Ada empat startup yang menyediakan produk earned wage access (EWA) di Indonesia, yakni GajiGesa, wagely, Gigacover, dan GajiKoin yang diusung KoinWorks / Depositphotos.com

Konsep “Earned Wage Access” Menormalisasi Pembayaran Gaji di Muka

Ada yang bilang uang bisa menyelesaikan semua masalah. Ironisnya hal tersebut benar. Mengutip dari studi Health Living Index oleh AIA, uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

Menurut PwC, pekerja menghabiskan tiga jam atau lebih per minggu untuk fokus pada masalah keuangan daripada pekerjaan mereka. Dari karyawan yang melaporkan stres keuangan, sebanyak 12% kehilangan pekerjaan karena masalah tersebut, dan 31% merasa produktivitas mereka terpengaruh. Satu dari tiga pekerja mengaku kurang produktif di tempat kerja karena stres finansial.

PwC memperkirakan bahwa untuk sebuah perusahaan dengan 10.000 pekerja, semua masalah yang berkaitan dengan tekanan keuangan ini dapat menelan biaya hingga $3,3 juta dalam satu tahun.

Di Indonesia sendiri, pekerja kelas menengah ke bawah masih mendominasi dari kelas pekerja. Bank Dunia mencatat dari total 85 juta penerima pendapatan yang meliputi, pegawai, pekerja kasual, dan wiraswasta, hanya 13 juta pekerja atau 15% yang memiliki pendapatan cukup untuk membiayai kehidupan kelas menengah dengan empat anggota keluarga.

Dari kelompok tersebut, hanya 3,5 juta atau 4% pekerja dengan pendapatan setara kelas menengah sekaligus menikmati manfaat sosial secara utuh dan memiliki status pegawai tetap.

Ini belum bicara mengenai pekerja lepas yang jumlahnya mencapai 33,34 juta, naik 26% YOY per Agustus 2020 menurut data BPS. Pekerja lepas di Indonesia berada di posisi terendah dari piramida perlindungan kerja, bahkan kalah dari pekerja kerah biru yang dilindungi UU No.13 Tahun 2003.

Pekerja lepas di sini hampir tidak memiliki jaminan terkait tenaga kerja, baik itu jaminan pekerjaan, pendapatan atau perlindungan sosial. Jaminan sosial mereka tidak diwajibkan untuk masuk sebagai bagian dari hak yang harus diberikan pemberi kerja, yang berarti mereka harus membayar produk untuk melindungi diri mereka sendiri.

Isu kesehatan finansial ini sebenarnya tidak terjadi di Indonesia saja, juga di berbagai belahan dunia lainnya. Tidak ada alat atau pendekatan tunggal yang dapat memenuhi semua kebutuhan keuangan karyawan. Pemberi kerja harus mempertimbangkan untuk menyediakan program dan alat yang lebih membekali karyawan untuk menangani keadaan darurat keuangan.

Sementara banyak pemberi kerja memberikan pinjaman karyawan (seperti kasbon), sebenarnya mereka hanya mengunci arus kas yang berharga dan belum dapat memberikan fleksibilitas dan solusi instan kepada karyawan. Misalnya, golongan pekerja kelas bawah yang harus berjuang dengan pendapatan atau pengeluaran yang tidak stabil karena berbagai alasan, termasuk tagihan yang tidak terduga atau meningkat dan jam kerja yang berfluktuasi.

Untuk para pemberi kerja, program earned wage access (EWA) memungkinkan karyawan mengakses sebagian dari gaji mereka lebih awal dapat membantu mereka menyelaraskan waktu pendapatan mereka dengan pengeluaran yang diharapkan atau tidak terduga untuk menghindari biaya keterlambatan atau penalti.

Amerika Serikat menjadi negara pertama yang mengambil pendekatan teknologi untuk menyelesaikan isu upah lewat teknologi. Perusahaan pionirnya adalah Payactiv, pionir produk earned wage access, yang sudah meluncur sejak 2012 silam.

Ada yang mengartikan kepanjangan EWA sebagai early wage access. Ada juga yang memakai istilah lainnya seperti, on-demand pay, instant pay, daily pay benefit, atau earned income access. Tapi seluruh nama tersebut merujuk pada solusi yang melakukan hal dasar yang sama: membantu karyawan mengakses upah yang telah mereka peroleh sebelum hari gajian tiba.

Namun sejatinya, Payactiv menciptakan istilah earned wage access itu dengan hati-hati karena mereka sangat menyadari setiap kata-kata dalam istilah itu spesifik penuh makna. Founder dan CEO Payactive Safwan Shah menjelaskan, kata “earned wage” adalah upah yang diperoleh, jadi bukan “early” diperoleh di awal yang berkonotasi ketidaksabaran.

