitu membuat inovasi dan memasarkan inovasi tersebut. Kebanyakan perusahaan dan startup saat ini tampaknya lebih fokus pada bagian inovasi. Namun, sebenarnya, kegiatan marketing tidak kalah penting. Pasalnya, sebuah produk tidak akan laku jika tidak ada orang yang tahu akan keberadaan atau kualitas dari produk tersebut.
Begitu juga dengan game. Misalnya, Among Us. Game tersebut sebenarnya telah diluncurkan pada Juni 2018 dan sempat menjadi populer di Korea Selatan dan Brasil pada 2019. Namun, Among Us baru menjadi fenomena global pada tahun 2020. Game tersebut populer setelah dimainkan oleh sejumlah streamers di Twitch. Hal ini membuktikan, sukses atau tidaknya sebuah game juga bergantung pada strategi marketing yang digunakan oleh developer dan publisher dari game itu.
Jadi, mari membahas tentang strategi marketing yang bisa digunakan oleh kreator game untuk membangun hype dari game mereka.
Bekerja Sama dengan Selebritas
Beberapa bulan sebelum peluncuran game, publisher biasanya sudah akan melakukan kegiatan marketing dengan tujuan untuk membangun hype. Salah satu hal yang bisa publisher game lakukan untuk menciptakan hype di kalangan para gamers adalah menjalin kerja sama dengan selebritas.
Salah satu publisher yang menggunakan strategi celebrity advertising ini adalah CD Projekt Red. Mereka menggandeng Keanu Reeves untuk mempromosikan game terbaru mereka, Cyberpunk 2077. Salah satu bentuk kerja sama keduanya berupa kehadiran Reeves di konferensi E3 2019 untuk mengumumkan tanggal rilis Cyberpunk 2077.
Kehadiran Reeves disambut dengan tepuk tangan meriah para penonton. Memang, pada 2019, Reeves tengah naik daun. Salah satu alasannya adalah peluncuran film John Wick: Chapter 3 – Parabellum. Di atas panggung E3, Reeves berhasil memenangkan hati para penonton. Salah satu dari mereka bahkan meneriakkan, “You’re breathtaking!” Reeves pun membalas pujian ini untuk para penonton. Interaksi ini kemudian menjadi pembicaraan hangat — dan meme — di internet. Tentu saja, pembicaraan netizen terkait Reeves di E3 tak lepas dari obrolan soal Cyberpunk 2077. Apalagi karena Reeves juga menjadi pengisi suara dari Johnny Silverhand, karakter dalam Cyberpunk 2077 yang didasarkan pada dirinya.
Crowd reaction to #KeanuReeves #XboxE3 @xbox @BeastFireTimdog @TMZACA80 #Cyberpunk2077 pic.twitter.com/Q0qWZ2X0q0
— Xbox Juan (@XboxJuan4K) June 10, 2019
Publisher lain yang menggunakan strategi celebrity advertising adalah Garena. Tahun lalu, mereka menunjuk Cristiano Ronaldo sebagai global brand ambassador dari Free Fire. Selain itu, mereka juga mengajak kerja sama selebritas lokal dari negara-negara yang menjadi pasar utama mereka. Misalnya, dari Indonesia, Garena menggandeng Joe Taslim.
Selain membangun hype, celebrity advertising juga punya manfaat lain. Salah satunya, menurut Small Business, adalah memungkinkan perusahaan untuk menjangkau konsumen baru. Dalam kasus CD Projekt Red, mereka bisa mengenalkan Cyberpunk 2077 pada fans Reeves. Selain itu, endorsement dari seorang selebritas juga bisa membuat konsumen menjadi lebih tertarik untuk membeli sebuah produk.
