Ramayana menjadi salah satu ritel yang terdampak dari menurunnya daya beli masyarakat Indonesia. Tahun 2017 sekurangnya sudah ada delapan toko yang ditutup. Namun baru-baru ini Ramayana membuka gerai baru, kali ini dengan strategi yang lebih kekinian.
Pihaknya cukup menyadari kekuatannya saat ini ada di offline store, namun demikian harus sigap menyiasati pangsa pasar yang sudah mengarah digital. Pendekatan yang dilakukan bersama toko barunya ialah dalam bentuk Experience Store, bekerja sama dengan Lazada Indonesia.
Konsep Experience Store ialah sebagai toko fisik yang menyajikan produk yang dijual dari layanan e-commerce. Untuk yang pertama ini, akan difokuskan ke produk-produk elektronik, dengan harapan memfasilitasi pelanggan yang merasa kurang yakin dengan bentuk atau harga barang yang ditemukan di situs online.
Dikutip dari CNN Indonesia General Marketing Ramayana Jane Melinda Tumewu menyampaikan, “Memang, zaman sekarang kita beli barang elektronik secara online, tapi karena itu harganya tinggi, orang perlu toko fisik sebagai perbandingan. Karena itu, Ramayana kerja sama bareng Lazada mengembangkan Experience Store.”
Selain itu, ada kemitraan lain yang dilakukan Ramayana dengan Lazada, yakni dengan membuka Official Store Ramayana di Lazada. Hal ini diharapkan dapat menjadikan Ramayana turut bisa mamksimalkan momentum Harbolnas. Melinda menyampaikan, “Lewat acara (kerja sama) ini, kami juga ingin menunjukkan kepada konsumen online bahwa dengan perubahan menuju zaman kekinian, Ramayana tetap eksis di zaman now.”
Lantas apakah benar gara-gara e-commerce?
Selain Ramayana, sebenarnya ada beberapa gerai ritel lain yang juga bernasib kurang baik beberapa waktu terakhir. Yang juga sempat menutup gerainya termasuk 7-Eleven, Matahari, juga Lotus Departement Store. Ketika orang-orang banyak yang mengatakan penyebabnya karena konsumen beralih ke online, CEO Tokopedia William Tanuwijaya berpendapat lain.
Menurut William tidak benar jika ritel offline yang tutup karena tergusur pangsa pasar e-commerce, karena menurut data yang ia miliki baru 1 persen transaksi ritel di Indonesia yang masuk ke online. Sehingga konsentrasi pengamatan harus tertuju di kondisi makro ekonomi secara umum.
“Menurut saya trennya toko online dan offline justru akan saling membutuhkan ke depan,” ujar William.
Pun demikian menurut Ketua Umum iDEA Aulia Ersyah Marinto. Ia menampik jika bisnis online penyebab tumbangnya beberapa bisnis ritel offline saat ini. Menurutnya mereka tutup karena tengah melakukan reposisi, bukan karena pasarnya diambil sepenuhnya oleh pemain online.
Sinergi online-offline sudah mulai terlihat bentuknya
Model Experience Store sebenarnya sudah menjadi tren di Indonesia, kendati bukan dalam bentuk formal. Sebagai contoh, beli kopi di Startbuck melalui GO-FOOD, secara operasional itu adalah sebuah model sinergi antara offline dan online. Yang seperti tampaknya akan banyak diaplikasikan ke depan –kecuali untuk perusahaan yang memilih membangun sistemnya sendiri.
Tapi tak dielakkan jika ada tantangan yang menghadang perusahaan ritel. Misalnya, adanya e-commerce dan marketplace dapat memberikan kesempatan kepada brand untuk memberikan supply langsung produk yang dimiliki dalam bentuk Official Store, seperti yang sudah banyak dilakukan saat ini. Lantas jika produsen bisa langsung menjual, peran ritel offline harus dipikirkan secara lebih matang, demi memberikan pengalaman lebih bagi konsumen.