“Itu upah (wage), bukan penghasilan karena penghasilan bisa berupa komisi atau semacamnya; dan kata akses (access), bukan uang muka yang menyiratkan seolah-olah seseorang membantu Anda. Alasan untuk setiap kata sangat spesifik,” ujar Shah mengutip dari wawancara bersama Forbes.

Menurutnya, kunci utama yang ditawarkan dari EWA adalah kapan waktu pekerja di bayar sepenuhnya dikendalikan oleh pemberi kerja. Ini adalah keputusan teknologi. Ide awal inilah menjadi cikal bakal dari Payactiv sekitar 10 tahun lalu.

“Saya katakan jika teknologi mendorong waktu pembayaran, maka kita dapat menciptakan teknologi dan produk di mana orang dapat mengakses uang mereka saat mereka mendapatkannya. Saya memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa, agar layanan ini diberikan dengan benar, pemberi kerja harus menjadi bagian dari solusi.”

Payactiv Wagestream Even
Tahun beroperasi 2012 2018 2014
Negara Amerika Serikat Inggris Amerika Serikat
Total pendanaan $133,7 juta $79,3 juta $52 juta
Total pengguna 2 juta orang 1 juta orang 500 ribu orang
Investor Softbank Capital, Ziegler, Plug and Play QED, Northzone, Balderton Capital Khosla, Valar Ventures, PayPal Ventures, Founders Fund

Pemain EWA global yang sudah menjadi unicorn

(diolah dari berbagai sumber)

Pemain di Indonesia

Diterimanya konsep EWA di negara maju, menginsiprasi perusahaan fintech dari negara berkembang untuk turut hadir. Sebab, umumnya di negara berkembang, di mana pekerja berupah rendah sering beralih ke pinjaman cepat dengan bunga tinggi untuk menjaga pengeluaran mendadaknya sebelum hari gajian tiba.

Momentum pandemi membuka kesempatan kepada mereka untuk membawa konsep tersebut ke Indonesia. Sejak pandemi, setidaknya telah beroperasi empat layanan, yakni GajiGesa, wagely, Gigacover, dan GajiKoin yang diusung KoinWorks.

Country Head Gigacover Indonesia Cobysot Avego menjelaskan, momentum kehadiran platform EWA di Indonesia tak lain dipicu karena situasi pandemi yang telah banyak memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, mulai dari bekerja hingga mengatur keuangan bulanan. Hal tersebut membuat mereka perlu lebih berhati-hati mengatur cashflow dan mempertimbangkan kemungkinan ada kebutuhan darurat yang bisa terjadi kapan saja.

“Situasi ini merupakan momentum bagi Gigacover untuk membantu pekerja independen dan komunitas pelaku gig economy yang belum terlayani di dalam negeri, agar mereka dapat memiliki akses manfaat yang sama seperti pekerja paruh waktu,” kata Cobysot saat dihubungi DailySocial.

Gigacover tidak hanya menyediakan solusi EWA, juga memenuhi produk dan jasa keuangan finansial untuk pekerja lepas berkat kerja sama dengan berbagai industri jasa keuangan konvensional, seperti perusahaan asuransi.

Co-Founder GajiGesa Vidit Agrawal kehadiran GajiGesa cukup tepat karena selama pandemi banyak pengusaha yang berjuang untuk memberikan tunjangan karyawan kepada karyawannya. “GajiGesa bermitra dengan pengusaha untuk membantu mereka memberikan manfaat finansial, kesehatan dan pendidikan sehingga membangun ketergantungan diri dan ketahanan finansial pada karyawan,” ucapnya.

Agrawal melanjutkan, “Kami telah melihat penerimaan tunjangan karyawan dan EWA di semua vertikal termasuk bisnis tradisional, pabrik, dan perusahaan teknologi.”

Saat ini solusi GajiGesa tidak hanya mencakup EWA saja, tapi juga produk finansial (top up pulsa, transfer e-wallet, dan pembayaran tagihan), asuransi kesehatan mikro, dan produk edukasi yang akan segera dirilis. Serta, aplikasi khusus untuk pemberi kerja GajiTim yang berisi berbagai fitur manajemen karyawan dan HRIS.

KoinGaji menjadi satu-satunya platform EWA yang berdiri sebagai salah satu layanan tambahan dari KoinWorks untuk perusahaan. KoinGaji juga dirilis pada tahun lalu.

Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan solusi EWA menjadi benefit yang menarik untuk memenuhi kebutuhan karyawan sewaktu-waktu, terlebih kebutuhan mendadak seperti kebutuhan medis, dan sebagainya. Oleh karenanya, kebutuhan tersebut membuat berbagai startup tertarik untuk mencoba memberikan layanannya.

