Pivot bisnis bukanlah hal baru bagi startup. Biasanya, aksi ini diambil apabila sebuah bisnis sulit maju alias tidak berkembang. Dalam situasi pandemi Covid-19, tak sedikit startup melakukan pivot. Ini bukan karena bisnisnya tak berkembang, tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bisnisnya.
Pandemi menghajar telak segala sektor bisnis, terutama sektor penerbangan, pariwisata, dan hospitality. Alhasil, startup yang banyak menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor tersebut terpaksa harus memikirkan ulang bisnisnya dan mengambil langkah baru.
Delapan bulan sudah berjalan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia. DailySocial mewawancarai tiga CEO tiga startup Indonesia mengenai realisasi dan efektivitas pivot bisnisnya di masa pandemi.
Riset pasar sebelum pivot
Sebelum bicara efektivitas dan realisasi, melakukan pivot harus disertai kesiapan yang matang terhadap target pasar dan model bisnis yang akan dijajaki. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, dan Izy mengaku melakukan riset dan survei pasar terlebih dahulu.
Perlu diketahui, ketiga startup tersebut sama-sama bermain di segmen Business-to-Business (B2B). Yang berbeda, baik Izy dan Kedai Sayur memutuskan pivot ke B2C karena pandemi. Sementara, Medigo yang pivot-nya yang direncanakan sejak 2019 justru eksekusinya terdampak karena pandemi.
Model bisnis Izy sangat bersinggungan dengan hospitality di mana pihaknya menyediakan digitalisasi layanan untuk mendorong peningkatan konsumsi tamu hotel dan akomodasi lewat platform. Contohnya room service dan laundry.
Izy mulai pivot sejak April 2020 setelah melakukan riset pasar secara sederhana dengan beberapa klien dan pihak terkait untuk memperoleh masukan awal. Dengan model bisnis yang sama, Izy membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.
Sementara Kedai Sayur yang awalnya melayani B2B, seperti tukang sayur, cafe, dan restoran, mau tak mau masuk ke segmen B2C atau end user. Pembatasan sosial mengakibatkan penurunan transaksi pengunjung di restoran dan cafe sehingga pengelola harus menurunkan volume pesanan bahan makanan.
“Di sini kami riset pasar untuk menentukan perilaku konsumen, kebutuhan produk segar yang diminati, dan bagaimana lifestyle-nya. Ini karena perilaku konsumen B2C dan B2B berbeda,” ungkap Co-Founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.
Di kasus Medigo, semula platform ini berupaya menghubungkan seluruh ekosistem di industri kesehatan dari hulu ke hilir dengan Rumah Sakit (RS) sebagai pendekatan awal.
Mengingat birokrasi RS yang mengharuskan proses integrasi yang panjang, Medigo akhirnya pivot dengan fokus pada pengelolaan klinik saja. Pada Desember 2019, Medigo membangun Klinik Pintar dan meresmikannya pada Februari 2020.
“Ketika kami kembangkan clinic management system di awal 2019, memang ada lebih dari 300 klinik yang daftar. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset dan survei ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?,” ujar Co-Founder dan CEO Medigo Indonesia Harya Bimo.
Dalam perjalanannya, Medigo menemui kesulitan dalam mengeksekusi pivot. Klinik Pintar dijalankan dengan dua model bisnis, yakni membangun sendiri dan berkolaborasi dengan klinik existing. Masalah muncul ketika pandemi melanda.
“Ketika kami mau membangun Klinik Pintar kedua, situasi tidak memungkinkan karena modelnya harus monitoring, renovasi, di mana perlu high touch. Sementara, kami harus low touch karena saat itu ada pembatasan sosial. Di sini kami memikirkan ulang strategi pivot dan model partnership kami,” tutur pria yang karib disapa Bimo ini.
Realisasi pivot selama pandemi
Sekitar hampir delapan bulan terhitung sejak pandemi mewabah di Indonesia, ketiga startup di atas mengungkapkan telah menuai hasil atau respon positif dari layanan baru yang mereka tawarkan ke pasar.
