Startup healthtech Klinik Pintar membidik digitalisasi 1.000 klinik di Indonesia dalam jangka panjang, baik melalui kerja sama dengan pemilik klinik maupun pembangunan klinik fisik baru. Pihaknya juga fokus memperluas ekosistem pendukung untuk memperkuat kualitas layanan kesehatan mitranya.
Dalam sesi media interview, Co-founder & CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengatakan, sebagai pionir di rantai suplai klinik, Klinik Pintar memiliki posisi yang strategis untuk mengakselerasi pertumbuhannya. Terlebih, perusahaan juga memanfaatkan momentum dari roadmap transformasi digital yang diterbitkan Kementerian Kesehatan tahun lalu.
Sekadar informasi, salah satu agenda utama dari transformasi digital industri kesehatan adalah keterhubungan data. Agenda ini sejalan dengan upayanya mendigitalkan klinik-klinik di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Kemenkes di 2018, terdapat 2.813 RS, 8.841 klinik, dan 9.993 puskesmas.
“Sejak awal misi Klinik Pintar adalah keterhubungan di industri kesehatan. Kami percaya bahwa masalah paling besar adalah diskoneksi, artinya setiap fasilitas kesehatan membuat sistem dan menyimpan data sendiri, tidak ada upaya untuk menghubungkan. Upaya ini baru ada ketika terjadi Covid-19,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.
Klinik Pintar tidak hanya melakukan digitalisasi internal dengan Klinik OS (Operating System), tetapi juga menghubungkan ke jaringan pendukung, seperti laboratorium, sistem rujukan dokter spesialis, rantai pasok obat-obatan hingga alat kesehatan, dan asuransi. Dengan cara ini, klinik bisa lebih berdaya, baik memudahkan pasien maupun mendorong bisnis.
Hingga Maret, terdapat 152 klinik yang tergabung dalam jaringan Klinik Pintar di 60 kota. Pihaknya berencana membangun 20 klinik fisik di 2022.
Untuk melakukan penetrasi ke daerah, Klinik Pintar selalu menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (PKFI), dan Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin) serta Dinas Kesehatan.
Kepemilikan klinik
Klinik Pintar menawarkan solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care.
Di sisi teknologi, mereka menawarkan Klinik OS secara gratis. Di level ini, klinik dapat mengakses layanan yang meliputi modul pendaftaran pasien online, penjadwalan praktik dokter, rekam medis elektronik, resep elektronik, inventori obat, pembayaran digital, hingga pelaporan.
Monetisasi baru dilakukan apabila mitra klinik naik ke tahap Klinik Prima. Di tahap ini, Klinik Pintar mengambil margin dari kerja sama layanan di mitra klinik, misal vaksinasi atau pembelian inventori. Kemudian, pemilik klinik bisa naik ke tahap lebih tinggi untuk mengelola klinik bersama Klinik Pintar (co-manage). Di sini, baik Klinik Pintar dan mitra melakukan profit-sharing.
“Sebetulnya, kami sedang menggodok program untuk kepemilikan klinik. Kami setiap hari bekerja sama dengan mereka, sering ditawarkan untuk punya equity sekian persen. Tapi, kami belum tertarik karena model bisnis kami asset-lite, kami tidak ingin punya banyak aset,” ungkapnya.
Namun, mereka tengah mempertimbangkan hal ini mengingat pihaknya cukup optimistis dengan model bisnisnya terlepas dari situasi global saat ini. Bimo mengaku Klinik Pintar meraih untung dari setiap layanan dan tidak melakukan ‘bakar uang’.
“Dari riset yang dilakukan, banyak pemilik klinik yang tidak tahu cara mengembangkan bisnis. Banyak [pemilik klinik] memercayakan kami untuk mengelola sehingga mereka bisa fokus untuk buka praktik saja. Jadi, kami ada peluang untuk melakukan pembangunan klinik bersama mitra dengan model asset play. Kami akan kabari apabila sudah di-launch,”
Mendorong bisnis klinik lebih sustain
Dalam catatan kami, Klinik Pintar sebelumnya sempat membidik digitalisasi di seluruh ekosistem kesehatan dari hulu ke hilir dengan pendekatan awal pada rumah sakit (RS). Namun, dalam perjalanannya, upaya ini terhambat karena RS punya rantai birokrasi yang panjang sehingga sulit diakselerasi.
Usai pivot sepenuhnya menjadi penyedia rantai suplai klinik di 2020, Bimo mengaku Klinik Pintar telah mencapai product-market fit. Tahap selanjutnya adalah fokus untuk mencari mitra klinik yang bisnisnya dapat dikembangkan dalam jangka panjang. Per 2021, Klinik Pintar telah mendistribusikan 500 ribu pasien ke mitra klinik. Selain itu, pemilik klinik juga mengaku pendapatannya naik hingga 22%.
“Salah satu strategi kami adalah masuk ke [segmen] corporate clinic. Tetap menggunakan OS yang sama, hanya saja kami menambah employee management system yang dapat diakses oleh mitra,” ungkapnya.
Menurutnya, perusahaan kini mulai menyadari pentingnya kesehatan karyawan. Dengan solusi ini, perusahaan dapat mengetahui data kesehatan karyawan dan dapat menjadi perbaikan ke depannya. Saat ini, Klinik Pintar sudah mengelola 40.000 karyawan.
Uji coba
Bimo mengungkap pihaknya melalui Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) telah mengajukan diri sebagai mitra digitalisasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Salah satunya untuk mengikuti uji coba platform Indonesia Health Services (IHS).
Berdasarkan informasi terakhir, DTO sedang melakukan beta testing platform IHS dan menargetkan kick off-nya pada Juli mendatang. Ada sekitar 90 lebih institusi mendaftar untuk ikut uji coba, termasuk di antaranya klinik, asuransi, dan laboratorium.
Uji coba ini termasuk bagaimana mengintegrasikan data pada sistem di fasilitas kesehatan dan Kemenkes. Sebagai informasi, DTO akan memakai standar HL7 FHIR berbasis API sebagai salah satu format pertukaran data dan informasi kesehatan.
“Pertama yang harus dilakukan adalah menyamakan format database rekam medis di sistem Klinik Pintar dan mitra dengan platform IHS. Yang utama adalah menyamakan ‘bahasa’ dulu, barulah bicara soal keterhubungan yang mana itu ada di bagian [regulatory] sandbox,” tambahnya.
Menurut Bimo, ada tantangan lain dalam mendorong penetrasinya di daerah. Saat ini payung regulasi memang berada di bawah Kemenkes, tetapi Dinas Kesehatan (Dinkes) punya sudut pandang berbeda terhadap implementasi regulasi di daerah sehingga butuh upaya agar semua dapat onboard terhadap digitalisasi.
Contohnya, terkait rekam medis elektronik. Saat ini pemerintah tengah menggodok regulasi terkait rekam medis berbasis elektronik. Untuk mencapai keterhubungan data di 2024, tentu tidak dapat menunggu hingga regulasi keluar. “Dinkes di daerah bingung bagaimana mengelola dan melakukan enforcement [terhadap digitalisasi], jadi kami harus ajak agar mereka onboard,” tuturnya.