“Walaupun ini akan menjadi market yang kompetitif, KoinWorks melihat solusi ini sebagai salah satu jasa dari suatu paket yang bisa diberikan kepada para entrepreneur UMKM. Strategi kami melalui Super App adalah untuk memberikan paket yang lebih lengkap dengan value proposition yang unique sehingga bisa memenuhi kebutuhan finansial para UMKM dengan lebih holistik,” terang Ben, panggilan akrab Benedicto.

Ketiganya mengambil cara monetisasi dengan mengambil biaya layanan untuk setiap karyawan dari mitra perusahaan yang memanfaatkan teknologi dan layanannya. Mereka “menalangi” gaji yang dicairkan lebih awal tersebut, baru kemudian menagihkannya ke mitra perusahaan di akhir bulan.

Di Gigacover misalnya, Cobysot menjelaskan untuk proses pengajuan, karyawan dapat mengunduh aplikasi Gigacover dan mengisi formulir pendaftaran termasuk menjelaskan informasi mengenai perusahaan, sehingga pihaknya dapat melakukan komunikasi lebih lanjut terkait kebutuhan mereka.

Setelah itu karyawan dapat melakukan pengajuan pencairan gaji yang akan diproses oleh Gigacover -dana yang akan diambil berasal dari Gigacover Indonesia- dan perusahaan akan mengembalikan dana tersebut kepada Gigacover pada saat tanggal gajian.

“Untuk setiap transaksi ini kami memberlakukan biaya administrasi terjangkau yang berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp40 ribu. Model bisnis kami cukup unik B2B2W (Business to Business to Workers), di mana kemitraan yang kami jalin adalah dengan perusahaan untuk memberikan kesejahteraan bagi para karyawannya,” kata dia.

Sedangkan, KoinGaji mengambil sumber dananya dari KoinP2P, perusahaan fintech lending KoinWorks. Namun demikian, produk ini tidak mengambil bunga, melainkan biaya layanan sebesar 1%-2% dari jumlah upah yang diambil.

“Selain itu KoinGaji juga kami tawarkan sebagai fitur tambahan terhadap client dan partner kita yang sudah menggunakan fasilitas produk kami yang lain sebelumnya, sehingga kami bisa mendapatkan monetisasi dari beberapa produk kami sekaligus,” tambah Ben.

GajiGesa wagely Gigacover KoinGaji
Tahun beroperasi Oktober 2020 Maret 2020 2017 (Singapura), 2020 (Indonesia) Agustus 2020
Total pengguna ≥200 ribu pengguna Puluhan ribu karyawan ≥30 ribu pengguna ≥30 ribu pengguna dgn pencairan >Rp30 miliar
Layanan Employee app: finansial (EWA, top up pulsa, transfer e-wallet, bayar tagihan), asuransi kesehatan mikro,  edukasi (segera dirilis). Employer app (GajiTim): manajemen karyawan dan HRIS EWA Prepaid Credits, Earning Advance (EWA), Productive Loan, Health and Life Protection Super App: KoinP2P, KoinBisnis, KoinInvoice, KoinRobo, KoinGold
Total pendanaan $3 juta $5,6 juta Undisclosed $72,1 juta (melalui KoinWorks)
Investor Defy., Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, OCBC NISP Venture, Quest Ventures, Kenangan Fund, dan angels Integra Partners, ADB Ventures, PT Triputra Trihill Capital, Global Founders Capital, 1982 Ventures, dan angels Vectr Fintech, Quest Venture Partners, Alto Partners, M Venture Partners, Farsight Capital EV Growth, Quona Capital, Mandiri Capital Indonesia,Convergence Ventures, Gunung Sewu, dan lainnya.

(diolah dari berbagai sumber)

Optimisme startup EWA

Meski para pemain ini baru seumur jagung, tapi semangat yang mereka tawarkan cukup ambisius, yakni ingin mengurangi ketergantungan para pekerja dengan pinjaman payday yang sering menggerogoti mereka. Edukasi bermain penting dalam mewujudkan misi tersebut.

Karena model bisnis yang demikian, ada yang menganggap platform EWA itu seperti perusahaan fintech lending. Anggapan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Shah. Dia bilang, sejak Payactiv menciptakan Earned Wage Access pada 2012, kompetitor Payactiv semakin banyak dan industrinya semakin kompetitif.