Mengusung Cerita/IP yang Sudah Populer
Sebelum meluncurkan produk, perusahaan seharusnya melakukan riset pasar untuk memastikan bahwa memang ada pasar untuk produk yang akan mereka luncurkan. Hal ini juga berlaku untuk developer game. Membuat game berdasarkan franchise atau intellectual property yang sudah dikenal bisa menjadi jalan pintas bagi developer untuk memastikan bahwa ada pasar untuk game mereka. Pasalnya, IP yang sudah bertahan lama pastinya punya fanbase tersendiri. Sebut saja fans Star Wars, Tomb Raider, atau Marvel.
Namun, menggunakan IP besar bukan jaminan sebuah game akan sukses. Misalnya, Marvel’s Avengers dari Square Enix. Meskipun Marvel Cinematic Universe merupakan franchise film dengan total pemasukan paling besar jika dibandingkan dengan franchise-franchise film lain, game Marvel’s Avengers gagal mencapai target penjualan. Berdasarkan laporan keuangan Square Enix, total penjualan Marvel’s Avengers hanya mencapai 60% dari target. Seolah hal itu tidak cukup buruk, analis industri game, David Gibson, memperkirakan, Square Enix mengalami kerugian sebesar 6,5 miliar yen (sekitar Rp883 miliar) akibat Marvel’s Avengers.
Selain itu, tidak semua developer punya dana untuk membeli lisensi IP besar atau berkesempatan untuk bekerja sama dengan pemegang IP populer, seperti yang Square Enix lakukan dengan Marvel. Untungnya, ada alternatif lain bagi developer indie yang ingin membuat cerita atau menampilkan karakter yang sudah dikenal masyarakat luas, seperti dongeng, mitos, atau urband legends. Selain tak harus membayar biaya lisensi, developer juga bisa memberikan sentuhan tersendiri pada cerita dongeng atau karakter legendaris yang mereka angkat.
Digital Happiness menerapkan strategi ini ketika mereka membuat DreadOut. Game horror tersebut menampilkan hantu khas Indonesia, seperti pocong atau kuntilanak. Tak hanya Digital Happiness, Agate International pun menggunakan strategi yang sama dalam Code Atma. Di game idle RPG itu, Agate menampilkan sejumlah makhluk gaib lokal, seperti jelangkung dan genderuwo. Karakter pocong juga tampil dalam game ini. Kontras dengan pocong di DreadOut, pocong di Code Atma terlihat manis dengan pita merah besar di atas kepalanya.
Pendiri dan CEO Digital Happiness, Rachmad Imron mengaku, kearifan lokal dalam DreadOut membantu mereka untuk melakukan marketing. Bagi masyarakat Indonesia, familiaritas bisa menjadi salah satu daya tarik DreadOut. Sebaliknya, bagi gamers global, hantu khas Indonesia di DreadOut justru membuat game itu tampil unik dari game-game horror lain.
Memanfaatkan Media Sosial
Saat ini, media sosial merupakan salah satu alat digital marketing yang tak memerlukan biaya besar. Bagaimana tidak, akun media sosial dapat dibuat dengan gratis. Biaya untuk beriklan di media sosial juga tidak mahal. Di Facebook misalnya, Anda bisa memasang iklan mulai dari harga US$5. Media sosial juga bisa digunakan untuk mengembangkan komunitas serta player base dari sebuah game. Karena itulah, developer biasanya punya seseorang yang bertugas sebagai community manager.
Menurut Enjin, tugas utama community manager adalah berinteraksi dengan fans, misalnya dengan menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Jadi, developer biasanya mencari orang yang mengerti game yang mereka buat sebagai community manager. Ketika sebuah developer menjadi semakin besar, biasanya mereka akan membutuhkan tim untuk menangani media sosial dan komunitas. Hal ini bukan masalah selama developer bisa menetapkan rambu-rambu yang jelas akan konten yang boleh ditampilkan di media sosial perusahaan. Mereka juga harus menentukan image seperti apa yang mereka tampilkan ke hadapan fans mereka.
