Startup quick commerce Dropezy dikabarkan tengah menyiapkan strategi agar dapat tetap bertahan pasca menutup seluruh 20 dark store yang berada di sekitar Jakarta

Dropezy Siapkan Jalan Keluar di Tengah Isu “Winter Quick Commerce”

Startup quick commerce Dropezy dikabarkan tengah menyiapkan strategi agar dapat tetap bertahan di tengah kondisi “tech winter”. Saat ini dikabarkan, perusahaan menutup seluruh 20 dark store yang berada di sekitar Jakarta, menurut pemberitaan DealStreetAsia.

Dikonfirmasi lebih jauh oleh DailySocial.id, Co-founder Dropezy Nitesh Chellaram hanya menyampaikan bahwa perusahaan tengah menyiapkan strategi baru yang akan segera diumumkan segera ke publik. “Kita belum bisa memberi tahu strategi baru kami, tapi kami punya sesuatu yang menarik yang bisa segera dibagikan,” kata dia, Senin (19/9).

Perusahaan beralih menjadi quick commerce pasca pendanaan pra-seri A yang diperoleh pada September 2021 sebesar $2,5 juta. Dana tersebut digunakan untuk membangun belasan dark store tersebar di Jabodetabek.

Dropezy sendiri lahir saat pandemi di awal 2021 sebagai online grocery. Proposisinya adalah platform kebutuhan sehari-hari (daily needs platform), sehingga konsumen dapat belanja dalam kuantitas kecil secara beberapa kali dalam sebulan.

“Kami percaya pada konsep ‘Buy small, eat fresh’ dan ‘Top up, don’t stock up’. Kami yakin bahwa orang Indonesia tidak suka melakukan pembelian massal di awal bulan, tetapi memilih membeli dalam jumlah kecil setiap hari atau pada hari yang berbeda,” kata Nitesh.

Kompetitor terdekat Dropezy, yakni Astro mulai mengembangkan produk private label, dinamai Astro Goods. Sejauh ini, produk yang sudah dirilis dari makanan ringan, makanan segar, paket siap masak, hingga kerajinan tangan. Selanjutnya, Astro Kitchen untuk produk makanan dan minuman siap santap. Disebutkan, perusahaan memiliki lebih dari 40 dark store yang terbesar di Jabodetabek.

Melesunya industri online grocery

Sebelumnya, HappyFresh dikabarkan melakukan restrukturisasi bisnis dengan menunjuk firma konsultan untuk meninjau kondisi keuangannya. Di saat yang bersamaan, pemutusan kerja dan penggalangan dana sedang ditempuh untuk bayar hutang kepada para mitra. Operasional di sejumlah lokasi di Jakarta juga tengah dihentikan.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di tingkat global. Di antaranya, Foodpanda, Delivery Hero, Ola, dan Zomato, yang menutup unit bisnis quick commerce-nya dengan melakukan efisiensi.

Dalam suatu riset yang dilakukan oleh Stor.ai di Amerika Serikat, menyatakan hanya 2% dari 1000 konsumen yang sangat bersedia untuk bayar ongkos sedikit lebih mahal agar belanjaannya sampai dalam waktu 15 menit. Sebanyak 57,5% lainnya menyampaikan tidak mau bayar lebih mahal.

Seorang perwakilan dari Stor.ai mengatakan dari temuan tersebut menunjukkan bahwa pelanggan memprioritaskan stok barang daripada pengiriman yang cepat. Sebanyak 27% responden mengatakan mereka akan menggunakan layanan ultra-cepat lebih banyak jika pengalaman pengguna meningkat. Kemudian, 22% mengeluhkan kehabisan stok sebagai masalah terburuk yang dialami saat menggunakan platform pengiriman.

Menurut, Managing Director GlobalData Neil Saunders, fakta terbesar dari model bisnis dari perusahaan quick commerce ini sudah rusak sejak awal karena biaya yang mereka keluarkan tidak tercakup oleh biaya yang dibayar konsumen. “Selain itu, quick commerce adalah solusi yang mencari masalah. Sebagian besar orang tidak benar-benar membutuhkan hal-hal yang disampaikan dalam hitungan menit.”

Di samping itu, dengan kondisi inflasi yang terus meningkat dan perusahaan tidak dapat mengkompensasi biaya, kesempatan untuk bisnis quick commerce untuk bertahan lama sangat tipis.

Application Information Will Show Up Here