Meski pivot ini bersifat sementara, Co-Founder dan CEO Izy Gerry Mangentang mengaku sudah berhasil mengantongi pendapatan. Meskipun demikian, pihaknya belum dapat membagikan lebih rinci terkait kenaikan pendapatan tersebut karena berkaitan dengan data internal dengan mitranya.
“Untuk core product/service, kami akan tetap akan sama seperti sebelumnya, yakni fokus di industri hotel. Akan tetapi pivoting ini akan sangat berguna untuk kedepannya bisa melengkapi platform dan ekosistem Izy,” ucapnya.
Sementara Kedai Sayur mencatat kenaikan penjualan dengan permintaan lebih dari 50 persen pasca masuk ke segmen B2C. Menurut Adrian, permintaan terus meningkat karena semakin hari masyarakat semakin terbiasa membeli bahan makanan, sayur mayur, dan buah-buahan melalui online.
Selain penjualan, ungkap Adrian, perusahaan juga mencatatkan respons positif lainnya. Misalnya, jumlah keluhan pelanggan Kedai Sayur terus menurun setiap bulan, lalu diikuti peningkatan engagement traffic dan penambahan pengguna baru melalui media sosial. “Untuk menjaga kepuasan dan loyalitas konsumen, kami mempercepat proses pengiriman dari H+2 menjadi H+1,” jelasnya.
Medigo yang masuk ke rantai suplai klinik juga mencatatkan peningkatan signifikan. Di awal masa pembatasan sosial, pihaknya belum langsung menuai kenaikan bisnis karena pada periode tersebut masyarakat cenderung takut ke RS atau klinik.
Namun, layanannya mulai mengalami kenaikan dengan puncaknya pada Mei naik hingga empat kali lipat dibandingkan April. Ia mengklaim sejak Mei hingga saat ini, kenaikannya sudah melebihi empat kali lipat. “Bahkan kami sudah memiliki margin yang sehat setiap bulan. Jadi, pendapatan kami lebih tinggi dari burn rate kami,” katanya.
Efektivitas dan metrik yang digunakan
Dengan mengoptimalkan teknologi, operasional, dan model bisnis yang tepat, baik Medigo, Izy, dan Kedai Sayur mengungkap bahwa pivot ini berjalan efektif. Meskipun demikian, tetap perlu ada ruang perbaikan ke depannya.
Dalam mengukur efektivitas pivot, Adrian menyebutkan bahwa pihaknya tak hanya mengandalkan metrik traction atau jumlah transaksi semata. Pihaknya berupaya memaksimalkan Customer Relationship Management (CM) dengan memanfaatkan data berkualitas untuk mendapatkan prospek bisnis lebih baik.
Sebelumnya, Adrian pernah menyebutkan bahwa data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.
“Tantangan terbesar pivot ke B2C adalah effort yang besar dalam membawa [nama] brand ke masyarakat lebih luas dengan karakteristik beragam. Maka itu, kami sangat memperhatikan detail yang dapat jadi pembaruan berarti untuk meningkatkan layanan kami ke depan,”
Kendati demikian, tambah Bimo, pihaknya tidak berpatok pada metrik sales saja untuk mengukur efektivitas pivot ini. Sejak awal berdiri, Medigo telah menetapkan interactivity di ekosistem healthcare sebagai “North Star Metric”-nya. Artinya metrik ini menjadi inti pertumbuhan bisnis utamanya.
“Pivot kami sangat efektif karena tidak hanya terukur dari commercial saja, tetapi juga non-commercial. Percuma kalau non-commercial bagus, tetapi tidak bisa dimonetisasi karena model bisnis belum mendukung. Setelah pivot, [metrik non-commercial] interaksi di platform kami naik luar biasa,” tambah Bimo.
Menurutnya, keberhasilan pivot ini dapat terjaga apabila metrik keduanya dapat saling berjalan. “Kami kelola banyak klinik di mana rekam medis pasien tersimpan di sistem kami. Jika satu RS bisa handle 900 pasien per hari, kami bisa pegang 60 klinik dengan masing-masing 100 pasien per hari. Ini jadi ‘North Star Metric’ kami untuk mendorong interaksi healthcare stakeholder,” tutupnya.