Walau kurang populer di Indonesia, League of Legends tetap menjadi permainan serta tontonan favorit gamers dunia, terutama bagi gamers di barat. Begitu besar League of Legends, sampai-sampai final liga LCS di Amerika Serikat bisa memberi dampak ekonomi sebesar Rp76 miliar.
Namun bukan berarti komunitas League of Legends selalu adem-adem saja. Ada satu narasi perdebatan yang masih bertahan sampai sekarang di antara para penggemar League of Legends barat. Bukan hanya soal siapa yang lebih baik antara League of Legends dengan Dota 2, tetapi juga soal siapa regional League of Legends yang lebih baik, Eropa atau Amerika Serikat?
Baru-baru ini, situs data statistik esports, Esports Charts (ESC) merangkum data tersebut dan menemukan bahwa tim Fnatic asal Eropa sebagai tim League of Legends terpopuler. Data ini dirangkum berdasarkan dari rata-rata jumlah penonton pertandingan tim yang berasal dari masing-masing regional, yaitu tim-tim LEC (Eropa) dan LCS (Amerika serikat).
Mengutip data tersebut, Fnatic berhasil mengumpulkan rata-rata penonton sebanyak 262 ribu orang, dilanjut dengan G2 Esports (yang juga dari Eropa) dengan rata-rata 256 ribu orang penoton, dan Team Liquid dari Amerika dengan rata-rata 244 ribu orang penonton.
Tak heran jika Fnatic menjadi tim League of Legends paling populer dalam perdebatan regional Eropa vs Amerika Serikat. Pertama, Fnatic dalam sejarah League of Legends punya cerita perjuangan menarik, yang membuat banyak fans jadi mendukung dan ingin menyimak perjalanannya.
Pada Worlds 2017 ia berhasil menciptakan salah satu kisah comeback terbesar dalam sejarah esports. Dalam fase grup, mereka memulai harinya dengan kalah 3 kali berturut-turut. Namun setelahnya mereka bangkit lagi, mengamankan sisa pertandingan yang ada, dan lolos dengan statistik 4 menang, 3 kalah; walau pada akhirnya tumbang di babak semi-final.
Pada Worlds 2018 mereka juga kembali memunculkan cerita menarik. Mereka berhasil menjadi tim yang mengembalikan gengsi tim regional barat di peta kekuatan dunia kompetitif League of Legends, setelah beberapa tahun terakhir dikuasai habis-habisan oleh regional Asia.
Ditambah lagi, tim ini juga merupakan salah satu tim dengan branding yang kuat dan juga posisinya yang sudah lama ada berada bersama komunitas gamers. Berdiri di London sejak 2004 lalu, Fnatic sudah punya penggemar di berbagai lini, termasuk di skena kompetitif League of Legends. Klub ini juga punya berbagai cara kreatif dalam urusan branding, mulai dari kolaborasi dengan Hello Kity ataupun membuat paket merchandise bertema musim dingin yang unik dan lucu.
Statistik ini juga sedikit banyak menunjukkan dampak prestasi terhadap exposure yang didapatkan oleh sebuah tim. Bagamana tidak, Fnatic yang merangkak setengah-mati sampai ke babak Grand Final Worlds 2018 lalu terbukti punya jumlah penonton rata-rata yang lebih banyak, jika dibanding Team Liquid yang hanya menang di skena lokal, namun keteteran di tingkat internasional.
Melihat hal ini, sepertinya sudah waktunya regional Amerika Serikat untuk berbenah. Agar tim-tim League of Legends di sana tidak hanya punya nilai hiburan yang tinggi, tapi juga jadi tim yang dipandang dalam peta kompetitif League of Legends internasional.
Sumber header: Riot Games