Ia pun berusaha menemui Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) hingga puluhan kali untuk berdiskusi. Sampai akhirnya pada awal 2021 ini, produk EWA Payactiv menjadi produk produk pertama yang disetujui oleh CFPB. “Mereka mengakui EWA bukan “kredit” dan dibebaskan dari undang-undang pinjaman federal,” kata Shah.

Meski demikian, dirinya tidak pernah menentang produk yang membantu orang memenuhi kebutuhannya sebelum hari gajian. Pinjaman payday hanyalah fase awal dari proses edukasi finansial karena perusahaan payday loan tersebut tidak repot-repot melibatkan pemberi kerja, cukup menghampiri para pekerjanya.

“Jadi saya tidak menyalahkan mereka sama sekali. Saya tidak mengkritik mereka. Saya bukan hakim dari sejaraph payday loan. Saya memasang produk di luar sana, dan saya berkata “Jika Anda masih ingin menggunakan payday loan, saya tidak dapat menghentikan Anda.” Itu seperti Anda ingin mengendarai mobil yang menempuh jarak 9 mil, terserah Anda, tetapi ada mobil yang akan menempuh jarak 50 mil ke galon.”

Dia melanjutkan, ada orang yang menggunakan payday loan, tapi tidak pernah ada orang yang bertanya mengapa alasannya. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena ada ketidakselarasan antara penerimaan upah dua mingguan, dan beberapa hari di antaranya di mana tagihan dan pengeluaran lainnya harus dipenuhi.

Tagihan dan pengeluaran tidak menunggu hari gajian. Ketidaksejajaran ini menciptakan kekurangan arus kas, yang secara historis telah diisi oleh pekerja per jam melalui bentuk kredit jangka pendek yang mahal seperti pinjaman gaji, pinjaman angsuran, pinjaman kepemilikan mobil, pinjaman gadai, biaya cerukan, dan biaya keterlambatan.

Earned wage access memperbaiki ketidakselarasan tersebut, sekaligus meningkatkan likuiditas pekerja, mengurangi permintaan kredit berbiaya tinggi.”

Di Indonesia sendiri, Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menjelaskan, sebenarnya regulasi yang mengakomodasi para pemain EWA ini masuk ke dalam inovasi keuangan digital dan layanan pendukung inovasi keuangan digital yang merujuk pada POJK 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital.

“Platform tersebut harus mencatatkan diri di OJK sebagai IKD. Kalau tidak, ya bisa dilaporkan sebagai layanan fintech ilegal karena tidak tercatat, terdaftar, dan berizin di OJK,” kata dia.

Dari seluruh pemain EWA di Indonesia saat ini, hanya produk KoinGaji yang telah tercatat sebagai IKD dalam klaster agregator di bawah PT Sejahtera Lunaria Annua. Lainnya mengaku sedang menyiapkan diri untuk mengajukan diri ke OJK.

Di tengah peluang besar yang menanti, Ben melanjutkan bahwa ia berpendapat pertumbuhan pemain EWA di Indonesia akan lebih pelan daripada pemain di luar negeri. Lantaran, stigma pinjaman ilegal yang masih menempel di Indonesia. Oleh karena itu, pemain EWA perlu melakukan edukasi yang lebih masif. KoinWorks perlu memperkenal terlebih dahulu visi dan misi dari KoinGaji tersebut.

“Dengan itu diharapkan akan memberikan kesadaran bahwa produk ini memang sangatlah dibutuhkan dan membantu, bahkan bisa menghindari para karyawan untuk terjerat bunga pinjol ilegal yang pada akhirnya bisa memengaruhi kinerja karyawan tersebut.”

Kendati begitu, baik Agrawal dan Cobysot, bersiap dengan populasi yang besar di Indonesia untuk memperdalam adopsi EWA.

“Kami sangat gembira dengan pertumbuhan EWA di Indonesia. Pengusaha mulai menyadari manfaat memberikan gaji yang diperoleh karyawan sebelum tanggal gaji dan secara aktif bermitra dengan kami untuk menggunakan teknologi kami untuk hal yang sama. GajiGesa telah melihat pertumbuhan eksponensial tahun ini dan mengharapkan hal yang sama untuk sisa tahun ini juga,” kata Agrawal.

Cobysot menambahkan, “Jika kita melihat pandemi COVID-19 yang mendorong kerja jarak jauh serta tren industri gig economy Indonesia yang masih sangat hijau dan belum teregulasi dengan baik, kami yakin layanan yang diberikan startup EWA akan semakin berkembang ke depannya, sebagaimana kebutuhan yang terus berjalan. Sebagai gambaran, pada saat ini penggunaan produk Gigacover telah meningkat hingga 10 kali lipat sepanjang tahun 2020 di kalangan komunitas pekerja independen Indonesia.”


*Foto header: Depositphotos.com