Di Digital Happiness, ungkap Imron, media sosial yang biasa mereka gunakan adalah Facebook, Instagram, dan YouTube. Di sana, mereka akan membagikan konten berupa gambar, video gameplay serta trailer, atau GIF dari game buatan mereka. Sementara jika game mereka masih dalam pengembangan, mereka juga akan memberikan informasi tentang proses pengembangan dari game tersebut.
Sementara itu, Indie Game Planet menyebutkan, Twitter merupakan media sosial yang harus dimiliki oleh developer game indie. Pasalnya, melalui Twitter, developer tak hanya bisa membuat pengumuman tentang game mereka, tapi juga mendapatkan saran dan masukan langsung dari para pengikut mereka. Mereka juga bisa mengajukan ide untuk melihat reaksi dari para fans. Alasan lain mengapa Twitter dianggap penting adalah karena banyak developer serta publisher indie yang menggunakan media sosial itu untuk berinteraksi dan menjalin relasi.
Menggandeng Influencers/Streamers
Ketika meluncurkan Apex Legends pada 2019, Electronic Arts memutuskan untuk tidak melakukan kegiatan marketing sebelum game itu diluncurkan. Sebagai gantinya, mereka membayar sejumlah influencers/streamers populer untuk memainkan Apex Legends dalam program bernama Apex Partner.
Beberapa streamers yang EA gandeng antara lain Tyler “Ninja” Blevins, Michael “Shroud” Grzesiek, Jack “CouRage” Dunlop, dan Herschel “Dr. Disrespect” Beahm IV. Menurut narasumber Reuters, yang tak mau disebutkan namanya, EA membayar Ninja US$1 juta untuk menjadi bagian dari program Apex Partner. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar uang yang EA keluarkan untuk membayar streamer-streamer lainnya.
Aright broys the corp is allowing me to reveal some of the super secret stuff from Thursday’s super secret LA trip. This Monday we’ll be stomping in an all new Battle Royale by @Respawn. Maybe these guys will be there too. That is all. #ApexPartner pic.twitter.com/AgO9ra0LVE
— Michael Grzesiek (@shroud) February 4, 2019
Strategi EA sukses. Meskipun Apex Legends tidak diiklankan sebelum peluncuran, ada lebih dari satu juta orang yang memainkan game itu pada hari pertama peluncuran, menurut laporan Business Insider. Sementara dalam waktu satu bulan setelah rilis, jumlah orang yang mencoba Apex Legends naik menjadi lebih dari 50 juta orang. Tak hanya itu, Apex Legends juga langsung masuk dalam daftar lima game yang paling populer di Twitch.
Menariknya, EA sebenarnya hanya meminta para streamers untuk memainkan Apex Legends selama dua hari, lapor Kotaku. Namun, setelah kontrak berakhir pun, masih ada streamers yang memainkan game battle royale tersebut, seperti Shroud dan Dr. Disrespect. Tak hanya itu, tagar #ApexPartner juga populer di kalangan pemain amatir dan semi-profesional.
Ketika EA merilis Apex Legends pada 2019, sebenarnya, genre battle royale bukanlah sesuatu yang baru. Sudah ada beberapa game battle royale yang juga populer, seperti PUBG dan Fortnite. Namun, EA tetap bisa sukses dengan strategi mereka untuk bekerja sama dengan para streamers. Salah satu kunci kesuksesan mereka adalah memilih streamers yang tepat. Saat Apex Legends diluncurkan, Ninja dikenal sebagai pemain Fortnite. Jadi, dengan menggandeng Ninja, EA secara langsung menargetkan fans dari streamer itu, yang kemungkinan besar memainkan Fortnite, pesaing Apex Legends.
Masalah yang Muncul Ketika Game Menjadi Overhype
Dalam hukum ekonomi, jika permintaan lebih tinggi dari ketersediaan, maka barang akan menjadi langka dan harga barang akan naik. Sebaliknya, ketika suplai terlalu banyak, sementara permintaan akan barang itu sedikit, maka harga justru akan turun. Saya rasa, peraturan serupa berlaku dalam membangun hype untuk sebuah game.
Jika developer dapat merilis game yang ternyata memiliki kualitas lebih baik dari ekspektasi para gamer, maka terjadi underhype. Sementara jika developer dapat membuat hype tinggi, tapi gagal memberikan game dengan kualitas sesuai harapan para pemain, maka hal itu merupakan overhype.
Cyberpunk 2077 merupakan contoh kasus overhype paling baru. Game buatan CD Projekt Red itu berhasil memecahkan beberapa rekor game single-player di Steam. Namun, versi PlayStation 4 dan Xbox One dari game itu memiliki begitu banyak bug sehingga Sony memutuskan untuk menarik game tersebut dari PlayStation Store dan Microsoft menawarkan refund bagi gamer yang telah terlanjur membeli game itu.
Menurut Imron, overhype hanya akan menjadi masalah jika game yang diluncurkan tidak sesuai ekspektasi para fans. “Apa yang dipasarkan tidak sesuai dengan hasil produknya,” ujarnya. Perkataan Imron ini disetujui oleh Pendiri dan CEO Toge Productions, Kris Antoni. Dia juga menganggap, sebuah game hanya akan dianggap overhype jika kualitas game lebih rendah dari yang ditunjukkan oleh developer sebelum peluncuran.
Lebih lanjut, Kris mengatakan, CD Projekt Red sebenarnya telah melakukan kegiatan marketing yang baik. Sayangnya, mereka gagal membuat game yang sesuai dengan janji mereka. “Kalau kasusnya Cyberpunk 2077, waktu pengembangannya kurang untuk polish dan memperbaiki bug. Manajemen sudah terlanjur pasang tanggal rilis, padahal game-nya belum kelar,” katanya. “Hal ini adalah kesalahan manajemen.”
Sayangnya, CD Projekt Red juga tidak bisa terus menunda peluncuran Cyberpunk 2077. Pasalnya, mereka telah menunda perilisan game itu beberapa kali. Tak hanya itu, Imron juga memperkirakan, CD Projekt Red mendapatkan tekanan dari para investor. “Sebaiknya, memang ditunda saja untuk versi konsol current gen. Karena versi konsol next gen kan tidak bermasalah,” jawabnya ketika ditanya tentang langkah apa yang seharusnya CD Projekt Red ambil.
Salah satu masalah yang disebabkan oleh overhype adalah para gamers menjadi kecewa karena merasa telah membeli game yang tak sesuai harapan. Tak tertutup kemungkinan, sebagian dari mereka akan melakukan refund. Namun, dampak negatif dari overhype tak berhenti sampai di situ. Ketika developer gagal memenuhi ekspektasi para fans, hal ini juga akan menodai reputasi mereka. Bisa jadi, di masa depan, orang-orang jadi enggan untuk membeli game buatan developer tersebut.
Itu tadi jika kita berbicara soal digital marketing game-game dari publisher ataupun developer yang punya reputasi baik. Di sisi lainnya, buat publisher atau developer yang bahkan tak peduli dengan nama baik, tak sedikit juga yang membuat iklan game ‘tipu-tipu — yang kami bahas beberapa waktu lalu.
Kesimpulan
Seorang gamer akan rela mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membeli sebuah game jika game itu memang sesuai dengan selera mereka. Game yang punya grafik memukau, misalnya, atau memiliki dunia open world yang bisa dijelajahi sesuka hati. Dan para gamers hanya bisa tahu tentang tampilan serta gameplay dari sebuah game jika sang developer mau memberikan sedikit bocoran dari game mereka, seperti screenshot atau video trailer dan gameplay.
Seperti kata pepatah: “Tak kenal, maka tak sayang.” Memangnya, siapa yang mau mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang mereka tidak tahu? Karena itulah, kegiatan marketing juga penting bagi developer. Dengan begitu, mereka bisa memamerkan keunggulan dari game yang mereka buat.